TOKYO tak bisa menghindarkan diri dari kejumudan metropolitan. Di bawah jembatan layang di jalan Chiyoda, seorang pengemis tidur dekat parkir umum sepeda. Kepalanya disanggah majalah-majalah bekas yang tebal. Kantong tidur birunya sudah lusuh dan robek di jahit-jahitannya. Hanya kepalanya yang menyembul tertutup komik yang mungkin baru selesai dibaca. Tokyo pada November lumayan dingin. Angin menghembus 20 derajat.
Pengemis kita ini tidur begitu nikmat, tak peduli di sekelilingnya orang bergegas dengan jas dan overcoat. Di seberang sana, seorang tukang semir duduk di pinggir kaki lima yang lebar, yang juga dipenuhi orang-orang dengan gerak gegas yang murung. Jalanan macet di setiap tikungan lampu merah. Panjangnya tak jauh beda dengan macet di Jalan Sudirman di Jakarta pada pukul 3 atau 4 sore. Tapi tak ada jerit klakson. Mobil dan motor antri jauh di belakang garis stop. Tak ada yang nyalip tak terlihat sepeda yang menyelip. Tak ada deru, sonder debu, meski merk mobil dan motor dan sepeda itu sama dengan yang kita pakai di Jakarta.
Tapi Tokyo bukan Kyoto. Di Ibukota zaman Edo itu, tak ada satupun puntung rokok atau bungkus kacang tercecer. Di Tokyo, trotoarnya lumayan kotor, oleh bekas makanan dan daun yang gugur. Bahkan di sungai Chiyo airnya dipenuhi gulma yang tak habis-habis kendati dua motor but menyapunya bolak-balik. Di selter-selter tempat merokok puntung masih saja terjungkal ke lantai ketika penghisapnya berniat melemparnya ke asbak umum.
Di tempat ini selalu saja banyak orang mengepul sambil menunggu lampu menyeberang menyala hijau. Dua tiga hisap, seteguk dua teguk minuman ringan. Laki perempuan, tua muda, berhenti sejenak menghisap tembakau. Saya ikut di barisan mereka. Di hotel tak boleh merokok sehingga atase pers Kementerian Luar Negeri yang mengundang saya ke sini berkali-kali minta maaf karena "menghambat kebiasaan saya merokok." Astaga. Saya bilang, justru ke Tokyo ini saya berharap bisa mengurangi menghisap barang laknat ini.
Atase ini seorang perempuan dengan bahasa Inggris yang bagus karena sudah bisa menghilangkan sengau Nihonggo. Ia serius menjelaskan bagaimana aturan merokok di tempat umum di Jepang. Dia sendiri tak merokok, tapi terasa benar bahwa ia menghormati orang yang memilih jalan hidup memenuhi paru-parunya dengan nikotin. Alih-alih membenci dan menjauhi para ahli hisab ini.
Barangkali, itulah yang disebut orang sebagai peradaban...
No comments:
Post a Comment