Macet kini tak hanya masalah Jakarta. Kota-kota di sekitarnya, bahkan di pelosok, kini telah mengalami apa yang Jakarta alami lima tahun lalu. Di Bogor, hari Sabtu adalah neraka jalanan. Orang Jakarta yang sudah libur kerja tetirah ke sini, bertemu di persimpangan dan perempatan dengan orang Bogor yang masih masuk kantor dan sekolah.
Pertumbuhan ekonomi yang melahirkan kelas menengah—dengan sepeda motor dan
mobil—tak diimbangi dengan ketangkasan birokrasi membangun panjang jalan. Tapi
ulasan semacam ini sudah banyak. Saya ingin tambahkan problem utama yang
mungkin lebih mendasar, yakni sikap dan cara berbahasa kita melihat macet.
Macet berhubungan dengan jarak. Kita memahami jarak sebagai ruang antara dua
titik. Jarak tak akan berubah meski kita menempuhnya dalam waktu lama atau
sebentar dari titik satu ke titik lain. Jarak Jakarta-Surabaya tetap saja 784
kilometer, meski kita menempuhnya dengan jalan kaki, naik sepeda motor, mobil,
atau pesawat. Yang membedakan adalah waktu tempuh dari setiap moda itu.
Maka macet abadi karena kita menghadapinya, atau menciptakan solusinya, dari variabel
yang statis apapun moda transportasinya. Dua atau tiga hari tak masalah karena
jauh jarak dari Jakarta ke tempat tujuan mudik tetap sama. Di Jepang, jarak
diukur dengan waktu. Mereka terbiasa mempercakapkan jarak dengan ukuran lama
atau sebentar mencapainya, bukan jauh dalam ukuran metrik.
Jika kita bertanya kepada orang Jepang, berapa jarak Osaka-Kyoto, orang itu
akan menjawab “satu jam”. Artinya, jarak dua kota di Kansai itu ditempuh
memakai kereta dalam keadaan normal. Atau “15 menit” jika memakai Shinkansen, bukan
40 kilometer atau 50 kilometer. Maka orang Jepang terdorong untuk terus
meringkas jarak itu dengan menciptakan kendaraan yang bisa memangkasnya.
Setiap moda transportasi adalah revolusi atas moda transportasi sebelumnya. Setelah
ditemukan sepeda motor, lalu kereta. Kereta pun berganti terus dari cepat
hingga supercepat. Orang Jepang menciptakan moda transportasi agar mereka bisa
menjangkau dua titik tanpa banyak kehilangan kesempatan lain saat mencapainya.
Maka dalam kebudayaan masyarakat itu lahir peribahasa “waktu adalah uang”.
Waktu didefinisikan sebagai sesuatu yang berharga sehingga harus dipakai
seefesien mungkin.
Di Indonesia, peribahasa yang muncul dalam soal jarak dan kecepatan adalah
“alon-alon asal kelakon” atau “biar lambat asal selamat”. Kita tak mementingkan
waktu, kita mementingkan hasil akhir. Peribahasa itu menyiratkan bahwa apapun
yang terjadi di jalan bukan sesuatu yang penting, karena yang utama adalah
“selamat sampai tujuan”.
Kita pun menjadi bangsa yang tabah di jalan. Konsep “tepat waktu” telah berubah
sangat melar. Jika kita membuat janji bertemu dengan seseorang pada pukul 8,
kita akan menghitung waktu tempuh + waktu perkiraan macet. Waktu tempuh standar
mungkin tak berubah, macet tak bisa diperkirakan kendati ada mesin penunjuk
waktu tempuh berupa Waze atau Google Maps.
Kita pun berada dalam ketidakpastian jika berada di jalan. Terlambat adalah
sesuatu yang biasa dan termaafkan karena setiap orang mafhum jarak kini menjadi
sesuatu yang sulit ditentukan. Dan ketidakpastian itu merembet pada kebiasaan
lain.
Jika kita membuat sebuah acara pada pukul 7 di undangan, realitasnya acara
dimulai sejam kemudian. Kita mafhum belaka di luar sana ada undangan yang
berjibaku dengan macet sehingga tak bisa tiba sebelum pukul 7, kendati sudah
memperkirakan waktu tempuh dan lama menempuh kemacetan. Atau kebiasan baru:
membuat undangan pukul 7 untuk acara yang dimulai pukul 8.
Konsep “tepat waktu” pun jadi berubah, dan mungkin akan terus mengalami
pergeseran definisi. Soalnya, barangkali, karena jarak tetap dipahami sebagai
rentang antara dua titik itu, bukan rentang antara dua waktu. Dari situ muncul
anggapan terburu-buru digolongkan ke dalam perbuatan yang sembrono.
Maka kemacetan di jalan tak gampang terurai dan Jepang terus menerus
menciptakan mobil dan sepeda motor baru. Kita menadahnya tanpa memikirkan cara
menampungnya.
Bahasa menentukan siapa kita. Meski setiap kata punya definisi yang dihimpun
kamus, pengertian dan makna di baliknya bergantung cara kita bersepakat
memakainya untuk faedah hidup sehari-hari.
Diterbitkan di rubrik Bahasa! majalah Tempoe edisi 12-18 Desember 2016.
No comments:
Post a Comment