Internet mengkhawatirkan karena ia memudahkan hal ihwal. Internet membuat cemas karena telah membuat kita malas.
Seorang wartawan senior bercerita, dulu jika ia akan menulis praktis mengandalkan bahan-bahan yang dicetak. Ia harus berkutat di perpustakaan, membaca banyak buku--tentu saja tidak dengan sambil lalu--hanya untuk mencari perspektif dari apa yang akan ia tulis. Ia menandai bahan-bahan penting lalu menyusunnya agar mudah ditemukan ketika proses menulis dimulai. Pendeknya, menulis adalah sebuah kerja yang militan.
Kini kita hanya perlu koneksi. Google akan menjawab semua pertanyaan wartawan tua itu. Tak perlu membaca buku dari daftar isi hingga bab penutup, cukup klik "search" untuk mencari kata atau topik yang ingin dilihat. Wikipedia memuat segala hal dengan jaringan yang tak putus-putus. Orang bisa mendapat bahan dengan mudah dan cepat. Tapi betapa mengkhawatirkan.
Paling tidak bagi teman saya ini. Ia mengeluh kini tak ada lagi para penulis dari generasi sekarang yang bisa menulis sejernih para penulis zaman dulu. Setiap pekan orang mengirimkan buah pikirannya untuk kolom-kolom media massa. Tapi buah pikiran itu belum menjadi buah pikiran, baru sebatas buah bibir. Tak perlu ditulis, buah pikiran cukup bisa diucapkan. Yang muncul kemudian adalah kita tetap hidup dalam budaya tuturan. Padahal, orang menulis karena "kata tak cukup untuk berkata". Orang menulis karena lisan tak cukup menampung percikan permenungan.
Teman itu memberikan kesimpulan yang agak ganjil. Bahwa ketiadaan para penulis yang mahir mengolah kata dan bahasa karena tak ada seleksi lagi. Para penulis itu tak belajar di mana kekurangan-kekurangan dalam menulis. Dari soal elementer sampai soal pokok gramatikal. Ada penulis yang namanya malang melintang dalam dunia perkoloman, banyak melahirkan buku, sudah karatan sebagai ahli di bidangnya, tapi masih belepotan membedakan "di" sebagai imbuhan dan "di" sebagai kata depan. Ia tak bisa membuang kata-kata yang sudah jadi klise. Bagi dia, yang penting adalah isi.
Padahal isi bisa dituang di mana saja. Sementara bentuk lahir dari pengalaman para penulis itu bergulat dengan rahsia dan keajaiban bahasa. Bentuk itulah yang pertama menyapa kita, sebelum menikmati isinya. Kini kita menghadapi serangkaian isi seperti kita melihat-lihat celana jins di sepermarket. Tak ada keunikan. Dengan kata lain, teman saya itu sedang menyoal apa yang disebut pasar tulisan.
Celakanya, pasar itu tak membentuk orang menjadi penulis sungguhan. Kini kita bisa mencemplungkan tulisan kapan dan di mana saja kita mau. Kini kita langsung menguji buah permenungan kita ke hadapan publik yang lebih luas, bukan seorang editor yang bertindak sebagai algojo bagi tulisan itu. Saya teringat kembali Milan Kundera yang membuat istilah ajaib semacam "grafomaniak". Dan saya kini mengerti kenapa ia ngotot membedakan "penulis" dan "novelis".
Saya masih menganggap kesimpulan teman saya itu ganjil. Karena zaman ini menjawab pertanyaan dan perjuangan tentang kebebasan. Zaman ini menyuguhkan pertarungan pasar para penulis yang sesungguhnya. Hanya mereka yang bandel dan keras kepalalah yang keluar sebagai menyandang gelar "penulis". Dalam sebuah artikelnya di New Yorker, Orhan Pamuk mengatakan bahwa "modal penulis bukan inspirasi, melainkan kebandelan dan sikap keras kepala." Ia sendiri menentang nasib yang akan mengarahkannya menjadi juru gambar, dengan terus menulis, memperbaiki, menulis, memperbaiki, hingga membuat novel-novel yang teruji ketika lahir.
Tulisan ini sendiri bukan lahir dari sikap keras kepala semacam itu. Tulisan ini mungkin masih lahir dari ego seorang grafomaniak dengan memanfaatkan apa yang ia khawatirkan: Internet--betapapun kekhawatiran itu kian menemukan alasan.
No comments:
Post a Comment