Lampung Post, 16 Juli 2006
Cerpen: Bagja Hidayat
IA duduk agak ke sudut: perempuan yang berteman dengan bayangannya sendiri. Perempuan yang selalu mengajak bayangannya sendiri bercakap-cakap. Ia selalu duduk di kursi itu mulai pukul 17.30, setiap Jumat. Ini pemandangan biasa sejak setahun terakhir. Pramusaji juga sudah paham, pada jam itu, secangkir kopi harus dihidangkan sebelum perempuan itu menjentikkan jarinya ke udara. Kopi yang tak terlalu manis. Gula jangan lebih dari seujung sendok.
Cerpen: Bagja Hidayat
IA duduk agak ke sudut: perempuan yang berteman dengan bayangannya sendiri. Perempuan yang selalu mengajak bayangannya sendiri bercakap-cakap. Ia selalu duduk di kursi itu mulai pukul 17.30, setiap Jumat. Ini pemandangan biasa sejak setahun terakhir. Pramusaji juga sudah paham, pada jam itu, secangkir kopi harus dihidangkan sebelum perempuan itu menjentikkan jarinya ke udara. Kopi yang tak terlalu manis. Gula jangan lebih dari seujung sendok.
Aku pengunjung baru di sini. Cerita tentang perempuan yang bercakap dengan bayangannya sendiri hanya kudengar dari mulut orang-ke-orang. Tentu saja cerita yang sudah dibumbui gosip dan rekayasa agar terdengar lebih dramatis dan meyakinkan. Kata orang, kopi di kedai ini akan meninggalkan magnet di lidahmu. Lidahmu akan tertarik kembali ke sana jika sekali saja kau mencicipi adonan kopinya yang khas dan pas. Aku akan menjajal magnet itu sore ini. Maka aku memesan kopi paling spesial.
Aku harus sepakat dengan pengunjung lain agar jangan brisik dan sekali-kali mengganggu perempuan itu. Juga jangan sampai ia tersenyum. Kau akan menyesal telah melihatnya tersenyum. Kau menyesal kapan lagi akan bisa melihat senyum yang ramah dan teduh.
Dulu, pasti sebelum satu tahun belakangan, ia seorang penyanyi. Ini cerita yang kudapat fragmen-fragmennya dari setiap pengunjung. Seorang penyanyi yang tak cukup terkenal di kota ini tapi memberi kesan bagi sesiapa yang pernah menonton dan mendengarkan lagu-lagunya. Ia tidak menyanyikan lagu-lagu yang umum, nyanyian yang dibawakan atau diciptakan penyanyi-penyanyi lain. Ia menyanyikan puisi-puisi. Ia memainkan sendiri gitar—kadang-kadang piano—dan bernyanyi melagukan syair-syair yang ia ciptakan sendiri atau memungut sajak penyair lain.
Ia selektif memilih puisi. Ia tak pernah menyanyikan puisi yang berisi marah dan teriak. Puisi-puisi demonstrasi tak masuk dalam daftar sajak yang ia nyanyikan. Bukan pula sajak cinta yang cengeng, platonis atau melankolis. Ia melagukan puisi-puisi cinta yang bersahaja. Puisi-puisi cinta yang tenang. Kata-kata yang tak garang. Bait-bait yang meninabobokan.
Selalu ada puisi baru yang ia nyanyikan. Para pengunjung pun belum pernah membaca puisi itu sebelumnya. Sebelum bernyanyi, perempuan itu akan menerangkan sedikit tentang puisi-puisi itu: diciptakannya sendiri atau dari seorang penyair yang hidup di negara yang jauh. Ia juga menerangkan bagaimana sebuah puisi berhasil ia temukan nada-nadanya. Para penonton jadi tahu bagaimana sebuah nada tercipta sehingga setiap ruh kata tetap tersimpan. Asosiasi bunyi tetap mendekam di setiap frasa dan kalimat. Ia mampu menghadirkan lirisnya puisi-puisi itu lewat nada-nada dan irama. Penonton juga bertambah paham bagaimana kesusahan yang ia temui dalam menemukan rangkaian nada-nada itu, membunyikan musik di belakang puisi-puisi itu.
Para pengunjung bercerita, mereka bisa betah duduk berlama-lama mendengarkan nyanyian puisi perempuan itu. Padahal mereka tak pernah menyukai acara pembacaan puisi, oleh para penyairnya sekalipun. Mereka tak menikmati puisi yang dibacakan. Pembacaan puisi justru memperkosa pengalaman mereka menyesap kata-kata dalam sebuah sajak. Puisi yang dibacakan kebanyakan gagal menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.
Membaca puisi adalah pengalaman pribadi. Ekstase yang dinikmati sendiri. Ketika aku berkunjung ke sebuah pantai yang menyimpan jangkar abad lalu, aku merasakan Chairil Anwar sedang menuliskan larik-larik Senja di Pelabuhan Kecil di tempat aku duduk memandang ke lautan. Tapi ketika puisi itu dibacakan di sebuah panggung dalam sebuah acara yang kuhadiri, kata-kata yang dibacakan tak meruapkan bau pantai, tiang serta temali.
Barangkali itulah yang mengesankan bagi sesiapa yang pernah menontonnya bernyanyi. Perempuan itu mampu menghadirkan nyawa kata-kata dalam puisi lewat lagu-lagu. Para pengunjung mendengarkan dan menikmati. Mereka menikmati tafsir puisi lewat nada. Lagu-lagu perempuan itu telah berdiri sendiri bukan lagi sebagai sajak yang ditulis oleh pengalaman para penyairnya. Tapi sebagai lagu, sebagi musik.
Perempuan itu menolak mengalbumkan lagu-lagunya itu ketika seseorang menawari merekam suaranya dalam kaset atau cakram padat. Lalu dijual dengan kewajiban harus pentas ke beberapa kota. Ia memilih tetap bernyanyi di kedai itu dengan satu alasan agar orang mau datang menonton, tak perlu keluar duit ganda karena harus menonton dan membeli kaset lagu-lagunya.
Meski begitu, ia jadi cepat tenar. Berita seputar kemahirannya menyanyikan puisi cepat menyebar. Sesuatu yang tak ia harapkan, sebenarnya. Ketenaran, begitu ia pernah beralasan, candu dalam setiap penciptaan. Tapi, aku menerka, itu satu akibat yang tak bisa ditolak karena ia menyanyi begitu cakap. Bagi pemilik kedai ini, ia telah jadi iklan yang efektif. Orang-orang datang ke kedai, semula, untuk menonton perempuan itu menyanyi. Kemudian banyak yang jadi pelanggan tetap dan menghabiskan malam-malamnya di sini. Lidah mereka telah tersangkut magnet.
Orang-orang sepakat, musik-puisi telah menjadi obat bagi segala macam penyakit. Ada seorang insomnia bisa sembuh ketika mulai membiasakan mendengarkan lagu-lagu perempuan itu. Para tualang malam rela tidur di kedai sampai pagi. Mereka tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bisa tidur tanpa dipaksa, tanpa obat, tanpa terapi.
Sebagian yang lain merasa tenang hati ketika mendengar perempuan itu menyanyi. Tak perlu melihatnya memainkan gitar di panggung kecil yang dibuat seadanya. Mereka hanya perlu mendengar nada-nada yang bisa mengusir kegundahan. Maka di kedai ini, yang muncul adalah suasana ayem dan damai. Seperti ada sebuah tenaga yang mengalir-menjalar ke setiap kepala dan jiwa para penonton ketika lagu-lagu mulai terdengar. Tenaga yang mampu menyingkirkan segala kegundahan dan keluh-resah. Para pengunjung tak perlu mengerti puisi-puisi itu. Mereka hanya perlu mendengar lalu menikmati setiap lagu tanpa harus tahu arti kata-kata sajak yang dinyanyikan perempuan itu.
Seorang pemarah berubah jadi pendiam dan ramah setelah agak lama jadi pengunjung kedai ini. Para pemarah telah menghentikan terapi mengendalikan emosi ke klinik-klinik langganan mereka. Seseorang lain bercerita, para pemuda yang patah hati tak perlu berlama-lama mengutuki diri dan bisa menepiskan cinta-cinta fana.
Tapi itu sudah berlalu. Kini para pengunjung datang ke kedai bukan untuk melihat perempuan itu bernyanyi. Panggung kecil yang dibuat seadanya itu juga sudah dirombak jadi tempat lain: diisi bangku dan meja baru. Tudung piano dibiarkan menutup dan berdebu. Perempuan itu sendiri memilih duduk di sudut yang tak terlalu terang, tapi cukup cahaya sehingga bayangannya jatuh persis di mejanya. Para pengunjung datang ke sini untuk melihatnya duduk dan bercakap dengan bayangannya sendiri. Seperti aku.
Ia bercakap tanpa suara. Kadang-kadang menggeleng-gelengkan kepala. Kami tak pernah tahu apa yang sedang mereka (ia dan bayangannya) cakapkan. Seorang pengunjung membisikkan (percakapan antar pengunjung selalu dilakukan berbisik-bisik karena takut mengganggu perempuan itu) sebuah puisi yang menceritakan sesuatu yang sedang dilakukannya yang pernah ia nyanyikan :
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di
antara kami yang harus berjalan di depan*)
Benar juga. Apakah ia sedang bertengkar dengan bayangannya sendiri tentang, misalnya, apakah bayangannya mengklaim tubuh perempuan itu bayangannya juga. Mereka tak tahu harus bersyukur atau bersedih dengan perilakunya itu. Mereka sedih karena bayangan selamanya tak bisa bercakap. Mereka bersyukur karena perempuan itu sudah menemukan teman setianya. Maka yang bisa mereka lakukan hanya menonton percakapan perempuan dengan bayangannya sendiri.
Setelah agak lama mengamati, muncul penilaianku: sesungguhnya ia perempuan yang cantik. Meski parasnya tanpa teriakan-teriakan rias, tapi di mataku memancarkan keteduhan dan ketenangan. Mungkin bukan keduanya yang terpancar dari wajahnya. Sesuatu yang entah apa, tapi aku bisa menikmatinya. Mungkin wajah yang menarik. Mungkin. Aku kini setuju, jangan pernah membuatnya tersenyum.
Karena itu selain menonton percakapan perempuan dengan bayangannya, jika nanti aku datang lagi ke sini alasannya sudah bertambah : aku datang untuk menikmati wajahnya juga. Aku telah tertarik oleh keberadaannya: wajahnya, postur tubuhnya, gerak-geriknya. Dan, tentu saja, menebak-nebak apa gerangan yang bersarang dalam kepalanya? Apa yang dipikirkannya?
Selain bercakap ia juga menuliskan sesuatu di secarik kertas lalu menunjukkan pada bayangan di depannya. Seorang pramusaji pernah mengintip apa yang tertulis di atas kertas tisu itu.
Sebuah puisi, bisiknya ke setiap pengunjung. Sebuah puisi, bisik pengunjung itu ke pengunjung yang lain.
Sebuah petisi, samar-samar aku mendengar.
Seseorang yang lain pernah meminta sobekan tisu yang telah ditulisinya, namun, seperti biasa, cuma sekulum senyum yang lembut dan teduh yang ia berikan. Setelah itu tak pernah ada lagi yang berani mendekatinya. Seseorang yang berdekatan dengan perempuan itu, ya, pramusaji kedai ini saja. Pengunjung lain hanya bisa melihat perempuan itu dari kursinya masing-masing.
Tak jarang juga ia hanya duduk termangu di sana. Ia biarkan bayangannya sendiri jatuh diam di meja. Ia duduk melamun di sana. Sesekali tangannya menopang dagu lalu memegang kepala dengan dua tangannya. Atau menempelkan kening ke sisi meja. Tapi, apapun yang dilakukannya, ia tetap saja tak beranjak dari sekitar tempat duduknya.
Sebuah cerita hinggap di telingaku bahwa tabiatnya bercakap dengan bayangannya sendiri mulai dilakukannya setelah seseorang yang tak dikenal mencuri suaranya, setahun lalu. Seseorang pengunjung kedai ini. Pencuri itu menyamar sebagai penonton lalu mengambil suara perempuan itu diam-diam ketika perempuan itu lengah karena lelah sehabis menyanyi.
Berhari-hari kemudian polisi menyergap si pencuri suara itu. Tapi para polisi tak menemukan pita suara perempuan itu. Dari interogasi yang lama, polisi memberitahu pita itu telah diberikan si pencuri kepada kekasihnya sebagai kado ulang tahun. Pencuri itu mengaku nekat mencuri pita suara perempuan itu karena kecintaan pada kekasihnya yang menginginkan suara perempuan itu setelah si pencuri bercerita telah terpesona oleh suara perempuan di sebuah kedai setiap akhir pekan.
Si pencuri mengaku tak tahu keberadaan kekasihnya. Setelah ia menyerahkan pita suara dalam kado yang dibungkus dan diikat pita merah, kekasihnya tak pernah muncul kembali. Para pengunjung kedai hanya bisa geram mendengar laporan para polisi.
Mereka pernah berinisiatif membuat iklan yang dimuat koran atau ditempel di setiap sudut jalan. Iklan tentang pencarian pita suara milik perempuan yang menyanyikan puisi-puisi cinta bersahaja. Iklan itu memuat ciri-ciri dan foto kekasih pencuri itu.
Hadiahnya adalah minum kopi gratis seminggu di kedai ini. Tapi tak satupun orang yang berhasil menemukan kekasih pencuri itu dan membawa kembali pita suara perempuan itu ke sini. Para pengunjung kedai sudah habis asa bisa kembali mendengar suara merdu milik perempuan yang menyanyikan puisi-puisi syahdu.
Para pengunjung akhirnya tahu kebenaran penolakan perempuan itu ketika ditawari rekaman. Ketenaran bisa mengancam sesuatu yang dikagumi orang. Para penggemar ingin memiliki dan bersatu dengan sesuatu yang digemarinya. Para pengunjung menyesal telah menyebarkan kecakapan perempuan itu menyanyi. Padahal, perempuan itu sendiri tak pernah meminta kemahirannya disebarkan.
Maka para insomnia kumat lagi. Banyak orang kembali jadi pemarah. Para pemuda tak punya obat ketika patah hati. Orang-orang kembali sakit.
Sebuah cerita yang absurd!
Aku bangkit. Kandung kemihku sudah penuh. Toilet ada di sudut sana. Siapapun yang akan kencing harus melewati meja perempuan itu.
Aku berjalan pelan, setengah mengendap. Mataku tak lepas menatapnya hingga tiba persis di sampingnya. Tanpa kuduga ia menoleh. Aku terkesiap. Rautnya setenang telaga.
Hallo, ia tersenyum.
Aku tertegun, lupa hendak ke toilet.
[2005]
*) dari puisi Sapardi Djoko Damono, Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari.
No comments:
Post a Comment