Seputar Indonesia
Bagja Hidayat
Aku dan ibu duduk berhadapan di ruang tengah. Aku bertanya bagaimana hajatan di rumah kemenakan Pak Lurah di kota itu. Bapak dan Ibu telat pulang sehari dari janji yang cuma sehari di Bandung. Bapak sedang keluar rumah entah kemana sementara adik-adik sedang main ke rumah temannya. Ibu, seperti biasa, selalu menjadi pencerita yang menyenangkan tentang pengalaman-pengalamannya.
"Ibu dan bapak sempat jalan-jalan?" tanyaku. Aku mengupas kulit mangga pelan-pelan.
"Itulah kenapa kami sampai harus menginap," kata Ibu. Tangannya meraih majalah di kolong meja lalu membuka halamannya satu-satu.
"Ke mana saja? Bandung, kata orang, tempat yang bagus untuk jalan-jalan."
"Begitulah. Sampai ibu harus menanggung malu." Mata ibu tertuju pada majalah di pangkuannya.
"Menanggung malu?”
"Ibu jadi tontonan banyak orang karena nongkrong di rumah bordil."
"Bordil? Untuk apa ke tempat seperti itu?" aku jadi tak habis pikir.
"Untuk apalagi kalau bukan melacur.”
"Apa?" Aku berhenti mengupas mangga. “Siapa yang melacur?”
"Bapakmu.” Suara Ibu tetap datar.
"Apa?"
Aku terperanjat dari tempat dudukku. Mangga terjatuh ke ubin. Aku menatap ibu lekat-lekat. Ibu terdiam melihat reaksiku yang tiba-tiba itu. Diam ibu adalah diam seperti patung. Tak ada reaksi kendati suaraku meninggi.
"Maksud ibu apa?"
"Bapakmu pergi ke pelacur."
"Ibu tidak sedang memakai bahasa kiasan, kan?"
"Ya, tidak. Bapakmu pergi ke rumah bordil, ibu dan Bu Lurah menunggu di luar."
"Ibu biasa saja?"
"Ah, masak kamu tidak mengerti, sih."
"Bu. Bapak melacur, dan ibu diam saja, biasa saja?"
"Apa yang ibu bisa lakukan?"
"Apa yang ibu bisa lakukan? Astagfirullah. Ibu tidak apa-apa?"
"Ya, tidak. Sudah jadi kebiasaan bapakmu."
"Astagfirullah!"
"Ibu menurut saja."
"Gusti. Bu, ini serius! Kenapa ibu membiarkannya? Ibu memilih menanggung malu?"
Air mukanya berubah. Kini matanya sembab. Tapi tak sampai menangis. Ibu hanya diam. Air mata itu seolah enggan keluar dari kelopak matanya yang mulai keriput. Ibu sudah seperti terbiasa bagaimana menahan air mata agar tak sampai menetes. Air mukanya sekejap saja murung. Setelah itu kembali seperti sedia kala. Seolah-olah beberapa waktu sebelumnya tak ada kejadian atau obrolan yang mengejutkan dan menyedihkan.
Bapak pergi melacur! Ini sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini, aku pikir, bapak dan ibu akur-akur saja. Mereka terlihat rukun dan harmonis. Tak pernah kudengar bapak marah karena ibu berbuat salah atau sebaliknya. Ibu tak pernah mengomel. Bapak selalu mendengar apa kata ibu. Tapi, ternyata, hidup mereka penuh sandiwara. Penuh kebohongan di depan anak-anaknya. Aku tahu ibu sedang menangis dalam senyumnya. Aku tahu hatinya remuk. Aku tahu hidupnya hancur.
"Astagfirullah, Bu." Aku memeluknya. Aku menangis di pundaknya. Aku sesenggukan dalam pelukannya. Ibu tak bereaksi. Ia diam membatu. Tangannya masih memegang majalah yang terbuka. Tubuh cekungnya juga tak memberikan reaksi apapun ketika kupeluk. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Mengutuk ke-diam-an ibu. Menujah ketakberdayaan ibu. Aku ingin menjerit dan marah pada ibu. Tapi yang keluar hanya bunyi sesenggukan dari dalam tenggorokanku. Aku tercekat. Betapa selama ini kami, semua anaknya, dibohongi dengan keharmonisan hubungan mereka.
Aku lepaskan pelukan setelah bisa sedikit menguasai diri. Ibu masih mematung di tempat duduknya. Tatapannya kosong. Raut mukanya tak berubah. Matanya tertuju ke arahku tapi tidak menatapku.
"Kenapa, Bu?" aku mencoba bertanya di sela sisa-sisa isak. Agak lama aku menunggu jawaban ibu. Matanya berkedip. Ia menarik napas pendek. Kini tatapannya benar terarah padaku. Ibu menatapku penuh iba.
"Ibumu frigid," ia menjawab datar. Tak ada tambahan ekspresi setelah menyelesaikan ucapannya. "Tak bisa lagi melayani ayahmu." Aku kembali menghela napas. Aku tak menyangka jawaban itu yang akan kuterima dari serentetan kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaanku atas peristiwa itu.
"Sejak kapan?"
"Sejak adikmu lahir."
"Selama itu, Bu? Astagfirullah." Aku kembali terisak. Hatiku makin remuk. Pikiranku langsung tertuju pada bapak yang bolak-balik melacur selama 15 tahun. Dan mereka berhasil menyimpan rahasia itu hingga terbongkar kini.
"Ibu sudah terbiasa dengan kelakuan ayahmu," katanya, "ini juga kesalahan ibu, ibu menerimanya sebagai takdir. Bapakmu masih muda, kamu pasti tahu."
Obrolan terputus. Suara langkah bapak terdengar di halaman. Ibu berlari ke kamar. Aku menyeka sembab. Kesedihan itu hilang berganti amarah yang siap melonjak. Aku tak lagi bisa menahan amarah. Aku ingin menumpahkannya saat itu juga. Bapak masuk tanpa mengetuk. Air mukanya cerah, secerah yang biasa kulihat. Ia menghisap rokok yang hampir habis lalu mematikannya pada asbak.
"Bapak dari mana?" aku langsung menyergah. Aku sudah tak ingat apakah kata-kataku benar tersusun keluar dari mulutku.
"Dari rumah Pak Lurah. Ibumu mana?"
Dunia di sekelilingku jadi merah dan gelap. Tanganku bergetar memegang pisau dapur.
[2004-2005]
Bagja Hidayat
Aku dan ibu duduk berhadapan di ruang tengah. Aku bertanya bagaimana hajatan di rumah kemenakan Pak Lurah di kota itu. Bapak dan Ibu telat pulang sehari dari janji yang cuma sehari di Bandung. Bapak sedang keluar rumah entah kemana sementara adik-adik sedang main ke rumah temannya. Ibu, seperti biasa, selalu menjadi pencerita yang menyenangkan tentang pengalaman-pengalamannya.
"Ibu dan bapak sempat jalan-jalan?" tanyaku. Aku mengupas kulit mangga pelan-pelan.
"Itulah kenapa kami sampai harus menginap," kata Ibu. Tangannya meraih majalah di kolong meja lalu membuka halamannya satu-satu.
"Ke mana saja? Bandung, kata orang, tempat yang bagus untuk jalan-jalan."
"Begitulah. Sampai ibu harus menanggung malu." Mata ibu tertuju pada majalah di pangkuannya.
"Menanggung malu?”
"Ibu jadi tontonan banyak orang karena nongkrong di rumah bordil."
"Bordil? Untuk apa ke tempat seperti itu?" aku jadi tak habis pikir.
"Untuk apalagi kalau bukan melacur.”
"Apa?" Aku berhenti mengupas mangga. “Siapa yang melacur?”
"Bapakmu.” Suara Ibu tetap datar.
"Apa?"
Aku terperanjat dari tempat dudukku. Mangga terjatuh ke ubin. Aku menatap ibu lekat-lekat. Ibu terdiam melihat reaksiku yang tiba-tiba itu. Diam ibu adalah diam seperti patung. Tak ada reaksi kendati suaraku meninggi.
"Maksud ibu apa?"
"Bapakmu pergi ke pelacur."
"Ibu tidak sedang memakai bahasa kiasan, kan?"
"Ya, tidak. Bapakmu pergi ke rumah bordil, ibu dan Bu Lurah menunggu di luar."
"Ibu biasa saja?"
"Ah, masak kamu tidak mengerti, sih."
"Bu. Bapak melacur, dan ibu diam saja, biasa saja?"
"Apa yang ibu bisa lakukan?"
"Apa yang ibu bisa lakukan? Astagfirullah. Ibu tidak apa-apa?"
"Ya, tidak. Sudah jadi kebiasaan bapakmu."
"Astagfirullah!"
"Ibu menurut saja."
"Gusti. Bu, ini serius! Kenapa ibu membiarkannya? Ibu memilih menanggung malu?"
Air mukanya berubah. Kini matanya sembab. Tapi tak sampai menangis. Ibu hanya diam. Air mata itu seolah enggan keluar dari kelopak matanya yang mulai keriput. Ibu sudah seperti terbiasa bagaimana menahan air mata agar tak sampai menetes. Air mukanya sekejap saja murung. Setelah itu kembali seperti sedia kala. Seolah-olah beberapa waktu sebelumnya tak ada kejadian atau obrolan yang mengejutkan dan menyedihkan.
Bapak pergi melacur! Ini sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini, aku pikir, bapak dan ibu akur-akur saja. Mereka terlihat rukun dan harmonis. Tak pernah kudengar bapak marah karena ibu berbuat salah atau sebaliknya. Ibu tak pernah mengomel. Bapak selalu mendengar apa kata ibu. Tapi, ternyata, hidup mereka penuh sandiwara. Penuh kebohongan di depan anak-anaknya. Aku tahu ibu sedang menangis dalam senyumnya. Aku tahu hatinya remuk. Aku tahu hidupnya hancur.
"Astagfirullah, Bu." Aku memeluknya. Aku menangis di pundaknya. Aku sesenggukan dalam pelukannya. Ibu tak bereaksi. Ia diam membatu. Tangannya masih memegang majalah yang terbuka. Tubuh cekungnya juga tak memberikan reaksi apapun ketika kupeluk. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Mengutuk ke-diam-an ibu. Menujah ketakberdayaan ibu. Aku ingin menjerit dan marah pada ibu. Tapi yang keluar hanya bunyi sesenggukan dari dalam tenggorokanku. Aku tercekat. Betapa selama ini kami, semua anaknya, dibohongi dengan keharmonisan hubungan mereka.
Aku lepaskan pelukan setelah bisa sedikit menguasai diri. Ibu masih mematung di tempat duduknya. Tatapannya kosong. Raut mukanya tak berubah. Matanya tertuju ke arahku tapi tidak menatapku.
"Kenapa, Bu?" aku mencoba bertanya di sela sisa-sisa isak. Agak lama aku menunggu jawaban ibu. Matanya berkedip. Ia menarik napas pendek. Kini tatapannya benar terarah padaku. Ibu menatapku penuh iba.
"Ibumu frigid," ia menjawab datar. Tak ada tambahan ekspresi setelah menyelesaikan ucapannya. "Tak bisa lagi melayani ayahmu." Aku kembali menghela napas. Aku tak menyangka jawaban itu yang akan kuterima dari serentetan kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaanku atas peristiwa itu.
"Sejak kapan?"
"Sejak adikmu lahir."
"Selama itu, Bu? Astagfirullah." Aku kembali terisak. Hatiku makin remuk. Pikiranku langsung tertuju pada bapak yang bolak-balik melacur selama 15 tahun. Dan mereka berhasil menyimpan rahasia itu hingga terbongkar kini.
"Ibu sudah terbiasa dengan kelakuan ayahmu," katanya, "ini juga kesalahan ibu, ibu menerimanya sebagai takdir. Bapakmu masih muda, kamu pasti tahu."
Obrolan terputus. Suara langkah bapak terdengar di halaman. Ibu berlari ke kamar. Aku menyeka sembab. Kesedihan itu hilang berganti amarah yang siap melonjak. Aku tak lagi bisa menahan amarah. Aku ingin menumpahkannya saat itu juga. Bapak masuk tanpa mengetuk. Air mukanya cerah, secerah yang biasa kulihat. Ia menghisap rokok yang hampir habis lalu mematikannya pada asbak.
"Bapak dari mana?" aku langsung menyergah. Aku sudah tak ingat apakah kata-kataku benar tersusun keluar dari mulutku.
"Dari rumah Pak Lurah. Ibumu mana?"
Dunia di sekelilingku jadi merah dan gelap. Tanganku bergetar memegang pisau dapur.
[2004-2005]
No comments:
Post a Comment