Daniel Agger menebus kesalahan di Stamford Bridge. Di kandang Chelsea itu, pemain sepak bola asal Denmark itu lalai memepet Didier Drogba. Agger salah cara mengawal. Ia seperti memicing Andriy Sevchenko yang tak perlu adu badan. Drogba yang menjulang 2 meter harus dikawal hingga jatuh. Akibatnya, Joe Cole menyambar operan Drogba hingga berbuah gol. Liverpool kalah 1-0.
Di Anfield, markas Liverpool, tadi pagi dalam semifinal kedua Piala Champions, Agger sukses menghambat laju Drogba. Pemain Pantai Gading itu nyaris tak berkutik. Hanya sekali, Drogba bisa lolos lalu menendang dengan keras bola ke kiper Pepe Reina. Itu pun, sebetulnya, Drogba dalam posisi offside. Sisanya adalah pertandingan yang seru. Cole, kebetulan, pembuat sebab gol Agger.
Ia mengganjal Steven Gerrard, 25 meter di sisi kanan gawang Petr Cech. Pemain Chelsea menyangka Gerrard akan menendang bola langsung ke mulut gawang. Nyatanya ia mengoper pelan ke arah Agger yang berdiri bebas. Gol di menit 22.22 itu bertahan hingga 90 menit.
Tak hanya Drogba yang tak berkutik. Sembilan pemain lainnya juga sama. Frank Lampard jarang disorot kamera sedang menggiring bola, atau mengatur serangan dari tengah lapangan. Essien yang biasanya gesit dan kokoh di tengah, kerepotan sebagai bek. Lain-lainnya seperti frustrasi.
Beruntung bagi Liverpool karena punya Agger yang dibeli dari Brondby IF, Denmark, 5,8 juta pound, Januari 2006. Sebab, setelah itu tak ada gol lagi. Crouch di depan tak berfungsi. Kuyt agak lumayan ketika sundulannya membentur mistar dan golnya di anulir karena kepalanya lebih maju dari John Terry. Rafael Benitez rupanya mengandalkan Jemaine Penant untuk menggempur Chelsea dari sayap--cara yang ia tempuh ketika mengurung Chelsea di babak kedua semifinal pertama, kendati Penant, waktu itu, telat diturunkan.
Kali ini Benitez telat memasukkan Robbie Fowler. Seharusnya pemain gaek inilah yang menemani Kuyt sebagai penyerang, setelah duet Kuyt-Crouch tak menghasilkan banyak peluang gol. Terry sudah tahu bagaimana membuat Crouch tak pernah punya bola enak untuk ditendang atau disundul. Fowler baru dipasang di menit akhir.
Karena tak ada gol lagi, penalti--kekerasan paling sadis dalam sepakbola modern itu--dipakai untuk menentukan tim yang akan ke final di Yunani nanti. Kali ini Jose Maurinho, pelatih Chelsea, gagal membaca mental pemain. Ia memasukkan Arjen Robben dan Geremi sebagai penendang bola. Dua pemain ini baru dua-tiga kali menendang bola sebelum pertandingan usai. Padahal, keduanya belum menyatu dengan emosi pemain lainnya yang berkeringat selama 120 menit. Tendangan keduanya pun bisa dibaca Reina. Kemana Essien? Kemana Drogba?
Saya selalu suka Mourinho: mulut besarnya, overcoat dan jasnya, cara dia membuat dan mengubah strategi. Saya kira, dia pelatih terbaik saat ini. Ferguson bagus tapi selalu membawa masalah pribadi ke lapangan. Beckham, Nistelrooy, Keane, jadi korban egoisme pelatih Manchester United ini. Saya suka Moourinho karena ia tipe palatih yang tahu bahwa sepakbola juga sebuah drama.
Ia menciptakan drama itu di luar lapangan. Omong besarnya memang bikin jengkel. Tapi, seperti Simon Cowel di American Idol, Mourinho seringkali membuktikan omong besarnya itu. Ia orang yang penuh percaya diri. Karena dialah, salah satunya, yang membuat Liga Inggris selalu seru dan menjadi liga terbaik di dunia, di dalam maupun di luar lapangan.
Di Anfield, Mourinho terlihat tenang, atau ditenang-tenangkan. Maklum, pemainnya tak komplit betul. Banyak yang cedera. Ia seperti sudah tahu timnya bakal keok di Anfield. Dan itu terbukti. Gerrard, you'll never walk alone. Ada pemain ke-12 yang membantu: penonton. Dari sanalah drama tercipta dengan jumlah aktor puluhan ribu.
No comments:
Post a Comment