Seseorang memainkan Killing Me Softly pada piano. Serak-serak, sayup-sayup entah dari mana. Lambat, nglangut. Sementara angin Juni menubruk-nubruk di bahu.
Warung kuno ini hampir tutup. Jam 23, pengunjung sudah pulang. Salmon sudah termangsa dengan sempurna. Tapi kamu masih riang, menyantap tiramisu yang giung. Kita duduk membayangkan yang mungkin dan tak mungkin. Tentang kenangan yang baru saja usai, soal membangun masa depan yang tak kunjung selesai. Tapi apa kenangan apa masa depan, kita pun tak juga bisa merumuskan. Ketidakpastian memang menjengkelkan, tapi kita menempuhnya, bahkan ketika ketidakjelasan menjadi tak jelas.
Manusia barangkali harus menjalani takdir seperti Sisipus, yang menggulingkan batu setelah ia naikkan ke bukit itu. Kita sesungguhnya menikmati kerja yang sia-sia. Tapi bahkan yang sia-sia itu pun, dalam lethologica, tak lagi terasa sebagai sesuatu yang mubazir. Kita menganggap setiap kerja itu bermakna, meski kita tak tahu sebenarnya untuk apa. Sisipus tak menyesali hidupnya, karena ia tak tahu sedang dihukum seperti itu--ia selalu bergairah tiap kali mengggulingkan batu karena tahu ia akan menaikkannya lagi.
Maka syukur, bahkan dalam Sisipus, adalah momen paling penting dalam hidup. Kita menempuh hukuman dengan suka cita. Karena itu Tuhan tertawa ketika manusia berpikir. Kita menangkap gema tawa itu sebagai sebuah isyarat bahwa Tuhan belum jera dengan kita. Sebab, jika Ia suka menghukum buat apa dia menciptakan mahluk serumit manusia?
Seseorang kini memainkan Please Forgive Me. Masih pada piano, tetap dengan ritme lambat dan melangut. Suara perempuan itu masih terjaga setelah tiga jam menyanyi. Saya membayangkan ia bersenandung untuk dirinya sendiri. Mungkin ada yang mendengarkan, tapi mereka tak acuh dan hibuk dengan pikirannya sendiri, seperti kita. Musik itu hanya sebuah latar dari pelbagai peristiwa dalam kepala. Musik itu tak penting benar meski hadir dan menghempaskan waktu dan peristiwa ke dasar ingatan. Saya masih ingat walau nada itu hampir setahun lewat. Harum malam sehabis hujan yang sebentar itu masih menggantung di ujung hidung.
Dan hujan dan angin itu kini tak lagi punya arti. Kita tak lagi mengisi kenangan ke dalamnya. Kita tak lagi menghentikan waktu untuk mendesakkan sesuatu yang berharga. Waktu berlari kita lupa menuliskan maknanya. Atau sengaja lupa, pada aku dan kamu, yang tak lagi kita...
Manusia barangkali harus menjalani takdir seperti Sisipus, yang menggulingkan batu setelah ia naikkan ke bukit itu. Kita sesungguhnya menikmati kerja yang sia-sia. Tapi bahkan yang sia-sia itu pun, dalam lethologica, tak lagi terasa sebagai sesuatu yang mubazir. Kita menganggap setiap kerja itu bermakna, meski kita tak tahu sebenarnya untuk apa. Sisipus tak menyesali hidupnya, karena ia tak tahu sedang dihukum seperti itu--ia selalu bergairah tiap kali mengggulingkan batu karena tahu ia akan menaikkannya lagi.
Maka syukur, bahkan dalam Sisipus, adalah momen paling penting dalam hidup. Kita menempuh hukuman dengan suka cita. Karena itu Tuhan tertawa ketika manusia berpikir. Kita menangkap gema tawa itu sebagai sebuah isyarat bahwa Tuhan belum jera dengan kita. Sebab, jika Ia suka menghukum buat apa dia menciptakan mahluk serumit manusia?
Seseorang kini memainkan Please Forgive Me. Masih pada piano, tetap dengan ritme lambat dan melangut. Suara perempuan itu masih terjaga setelah tiga jam menyanyi. Saya membayangkan ia bersenandung untuk dirinya sendiri. Mungkin ada yang mendengarkan, tapi mereka tak acuh dan hibuk dengan pikirannya sendiri, seperti kita. Musik itu hanya sebuah latar dari pelbagai peristiwa dalam kepala. Musik itu tak penting benar meski hadir dan menghempaskan waktu dan peristiwa ke dasar ingatan. Saya masih ingat walau nada itu hampir setahun lewat. Harum malam sehabis hujan yang sebentar itu masih menggantung di ujung hidung.
Dan hujan dan angin itu kini tak lagi punya arti. Kita tak lagi mengisi kenangan ke dalamnya. Kita tak lagi menghentikan waktu untuk mendesakkan sesuatu yang berharga. Waktu berlari kita lupa menuliskan maknanya. Atau sengaja lupa, pada aku dan kamu, yang tak lagi kita...
No comments:
Post a Comment