Monday, July 07, 2003

ORANG ASING ITU NAIK SEPEDA

SIANG tadi saya liputan ke Bappenas karena ada acara penandatanganan kerjasama pengembangan ekonomi lokal. Tak ada yang istimewa dengan liputan harian yang isinya hanya foto-foto dan pembubuhan tanda tangan itu. Juga, tak ada yang aneh dengan siapa pelaku penandatangan itu karena mereka cuma pejabat Bappenas dan tiga lembaga multilaretal lain semacam United Nations Development Programme.

Yang luar biasa, dalam pandangan saya, adalah ketika seorang pejabat UNDP keluar kantor Bappenas usai acara. Dia seorang perempuan setengah baya. Pake kacamata dan baju biru berbahan jeans terusan serta dua tas di tangan kanan dan kirinya. Rambutnya sebahu. Tentu saja ia bule. Kulitnya totol-totol tapi tak lagi merah karena sudah terpanggang udara tropis yang hangat. Mungkin ia sudah lama tinggal di sini. Saya menebak dia orang Prancis.

Saya yang duduk mengobrol dengan wartawan lain di tangga gedung mengangguk ketika ia keluar gedung. Beberapa satpam dan ajudan pejabat teras Bappenas juga mengangguk memberi hormat. Ia berjalan menuju parkiran. Saya pikir ia akan berhenti di deretan mobil mewah di sebelah kanan gedung. Tapi tidak. Ia terus berjalan hingga sampai di dekat pos penjagaan. Di sana tersandar sebuah sepeda tua berwarna coklat. Dan ia berhenti di sana lalu menuntun sepeda itu ke Jalan Taman Suropati.

Satpam yang tadi mengangguk saling pandang dengan satpam lain, kemudian pecah tawa di antara mereka.

Saya lihat, si bule itu mengayuh sepedanya di jalan itu. Ia ikut berhenti bersama dengan kendaraan lain, bus, dan motor saat lampu menyala merah di perempatan itu. Lampu menyala hijau dan ia mengayuh ke arah Jalan Teuku Umar. Mungkin ia akan menuju kantornya melewati jalur tembus ke Jalan Thamrin.

Saya tak mengenali merk sepeda yang dikayuhnya itu. Tapi bentuknya persis sepeda yang saya beli dari hasil salam tempel saat disunat 20 tahun silam. Sepeda yang saya punya itu merk Benz. Dulu harganya cuma Rp 60 ribu, kalau tak salah ingat, karena sisanya saya belikan dua ekor kambing betina.

Setiap yang melihat si bule itu, mungkin juga tersenyum. Dalam udara Jakarta yang digerus polusi itu, dia mengayuh sepedanya. Sesampai di kantornya mungkin kulit mukanya jadi kaku dan tebal, juga penuh daki. Karena itu apa yang dilakukannya menjadi aneh. Saya tidak tahu apakah ia sengaja mengayuh sepeda atau terpaksa atau terbiasa di negara asalnya.

Tapi mungkin ia sengaja dan terbiasa. Seorang pejabat UNDP pasti, minimal, dikasih mobil dari kantor jika tak punya kendaraan pribadi. Atau si bule itu mungkin sedang memberi pelajaran bagi kita. Ia ingin menunjukan mengayuh sepeda pun bisa sampai di tujuan. Praktis, dan yang utama : tak menimbulkan polusi. Ia juga mengejek kegemaran orang Indonesia yang gemar membeli mobil meski tahu jalanan Jakarta selalu macet.

Di sini, orang bule itu menjadi aneh kelihatannya. Aneh, karena apa yang dilakukannya tak lazim meski itu contoh positif. Sepeda selalu identik dengan ketakpunyaan. Dan Mercy selalu mengundang decak kagum yang melihatnya. Sehingga, mobil, bukan saja kegunaannya itu yang penting, tapi sejauh mana prestise menjadi ukuran. Meski aneh juga, para penjahat di jalanan itu selalu mengincer mobil mewah karena pasti berduit. Tapi, mobil seharga ratusan juta hingga miliaran selalu saja berseliweran berdesakan di jalanan utama. Uh, seandainya kita mencontoh orang bule itu...