Sunday, September 28, 2003

KAMPUS KITA


Ini survei kecil-kecilan di kantor. Beberapa teman, saya tanya tentang kebanggaan terhadap almamaternya. Saya terkejut bahwa mereka ternyata lebih banyak mengatakan kecewa. "Masuk ke sana bikin patah semangat," kata alumni Unpad. "Tak ada yang saya dapat dari 7 tahun kuliah selain pertemanan yang menyenangkan," ini suara alumni ITB. "Bagaimana, ya, 4 tahun belajar di sana setara dengan setahun belajar di sini, bahkan lebih banyak yang bisa diserap di sini," alumni IPB juga mengatakan hal yang tak beda.

Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa setiap alumni itu mengira sekolah di kampus lain lebih menyenangkan. Alumni IPB, misalnya, menganggap kuliah di UI lebih menyenangkan karena lebih terbuka dan demokrtis, meski penilaian itu jadi bahan tertawaan alumni UI sendiri. Tapi, begitulah, walau ini survei yang jauh dari mewakili apa yang sebenarnya terjadi. Ini survei yang hanya obrol-obrolan saja.

Barangkali, memang, belajar tidak menyenangkan di sini. Mereka merasa telah salah masuk fakultas bahkan salah masuk perguruan tinggi. Seorang teman yang menyukai sastra dan humaniora tentu saja jengkel saat kuliah di IPB yang isinya hanya menghapal dan menghapal. Ia punya daya ingat yang lemah terhadap angka-angka dan definisi.

Apa boleh buat, soal ujian memaksanya bekerja keras menghapal definisi dan pengertian dari suatu istilah yang diucapkan si dosen. Akhirnya indeks prestasinya anjlok saat mau wisuda. Padahal, saya tahu, ia seorang yang cerdas karena punya perspektif sendiri tentang sesuatu. Ia selalu punya sudut pandang berbeda jika kami berdiskusi, dan pikirannya terasa benar. Mereka merasa tertipu dengan gambaran yang dijual universitas tentang jurusan dan produk yang dihasilkan saat masih SMA dulu.

Maka si teman ini, saya tahu, menenggelamkan diri dengan bacaan yang tak ada hubungannya dengan pelajaran di ruang kuliah. Selama 4,5 tahun kuliah, setahu saya, tak satupun buku teks yang ia punya. Waktu ujian ia sibuk mencari fotocopy catatan kuliah teman lain yang rajin mencatat apa kata si dosen. Ia hanya berbekal bahan itu saja untuk menjawab setiap soal ujian. "Toh, tak ada hal lain di luar catatan ini," katanya, "tak ada persepektif yang harus digali di soal ujian dengan membaca buku teks aslinya."

Mungkin saya salah menanyai orang yang kini bekerja tak sesuai dengan ilmu [jika benar itu disebut ilmu] yang didapatnya di bangku kuliah. Rata-rata orang yang bekerja di kantor ini mengaku menempuh jalan yang salah tapi menyenangkan. Mereka melamar jadi wartawan dan kemudian bekerja jadi pewarta hanya karena dorongan keinginan untuk jadi penulis. Alasan lainnya, tak ada pekerjaan lain yang lebih cocok dan menyenangkan selain jadi wartawan. Karena setiap orang di sini rata-rata punya latar belakang pernah mengelola majalah atau buletin di kampusnya.

Saya sendiri merasakan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. 4 tahun kuliah, yang paling saya suka dan masih teringat adalah saat kumpul-kumpul usai kuliah di kantin atau di lorong ruang-ruang kuliah. Saya bisa menyerap lebih banyak informasi dari teman lain dibanding dari dosen yang hanya sekali bertemu selama dua jam setiap minggu. Pengetahuan lainnya diperoleh saat kongkow di kos sambil lihat televisi dan baca koran atau nongkrong di warnet kalau punya uang sisa bulanan. Kuliah hanya rutinitas saja, selain karena dorongan bisa ketemu dan ngeceng cewek di kelas yang lumayan manis.

Tapi hal-hal di luar ruang kelas itu, ternyata, yang kelak menjadi bekal membentuk bagaimana cara berpikir kita. Toh, jika harus mendeteksi suatu pohon dari daun dan baunya kita bisa melihat ensiklopedi atau kamus dendrology. Maka, sungguh mengherankan, bagaimana setiap dosen mengawasi kita di ruang ujian dan memberi sanksi pada mereka yang saling berbisik di belakang atau mengintai mahasiswa yang membawa kepe-an. Padahal, di luar ruang kelas itu kita saling contek informasi dan menyerapnya jadi pengetahuan.

Dan dunia mencatat orang seperti Totto-chan yang berhasil menimba pengetahuan setelah ia diusir dari sekolah. Atau Albert Einstein yang bloon dan selalu mendapat rapor merah. Ada banyak lagi orang yang justru bisa mengubah jalan hidup banyak orang padahal mereka tak mengenyam ilmu dari sekolah. Maka, apa gunanya STPDN memukul dan menendang mahasiswa dan mengerangkeng diri di dalam tembok kampusnya, menutup terhadap akses dunia luar yang mungkin justru akan membawa sumber ilmu pengetahuan baru.