Sepakbola berduka. Italia menjadi juara Piala Dunia dengan menyingkirkan Prancis lewat adu penalti. 5-4 untuk pasukan Marcello Lippi. Prancis menangis karena mereka kurang beruntung. David Trezeguet sedang sial hingga bola yang ditendangnya membentur mistar.
Sepakbola berduka. Dari sudut manapun tak ada nilai bagus untuk permainan Italia. Tim ini hanya mampu bertahan. Karena itu pemain terbaik Italia adalah Gianluca Buffon, kiper tangguh itu. Bagi Buffon lebar gawang masih terlalu sempit untuk ia amankan. Sepanjang Piala Dunia 2006 di Jerman, gawangnya tak sekalipun bobol. Dua bola bersarang di jaringnya oleh gol bunuh diri dan tendangan penalti Zainuddin Zidane.
Italia harusnya sudah pulang sejak melawan Australia di babak perdelapan. Pasukan Guus Hiddink jauh lebih baik permainannya dibanding Cannavaro dan kawan-kawannya. Mark Viduka dan Tim Cahill harus pulang karena wasit memberi hadiah penalti kepada Italia untuk kesalahan yang tak dibuat bek mereka di menit 92. Grosso sukses mengelabui mata wasit dengan pura-pura jatuh dan kesakitan.
Capello, bekas pelatih kkub Juventus itu, tak urung meradang. Ia menyebut diving sejenis dosa besar dalam sepakbola. Diving, barangkali, seperti fitnah, sebuah dosa tidak langsung yang menyebabkan orang lain celaka. Pemain yang berpura-pura jatuh dan mengerang di kotak penalti itu bukan meminta dikasihani wasit, tapi ingin agar orang lain dihukum, agar orang lain celaka oleh dosa yang tak diperbuatnya. Pemain yang doyan diving, mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Kepura-puraan, bagaimanapun, telah mencoreng fair-play.
Dalam partai final di stadion Berlin itu, Italia kembali ke permainan aslinya: bertahan sepanjang waktu. Prancis, dengan pasukan tuanya, terus menggempur. Mereka menghibur. Inilah inti permainan sepakbola. Di lapangan bukan soal kemenangan itu yang penting, tapi kepiawaian bermain. Johan Cryuff akan menangis setiap melihat permainan Italia. Dialah yang mempelopori total-football, sejenis postmodernisme dalam sepakbola di tahun 1966. Apapun strateginya, sepakbola akan enak dilihat jika pemain saling menyerang, meski bukan gol itu yang utama. Karena itu Belanda selalu menjadi tim juara tanpa piala. Mereka mempertontonkan permainan yang asyik kendati tak pernah bisa mencapai partai final.
Cattenacio benar-benar dilaksanakan dengan baik oleh Cannavaro dan sepuluh pemain Italia lainnya, 9 Juli kemarin. Hasilnya, Prancis bisa dipaksa beradu untung lewat adu penalti. Mereka tahu Barthez, kiper Prancis itu, tak lagi lincah seperti tahun 1998 ketika mereka menang 3-0 melawan Brasil. Barthez selalu kalah cepat dari bola yang bisa ia baca arahnya. Buffon--seperkasa apapun dia--takluk oleh adu penalti. Ia selalu salah membaca arah bola. Seandainya bola Trezeguet tak melambung hasil akhir penalti masih sama.
FIFA harus segera menghapus adu tendangan penalti untuk menentukan pemenang setelah 120 menit. FIFA harus kembali kepada kebijakan lama, ke pusaran waktu 14 abad yang lalu. Pauckakowohog dimainkan berhari-hari oleh 1.000 orang di padang-padang Indian jika skor masih imbang. Tak ada adu penalti. Pemenang harus muncul dengan fair, meskipun lawan kalah karena kelelahan. Tapi itulah permainan: tenaga juga dipertandingkan.
Sebaliknya bagi orang-orang suku Gahuku-Gama di Papua. Dari laporan ahli strukturalis Prancis, Jean-Claude Levi Strauss, kita tahu permainan bola dimainkan oleh orang Gahuku juga berhari-hari. Mereka terus bermain justru agar skor tetap imbang. Permainan bola adalah ritual, karena itu tak boleh ada yang kalah. Permainan semacam ini pun, tak mengenal adu penalti. Mengalahkan lawan itu perlu, tapi menerima kehebatan lawan jauh lebih penting.
Di Indonesia, hingga 1930, tendangan 12 langkah itu masih tabu dan dianggap tidak sopan. Para pemain akan dengan sengaja menendang ke arah samping gawang atau memelankannya jika menendang bola dari titik putih. Para algojo akan dikutuk sebagai orang tak tahu adat jika sukses menunaikan tugasnya dengan menyarangkan bola ke jaring kiper lawan.
Sejarah, karena itu, memang seringkali terasa bijak. Kini ketika sepakbola tak lagi brutal--seperti di Eropa abad 8--wasit gemar sekali menghukum pemain dengan kartu kuning dan merah. Selama Piala Dunia di Jerman sekurangnya 400 kartu dipakai wasit menghukum pemain yang dianggap melanggar peraturan.
Dunia yang modern semakin ganjil. Penalti dipakai untuk menentukan kemenangan. Efeknya, sesungguhnya, jauh lebih brutal. Bola memang bundar, tapi jika strategi permainan yang hebat harus pupus oleh tendangan penalti, bukankah bisa mengakibatkan orang jadi gila? Penalti, karena itu, cukup diberikan wasit untuk mengganjar mereka yang berbuat dosa: melakukan pelanggaran di dalam kotak penalti. Selain itu, silahkan membuat gol dengan susah payah, dengan strategi, karena di sana nilai utama permainan ini.
Kemenangan menjadi tidak elegan karena adu penalti hanya soal keberentungan. "Di kotak penalti, segalanya jadi tak berarti," pantas saja jika Jacques Derrida--filsuf Prancis itu--sudah lama mengecam adu penalti.
Argentina pun harus pulang karena tendangan Ayala dan Cambiosso bisa dibendung kiper Jens Lehmann. Padahal mereka bermain lebih baik 120 menit sebelumnya ketimbang tim Jerman yang gugup dan berangasan. Seharusnya Prancis dan Italia melanjutkan permainan keesokan harinya begitu skor masih imbang. Mereka bisa beradu strategi dan taktik lagi untuk menjadi pemenang.
Adu tendangan penalti, sekali lagi, harus dihilangkan. Piala Dunia 2006 memberi bukti tim-tim yang baik dan tangguh harus pulang karena sedang tak beruntung. Sepakbola telah kehilangan tujuan dan manfaat purba yang ingin disuguhkannya: hiburan massal. Italia menjadi juara sungguh bukan tontonan yang menghibur.
No comments:
Post a Comment