Monday, May 26, 2003

PULANG KAMPUNG KE CINANGNENG

DEEXTER Ferrier tampak heran mendapat penjelasan batang singkong yang baru ditancapkannya bisa menghasilkan berbuluh-buluh singkong jika tiba waktu panen. Di wajah siswa kelas lima sekolah dasar British International School Jakarta ini masih menggantung penasaran meski pemandu sudah menjelaskan siklus hidup ketela itu.

Sekitar 50 anak yang sebagian besar bermata biru, berambut pirang dan tak sungkan bertanya itu tambah riang ketika sampai di pinggir kali Cinangneng. Satu per satu mereka turun ke sungai dengan berpegang pada tambang yang melintang di atas sungai berbatu itu. Mereka pun nyebur ke air sedalam pinggang orang dewasa dan bergumul dengan dua ekor kerbau yang sedang berendam.

Bahkan beberapa di antaranya tak sungkan mencium pipi anak kerbau berusia satu tahun itu, naik ke punggung kerbau induk dan mencipratkan air ke kepalanya. Tampak riang. Anak-anak seperti menemukan main baru yang menyenangkan. Guru mereka, Peter Ferrier, bahkan harus memanggil beberapa kali anak-anak didiknya agar naik ke darat membersihkan diri dan berhenti bermain air. Cekikik, tentu saja, mewarnai aksi memandikan kerbau dan berendam dalam kali yang sedang surut itu.

Anak-anak itu sedang mengikuti rangkaian acara Pulang Kampoeng: paket wisata pedesaan yang diadakan oleh Kampoeng Wisata Cinangneng, Ciampea, Bogor. Dalam paket tur itu, peserta diajak berkeliling Kampung Kondang, melihat sekaligus mempraktekan bagaimana orang kampung bercocok tanam, makan combro (oncomna di jero=oncomnya di dalam), minum air kendi, menjemur padi sampai bagaimana gabah digiling menjadi beras.

Peter Ferrier mengaku sangat senang mengikuti tur itu. "Bagus untuk anak-anak karena bisa mengenal budaya tradisional Indonesia," kata wakil kepala sekolah asal Australia ini. Setelah mengikuti tur itu, aku Ferrier, ia jadi tahu bagaimana proses padi, makanan pokok orang Indonesia itu, diolah sampai menjadi nasi. "It is the real Indonesia," katanya dengan mimik kagum.

Usai memandikan kerbau, peserta makan siang di penginapan. Setelah itu pemandu akan mengumpulkan kembali peserta dan membaginya ke dalam beberapa kelompok--jika pesertanya banyak. Satu kelompok belajar main angklung, satu kelompok diajari bagaimana membuat wayang dari daun singkong, kelompok lain menari dan belajar menabuh gamelan sunda. Anak-anak dari pelbagai negara itu antusias menggoyang-goyangkan alat musik dari bambu itu sampai menghasilkan nada lagu Tatar Sunda, Burung Kakatua atau Naik-naik ke Puncak Gunung.

Jika sudah usai, giliran kelompok angklung belajar membuat wayang daun singkong. Permainan yang tak pernah mereka dapatkan. Hingga wayang-wayang bikinan tangan mereka sendiri itu dimasukan ke dalam tas dan dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Oleh-oleh lainnya bagi peserta yang termasuk dalam paket wisata adalah wayang golek, gendang kecil, obor, lodong dan angklung mini. Jika ingin mendapatkan yang lain atau jumlah lebih, peserta bisa membelinya dari penduduk yang membuat.

Di Kampung Kondang juga dibuat dua buah pondokan yang menyatu dengan rumah penduduk, semacam home stay. "Disediakan untuk peserta yang ingin menginap dan hidup bersama penduduk kampung," kata pemilik Kampung Wisata Cinangneng Hester Basoeki. Pelbagai oleh-oleh yang bisa dibeli juga disediakan di sebuah rumah yang sekaligus tempat pembuatannya. Para peserta bisa melihat langsung bagaimana cinderamata itu dibuat mula-mula hingga berbentuk barang jadi.

Tak hanya sekolah-sekolah asing di Jakarta yang meminati wisata keliling kampung ini. Menurut Hester Basoeki setiap pekan enam kamar penginapan miliknya selalu penuh. Enam unit pondok itu ditata dengan apik sesuai alam pedesaan. Selain anak-anak sekolah, banyak peserta dari kantor tertentu yang datang ke penginapannya untuk berlibur dalam jumlah banyak.

Tapi pendatang yang menginap tidak selalu ikut paket wisata Pulang Kampung. "Kalau mau paket Pulang Kampung, peserta minimal 20 orang," katanya. Bagi keluarga yang hanya lima-enam orang hanya bisa menginap di kamar penginapan yang dilengkapi kolam renang. Per malam, tarif satu buah kamar Rp 225 ribu hingga Rp 275 ribu.

Alasan dipakai jumlah minimal, kata Hester, karena dalam tur itu juga melibatkan masyarakat kampung Kondang. Oncom, air kendi, sawah yang ditanami atau dipanen padinya itu milik penduduk asli. Hester membayar penduduk-penduduk itu menyediakan oncom dan kawan-kawannya itu. "Kalau cuma sedikit, selain tidak ramai, juga biaya yang dikeluarkan terlalu besar," ujarnya.

Untuk paket wisata Pulang Kampung itu sendiri, peserta dikenai biaya Rp 75 ribu per orang. Cukup murah karena tur kampung dilakukan sepanjang hari, dari pagi sampai sore. Paket satu hari ini juga dirancang agar anak-anak itu tidak perlu menginap. Jika yang datang peserta dari sekolah, kata Hester, sebelum tur kampung dimulai, anak-anak sekolah itu dipertemukan dalam satu kelas dengan anak-anak sekolah SD Cihideung Ilir Udik yang letaknya persis di samping rumah penginapan Hester.

Menarik melihat anak-anak bule itu berbaur duduk satu bangku dengan anak-anak sekolah lokal. Mereka bersalaman saling kenal, bertukar cinderamata dan bergantian bernyanyi lagu asal negara masing-masing. Anak-anak dari benua lain itu menjadi tontonan tersendiri bagi penduduk sekitar, sampai pintu dan jendela dipenuhi anak-anak dan ibu yang menonton. "Melihat bule sebetulnya sudah biasa sejak ada kampung wisata, tapi peserta selalu jadi tontonan tersendiri," kata Hester.

Hester terus memperbarui program paket wisata yang benar-benar bercirikan pedesaan. "Saya tidak ingin menghadirkan tempat wisata seperti pedesaan, tapi betul-betul pedesaan," katanya. Kini ibu dua anak itu sedang merancang paket wisata ronda keliling kampung pada malam hari. Peserta akan dibawa keliling kampung pada malam hari sambil membawa obor, bercengkrama dengan penduduk kampung dan memakan makanan yang dibuat oleh penduduk kampung yang dilewati.

Bagi penduduk sekitar kehadiran Kampung Wisata yang sudah berdiri sejak sepuluh tahun silam itu menjadi berkah tersendiri. Selain bisa berinteraksi dengan orang kota, mereka juga bisa mendapat pekerjaan dengan menjadi pembuat produk oleh-oleh atau menjadi pemandu.

Hester bercerita, pernah suatu kali ia ingin yang jadi pemandu bercocok tanam dari mahasiswa. Tapi para mahasiswa itu tak mampu memberi contoh dan menjelaskan secara sederhana proses menanam tanaman di kampung itu. "Justru ada orang kampung sini yang paham betul suatu tanaman ditanam hingga jadi bahan makanan," puji Hester. Alhasil, para penduduk itu yang fasih membuat kagum Ferrier dan kawan-kawan.

Friday, May 23, 2003

BENTENG UJUNG PANDANG




Di buku saku panduan pariwisata Sulawesi Selatan, benteng Ujung Pandang menempati urutan pertama lokasi wisata yang ditawarkan. Alasannya, tentu, selain lokasi benteng ini relatif dekat dan mudah dijangkau dari pusat kota, juga berdekatan dengan lokasi wisata lainnya semisal Pantai Losari dan pusat belanja Somba Opu.

Begitu sampai di depan benteng, sebuah tugu bertulis Fort Rotterdam menancap di halaman rapi berlapis batu seluas kurang lebih 10 x 10 meter. Gerbang kayu dengan dua daun pintu setinggi 3,5 meter terbuka dijaga seorang satuan pengaman. "Silahkan isi buku tamu dan bayar," katanya. Setelah mencoretkan nama dan membayar uang sukarela, wisatawan bisa dengan leluasa berkeliling benteng yang dirintis oleh Raja Gowa IX Tumaparisi Kallona.

Ada lima belas bangunan berarsitektur Eropa abad pertengahan dalam benteng itu. Bangunan yang berderet di sekeliling benteng digunakan sebagai Museum La Galigo, kantor museum, kantor suaka purbakala, Dewan Kesenian Makassar dan Dewan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia. Sedangkan bangunan yang letaknya di tengah dipakai sebagai aula. Taman merupakan ruang kosong antara aula dengan gedung yang diisi dengan kursi-kursi tembok.

Sebelum Belanda datang, di dalam benteng diisi rumah-rumah bertiang tinggi khas rumah Makassar. Setelah benteng jatuh ke pasukan Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman, benteng berubah nama menjadi Fort Rotterdam. Speelman memakai nama ini untuk mengenang kota kelahirannya: sebuah kora pelabuhan di Rotterdam, Belanda. Benteng pun berubah fungsi menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pertahanan dan tempat tinggal para petinggi Belanda.

Bangunan-bangunan berlantai dua dengan pintu rendah itu di kelilingi tembok setebal dua meter dengan tinggi 5-7 meter. Seluruh bangunan dicat warna krem dengan tiang merah gelap. Ada enam bastion di setiap sudut benteng dengan nama yang berbeda-beda. Bastion Base, di sebelah kanan benteng, merupakan tempat favorit untuk duduk menyaksikan matahari tenggelam ditelan Pantai Losari.

Benteng seluas 21.253 meter persegi ini juga disebut Benteng Pannyua. Nama ini merujuk pada bentuk benteng jika dilihat dari atas. Bangunan-bangunan itu dikelilingi tembok yang bersambung berbentuk elips dan pintu yang menjorok ke luar. Sehingga jika dilihat dari atas, pintu masuk itu seperti kepala penyu menghadap dan siap turun ke laut.

Museum La Galigo menempati bangunan nomor lima dan tiga belas sebagai ruang pameran di dalam benteng. Raja Gowa X Tunipallangga Ulaweng menyelsaikan pembuatan museum ini pada 1545. Di dalamnya kini tersimpan lebih dari 6.000 koleksi benda purbakala seperti batuan, fosil, benda bentukan alam, naskah kuno, mata uang, tanda pangkat. Dari jumlah koleksi itu, koleksi etnografi menempati urutan jumlah terbanyak. Nama La Galigo sendiri diambil dari nama seorang sastrawan, budayawan dan negarawan asal provinsi ini.

Sayang, museum ini libur setiap Sabtu dan Minggu. Alhasil, jika tidak mengetahui sebelumnya, wisatawan bisa kecele karena tidak bisa melihat benda-benda sejarah di museum itu. Seperti dua orang Kediri yang datang ke museum dengan taksi. "Wah, saya jauh-jauh datang dari Kediri, nih," katanya dengan nada kecewa setelah diberitahu petugas keamanan, museum tutup pada hari Sabtu.

Keduanya hanya bisa melihat-lihat berkeliling bangunan dalam benteng. Atau menyusuri benteng setinggi lima meter yang mengelilingi museum dari bastion satu ke bastion lain. Namun, kata petugas museum Nurdiansyah, ruang pameran di bangunan nomor lima dan tiga belas selalu buka meski kantor museum libur. Karena sedikit pengunjung, kata petugas yang ditemui dua orang Kediri, semua bangunan tutup karena Sabtu.

Kata Jalil Malik, petugas keamanan itu, setiap Sabtu, taman dalam benteng itu dijadikan ajang latihan teater, tari dan kegiatan seni lainnya oleh anak sekolah dan pekerja seni setempat. Ani, misalnya, siswa kelas 3 SMU 2 Makassar mengaku rutin berlatih teater dengan teman-temannya di dalam benteng setiap Sabtu. "Ini termasuk kegiatan ekstrakurikuler juga," katanya di sela-sela latihan.

Jika di Jakarta ada Taman Ismail Marzuki sebagai tempat kumpul para seniman, di Makassar, benteng Ujung Pandang-lah yang menjadi pusat kongkow anak muda dan seniman. Tidak semua anak muda, memang, yang datang ke dalam benteng untuk berlatih kesenian. Beberapa di antaranya duduk berpasang-pasangan di bangku taman yang tenang. Atau menghabiskan sore melihat senja memerah dengan duduk di atas benteng.

Menurut Kepala Tata Usaha Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bahri Samsu, benteng Ujung Pandang sudah menjadi semacam ruang publik sejak ditetapkan sebagai Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan pada 27 April 1977. Namun, kata Bahri, anak-anak muda itu hanya berlatih saja di dalam benteng. Pementasannya sendiri kini dipusatkan di Gedung Pusat Kesenian di dalam kota.

Benda-benda purbakala di dalam museum, kata Bahri, setiap tahun bertambah. Saat pertama kali diresmikan pada 1 Mei 1970, museum hanya memiliki 50 potong benda purbakala. Benda-benda yang kini sudah mencapai ribuan itu, kata Bahri, diperoleh dari kolektor yang menyumbangkan benda koleksinya untuk museum.

Benda sejarah yang paling banyak memikat pengunjung adalah duplikat mahkota (salokoa) Raja Gowa yang beratnya mencapai 1.867 gram. Mahkota asli itu kini tersimpan di museum daerah Ballalompoa Kabupaten Gowa. Selain itu alat pertanian dan baju tradisional peninggalan tahun 1732 menjadi pusat perhatian setiap pengunjung.

Di salah satu bangunan tercatat sebagai ruang Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari akhir saat ditahan Belanda selama 27 tahun hingga wafat pada 1855. Ruang itu, kata Bahri, juga menjadi incaran para wisatawan. "Tapi belum ada penelitian ilmiah yang menyebut ruang mana yang dipakai Pangeran Diponegoro menjalani penahanan," kata Bahri.

Di ruang yang dipercaya tempat Diponegoro tidur itu sendiri tidak tersimpan apa pun. Sebelum ada kunjungan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Soesilo Sudarman pada 1992 kondisi ruangan itu kotor. Kata Bahri, sebuah perusahaan mensponsori renovasi ruangan itu, hingga kini tampak bersih dan terawat.

Tapi, tidak semua pengunjung bisa menyerap keterangan setiap bangunan berikut sejarah dan isinya. Hanya sedikit informasi yang disajikan dalam benteng ini. Papan informasi di pusat benteng sudah lama tak lagi diperbaharui dengan sedikit menyinggung sejarah dan peranan benteng Ujung Pandang dari masa ke masa. Padahal, keterangan itu penting, tentu saja, untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke benteng yang menjadi pusat sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan itu, seperti ditawarkan dalam panduan wisata itu.

Friday, May 09, 2003

SOCRATES




Menikah membuat engkau menyesal, tapi tak menikah membuat engkau lebih menyesal ~ Socrates

Socrates mungkin benar. Pada usia 50, ia menikah dengan Xanthippe--yang judes, mudah marah, dan dijuluki si kuda tua. Keduanya juga aneh. Socrates mungkin bukan suami ideal. Ia gemuk, pendek, dan hidungnya tak beraturan. Pergi pagi-pagi dari rumah tak membawa hasil. Dan pergi lagi tengah malam jika ada acara yang harus dihadiri.

Hobinya diskusi siang malam dan di mana saja. Ini mungkin karena dia beristri Xanthippe. Suatu saat ia bilang begini, "Kawinlah. Jika kau dapat istri yang baik kau akan bahagia," katanya, "Kalau dapat istri yang jelek, kau akan jadi ahli filsafat." Kita tidak tahu apakah karena itu ia makin tajam pemikirannya di akhir hidupnya yang merana. Ia dipaksa minum racun cemara karena mempertahankan ide-idenya.

Tapi, jelas, filsuf yang hidup 469-399 SM ini tak bahagia. Suatu kali, Xanthippe mengusir Socrates karena jengkel mendengar diskusi yang tak berkesudahan. Teman-teman Socrates pun kabur menghindar amuk si kuda tua. Tapi, di luar rumah, mereka mencari kursi dan melanjutkan diskusi yang tertunda.

Xanthippe makin geram. Socrates yang sedang berkerut di halaman disembor air seember. "Kau tahu, Kawan," kata Socrates dalam kuyup," setelah guntur pasti akan turun hujan." Diskusi pun terus berlanjut.

Maka, Socrates menyesal telah menikah. Ia kini tak lagi bisa bebas berkeliaran ke setiap sudut kota menyapa setiap orang dan bertanya tentang arti hidup, penciptaan, dan Tuhan. Tak lagi bebas ke mana-mana tanpa sendal. Xanthippe selalu mengawasi. "Tapi ini resiko," katanya, "agar hidup tak lebih menyesal."