Wednesday, January 14, 2004

JANGGUT


JANGGUT bisa mendorong seseorang mengucapkan salam yang tak terduga. Suatu sore saya dan istri akan mengunjungi seorang paman di Sukarame, sebuah daerah di pinggiran Bandar Lampung. Rumah paman itu berada di sebuah perumahan untuk pegawai negeri yang letaknya agak jauh dari jalan besar, butuh naik becak atau ojek yang mangkal di pintu masuk pemukiman itu. Waktu itu, kami tidak lewat pintu depan tapi lewat samping yang tak ada ojek atau becak. Kami pun jalan kaki.

Bandar Lampung baru saja diguyur hujan. Kami sempat kehujanan sebelum naik bus kota. Untuk menghindar becek saya menggulung celana hingga setengah betis. Saya pakai baju bergambar kartun yang bertulis "Hangin' On", juga topi biru "Jack Wolfskin". Tak ada yang istimewa sampai seperempat perjalanan kaki itu selain obrol-obrolan suami-istri tentang rumah-rumah atau jalan becek.

Di jalanan itu tak banyak orang yang melintas. Ini perumahan yang belum lama dibuka. Ilalang masih merimbun di kiri-kanan jalan. Sesekali sepeda mesin lewat. Angin aroma tanah basah menghembus ketika di tikungan seseorang mengucap, "Assalamuallaikum" dengan senyum. Meski agak kaget karena tak menyangka ada orang lewat, saya jawab juga, "Walaikumsallam" juga dengan senyum. Orang itu mengangguk sambil terus berlalu.

Ia seorang muda yang pantalonnya digulung di atas mata kaki dengan sepatu gunung yang agak ringsek. Kemejanya dikancing hingga pergelangan. Rambutnya ikal dengan wajah berhias jerawat. Janggutnya tumbuh jarang memanjang sekira setengah jari telunjuk. Kami terus jalan dengan ritme yang tak berubah. Agak jauh saya menoleh istri saya yang wajahnya meledek karena saya heran. Istri saya tidak tahu apakah pemuda itu mengenalnya sebagai keponakan Pak Anu.

Tapi saya segera menemukan jawab. Salam itu dipicu oleh celana saya yang digulung. Juga janggut yang melebat. Plus saya menggandeng seorang perempuan berjilbab. "Kombinasi yang sempurna," kata saya. Istri saya hanya tertawa. Tapi kenapa dia tidak membaca tulisan di kaus saya? Istri saya buru-buru menyadarkan agar jangan suudzon pada orang. Apalagi, katanya, itu ucapan salam. Saya hanya nyengir.

Janggut memang kerap membuat saya dikategorikan sebagai seorang fundamentalis. Seorang teman kantor yang dulu sama-sama tes wawancara juga pernah menuding saya anggota N-11, sebutan untuk Negara Islam Indonesia yang belakangan marak lagi. Sewaktu kuliah, beberapa teman juga ikut organisasi yang memakai baiat untuk penerimaan anggota baru itu. Saya pikir itu pertanyaan bercanda, yang ternyata serius. Saya jawab saja, "Saya pengikut KW-9," sambil ngakak. Belakangan, si teman itu kecele.

Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dari perintah sebuah hadis yang menyuruh orang Islam memanjangkan janggut agar beda dengan orang Mazusi yang doyan mencukur misainya. Saya tidak tahu apakah jika saya mencukur jenggot ini orang Sukarame itu akan memberi salam atau si teman itu tidak menuding saya ikut NII. Bagi saya, janggut itu suatu hal yang baik ada atau tanpa hadis itu. Apakah berpahala? Saya tidak mau mengkalkulasikan pahala karena itu bukan urusan saya. Kasihan sekali orang yang dari sononya tak punya rambut di dagunya.

Janggut sendiri bukan monopoli sejarah Islam. Yesus, ketika disalib juga berjanggut. James Hetfield, vokalis Metallica itu juga bercambang. Di Rusia para padrinya juga memanjangkan janggut, meski mereka diburu oleh Tsar yang tak ingin simbol-simbol agama itu menular dalam keseharian. Tapi, Usamah Bin Ladin berjanggut lebat. Eeh, Bush juga tuh.