Wednesday, July 26, 2017

AKAR PENINDASAN: PRASANGKA

Pemisahan penduduk kulit putih dan hitam
di Alabama tahun 1930-an.
Foto oleh Getty Image
PENINDASAN berasal dari prasangka. Kalimat ini diucapkan Bu Gates, guru sekolah dasar di Desa Maycomb—kampung fiktif yang diciptakan Harper Lee dalam novel To Kill A Mockingbird. Ini kampung kumuh dengan orang-orang yang akrab tapi saling curiga di dekat sungai Alabama di selatan Amerika. Di tahun 1933 itu, depresi hebat yang menghunjam dunia akibat malaise sampai juga di kota ini.

Dan penindasan itu menimpa Tom Robinson. Negro yang malang ini dituduh menganiaya dan memperkosa perempuan muda kulit putih pada 21 November 1934. Di tahun 1930-an, negro di Amerika belum dianggap sebagai manusia seutuhnya. Rasialisme di sana berkembang bahkan jauh setelah R.A Kartini menyuarakan persamaan hak penduduk tanah jajahan nun di Jepara. Dan Tom diajukan ke peradilan karena ia seorang negro.

Bagi orang kulit putih, negro berarti bersalah, picik, jahat, bejat. Maka Tom yang tangan kirinya buntung diajukan ke muka hakim dengan tuntutan vonis mati. Atticus Finch, seorang pengacara berhati malaikat, membelanya. Ia bisa membuktikan negro 24 tahun itu tak bersalah karena luka-luka di tubuh perempuan kulit putih itu khas akibat pukulan orang kidal. Atticus berhasil mengungkap penganiaya perempuan itu tak lain ayahnya sendiri.

Dengan prasangka dan curiga yang sudah mengakar di masyarakat Maycomb, pembuktian Atticus itu sia-sia. Para juri tetap menyatakan Tom bersalah dan ia dikirim ke penjara. Di sana ia dibunuh sipir dengan alasan negro itu hendak melarikan diri. 17 peluru membolongi tubuhnya yang hitam. Prasangka berubah jadi pembantaian.

Guru muda di Maycomb itu tengah menjelaskan kekejaman Hitler di Jerman ketika menjelaskan soal kecurigaan dan demokrasi. Maka Jean Louise Finch, anak perempuan 8 tahun yang menjadi pencerita dalam novel ini, bertanya kepada guru itu: mengapa orang Maycomb bisa kompak membenci Hitler yang jauh sementara bisa menindas Tom yang menjadi tetangga mereka sendiri? Mengapa orang Maycomb setuju Hitler bersalah karena memburu Yahudi di saat bersamaan mereka membenci para negro yang membantu kerja-kerja kasar di kampung ini?

Guru itu tak bisa menjawab. Di Maycomb yang rudin hanya orang seperti Atticus yang bisa menjelaskan pertanyaan pelik itu dengan jitu, lewat perbuatannya. Ia tak ragu membela Tom lalu menolong jandanya yang harus bekerja menghidupi tiga anak kecil. Atticus menerima saja diludahi Bob Ewell—ayah yang menyiksa putrinya itu—karena tak terima dipermalukan di pengadilan. Atticus malah meminta adik Bob jadi juri di salah satu sidangnya.

Bagi Atticus tak ada manusia yang jahat. Bagi dia, hanya ada manusia yang belum sadar. Dalam hidupnya yang menduda, ia selalu mengingatkan kedua anaknya bahwa penilaian buruk terhadap orang lain adalah akar ketidakadilan. Ia tak pernah menilai orang atas pikiran dan perbuatannya. Alih-alih menerima pengaduan anak-anaknya yang mendapat perlakuan jahat dari tetangga yang usil, Atticus malah menyarankan keduanya meminta maaf. Bagi dia, tak ada akibat tanpa sebab.

Soalnya, kata Atticus, penindasan bisa dilakukan siapa saja. Ketika ia dihujat semua orang kulit putih di Maycomb karena membela Tom, pada saat yang sama orang-orang negro juga menolak dua anaknya masuk gereja mereka. Para negro itu marah atas prasangka dan kesemena-menaan orang kulit putih kepada mereka. Atticus percaya pada hukum sosial ini: penindasan kepada orang lain akan berbalas penindasan juga. Demikian seterusnya.

Dalam seluruh novel yang alurnya dihidupkan dengan dialog ini kita menyaksikan betapa suci orang seperti Atticus. Ia tak pernah salah meski dianggap keliru oleh orang lain. Dan Atticus tak pernah mempedulikan anggapan orang kepadanya. Ia menanamkan jalan pikiran seperti itu kepada anak-anaknya. Karena prasangka, katanya, bisa membunuh akal sehat.

Jean Louise, yang dipanggil Scout, dan James Finch (kakaknya yang lebih tua empat tahun) membuktikan itu. Di akhir cerita, Jem yang hendak dibunuh Bob Ewell diselamatkan oleh Boo Ridley, orang yang mereka curigai sebagai laki-laki aneh dan asosial karena tak pernah keluar rumah selama 25 tahun. Prasangka, pada tokoh-tokoh yang baik, akan berbalas kebaikan.

Harper Lee memang tak menjelaskan lebih rinci soal ini. Tapi dari ceritanya—yang mirip kisah hidup Lee karena banyak peristiwa dan tokoh nyata yang mirip (Dill digambarkan sangat mirip Truman Capote)—ada upaya membedakan prasangka rasial dan kecurigaan wajar dalam hubungan sosial.

Toh, Atticus Finch mengingatkan anak-anaknya ketika Scout, Jem, dan Dill berusaha menelisik profil Boo Readley: jangan ganggu dia karena betapa pun anehnya ia telah memilih jalan hidup dengan mengurung diri di dalam rumah. “Kita tak bisa memaksakan apa yang kita anggap benar kepada orang lain,” kira-kira begitu katanya.

Alangkah indahnya jika semua orang seperti Atticus Finch.

Monday, July 10, 2017

RAWA-RAWA JEPANG



JEPANG seperti rawa-rawa: menyedot habis ideologi yang datang kepadanya hingga tunas apa pun tak akan tumbuh. Shūsaku Endō membuat tamsil ini untuk melukiskan periode paling gelap sejarah Jepang yang menolak Kristus dan iman Katolik di abad 16 dalam novel Chinmoku, yang diindonesiakan menjadi Hening dari versi Inggris oleh Gramedia. Martin Scorsese mendaur-ulangnya menjadi film,dengan bintang Andrew Garfield dan Liam Neeson, yang rilis akhir tahun lalu.

Garfield berperan sebagai Sebastian Rodrigues, padri Portugal yang dikirim gerejanya untuk menyelidiki kemurtadan Christovao Ferreira. Rodrigues adalah murid Ferreira. Ia tak percaya berita yang dibawa para pelaut Inggris dan Belanda yang Protestan dengan menyebut gurunya itu telah mengkhianati imannya karena tak tahan mendapat siksaan dari para samurai.

Ia pun berlayar ditemani dua padri lain. Mengitari Afrika menuju Goa di India untuk mendarat di Makau. Perjalanan mereka kurang lebih dua tahun. Dari Makau mereka harus menyelundup memakai jung bocor karena para gubernur Jepang telah memutus hubungan dagang dan diplomatik dengan Portugal.

Tak pernah terlacak dengan jelas penyebab pemutusan itu. Gejala xenophobia mula-mula terbit pada 24 Juli 1587, ketika Shogun Hideyoshi mengusir semua padri dari tanah Jepang saat mabuk. Sejak itu, meski surat pengusiran itu dicabut beberapa hari kemudian, sejarah gelap Katolik di Jepang dimulai. Hideyoshi benar-benar menetapkan pengusiran orang Kristen dan padri sepuluh tahun kemudian karena tersinggung oleh bualan para pelaut Spanyol yang menyebut besarnya kerajaan mereka tersebab jasa-jasa para misionaris.

Sebanyak 26 orang Kristen dan padri disalibkan pada pagi dingin Februari 1597. Kini, kita bisa menemukan tugu peringatan kematian mereka di dekat stasiun Nagasaki. Padri-padri lain diburu untuk agar mereka mengingkari iman Katolik, termasuk Ferreira. Ia sudah 33 tahun tinggal di Jepang dan punya pengikut sekitar 200 ribu, 10 persen penduduk Jepang yang menganut shinto ketika itu.

Ferreira ditangkap dan ia menyerah setelah menjalani hukuman ana-tsurushi—badannya diikat hingga sedada lalu digantung terbalik dan kepala dimasukkan ke dalam lubang kotoran hingga lutut. Agar tak cepat mati, jidatnya disilet sehingga darah yang berbalik menetes pelan-pelan ke telinga dan mulutnya. Mereka yang disiksa dengan cara ini akan mendengkur sepanjang waktu menahan kesakitan, lalu mati setelah sepekan. Rekor terlama adalah seorang perempuan Jepang yang menolak mengkhianati imannya terjungkir selama 14 hari sebelum sekarat.

Ferreira hanya bertahan enam jam. Ia menyerah dan menyatakan berhenti mengimani Yesus, menginjak-injak gambar Maria, dan berkhotbah bahwa ajaran Kristus penuh kepalsuan. Untuk membuktikan aib terbesar itu, Rodrigues berlayar ke Jepang. Juan de Santa Marta sampai ke Makau karena meninggal akibat malaria. Hanya ia, yang berusia 27, dan Fransisco Garrpe yang berhasil mendarat di Tomogi, sebuah dusun miskin dekat Nagasaki.




Investigasi Rodrigues dan misinya menyebarkan ajaran Yesus secara sembunyi-sembunyi di Jepang menjadi cerita menegangkan sepanjang novel ini. Ia dibantu Kichijiro, orang Jepang yang hidup tersaruk-saruk di Makau, bertemu dengan komunitas Kristen di Nagasaki. Hubungan Kichijiro dan Rodrigues digambarkan sebagai hubungan Yudas dengan Yesus menjelang penyaliban. Ia membantu, ia membual, tapi ia juga yang melaporkan persembunyian Rodrigues kepada para pejabat provinsi untuk imbalan 300 kepeng.

Lewat cerita dari mulut ke mulut, pelan-pelan Rodrigues mendapatkan cerita utuh biografi Kichijiro. Sebetulnya ia orang Katolik, tapi menyerah ketika dihukum gantung-terbalik bersama keluarganya. Hanya ia yang dibebaskan, lalu kabur ke Makau dengan perasaan bersalah yang tak tertanggungkan. Hidupnya yang miskin dan jiwanya yang lemah membuat ia menyerah pada uang dan ketakutan.

Rodrigues pun ditangkap. Namun, tak seperti yang ia dengar soal penyiksaan para padri, Gubernur Inoue—shogun yang memerintah Nagasaki ketika itu—memperlakukannya dengan baik. Di dalam sel, Rodrigues diberi makan tiga kali sehari, diajak masuk istana, dan diizinkan membantah pernyataan Inoue yang terkenal kejam. Rupanya itu perangkap agar ia lemah secara psikis sehingga gampang ditaklukkan ketika disiksa.

Rodrigues berpindah-pindah tempat tahanan. Setiap kepindahan ia dihadapkan pada adegan penyiksaan yang brutal penganut Kristen. Umatnya di Tomogi diikat dengan tikar jerami lalu dicemplungkan ke laut dalam. Pengikutnya di Nagasaki disalibkan di tepi laut hingga air pasang menghantam dan memakannya. “Lihatlah, Tuhan kalian tak menolong mereka,” kata seorang samurai. “Anda yang harusnya berkorban untuk mereka juga diam saja.”

Rodrigues menghadapi dilema paling menyakitkan dalam hidupnya sebagai padri. Pikirannya terseok-seok antara rasa bersalah tak bisa menolong umatnya dan keteguhannya memegang iman Katolik. Para algojo itu hanya meminta satu hal saja sebelum eksekusi: ingkari imanmu, wahai Bapa, maka semua siksaan ini akan berhenti. Orang-orang Kristen akan terbebas dari perburuan dan siksaan yang menyakitkan. “Katanya Anda datang ke sini untuk berkorban bagi mereka,” kata samurai yang lain. “Tapi justru merekalah yang berkorban untuk Anda.”

Rodrigues terdiam. Hatinya runtuh. Tapi ia diam. Ia tetap bungkam ketika menyaksikan Garrpe, yang berpisah di Tomogi untuk menghindari pengejaran samurai, mati tenggelam. Padri ceking itu memilih mengejar umatnya yang dicemplungkan ke laut lalu mati digulung gelombang. Garrpe memilih iman ketimbang mengingkarinya. Sementara Rodrigues hanya diam, tak berbuat  apa pun.

Hingga ia bertemu Ferreira di istana Inoue. Padri tua itu benar telah murtad. Ia bahkan tengah menulis buku dalam bahasa Jepang tentang kepalsuan ajaran Yesus. Tapi bukan di sini suspens novel yang mendapat Penghargaan Tanizaki ini. Ferreira dan Rodrigues terlibat debat sengit tentang iman, tentang Tuhan, tentang penyelamatan derita manusia. Argumen-argumen Ferreira sangat kokoh sehingga orang Katolik Nagasaki marah setelah membaca novel itu. Endo seperti merayakan ketidakhadiran Tuhan dalam derita manusia.

Di luar Rodrigues, nama-nama dalam novel ini bisa dilacak dalam buku sejarah Jepang dan catatan-catatan para pelaut Inggris dan Belanda. Kejadian-kejadian utama dalam novel ini juga tersimpan di museum-museum di Tokyo atau Kyoto. Agaknya, Pak Endo mendasarkan profil padri muda Rodrigues pada sosok Giuseppe Chiara, padri Italia yang menyebarkan ajaran Katolik di Jepang pada periode itu.

Dalam pelbagai wawancara, Endo, yang meninggal pada 1996 di usai 73, menyebut novelnya yang terbit pada 1966 ini sebagai karya sastra, bukan kitab teologi. Ia tak ingin mengkritik kelemahan iman Ferreira atau kepercayaan Jepang menolak Katolik. Ia ingin menguji tarik-menarik antara tradisi Jepang dan iman Katolik yang berkelindan dalam pikiran dan hatinya sejak lahir. “Saya harus mendamaikan konfrontasi rawa-rawa Jepang dan iman Katolik dalam diri saya,” katanya.

Meski akhir cerita novel ini tak sesuai harapan, saya membacanya dalam sekali duduk....

Saturday, July 01, 2017

CATATAN MUDIK (2)

KAMPUNG-kampung selalu mengejutkan setiap mudik Lebaran. Jalan-jalan makin sibuk dengan sepeda motor dan mobil, berkode polisi B atau D atau F. Tak ada yang naik sepeda atau jalan kaki. Anak-anak muda dengan rambut dicat dan model spike serta telinga ditindik mengebut di jalanan kecil yang kini beraspal.

Pada hari kedua Idul Fitri tahun ini para tetangga saling berkunjung dengan keluhan yang sama: tak ada gas sehingga tak ada bahan bakar untuk memasak. Gas-gas melon 3 kilogram sudah habis isinya untuk menanak ketupat dan obor juga sayur cabe hijau sehari sebelum Lebaran. Sementara warung-warung kehabisan stok gas karena pemasoknya di pasar kecamatan masih tutup.

Seorang tetangga menertawakan keluhan akan kebutuhan pokok itu. Katanya, ketika masih memakai hawu mereka tak mengeluh tak ada gas. Ketika butuh untuk memasak mereka tinggal ke hutan mencari kayu bakar. Kini hawu sudah ditinggalkan karena orang-orang kampung mengikuti program pemerintah beralih memakai gas yang konon ramah lingkungan. Dan program itu punya konsekuensi tak sedikit.

Gas membutuhkan uang tunai karena bahan bakar ini tak bisa diproduksi sendiri. Dan uang tunai tak cocok dengan sistem hidup orang kampung. Saya baru sadar kakek-nenek dulu bahkan tak punya dompet untuk menyimpan uang. Simpanan mereka adalah huma dan sawah, juga kebun di hutan, yang dipanen bergiliran selama setahun.

Setiap kali mendapat uang dari hasil menjual palawija—karena padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari—uang panen itu dijadikan deposit di toko-toko alat pertanian. Ketika membutuhkan pupuk untuk musim tanam berikutnya mereka tinggal ambil dari toko itu. Sisanya disimpan di bawah bantal untuk membayar upah nyangkul. Itu pun jika ia dan menantunya tak cukup punya tenaga menggarap semua ladang.

Hidup sehari-hari pun nyaris tak perlu uang tunai. Padi mengambil di lumbung, sayuran memetik di kebun, ikan mengambil di balong dekat rumah, atau menyembelih ayam dari kandang, bahan bakarnya mengambil ranting-ranting di hutan sambil lalu pulang dari ladang. Hari-hari berjalan dengan rutin, kenyang, tanpa beban pikiran.

Kebutuhan akan uang tunai di zaman sekarang itu mendorong orang kampung tak lagi bertani. Mereka lebih senang pergi ke kota: ke Depok, Bandung, Jakarta, Cikarang, Cibitung. Jika bukan berdagang es cingcau keliling, mereka tetap punya pekerjaan karena kota membutuhkan tenaga mereka saat membangun infrastruktur dengan menjadi buruh bangunan. Tiga-empat bulan penghasilannya melebihi pendapatan satu musim bertani.

Menanam kacang tanah atau jagung perlu waktu tiga bulan dengan hasil panen tak seberapa. Ayah saya punya 500 bata atau sekitar 7.000 meter persegi sawah yang ditanami jagung dan kacang tanah. Sekali panen hanya menghasilkan Rp 7 juta. Setelah dikurangi modal (ongkos pekerja, biaya pupuk), untungnya cuma Rp 2 juta. Ia tak pernah menghitung tenaganya sendiri mengontrol ladang saban hari.

Untung Rp 2 juta itu bisa dihasilkan dalam waktu satu hingga dua bulan bagi buruh kasar. Penghasilan lebih besar lagi dari berdagang asongan atau bergiliran menjaga warung gerobak di Jakarta. Uang tunai itu pun bisa dipakai untuk membeli gas buat memasak bagi keluarganya di kampung. Jika gas habis mereka tinggal jajan. Untuk pertama kali sejak tahun lalu, ada tetangga yang membuka warung nasi dan lauk-pauknya!

Maka bertani bukan pilihan dengan gaya hidup seperti itu. Apalagi bertani zaman sekarang jauh lebih berat. Saat malam takbir, orang-orang malah menginap di sawah karena cemas tanaman mereka diserbu babi yang lapar dari gunung.

Karena hutan tak lagi digarap, bukit-bukit jadi rimbun akibat tak terjamah manusia. Babi bersarang di sana dan turun ke ladang mencari makanan ketika malam. Kini Pasir Muncang nyaris tak bisa disambangi karena jalan setapak yang dulu licin tak ada lagi. Jalan Rupit sepi seperti dihuni kembali oleh hantu-hantu.

Dulu tak ada babi karena orang kampung menggarap kebun hingga bukit-bukit di jauh hutan, yang perjalanannya saja menghabiskan dua jam jalan kaki. Babi-babi pun terhadang tak bisa masuk kampung. Kini hutan-hutan itu tak digarap, atau dibiarkan dengan hanya ditanami jati atau jabon, menjadi habitat babi yang kian dekat dengan persawahan. “Sekarang gunung-gunung sudah dijual ke investor dari Jakarta,” kata seorang tetangga. Tak ada orang kampung yang tak paham arti kata “investor”.

Di sawah dan hutan memang tak terlihat lagi anak-anak muda. Soalnya, selain tak ada mereka yang menggarap sawah, tak ada lagi remaja selepas SD menjadi gembala kerbau atau sapi. Teman-teman SD saya punya siklus hidup yang bisa ditebak: sekolah untuk bisa baca-tulis, lalu menggembala kerbau milik orang lain, kawin dengan pekerjaan sebagai petani, dan menjalani hidup nyaris tanpa gelombang.

Upah menggembala kerbau itu bukan uang, tapi anak kerbau. Dengan sistem bagi hasil itu, dalam lima atau tujuh tahun seorang remaja lulusan SD punya dua kerbau hingga ia siap kawin dan memulai hidup mandiri sebagai petani.

Siklus itu tak ada lagi kini. Mereka yang masih menggarap sawah bahkan membajak memakai mesin. Tak ada lagi kandang kerbau atau sapi di ladang yang mengepulkan asap sepanjang malam meruapkan bau jerami kering yang dibakar oleh gembala yang pulang menjelang magrib. Tak ada lagi cahaya cempor yang kelap-kelip dari kadang kerbau di punggung-punggung bukit.

Mereka yang masih giat ke kebun adalah orang-orang beruban dengan kulit keriput dan mata lamur, generasi seangkatan bapak saya. Orang-orang tua kian sadar pentingnya sekolah untuk anak-anak mereka, selain pemerintah kian banyak mendirikan sekolah menengah dan atas di kampung-kampung. Dan agaknya bukan zamannya lagi sepulang sekolah anak-anak itu mencari rumput untuk makan kambing.

Sepulang sekolah mereka bermain game, di telepon seluler atau kios PlayStation. Lagi-lagi main games membutuhkan pulsa dan uang tunai. Bisnis paling laris di kampung sekarang adalah berjualan pulsa dan nomor telepon.


Setelah lulus SMA atau SMK anak-anak itu mencari pekerjaan di kota. Jika tak mendapat pekerjaan formal di perusahaan di Cikarang atau Cibitung, mereka berdagang. Beberapa yang lain sukses membuka bisnis dengan ratusan karyawan di kota kabupaten. Mereka pulang ke kampung tiap Lebaran dengan mobil dan sepeda motor.

Saya menjadi bagian dari gelombang urbanisasi itu, yang mengutuk macet di balik kemudi, seraya mencemaskan kejutan-kejutan dari kampung setiap mudik Lebaran...