Thursday, July 23, 2015

DI JALAN ABBEY


JALAN konon semacam miniatur peradaban. Di jalanan berlaku segala jenis hukum mengatur lalu lintas orang-orang. Ada hukum sosial yang tak menerakan aturan-aturan kepatutan secara tertulis, ada hukum positif yang diwakili marka, tanda, lampu, garis. Jalanan juga tempat bagus menguji kesabaran dan kadar respek antar pengendara.



Maka di Abbey Road, di zebra cross yang terkenal karena The Beatles itu, tak ada klakson yang menyalak meski orang lalu lalang dan berhenti di tengah jalan untuk dipotret menirukan gaya grup musik pop Inggris itu nampang untuk sampul album ke-11 mereka pada 1969. Setiap pengendara mafhum orang yang berkerumun itu adalah turis yang merayakan mimikri sebagai bagian dari eksistensi.


Di luar soal itu, aturan lalu lintas di Inggris memang melarang para pengendara menyerobot penyeberangan jika di depannya ada pejalan yang melintas. Apalagi jika pejalan itu sudah melambaikan tangan. Di jalanan Inggris, pejalan kaki menempati hierarki tertinggi. Kamera-kamera pengawas akan bersaksi di pengadilan soal siapa yang bersalah jika ada sebuah aksiden berakhir di muka hukum.

Mobil berhenti ketika ada yang berpose.
Aturan lalu lintas Inggris menyebutkan pengendara mobil keliru jika tetap menerobos jalan ketika pejalan sudah menginjakkan kaki di zebra cross, apalagi jika pejalan sudah melambaikan tangan karena kadung melangkah sementara lampu menyeberang keburu merah. Di persimpangan yang tak memasang tombol tanda menyeberang, seperti di Abbey Road, hukum sosial dan jalanan berlaku seperti itu.

Maka tak ada yang berani memacu mobil jika melintas Jalan Abbey. Para pengemudi pasti berhenti karena di penyeberangan itu ada sedetik yang sedang berpose. Saya pernah melihat seorang perempuan diteriaki karena membunyikan klakson dan tetap melaju meski ada yang sedang berpose di tengah jalan itu. Di Abbey Road, berpose di tengah jalan sudah jadi kaidah umum sehingga yang menentangnya berarti menantang kaidah umum itu.

Menyeberang jadi wisata keluarga.
Sanksi bagi yang melanggar hukum lalu lintas di Inggris amat berat. Jika menerobos penyeberangan sementara ada pejalan yang masih di zebra cross, izin mengemudinya akan dipotong 3 poin dari 12 poin dalam setahun. Jika melanggar lagi akan didenda hingga SIM yang berlaku seumur hidup itu dicabut. Setelah itu masih ada skorsing tak boleh menyetir selama 1 tahun. Untuk mendapat SIM baru meski mengulang proses rumit dan berbelit itu dari awal lagi.

Ooops...
Mungkin begitu di jalanan, di sebuah peradaban, hubungan sosial antar penduduknya diatur sedemikian rupa oleh hukum yang memungkinkan hidup yang rutin berjalan harmonis.

Sunday, July 05, 2015

KONTEKS KALIMAT

Majalah Tempo, 22 Jun 2015

Bagja Hidayat*

Di sebuah grup WhatsApp, kelompok bincang dalam telepon seluler, ada percakapan seperti ini:

- Halloo, teman, tanggal berapakah Lebaran?
+ Hallooo, Insyaallah tanggal 1 Syawal
- Yeee, tanggal Masehi dooong
+ Ah, Masehi mah enggak Islami….

Tentu dialog itu main-main belaka. Jika ada anggota kelompok yang menganggapnya serius, bahkan tersinggung oleh jawaban itu, patut diduga selera humornya sedang meredup. Sudah pasti Lebaran jatuh pada 1 Syawal, karena yang merayakannya di luar tanggal itu dianggap berdosa. Penanggalan Masehi berpatokan pada kelahiran Yesus Kristus, sementara Syawal adalah penanggalan Hijriah, yang dihitung dari hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah 1.436 tahun lalu.

Pertanyaannya, jika Lebaran pasti tanggal 1 Syawal, mengapa ada seorang muslim yang mempertanyakannya? Tentu saja pertanyaan dan jawaban itu mengandung konteks: meski Lebaran dirayakan pada 1 Syawal, selalu ada perbedaan dalam penanggalan Masehi antara keputusan pemerintah dan mazhab-mazhab dalam Islam.

Konteks selalu menyertai kalimat, seperti diyakini Uu Suhardi, redaktur bahasa Tempo, yang menulis tema tersebut dalam rubrik ini pada Desember tahun lalu. Menurut dia, semua kalimat mengandung konteks dan sebuah ruang tafsir. Para penonton Srimulat akan tertawa ketika Asmuni mengatakan, "Sebuah hil yang mustahal." Atau almarhum Pepeng berguyon bahwa Johannes Auri adalah tentara yang bisa bermain bola.

Dengan konteks itu, kita menangkap humor, amarah, dan emosi dalam kata-kata, yang sebenarnya netral, ketika membentuk sebuah kalimat. Konteks adalah pengetahuan. Kita tak akan tertawa jika tak paham bahwa Johannes Auri adalah pemain sepak bola dengan nama belakang yang sama dengan singkatan Angkatan Udara Republik Indonesia. Kita juga tak akan bereaksi jika tak mengerti celetukan khas Asmuni itu.

Masalahnya, sejauh mana konteks melekat pada kalimat? Apakah sebuah kalimat tak bisa bebas sama sekali dari konteks dan pengertian yang menyertainya sehingga kita bisa menafsirkannya sesuai dengan arti kamus? A.M Hendropriyono, misalnya, meluncurkan album yang hanya berisi dua lagu. Salah satunya berjudul Di Situ Kadang Saya Merasa Sedih.

Judul itu diambil dari sepotong kalimat seorang polisi yang ucapannya menjadi kelakar di media sosial. Di manakah Hendropriyono-Kepala Badan Intelijen Negara 2001-2004-merasa sedih? Di Situ! Patut diduga ia acap merasa sedih jika sedang berada di danau. "Situ", pada kamus, diartikan sebagai danau. Benarkah? Sebab, ada konteks kedua yang dimiliki kalimat itu.

"Situ" di sana bisa juga menunjuk tempat. Dalam lagu ini, tempat itu tak disebutkan letak persisnya. Jika mengacu pada liriknya, Hendropriyono bersedih ketika sedang minum kopi di warung mendengar seorang pengamen menyanyikan lagu tentang kelaparan. Apakah "situ" artinya warung? Bukan. "Di situ" lebih merujuk pada situasi.

Bahasa punya peluang ambigu karena ia adalah pesan sekaligus penanda dan pertanda makna yang dikandungnya. Dan bahasa Indonesia selalu menyediakan kemungkinan salah paham seperti ini akibat penuturnya yang gemar memakai seloka, kata-kata tak persis bermakna harfiah. Kita paham ketika seseorang mengatakan "awas burungmu terjepit", karena dalam ingatan kolektif telah disepakati bahwa "burung" merujuk pada penis.

Dan bahasa yang memiliki struktur seperti ini bisa mengacaukan tanda dan penanda. Dalam puisi bisa ditoleransi karena sifat bahasanya yang multitafsir. Sapardi Djoko Damono menulis "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana". "Aku" dan "mu" di sana bisa ditafsirkan sangat luas. Sebab, puisi tak penting benar dipahami, jika ia bisa dinikmati.

Karena itu, kolom Uu Suhardi tak menangkap pokok pancingan saya untuk mendorong bahasa Indonesia memiliki kosakata yang spesifik. Saya menganjurkan agar kamus memasukkan lema "tau" agar berbeda dengan "tahu" sebagai jenis makanan. Uu menolak dengan alasan bahasa menampung polisemi, homonim, homofon. Saya setuju bahasa tak bisa menghindarkan diri dari pelafalan yang sama dengan makna beda. Saya tak setuju itu dijadikan alasan menolak kata-kata baru.

Salah satu sebabnya, karena memang ada kata yang sama setelah terbentuk oleh imbuhan. "Mari bersama mengegolkan rencana kita." "Mengegolkan" terbentuk dari kata dasar "gol". Masalahnya, ada juga kata dasar "egol" yang jika bergabung dengan imbuhan akan terbentuk "mengegolkan" juga. Yang pertama berarti "mencapai", yang kedua bermakna "mengungkit".

Bahasa yang baik jika ia memiliki kata-kata dengan arti spesifik. Sebab, kata-kata spesifik mencegah salah tafsir dan pemahaman, tujuan utama manusia menciptakan bahasa untuk menyampaikan maksud dan tujuan yang dipikirkannya.

*) Wartawan Tempo