Kenapa ada huruf R dalam alfabet kita? R sudah pasti buatan orang dewasa, karena tak ada bayi yang langsung bisa melafalkan huruf itu. Juga "adiknya", L. Apa yang akan terjadi seandainya tak ada dua abjad itu? Pasti tak ada perang dan korupsi. Karena yang ada hanya peang dan koupsi.
R dan L menandakan bahwa kita memang berubah. Kita lupa kapan pertama kali melafalkan huruf R atau L. Tapi lafal hanya soal lidah, karena konsep huruf R pasti sudah ada sejak sebelum kita bisa melafalkannya. Mikail, misalnya, selalu bilang "pankin" untuk "parkir" ketika ia mengajak ngobrol dan melihat ada mobil masuk garasi atau berjalan mundur; menyebut namanya sendiri "mikain yandu" kepada orang yang baru bertemu jika kenalan. Di kepalanya, saya agak yakin, ia pasti ingin mengatakan "parkir" atau "mikail randu".
Ensiklopedia tak menyebut apakah bayi-bayi di Romawi--tempat huruf latin bermula--sudah bisa melafalkan huruf R atau L begitu mulai bisa bicara. Jika tidak, sudah pasti, huruf memang disusun oleh orang yang sudah bisa melafalkan dan merasa perlu ada huruf R atau L, karena ada benda, istilah, nama-nama yang memerlukannya. Sebab, ketika jumlah huruf belum genap 26 (masih 21, belum ada huruf J, U, W, Y dan Z) huruf R dan L sudah masuk susunan alfabet Latin.
Di semua bahasa, Latin atau bukan, huruf R atau L juga sudah nangkring. Dalam bahasa Arab R berwujud "kaf", dalam abjad Jawa ada "ra", dan seterusnya. Di Krui, pesisir Lampung Barat, huruf R dilafalkan dengan "grha"--huruf ini muncul dari dalam tenggorokan. Sehingga orang di sana menyebut Krui bukan dalam alfabet biasa, tapi "K-grh-u-i". Coba lafalkan. Sampai sekarang saya selalu salah mengucapkannya. Tapi dalam obrolan bahasa Indonesia biasa, orang Krui mengucapkan R kembali ke bunyi alfabet Latinnya.
Ada beberapa teman yang cadel, meskipun cadel ternyata tak cuma melanda huruf R. Ada orang yang cadel F, S dan T. Tapi mereka jadi kreatif mencari sinonim dari kata atau istilah yang susah diucapkan. Misalnya, ada teman yang konsisten menyebut Bogor sebagai kota hujan. Jika ada yang bertanya, "Kuliah di mana dulu?" Ia akan menjawab, "Di kota hujan." Tak ada kota lain yang berjuluk ini di Indonesia. Meskipun jadi lucu, karena sering juga ia tak sadar omong terus dan menerabas rambu-rambu "R". Kalau sadar ia berhenti sendiri. Untung ia tak minder. "Ah, saya cuma sedikit pemalu," katanya.
Ada film "Novel Tanpa Huruf R". Tapi ia tak mengungkai bagaimana jadinya jika hidup ini tak dilengkapi dengan huruf R. Mungkin hanya kekerasan dan kekacauan yang terjadi, seperti yang ingin digambarkan sutradaranya. Entahlah. Stephen King punya novel Misery yang menceritakan usaha seorang penulis lepas dari tawanan pemujanya setelah sebuah kecelakan yang membuatnya lupa segala. Si penulis ini diminta menulis novel oleh si pemuja di bawah ancaman pembunuhan dengan mesin tik yang tak ada tombol N. Ketika novel itu jadi, setiap kata yang memerlukan N kosong. Misalnya, NIGHT hanya ditulis IGHT. Tapi novel toh jadi dan hidup berjalan terus, sampai si penulis ini selamat dari terkaman pemujanya ini.
Apa yang terjadi seandainya dunia ini tanpa huruf R? Apakah hidup kita seperti bayi? Rasanya tidak juga. Tak seru. Walaupun mungkin hanya tak ada internet dan blogger.com. Sebab, kalau ya, sia-sialah Tuhan menciptakan kita.
R dan L menandakan bahwa kita memang berubah. Kita lupa kapan pertama kali melafalkan huruf R atau L. Tapi lafal hanya soal lidah, karena konsep huruf R pasti sudah ada sejak sebelum kita bisa melafalkannya. Mikail, misalnya, selalu bilang "pankin" untuk "parkir" ketika ia mengajak ngobrol dan melihat ada mobil masuk garasi atau berjalan mundur; menyebut namanya sendiri "mikain yandu" kepada orang yang baru bertemu jika kenalan. Di kepalanya, saya agak yakin, ia pasti ingin mengatakan "parkir" atau "mikail randu".
Ensiklopedia tak menyebut apakah bayi-bayi di Romawi--tempat huruf latin bermula--sudah bisa melafalkan huruf R atau L begitu mulai bisa bicara. Jika tidak, sudah pasti, huruf memang disusun oleh orang yang sudah bisa melafalkan dan merasa perlu ada huruf R atau L, karena ada benda, istilah, nama-nama yang memerlukannya. Sebab, ketika jumlah huruf belum genap 26 (masih 21, belum ada huruf J, U, W, Y dan Z) huruf R dan L sudah masuk susunan alfabet Latin.
Di semua bahasa, Latin atau bukan, huruf R atau L juga sudah nangkring. Dalam bahasa Arab R berwujud "kaf", dalam abjad Jawa ada "ra", dan seterusnya. Di Krui, pesisir Lampung Barat, huruf R dilafalkan dengan "grha"--huruf ini muncul dari dalam tenggorokan. Sehingga orang di sana menyebut Krui bukan dalam alfabet biasa, tapi "K-grh-u-i". Coba lafalkan. Sampai sekarang saya selalu salah mengucapkannya. Tapi dalam obrolan bahasa Indonesia biasa, orang Krui mengucapkan R kembali ke bunyi alfabet Latinnya.
Ada beberapa teman yang cadel, meskipun cadel ternyata tak cuma melanda huruf R. Ada orang yang cadel F, S dan T. Tapi mereka jadi kreatif mencari sinonim dari kata atau istilah yang susah diucapkan. Misalnya, ada teman yang konsisten menyebut Bogor sebagai kota hujan. Jika ada yang bertanya, "Kuliah di mana dulu?" Ia akan menjawab, "Di kota hujan." Tak ada kota lain yang berjuluk ini di Indonesia. Meskipun jadi lucu, karena sering juga ia tak sadar omong terus dan menerabas rambu-rambu "R". Kalau sadar ia berhenti sendiri. Untung ia tak minder. "Ah, saya cuma sedikit pemalu," katanya.
Ada film "Novel Tanpa Huruf R". Tapi ia tak mengungkai bagaimana jadinya jika hidup ini tak dilengkapi dengan huruf R. Mungkin hanya kekerasan dan kekacauan yang terjadi, seperti yang ingin digambarkan sutradaranya. Entahlah. Stephen King punya novel Misery yang menceritakan usaha seorang penulis lepas dari tawanan pemujanya setelah sebuah kecelakan yang membuatnya lupa segala. Si penulis ini diminta menulis novel oleh si pemuja di bawah ancaman pembunuhan dengan mesin tik yang tak ada tombol N. Ketika novel itu jadi, setiap kata yang memerlukan N kosong. Misalnya, NIGHT hanya ditulis IGHT. Tapi novel toh jadi dan hidup berjalan terus, sampai si penulis ini selamat dari terkaman pemujanya ini.
Apa yang terjadi seandainya dunia ini tanpa huruf R? Apakah hidup kita seperti bayi? Rasanya tidak juga. Tak seru. Walaupun mungkin hanya tak ada internet dan blogger.com. Sebab, kalau ya, sia-sialah Tuhan menciptakan kita.
No comments:
Post a Comment