Thursday, September 04, 2008

DI SEBUAH POM BENSIN

Pukul 10.30 di bulan puasa begini, hari jadi terasa lebih terik. Orang antri menunggu giliran mengisi bensin di pom jalan Soegiono. Ada empat pom, tapi hanya di pom sepeda motor yang antrinya selalu panjang. Di bagian mobil selalu sepi. Mungkin memang jumlah penunggang sepeda motor sudah kelewat banyak di Jakarta ini. Lihatlah, antri di pom bensin bagian sepeda adalah hal umum di semua pom bensin di ibukota ini.

Tiba-tiba sebuah klakson menjerit panjang. Semua menoleh. Sebuah mobil Twin Cam pantatnya mencium bemper Charade. Supir Twin keluar sembari nyengir. Seorang bapak tua yang kerempeng dengan safari biru lusuh yang robek ujung kerahnya. Ia mirip Kiwil, pelawak yang meniru-niru gaya dakwah Zainuddin MZ itu. Pak Kiwil hendak menyalami supir Charade, seorang anak muda dengan rambut mohawk yang basah dan otot trisep yang kelihatan terlatih fitnes. Tapi anak muda ini mengibaskan tangan tua itu. Pertengkaran tak terhindarkan.

Si anak muda mendesak menanyakan STNK mobil bahkan menyerebot ke arah stir. Tapi tak jadi. Ia melihat ke jok belakang. Seseorang duduk di sana. Ia majikan Pak Tua safari robek itu. Sang tuan keluar. Tubuhnya persis Semar dengan cap jempol hitam di jidatnya. Mungkin ia rajin salat malam. Anak muda itu jadi kikuk kelihatannya. Ia bolak-balik ke mobil dan Pak Kiwil itu.

Tapi pertengkaran kian memuncak juga. Ini setelah seorang perempuan keluar dari Charade. Seorang perempuan berkulit putih dengan rambut dicat pirang dan kacamata hitam yang memenuhi sepertiga wajahnya. Ia mungkin istri atau pacar si anak muda itu. Ia memeriksa bempernya lalu naik pitam. Agaknya, Pak Semar itu mengatakan, Sudahlah, toh bempernya tak kenapa-kenapa. Si pirang itu membentak, "Gak bisa begitu dong, Pak! Sudah, jalan!"

Si anak muda--mungkin ingin dipuji sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, paling tidak tegas mempertahankan hak miliknya--masih mendatangi Pak Kiwil. Sambil menunjuk muka yang keriput itu, ia bilang, "Lain kali hati-hati, Pak!"

Senyum sudah hilang di wajah Pak Kiwil itu ketika berjalan mengangkut tabung gas ke mobilnya. Jalannya menunduk. Mungkin ia sadar semua orang di pom bensin itu memperhatikannya. Ia menunduk melihat ujung fantovelnya yang ringsek. Motor saya masuk giliran diisi bensin. Siang, rasanya, kian terik saja...

Wednesday, August 20, 2008

DARWIN

Darwin meninggal di usia 30, saat orang lain bergembira merayakan hari kemerdekaan 17 Agutus 2008. Ia mati di ujung bedilnya sendiri. Ia mati dan tak ada yang tahu, kecuali tetangganya di kampung nun di bawah Gunung Ciremai. Darwin mati kehabisan darah akibat luka tembak di pahanya. Ia mati di rumah sakit, bukan di gawir itu, karena ini zaman telekomunikasi: ke hutan pun orang bawa ponsel.

Ia pamit dari rumahnya dengan menenteng senapan angin. Mau berburu celeng, katanya. Huma orang kampung itu memang habis dijarah babi di museum kemarau begini, ketika bukit gundul, ketika mata air di hutan-hutan kering. Babi yang lapar turun ke huma mencari makan. Darwin akan berburu babi. Ia tak menggubris omelan istrinya yang setengah melarang karena hari itu tak ada orang pergi ke hutan. Semua orang ramai-ramai ke balai desa: menonton panjat pinang, balap karung, makan krupuk, tarik tambang...

Darwin pergi ke hutan dan ia mati di sana. Tubuhnya ditemukan warga desa terperosok di tebing. Orang pun lalu berteori: Darwin terjerembab ketika matanya hanya fokus ke seekor babi. Kakinya, meski punya mata, tak awas ada lubang di depannya. Ia pun terjerembab, jarinya menarik pelatuk, dan peluru menembus pahanya yang gempal.

Sebelum Izrail mencabut nyawanya, Darwin menelepon ke ponsel istrinya. Saya tertembak, saya tertembak. Tolong.. tolong.. tolong.

Saya terkejut mendengar berita ini, ketika menelepon Ibu di sela bertanya kabar dan situasi terakhir di kampung. Darwin teman sekolah dasar. Ia berhenti sekolah saat kelas lima. Ia lalu menggembala kerbau seperti umumnya anak desa lain yang berhenti sekolah atau setelah lulus SD. Orang desa menganggap sekolah hanya buang waktu. Sebab mereka berpikir masa depan ada di hutan-hutan itu, di huma, kebun, sawah, dan bukit-bukit. Mencangkul tak perlu hapal a-b-c.

Darwin berhenti sekolah, lalu remaja, lalu kawin. Beranak pinak dengan pundak yang kapalan karena setiap hari memanggul kayu. Kami tak pernah lagi saling menyapa sebagai teman: ia berbicara memakai Sunda halus dengan saya meski saya menimpalinya dengan Sunda kasar hanya agar ia kembali menjadi teman.

Darwin berhenti sekolah dan agaknya ia tak menyesal. Sekolah sampai kelas lima SD membuat ia bisa membaca dan berhitung: dua ilmu yang sangat cukup untuk tinggal di kampung sebagai petani. Darwin meninggal di usia 30 dengan tiga anak yang masih kecil dan agaknya disiapkan kembali menjadi petani, meneruskan hidupnya yang tanpa gelombang.

Tuesday, August 12, 2008

CATATAN ATAS BILANGAN FU




Dalam novel Bilangan Fu, Ayu Utami tak lagi menghadirkan kata-kata yang bercahaya. Dalam Saman dan Larung, meminjam pujian Ignas Kleden, kata-kata bercahaya seperti kristal--meskipun cahaya itu memancar di bagian-bagian awal saja. Pada Bilangan, kata-kata itu redup. Tapi keredupannya membuat kita--setidaknya saya--masih bisa menikmati. Pada yang bercahaya kita mengagumi.

Menikmati dan menganggumi tentu saja beda. Pada yang pertama kita bisa mengikuti; pada yang kedua, kita bisa mengikuti sekaligus terpukau. Sebab dalam yang bercahaya itu ada yang liris sehingga prosa terlihat tegak, ajeg, dalam sekaligus. Pada yang liris, prosa juga sekaligus puisi.

Barangkali karena Bilangan Fu lebih mementingkan cerita dan kritik. Dan, kita tahu, kritik tak bisa langsung didengar melalui puisi. Ia harus prosa, mungkin lebih mendekati kalimat-kalimat jurnalistik: langsung, tegas, jelas. Karena setiap kritik menyimpan amarah. Puisi yang menyajikan amarah bukan puisi, melainkan pamflet kalau bukan sekadar jargon poster.

Kata-kata, kalimat, adonan metafora, itu redup. Ayu, seperti biasa, bergenit-genit dengan metafora vagina. Kali ini hewan ubur-ubur, bukan bunga karnivora seperti dalam Saman atau Larung. Agak panjang omong soal ubur-ubur dan moluska. Untunglah, ia mengerem adegan-adegan perzinahan. Sepanjang 536 halaman, hanya ada tiga adegan seks.

Yang tak terperi barangkali soal kesalahan dan kelatahan berbahasa. Misalnya, penyalahgunaan kata "untuk" dan "secara". "Aku memutuskan untuk berdiam," contohnya. Ini tak sekali-dua. Ada beberapa. Mungkin lima, mungkin sepuluh. Barangkali karena kali ini Ayu terlalu pede hingga tak memerlukan seorang editor. Gaya bahasanya kali ini mirip dengan kolom-kolomnya di Seputar Indonesia.

Kelatahan barangkali memang bisa menular. Pemakaian "untuk" yang mubazir itu juga telah lama menjangkiti para penulis lain, apatah lagi para wartawan. Saya menyebutnya "refleksologi untuk", sekadar mencontek "synonimising reflex" dari Milan Kundera. Ah, ya, sila buka halaman 41. "Coba, berapa panjang perkawinan bisa langgeng, SECARA mimi dan mintuno di zaman ini dijual sebagai obat kuat untuk melanggenggkan perkawinan." Semoga, Ayu hanya sedang menyidir para abege berceloteh memakai "secara", produk (atau korban?) modernisme itu.

Juga perbedaan nama beberapa cerita lisan. Soal Sang Kuriang, misalnya. Ayu menyebut sungai yang dibendung untuk bulan madu dengan Dayang Sumbi itu adalah Citarum Purba. Ini nama asing bagi orang Sunda. Sebab, danau buatan yang kini bertengger gunung Tangkuban Parahu adalah Sanghiang Tikoro. Atau Ciung Wanara, bapak moyang raja-raja Pasundan. Ayu menyebutnya Siung.

Ayu menyebut novel ini punya semangat "spiritualisme kritis". Ada tiga yang ia kritik: monoteisme, militerisme, dan modernisme. Tiga hal ini, katanya, tantangan atau musuh paling penting zaman ini. Dan kita membaca kritik itu, sejak dari bab dan subbab. Agaknya Ayu Utami kesulitan memasukkan kritik itu dalam laju cerita. Ia menyelipkan kritik itu panjang lebar seraya sedikit lupa alur cerita, atau melalui opini Parang Jati lewat catatan harian dan kolomnya di koran.

Sehingga cerita dan kritik itu bisa dipisah-pisahkan. Saya sendiri suka ceritanya. Terutama soal-soal mistik dan kebatinan, tuyul, cerita pemanjatan. Cerita mistik-gelapnya mengingatkan pada Tahar Ben Jelloun. Ayu Utami seorang pendongeng yang jempolan. Ia menyiapkan faset-faset cerita. Dan novel yang bagus adalah novel yang ceritanya tidak tunggal. Ia membawa kita mengikuti alur kisahnya, menyembunyikan suspens, membuatnya jadi teka-teki (bukan misteri; karena pada teka-teki jawaban adalah tujuan, sementara misteri jawaban itu tertunda), sehingga kita hanyut.

Di sela-sela itu kritik muncul. Hhhh, agak mengganggu juga sebetulnya, selain gangguan lain yang datang dari pengulangan beberapa keterangan (misalnya, orang Jawa mengganggap hari berganti saat malam hari). Tapi ini pendapat pembaca yang suka cerita, bukan kritik.

Bukan karena kritik itu tidak relevan. Kritik itu sangat relevan: kekerasan atas nama agama, kesalehan imitasi, kekacauan akibat operasi intelijen, dan modernitas yang memuja materi, adalah hal-hal yang kita jumpai hari-hari ini. Kritik itu mengganggu karena menunda kisah seru, dan terlalu umum. Kita sudah tahu dan sering mendengar kritik itu dalam kolom-kolom, buku-buku yang memang ditulis untuk tujuan itu.

Jika monoteisme itu berhubungan dengan bilangan fu, mungkin itu semacam utak-atik gathuk. Bilangan fu adalah bilangan tak berwujud yang dihasilkan dari rumus 1: fu = 1 x fu = 1 dan fu bukan 1. Rumus ini disemburkan Sebul, mahluk manusia-srigala-jantan-betina yang hadir dalam mimpi Yuda, tokoh utama cerita ini.

Yuda adalah mahasiswa entah universitas mana yang terobsesi menaklukan tebing Watugunung, di sekitar Cilacap. Umurnya 23 tahun dalam novel yang berlatar tahun 2001ini. Ia punya pacar Marja entah usia berapa yang riang dan ringan hati dengan gairah seks menggebu-gebu. Keduanya tinggal di Bandung. Yuda sudah lama meninggalkan kampus untuk mengejar obsesinya itu. Ia ketemu Parang Jati, mahasiswa geologi ITB saat akan membeli peralatan memanjat di rumah pemanjat yang pensiun karena kawin dan beranakpinak.

Yuda punya fantasi aneh: melihat Marja dan Jati bersenggama. Asem! Yuda, teman-temannya sering memplesetkan menjadi Yudas, sang pengkhianat dalam sejarah Katolik. Berkhianat kepada siapa Yuda? Peresensi yang baik, kata orang, tidak menjadi spoiler. Jadi kali ini saya tunduk pada konsensus tak tertulis ini. Dan nama-nama lain diambil dari sejarah Kristen itu. Nama Pontiman Sutalip, kepala desa Sewugunung, tak lain kebalikan Pilatus, gubernur Roma yang menghukum salib Yesus Kristus. Marja mungkin dari Maria.

Jati lebih tua tiga tahun dari Yuda. Konon, ia lahir 21 Juni 1975, atau 19 tahun sebelum Tempo, Detik, dan Editor dibredel. Ia orang Sewugunung, sebuah desa di kaki Watugunung. Karena itu ia hapal betul tebing-tebingnya, folklor yang menyertainya, mistik di dalamnya. Ia anak angkat Suhubudi, seorang tokoh di desa itu yang punya padepokan berhektar-hektar dan tertutup bagi tamu tak diundang. Suhubudi guru kebatinan yang dihormati bahkan oleh pejabat di Jakarta. Jati tak jelas anak siapa karena ia ditemukan seorang jurukunci mataair ke-13 saat masih merah-ari-ari. Mata air ke-13 itu dinamai hu. Hu atau fu?

Ajaibnya, Jati punya jari 12. Jari keenam di setiap tangannya antara jari kelingking dan jari manis. Namanya jari hu. Hu atau fu? Karena itu ia sempurna sebagai pemanjat. Sebab lima jari tak cukup bagi para penakluk gawir. Dia punya adik. Kupukupu namanya. Ia juga ditemukan di sendang itu. Umurnya 3 tahun lebih muda. Ia dititipkan pada seorang penyadap nira yang miskin. Dua-duanya cakep: hidung bangir, kulit putih. Saya bayangkan seperti Bertrand Antolin, hehehe.

Tapi keduanya berbeda. Suhubudi yang menguasai tujuh bahasa asing tujuh bahasa kuno, menjejali anak angkatnya itu dengan bacaan khasanah dunia sejak mula. Jati kenyang, cukup main, cukup listrik. Kupukupu harus membaca dengan cempor dan hidup dengan orang buta huruf. Tapi dua-duanya bintang sekolah desa (mereka berdebat soal Islam dan nilai-nilai kebatinan).

Jati kelak mewakili suara orang "liberal". Ia antimiliterisme. Ia tak suka agama formal karena agama-agama yang konon mengajarkan kebajikan ternyata tak bisa menyelamatkan gawir Sewugunung dan hutan-hutannya yang akan dibabat oleh perusahaan batu. Ia cocok dengan Yuda yang selalu skeptis. Jati memandang upacara sesajen di bawah pohon perlu diteruskan karena dengan begitu manusia menjaga dan menghormati alam. Ironisnya, Jati mati oleh sesuatu yang ia benci: tentara.

Kupukupu prototif orang "fundamentalis": berjubah Diponegoro dan bersepatu samurai Jepang. Ia fasih mengutip ayat Quran dan hadits untuk menghardik cara-cara musyrik dan berhala. Agaknya Ayu setuju bahwa kemiskinan mendorong orang jadi ekstrim dan menegakkan keyakinan agama dengan pedang. Kupukupu yang berganti nama menjadi Farisi, sepulang belajar teknik nuklir dari Jerman dan Jepang karena mendapat beasiswa dari BPPT, menganggap sesajen dan kepercayaan kepada Nyi Roro Kidul sebagai syirik, dosa paling besar tak berampun.

Dua kakak adik (mereka tak saling tahu) itupun bentrok. Lewat bentrokan inilah Ayu menyelipkan kritik terhadap monoteisme. Agama-agama langit itu (Kristen, Yahudi, Islam) cenderung menolak tafsir tentang Tuhan, tak toleran. Monoteisme merasionalkan angka nol dengan menganggap Tuhan hanya satu. Padahal, sebelum Musa menerima Taurat, Tuhan tak menyebut dirinya "Aku". Sejak itu angka nol, makna sunya itu, menemukan bentuk dan definisinya. Ia jadi realis tinimbang metaforis. Bilangan fu pun menjadi misterius.
UPDATE:

Thursday, August 07, 2008

YANG TERTINGGAL DARI X-FILE



Sebuah serial televisi yang populer dan bertahan bermusim-musim, ketika difilmkan kedua kali, bisa juga tergelincir dan tak menggigit lagi. Film The X-File, I Want to Believe, misalnya. Ia tergelincir justru dalam hal pokoknya: misteri. Film ini keropos di tulang punggungnya: suspense.

Kita tak pernah tahu kenapa seorang Rusia yang tak disebutkan namanya, bersama suami homonya, tiba-tiba muncul di rumah seorang agen FBI--adegan ini sekaligus menjadi pembuka film. Mereka hendak membunuh si agen yang langganan sebuah kolam renang dan punya golongan darah AB. Jauh sebelum membunuh si agen, mereka telah membunuh 30 perempuan lainnya, di Vancouver yang beku, pertengahan Maret 2008.

Untuk apa tubuh-tubuh perempuan itu selain dirajah tiap tungkainya lalu potongan tubuh itu dibenamkan di timbunan-timbunan salju di hutan-hutan yang sepi. Film ini sepenuhnya bercerita tentang si suami orang Rusia itu yang lengannya terpotong, yang mukanya kena cakar besi yang diayun si agen FBI itu. Kita tidak tahu apa yang melatari itu semua. Kita hanya disuguhi adegan bagaimana Fox Mulder (Duchovny), bekas agen FBI, dan Dana Scully (Gillian Anderson) yang dokter di sebuah rumah sakit Katolik, memburu penculik si agen itu.

Karena film langsung dibuka menampilkan wajah pelaku, misteri tak seru lagi. Kita sudah tahu siapa pembunuh si agen itu sejak awal. Film ini praktis hanya menyuguhkan jawaban: untuk apa perempuan-perempuan itu dibunuh? Jawabannya memang ada di akhir cerita: sebuah rumah sakit hewan menadah potongan-potongan tubuh manusia lalu mendagangkannya. Dan pasangan homo itu, karena sabetan cakar besi itu, ingin mengganti tubuh yang koyak dengan badan dan kepala perempuan yang berbeda. Semacam operasi Dokter Franskenstein. Tapi, apa pentingnya itu buat kita?

Penulis skenarionya barangkali ingin kita tergiring menuduh Pastor Joseph, yang tiba-tiba menelepon kantor FBI dan mengaku melihat si agen yang hilang itu. Pak Joe--pastor yang menyodom 37 putra altar dan tinggal sukarela di asrama pencandu seks kambuhan--mengaku mendapat penampakan dalam pikirannya. Ia memang bisa membuktikan beberapa penglihatan: potongan tangan, letak si agen dilumpuhkan, dan mayat seorang perempuan yang terkubur salju.

Mudah ditebak bahwa ia akan dijadikan tersangka sementara, buat kita. Benarkah kemampuan Joe datang dari alam gaib, bukan karena keterlibatannya dalam serangkaian pembunuhan itu. Scully yang selalu skeptis percaya dugaan ini. Mulder yang terobsesi mencari fenomena tak terpecahkan, dan pernah menangani perkara lewat bantuan cenayang, percaya bahwa Pastor Joe memang punya indra keenam. "Buat apa dia menciptakan kebohongan dengan skema serumit ini?" katanya, ketika Scully mulai menunjukkan keraguan.

Film ini tak menggigit karena tak lagi menawarkan hal-hal baru: kerumitan penyelidikan, logis, dengan tokoh yang tak diduga-duga. Itu semua tak ada atau tak terlalu menonjol. Jadinya, sebuah film sains-fiksi-misteri yang hambar. Ia tetap setia pada tema pokok kisah kriminal bahwa pembunuhan selalu punya sebab dan tak ada kejahatan yang sempurna.

Di sana-sini bahkan plot dan adegannya cenderung memaksa: mobil Mulder yang tak meledak kendati dijatuhkan dari tebing yang tinggi, Mulder yang ceroboh begitu saja masuk ke ruang operasi Frankenstein sambil menghunus kunci dongkrak, Scully yang tiba-tiba muncul ketika mata kapak hampir saja memenggal leher Mulder, juga pasangan homo si Rusia itu ternyata salah satu korban Pastur Joe.

Tapi ada yang lucu juga. Misalnya, ketika Mulder akan menelepon Scully, nomor dokter ini di ponselnya diberi nama Gillian. Halah! Dan yang konyol, tokoh-tokoh dalam film ini tak terlihat makan dan minum. Edan. Kecuali teman sekamar Joe yang terlihat sedang memasak daging, atau Joe yang merokok. Selebihnya, manusia seakan punya energi yang datang dari langit.

Sunday, June 22, 2008

NASIONALISME

Dalam sepakbola, nasionalisme perlu segera direvisi. Guus Hiddink tanpa sungkan merayakan setiap gol pemain Rusia ke gawang Edwin van Der Sar--kiper Belanda itu. Ia juga terus gembira ketika pertandingan berakhir dan negaranya itu harus pulang karena dibantai dengan skor 1-3. Berbeda dengan Lucas Podolski yang menunduk ketika menjebol gawang Polandia, Hiddink gregetan setiap peluang gol hangus.

Dan sepakbola bukan sebuah "komunitas yang dibayangkan" dalam rumusan Benedict Anderson. Tak ada bangsa, tak ada negara. Sepakbola sebenar-benarnya globalisasi. Paspor barangkali hanya sebuah penanda asal seseorang. Batas negara hanya ada dalam atlas. Di lapangan hijau itu, yang ada adalah bagaimana mengalahkan lawan--tak peduli lawan itu negara sendiri: sebuah oksimoron paling nyata.

Piala Eropa kali ini memang penuh dengan centang perenang semacam itu. Hampir setiap tim diisi pemain lain negara--karena kelahiran, situasi politik, atau alasan ekonomi. Bahkan pelatih. Dan sepakbola adalah sebuah contoh bagaimana kekacauan "tanah air" itu tak menimbulkan chaos. Deco tak dikecam Brasil karena memilih Portugal. Hiddink barangkali hanya jadi gunjingan sesaat. Kecuali Podolski yang memantik amarah presiden Polandia hingga mau mencabut paspornya segala.

Dunia mungkin sedang menuju kapitalisme yang sebenarnya. Bagaiaman klub Inggris banyak dihuni pemain asing, bahkan pemilik-pemilik klubnya. Hasilnya, "negara sepakbola" itu tak lolos ke putaran final Piala Eropa karena regenerasi jadi mandek. Tak ada nasionalisme, tak ada kesempitan batas negara. Modal lebih menentukan. Hiddink bilang, baginya yang penting adalah profesionalisme. Ia menjadi pelatih pelbagai tim negara-negara lain sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai warga Belanda.

Suatu saat, tim sepakbola mungkin hanya perlu meminjam nama sebuah negara. Atau, negara nanti hanya perlu menyewa sebuah tim untuk berlaga dalam sebuah kejuaraan. Sebab, nama hanya sebatas penanda. Negara hanya hadir sebagai nama. Setelah itu pemain akan kembali membela klubnya masing-masing di negara-negara lain. Dan kita--bangsa penonton ini--toh tak perlu meninjau sejarah kolonilaisme untuk mendukung sebuah tim.

Saturday, June 21, 2008

BRUTAL

Turki menyingkirkan Kroasia, dan kita menyaksikan sisi brutal sepakbola. Kroasia yang tinggal merayakan kemenangan terkesima oleh gol Senturk Semih satu detik sebelum pertandingan berakhir. Pemain-pemain Turki yang berbahagia akhirnya bisa lebih lepas mengeksekusi tendangan penalti--kiper Recber Rustu tersenyum sebelum tos-tosan dimulai. Skor 3-1 untuk mereka.

Kita tak menyaksikan brutalitas sepakbola ketika Prancis kalah dari Italia. Pasukan Roberto Donadoni itu hanya beruntung: melawan sepuluh orang tua hanya menghasilkan dua gol dari bola mati. Prancis sejak awal sudah kelihatan lelah, kepayahan, tak percaya diri, tanpa Zinedine Zidane.

Dan Turki mungkin layak juara. Jika Belanda bermain sebagai tim sempurna, Turki adalah tim yang alot. Dua kali mereka membuktikan semangat menang bisa mengatasi segalanya. Mereka tak terpuruk ketika sudah tertinggal 2-0 dari Republik Cek. Mereka tak turun semangat kendati sudah kalah dari Kroasia dan pertandingan tersisa kurang dari satu menit. Barangkali seperti Yunani empat tahun lalu: "negara-bukan-bola" itu ingin membuktikan diri sebagia kuda hitam--bagaimana dulu Yunani yang kalah segalanya bisa melibas Portugal yang bermain tanpa cela.

Piala Eropa kali ini seperti arena "cuci dosa" pemain yang berbuat salah. Bastian Schweinsteiger membayar kartu merah ketika Jerman kalah 1-2 dari Kroasia dengan membobol gawang Portugal dan memberi umpan matang kepada Miroslave Klose dan Michael Ballack untuk membuat gol. Rustu membayar kesalahannya dengan memberi umpan bagus kepada Semih dan menghadang tendang penalti tiga pemain Kroasia.

Sepakbola itu seperti drama, kata Milan Kundera. Sebuah teater dua babak yang mempertontonkan hasrat purba manusia: saling menghadang dan mengalahkan. Sebuah brutalitas yang tak tepermanai. Sejarah sepakbola ternyata tak berubah kendati ada peraturan dan sikap fair play. Sepakbola--sejak dimainkan pertama kali 5.000 tahun lalu--tetap mempertontonkan semangat untuk menang. Dan dalam semangat itu senantiasa selalu ada luka.

Saturday, June 14, 2008

MAKLUMAT KE-INDONESIA-AN

Kita bersama-sama di sini, untuk menegaskan kembali Indonesia tempatkita berdiri. Indonesia sebagai sebuah warisan yang berharga, tapi jugasebuah cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para pendahulu,tapi juga titipan berjuta anak yang akan lahir kelak..

Kita bersama-sama di sini, untuk menyadari kembali, bahwa Indonesiaadalah satu prestasi sejarah namun juga proyek yang tak mudah. Dalambanyak hal, tanahair ini belum rampung. Tetapi sebuah masyarakat, sebuahnegeri, memang proses yang tak akan kunjung usai. Seperti dikutip BungKarno, bagi sebuah bangsa yang berjuang, tak ada akhir perjalanan.

Dalam perjalanan itu, kita pernah mengalami rasa bangga tapi jugatrauma, tersentuh semangat yang berkobar tapi juga jiwa yang terpuruk.

Namun baik atau buruk keadaan kita, kita bagian dari tanahair ini dantanahair ini bagian dari hidup kita: ‘Di sanalah kita berdiri, jadipandu Ibuku’…

Di sanalah kita berdiri: di awal abad ke-21, di sebuah zaman yangmengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telahmenyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namunakhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan. Abad yangpenuh harapan, tapi juga penuh korban. Abad sosialisme yang datangdengan agenda yang luhur, tapi kemudian melangkah surut. Abad kapitalismeyang membuat beberapa negara tumbuh cepat, tapi memperburukketimpangan sosial dan ketakadilan internasional. Abad Perang Dingin yang tak adalagi, tapi tapi tak lepas dari konflik dengan darah dan besi.
Abadketika arus informasi terbuka luas, tapi tak selalu membentuk sikaptoleran terhadap yang beda.

Dengan demikian memang sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakincepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalanbaru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan. Kini makin jelas-lah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untukmemecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagikini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrinyang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkahalternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengansumber-sumber kreatif yang beraneka..

Sejarah mencatat, Indonesia selalu mampu untuk demikian – sebabIndonesia sendiri, 17 ribu pulau yang berjajar dari barat sampai ke Timur,adalah sumber kreatif yang tumbuh dalam kebhinekaan.

Para ibu dan bapak pendiri republik dengan arif menyadari hal itu.Itulah sebabnya Pancasila digali, dilahirkan, dan disepakati di hari ini,61 tahun yang lalu..

Tidak, Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payahdalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang-menyumbanggagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Dengan demikiania mengakui perbedaan manusia dan ketidak-sempurnaann ya. Ia takmenganggap diri doktrin yang maha benar.

Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telahbelajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri maha benar.

Maka Indonesia tak menganggap Pancasila sebagai agama – sebagaimanaIndonesia tidak pernah dan tidak hendak mendasarkan dirinya pada satuagama apapun. Nilai luhur agama-agama menghilhami kita, namun justrukarena itu, kita mengakui keterbatasan manusia. Dalam keterbatasan itu, tak ada manusia yang bisa memaksa, berhak memonopoli kebenaran, patutmenguasai percakapan.
Maka hari ini kita tegaskan kembali Indonesia sebagai cita-citabersama, cita-cita yang belum selesai. Maka hari ini kita berseru, agarbangun jiwa Indonesia, bangun badannya, dalam berbeda dan bersatu!

Jakarta, 1 Juni 2006.

.Goenawan Mohamad

Tuesday, June 10, 2008

DIOBRAL: POTONGAN PENIS

Di Malioboro, penis-penis tak bertuan ini diobral Rp 30 ribuan. Saya tak sempat bertanya kepada penjaga, untuk apa mereka semua ini dikumpulkan...



Saturday, May 24, 2008

RUSIA DALAM GERIMIS

EMPAT orang anggota drumband Rusia, di sebuah lapangan yang penuh salju dengan latar belakang pohon oak yang kedinginan, memainkan Indonesia Raya tanpa cela. Ada juga bekas tentara yang mengagumi puisi dan cerita pendek WS Rendra. Seorang profesor bahkan menyamakan Pramoedya Ananta Toer dengan Leo Tolstoy dan Shakespeare.

Mereka itu orang-orang Rusia yang cinta mati kepada Indonesia. Mereka pernah bersinggungan dengan negeri ini, menyesap aroma dan deru Jakarta, dan kota-kota kecil di Sumatera dan Jawa, pada sebuah masa, sekitar 40 atau 60 tahun yang lalu. Pada waktu itu, Indonesia dan Rusia menjalin hubungan yang erat.

Tapi ada juga mahasiswi Universitas Moskwa yang baru bisa berharap berkunjung ke pesantren-pesantren di Jawa, yang pengetahuannya terhadap tradisi dan kepercayaan Jawa kuno begitu mencengangkan. Ia fasih mengurai filsafat agama di zaman Majapahit yang belum tersentuh pengaruh Hindu atau Budha, bahkan Islam.

Orang-orang ini hadir dan bersaksi tentang Indonesia yang mereka kenal dalam film Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Mereka bersaksi di depan kamera Seno Joko Suyono, teman sekantor yang dahsyat, tentang kapal-kapal selam yang masuk Indonesia di zaman Trikora. Mereka menceritakan pengalaman menjalin hubungan dengan penulis, pejabat, dan tokoh terkenal Indonesia yang sosoknya bahkan tak diajarkan di sekolah-sekolah.

Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia yang sempurna. Mereka membandingkan Indonesia sekarang dan Rusia zaman kiwari. Seno, yang menguras tabungannya untuk membuat dokumenter ini, merekam denyut Moskow di pagi dan malam hari, ketika toko-toko suvenir mulai buka di samping butik Esprit yang mencorong, di dekat McDonald yang memajang poster Lenin di huruf M-nya. "Indonesia selalu sama dengan Rusia," kata sebuah suara.

Indonesia, kata suara yang lain, dulu dan sekarang berjalan dalam sejarah yang sama. Ketika pengaruh komunis sudah sirna, dan kapitalisme berkibar, dua negara ini punya presiden yang populer dalam pemerintahan yang kurang disukai. Dan Rusia dan Indonesia kini sama-sama menapaki jalan demokrasi yang sulit. "Orang Indonesia dan Rusia sebenarnya tak pernah ikhlas menjalankan kapitalisme."

Kelompok drumband itu baru saja menyelesaikan refrain Indonesia Raya. Kamera bergerak ke arah St. Petersburg yang tertimbun salju. Rusia, sahabat Indonesia yang kini hampir terlupakan itu, mengigil dalam gerimis.

Friday, May 23, 2008

MASA DEPAN PERS INDONESIA

Menolak dibeli di sebuah keadaan tanpa harapan adalah sebuah harapan. Goenawan Mohamad mengatakan kalimat gawat ini ketika merumuskan masa depan pers Indonesia. Ia cemas terhadap tren para pemodal yang kian tertarik menguasai media massa dewasa ini. Ia cemas membayangkan tak ada lagi suara alternatif yang datang dari pers yang bebas.

Sejak Orde Baru hancur, sensor media tak lagi datang dari kekuasaan. Negara tak lagi ikut terlibat menentukan mana yang perlu dan tidak perlu disiarkan para wartawan. Jurnalis bebas memilih apa yang ingin mereka tulis. Tapi, para juru warta kini menghadapi sensor yang lebih mengerikan, yakni publik sendiri. Mereka marah jika wartawan menyiarkan informasi yang tak mereka inginkan.

Elemen jurnalisme tentang informasi yang diingikan publik barangkali perlu direvisi. Para wartawan tak lagi bebas menentukan mana informasi publik dan mana informasi private. Ketika mereka menyiarkan penindasan terhadap kaum Ahmadiyah, ada pihak lain yang marah dan menuding pers memihak ajaran sesat. Ketika para wartawan menyiarkan korupsi seorang pengusaha, mereka digugat ke pengadilan. Publik, dalam soal ini, menjadi definisi yang sangat kabur.

Kini muncul lagi tren baru yang lebih mengkhawatirkan, yakni sensor yang datang dari modal.

Dalam sepuluh tahun terakhir, peran media cetak praktis menyusut. Tak ada lagi media massa cetak yang memimpin dan mengalahkan pengaruh televisi. Tabung gambar itu begitu membius dan menciptakan pasar baru dalam hal berita dan hiburan. Ke sanalah, para pemodal dan pebinis, kini mengarahkan investasinya.

Hari Tanoe, seperti pengakuannya kepada majalah Tempo, dengan sadar mengalihkan duitnya dari bisnis keuangan ke media. Dalam media, kata pengusaha yang tadinya bikin bisnis manajemen investasi, ada unsur strategis. Benar sekali. Dalam pers yang bebas, media sangat berperan sebagai suara alternatif. Setelah modal masuk ke sana, masihkah adakah yang alternatif itu?

Ada sebuah cerita yang tak bisa diverifikasi, tapi layak disimak karena hikmah di dalamnya. Syahdan, sebuah koran di Polandia, yang getol menulis kasus korupsi pejabat negara, yang menolak membebek omongan para politisi, hampir kolap karena tak bisa bersaing dengan televisi. Seorang pengusaha datang dengan segepok uang. Pemilik dan wartawan koran itu menolak. Mereka tahu konsekuensinya.

Pengusaha itu lalu membuat media baru. Ia menawari wartawan media yang miskin itu pindah dengan gaji tiga kali lipat. Bedol desa pun terjadi. Koran itu kian besar dan menyalip tiras "kakak" tertuanya itu. Si kakak, apa boleh buat, akhirnya tutup sama sekali. Namanya tinggal legenda, sebagai sebuah koran yang penuh idealisme namun keok karena miskin.

Wednesday, May 07, 2008

SUBSIDI

Di perempatan itu, sebuah simpang yang sibuk di jalan Matraman dan Proklamasi, anak enam atau tujuh tahun itu menggendong bayi, menengadahkan tangan kepada para pengendara yang menunggu lampu hijau. Ia mengemis, katanya buat makan. Bayi di gendongannya yang melorot (mungkin baru setahun), sementara itu, tidur terkulai. Bekas ingusnya berleleran di pipi, lehernya penuh daki, ....

Saya tak perlu meneruskan deskripsi yang absurd ini. Sebab ini pemandangan umum di setiap perempatan di Jakarta. Para pengemis seperti patah tumbuh hilang berganti. Anak-anak kian meruyak. Siapa ibu-bapaknya? Kenapa orang-orang itu membikin mereka jika tak sanggup membuatnya menikmati hidup? Kenapa mereka... Ah, saya juga tak perlu meneruskan pertanyaan klise ini. Menanyakan soal ini seperti berteriak di pasar malam.

Di perempatan itu, ada juga yang memberikan koin 500 atau seribu, lebih banyak yang melambai. Di depan saya saja, anak bermuka tirus dan kumal itu mendapatkan kurang lebih Rp 5.000. Saya tak menengok ke belakang berapa orang lagi yang memberi koin kepadanya.

Jarak antara lampu merah ke hijau, dan dari hijau ke merah, sekitar 5 menit. Lima menit 5.000. Jika si bocah ini mengemis 12 jam sehari, ia akan menengadahkan tangan dalam 144 kali lampu merah. Jika tiap lampu merah dia dapat 5.000 maka penghasilannya sehari bisa sampai Rp 720 ribu. Saya bolak-balik memeriksa kalkulator setelah mengalikan angka ini. Ini sama dengan, kira-kira, gaji direktur kantor saya yang ke mana-mana diantar sopir dan menyandang predikat kelas menengah.

Matematika mungkin hanya eksak di buku pelajaran. Di jalanan Jakarta rumus-rumus penjumlahan bisa mengelabui. Sebab, menurut tayangan CNN belum lama ini yang diberi judul "Oliver Twist dari Asia", pengemis anak-anak ini setiap hari menyetor 40 persen penghasilan mereka kepada induk semangnya yang menunggu di kolong-kolong jembatan. Dan mereka tetap saja tinggal di sana seumur hidup. Kemana uang mereka itu?

Jika sepertiga dari 13 juta penghuni Jakarta pada siang hari memberi koin 500 kepada pengemis ini maka ada Rp 2 miliar dalam sehari berputar di jalan-jalan raya, gerbong kereta, bus-bus reot. Subsidi "dari rakyat untuk rakyat itu" dalam setahun berarti Rp 730 miliar--ini dua kali subsidi pemerintah untuk menekan harga pupuk.

Dan kini subsidi minyak bakal kembali dipangkas. Itu berarti harga bensin bakal naik lagi, yang mengakibatkan ongkos angkut beras naik juga, harga nasi pun jadi berlipat. Anak-anak itu--yang menurut konstitusi adalah tanggungan negara, yang terus diproduksi oleh para pengemis di kolong-kolong jembatan--harus membuat sandiwara atau menghiba lebih dalam agar bisa tetap makan.

Friday, May 02, 2008

SOAL ADIL DALAM LIPUTAN

Sebalah kaki seorang wartawan berpijak di pengadilan. Ini pameo yang sering dikutip di kalangan wartawan dan kena benar: menjadi jurnalis adalah menempuh sebuah pekerjaan yang penuh risiko. Tak hati-hati, jeruji penjara menunggu.

Belum lagi risiko saat liputan. Sejauh ini belum ada asuransi khusus kecelakaan karena meliput peristiwa dan mencari informasi.

Tapi, bukan, bukan karena penjara para wartawan takut menulis. Penjara hanyalah salah satu persianggahan saja jika memang itu pilihan terakhir yang harus ditempuh. Yang paling menakutkan para wartawan adalah runtuhnya kredibilitas. Media adalah bisnis kepercayaan. Sekali orang tak percaya tamatlah riwayat media itu. Ia tak akan mendapat tempat.

Karena itu orang meminta undang-undang yang mengatur pekerjaan wartawan itu lex specialist, tidak disamakan dengan pengadilan untuk seorang kriminal. Pengadilan pun ditempuh dengan pengadilan sebelumnya, yakni prosedur dan kode etik. Dua hal inilah yang akan menentukan kredibilitas seorang wartawan masih tegak atau runtuh. Saya kira, wartawan yang terpaksa masuk penjara setelah dua hal krusial ini terpenuhi akan melenggang dengan dada membusung.

Setiap kali selesai menulis sebuah laporan investigasi, saya selalu bertanya kepada diri sendiri: sudahkah saya menempuh prosedur itu dengan benar. Kaitan fakta-fakta, logika cerita, sampai kesimpulan yang nampak dari seluruh tulisan itu. Juga soal adil. Sudahkah saya adil terhadap fakta, data, informasi yang saya dapatkan lalu saya kunyah lalu saya muntahkan itu; dan adil kepada narasumber.

Para "tersangka" dalam sebuah tulisan jurnalistik adalah tertuduh dengan tanda kutip. Mereka, dalam jurnalisme yang sehat, juga punya hak mendapat tempat. Sebab, kebenaran terdapat di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka. Maka lahirlah kemudian wejangan yang menyebutkan agar wartawan memelihara sikap skeptis dan mau terus menguji asumsi dan hipotesis-hipotesisnya.

Tulisan jurnalistik tentu saja bukan pengadilan publik. Kesimpulan yang ada di sana adalah kesimpulan yang terbatas pada fakta yang terungkap di sana saja. Wartawan bukan seorang penyidik--meski metode yang tempuh keduanya mirip. Penyidik, dengan segala kewenangannya yang dilindungi undang-undang, bisa meminta semua data, merokonstruksi fakta-fakta dan kesaksian, lalu menjatuhkan vonis.

Karena itu ada "kebenaran jurnalistik" ada "kebenaran hukum". Dua-duanya bisa sama, dua-duanya seringkali berbeda. Dalam jurnalistik--karena keterbatasan daya jangkau para wartawan--selalu ada ruang salah dari kebenaran-kebenaran yang ditampilkan itu.

Wednesday, April 30, 2008

SURAT SEORANG YANG DIAMPUTASI PARU-PARUNYA

Menjadi wartawan rupanya ada gunanya juga. Seorang ibu dari Deli mengirim surat kepada seorang teman. Ia berterima kasih kepada teman itu karena telah menulis sebuah laporan yang membuat hidupnya kembali bergairah.

Syahdan, paru-paru kiri ibu dua anak ini membusuk, sejak kecil. Ia sudah muntah darah, dan tak ada cara lain kecuali organ busuk itu dibuang. Biaya amputasi Rp 70 juta, biaya yang tak mudah bagi seorang asisten apoteker di Medan. Lalu ia membaca laporan itu tentang seorang bapak yang rahangnya membusuk karena sebuah tumor ganas bersarang di dagunya.

Bapak itu sembuh setelah ditolong sejumlah dokter yang berpraktek di kapal Mercy, kapal perang Amerika yang luasnya tiga kali lapangan sepak bola. Para dokter membuang rahang itu dan menggantinya dengan tulang rusuk. Bapak itu kini bisa meneruskan hidupnya dengan nyaman: bisa kembali makan, minum, dan berbicara.

Selesai membaca laporan tiga halaman di majalah Tempo itu, ibu dari Deli ini berdoa, agar Tuhan mendekatkan kapal itu yang sudah pergi dari laut di sekitar Aceh itu, setelah tsunami menghantam di akhir 2004. Dan gempa hebat masih mengguncang dataran Sumatera. Mercy harus mundur untuk merawat kembali korban mala dahsyat itu. Ibu Deli itu lalu ke sana, paru-parunya diamputasi, dan ia kini mengaku lebih optimistis menjalani hidup.

Di akhir suratnya, ia menulis begini: "...teruslah menulis, dan bersemangat, karena anda tidak tahu kebaikan kecil bisa berharga bagi orang lain..."

Tuesday, April 29, 2008

SEORANG TEMAN YANG GUSAR

"Untuk apa sebetulnya kita susah-susah menulis ini," seorang kawan menyerbu dengan pertanyaan itu sambil membolak-balik sekumpulan tulisan investigatif. Ia, mungkin, sejenis banyak kawan Anda juga yang geram dengan keadaan. Setiap hari ia membaca pelbagai berita penangkapan koruptor, setiap pekan ada saja maling yang dicokok, setiap bulan sebuah tulisan investigatif--yang mengulik hingga tuntas sebuah kasus--muncul, toh makin banyak saja orang yang korupsi. Buktinya, berita-berita semacam itu kian meruyak.

Ia pernah menjadi bagian dari sebuah tim investigasi sebuah majalah. Ia tahu betapa tak mudahnya menulis kasus-kasus dengan dalam. Perlu energi ekstra dibanding liputan biasa. Butuh kejelian, data yang cukup, kerja lebih keras, dan kadang-kadang nekad. Lalu keadaan pun tak berubah: korupsi dan penyelewengan, juga persekongkolan, kian menggila.

Saya tak bisa menjawab, meski saya merasakan apa yang ia rasakan. Mungkin karena sepenanggungan itu, saya tak bisa menjawab atau sekadar menanggapi. Tadinya, saya ingin menimpali begini, pernyataan yang sering diulang-ulang oleh para ahli jurnalistik: bahwa media tak bertanggung jawab terhadap perubahan dari kebobrokan yang mereka tulis. Perubahan itu tanggung jawab mereka yang hidup dari pajak kita, para pejabat itu. Wartawan hanya membuka kebobrokan itu, tak perlu ikut repot memikirkan dan mencari solusinya.

Saya merasa, kini, jawaban seperti itu sama frustrasinya dengan orang-orang seperti teman saya itu. Kita menulis, lalu menunggu perubahan. Kita menulis, lalu pasrah, dan tahu tulisan semacam itu akan segera dilupakan. Barangkali jawaban frutrasi semacam itu hanya bisa dilontrakan di "zaman normal", di sebuah peradaban, bukan zaman ndableg seperti sekarang ini.

Sebab di Amerika sono, ketika wartawan Washington Post menulis kebobrokan layanan rumah sakit tentara (lalu menggondol Pulitzer yang prestisius itu), semua jadi sibuk. Kepala rumah sakit diganti, semua perawat disingkirkan, presiden memerintahkan--secara terbuka--reformasi di rumah sakit itu.

Saya baca laporan berita itu, ah, rasanya jauh lebih sederhana dibanding liputan-liputan wartawan di sini. Tulisan itu hanya "menemukan" penderitaan para tentara yang terluka di medan perang Irak atau Afganistan, lalu menyiarkannya. Di sini, laporan investigasi ditulis hingga ketemu "para tersangkanya" mereka yang bersekongkol menilap duit-duit kita, modal sosial kita untuk menikmati hidup lebih baik. Toh, keadaan tak berubah juga, termasuk pejabat-pejabatnya, termasuk maling-malingnya.

Tapi, agak muluk juga seorang wartawan bekerja mengharapkan perubahan semacam itu. Tugas kami memang cuma sebatas itu. Tak lebih. Meliput, menuliskan, lalu menyiarkan. Titik. Selesai sampai di sini. Sebab, kami tidak tahu adakah mereka yang punya kekuasaan itu membaca berita tentang mereka.

Mungkin membaca. Sebab, mereka ini kemudian ikut mengumpat keadaan juga, lalu berapi-api menyodorkan sebuah solusi. "Kuncinya, memang hukum harus ditegakkan," kata seorang pejabat, yang lama hidup di luar negeri yang tertib dan punya sistem hukum yang rapi dan kuat, mencapai doktor dari universitas terkemuka, kemejanya licin, dan rambutnya mengkilap pomade.

Lalu ia bercerita soal ketertiban di negara yang pernah ia tinggali itu. Semuanya bagus, semuanya bikin iri, semuanya menawarkan surga-dunia. Ia pun minta dikutip untuk satu-dua pernyataan, beberapa solusi yang ia tawarkan, dua-tiga patah petuah dan luapan kejengkelan, lalu menyodorkan amplop. "Sekadar untuk bensin," katanya.

Barangkali, ini sebuah cerita yang sudah jadi umum di sini. Tapi, saya kian tahu, kenapa teman saya itu begitu gusar.

Saturday, April 26, 2008

Saturday, April 19, 2008

RUMUS TEPAT WAKTU

Kita seringkali lebih menghargai orang yang terlambat dibanding yang tepat waktu.
Di masjid-masjid, orang lebih mementingkan salat sunah dibanding salat wajibnya. Setelah semua selesai sunahpun, salat wajib kadang belum dimulai juga karena ada seseorang yang biasa jadi imam belum datang. Celakanya, sang imam itupun begitu datang masih sempat-sempatnya salat sunah. Padahal, ada ayat yang memerintahkan agar orang Islam segera salat begitu waktunya tiba.
Dalam undangan-undangan, saya sering menjumpai acara dimulai pukul 09.00 WIB. Prakteknya, acara baru mulai pukul 10.00 WIB. Itupun jika semua sudah datang. Jika ada satu undangan saja yang belum datang--apalagi orang penting--pembawa acara akan mengumumkan kita harus sabar menunggu kira-kira setengah jam lagi.

Teman saya juga melakukan hal yang sama. Tujuannya justru agar semua orang tepat waktu. Ia menulis pukul 15.00 WIB untuk jadwal keberangkatan bus pukul 16.00 WIB. Celakanya, dia sudah mengumumkan jadwal keberangkatan pukul 16.00 WIB itu sebelumnya. Maka sia-sialah upayanya. Besoknya, bus tetap berangkat pukul 17.00 WIB.

Jurus teman saya itu kini sudah jadi jurus yang umum. Sebagian kita (barangkali) baru berangkat pukul 19.00 untuk undangan pukul 19.00. Sebagian kita menduga bakal ada orang lain yang telat dari jadwal itu.

Akhirnya, semua saling menunggu, semua saling menyangka setiap orang akan telat. Kita berangkat telat agar begitu datang acara bisa langsung dimulai. Sebab, menunggu adalah pekerjaan paling menjengkelkan, meski kita tahu keterlambatan kita menyebabkan orang lain menunggu juga.

Ini hanya soal faktor tabiat, belum memasukkan variabel macet. Bagi orang Jakarta yang menghabiskan dua jam umurnya di jalan, menghadiri sebuah acara harus mengalokasikan waktu untuk menempuh macet.

Jika macet kira-kira dua jam, semestinya kita berangkat tiga jam sebelum acara dimulai. Nah, setelah ditambahkan unsur "malas menunggu" tadi itu, jadinya kita baru menuju tempat acara satu jam sebelum dimulai. Kita mengalokasikan telat sekitar satu jam.

Maka di Jakarta, alasan terhadang macet adalah alasan yang wajar dan tak akan ada yang diprotes. Kita sudah sama saling maklum soal rumus tepat waktu yang merupakan penjumlahan dari durasi macet + malas menunggu itu.

Friday, April 04, 2008

JAKARTA



Ada juga orang Jepang yang menyalip di antrian masuk subway. Waktu itu, akhir Maret yang masih dingin, stasiun kereta Kyoto sibuk sekali di pagi hari. Orang-orang berlari karena jadwal keberangkatan tak bisa dicegah.

Saya yang membawa dua koper lumayan berat mengantri menunggu kereta ke bandara Osaka datang. Dari belakang, seorang (mungkin) nenek, menerabas barisan ketika pintu kereta terbuka lima menit kemudian.

Ia mendesak punggung saya hingga mepet ke daun pintu dan terjepit dengan penumpang di depan yang belum menjejakkan semua kaki di gerbong. Nenek itu buru-buru mencari kursi di dekat sambungan gerbong, dengan empat teman lainnya--yang semuanya memakai gigi perak. Saya berdiri dekat pintu bertelekan koper-koper.

Saya sudah lupa kelakukan empat nenek riang itu, ketika kaki menginjak lantai bandara Cengkareng. Pintu terbuka, udara gerah Jakarta menyapa. Para penjemput membentangkan nama-nama penumpang yang mereka nanti di pintu lorong pesawat. Astaga. Mereka berlari begitu jemputannya kelihatan: membawakan koper, menyalami, menyapa--itu jauh, jauh sekali, dari pintu imigrasi. Kok bisa? Ini sudah Jakarta--sebuah kota yang penuh deru campur debu.

Menuju meja imigrasi orang berlomba, saling mendahului, ambil posisi. Mengantri koper orang menyalip, tak peduli ada anak kecil kejepit. Mereka mungkin buru-buru, menyesuaikan dengan irama kota yang serba tergesa, entah untuk apa. Mungkin mencari udara terbuka untuk segera bisa merokok.

Dan di kantor pos, lima hari kemudian, orang juga saling menyalip menyodorkan bungkusan dan amplop kepada petugas, yang sibuk dan tak peduli dengan antrian. Seperti seseorang yang mengirimkan foto untuk "Harian Aceh Independen" itu.

Ia datang dengan sebuah amplop lebar, lalu--dengan menerobos lengan saya--melemparkannnya ke timbangan. Saya meliriknya, dan dia pura-pura tak melihat apapun. Petugas itu pun memeriksa berat amplopnya, dan mengesampingkan amplop saya untuk KPP Bandar Lampung itu, yang kecil dan putih itu.

Seharusnya, saya tak jetleg lagi.

Sunday, March 30, 2008

SERIUSNYA ORANG JEPANG




Betapa seriusnya orang Jepang dalam segala hal. Di sungai Kamo--yang bantaran kiri-kanannya ada taman sakura, bangku-bangku yang cantik, dan beberapa lapangan bermain--sepasang suami-istri bermain tolakkan. Ketika lemparan keduanya nyaris sama dari titik pusat, si istri mengeluarkan meteran dan mengukur jarak dua peluru besi itu. Si istri bersorak karena pelurunya lebih dekat--mungkin cuma beberapa mili.

Atau acara televisinya. Di NHK ada acara dua jam menghadirkan 20 fanelis membahas bagaimana binatang makan. Setiap fanelis mengomentari setiap binatang yang ditayangkan itu. Dan liputannya bisa sampe New Zealand atau Afrika Selatan.

Tak hanya serius, mereka juga mau repot. Menulis kanji itu ada aturannya, dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Jika dari arah berlawanan, kanji itu bisa tak ada artinya kendati bentuknya mirip.

Beda dengan huruf latin. Huruf E bisa ditulis dari segala arah asalkan bentuknya menyerupai garfu buntung. Dan kita mengerti itu huruf E yang bisa berarti jika bergabung dengan huruf-huruf lain. Konon, anak muda sekarang--yang modis dan dimanjakan teknologi--sudah jarang yang bisa menulis kanji meski masih bisa membaca. Komputer dan ponsel membuat mereka alfa.

Jepang adalah negeri yang tak sungkan menyerap hal-hal dari luar tanpa melupakan apa yang sudah ada di dalam. Di sini pom bensin ditulis dengan bahasa Inggris dengan menyertakan bahasa lokal dengan kanji. Anak-anak muda tampil modis, meski terkesan agak korban mode: di halte itu anak-anak perempuan memakai bot sampai lutut dengan membiarkan paha tertampar cuaca dingin karena celana yang super pendek.

Tapi repot dan serius itu memang banyak manfaatnya. Jalanan rapi, jadwal kereta tertib. Selain bisa membuat orang Jepang juga mau dan mampu merawatnya. Di sini tempat wisata sebagian besar bermuatan sejarah: kuil-kuil, beneteng, dan istana kaisar.

Kitano Tenman-gu di pusat Kyoto berusia 1.061 tahun, tapi masih resik dan terawat. Selain dalam brosur, informasinya bertebaran di Internet. Para turis sudah tinggal menikmati "aroma sejarahnya" jika berkunjung ke tempat-tempat wisata yang jarang menyediakan pemandu.

Bagi kita--bangsa konsumen ini--merawat adalah problem yang bikin repot. Kereta reot dengan bangku dan dinding yang penuh coretan, bau, dan becek. Masinis kerepotan mencegat penumpang tak bertiket karena malas menciptakan aturan dan mekanisme yang memaksa orang mau beli tiket. Jadwal keberangkatan seringkali tak pasti. Ini, tentu, setelah kita mengenyampingkan faktor korup para pengelolanya.

Mungkin Jepang tak bisa dikejar. Terutama dari sisi teknologi. Dan teknologi butuh biaya mahal. Sementara kita, konon, masih miskin--meski APBN zaman Megawati cuma Rp 400 triliun dan kini jumlahnya dua kali lipat.

Jepang juga dulu hancur. Mereka terpuruk pasca perang dunia. Tapi mereka bangkit, mungkin dengan melakukan segala hal dengan serius itu tadi.

Saturday, March 29, 2008

BUKU JEPANG



Selain mobil dan rumah yang mini, buku-buku cerita Jepang juga juga berukuran kecil. Sehingga orang bisa memegangnya dengan satu tangan di bus, di kereta, di halte. Simpel dan mudah dibaca, dengan kertas kuning yang bagus. Buku itu bisa disimpan di saku jas atau jaket, sehingga gampang ditarik ketika akan dibaca.

Dan tak ada orang yang tak baca buku di kereta, subway, trem, atau bus. Mereka membaca sambil berdiri: satu tangan memegang buku, tangan lain berpegangan. Mereka membaca kendati perjalanan hanya dua atau tiga stasiun. Yang tidak membaca biasanya tidur atau menonton televisi lewat ponsel, atau main gim, atau membaca dan mengirim sms. Tak ada gaduh atau brisik. Yang mengobrol memelankan suara.

Dan membaca, agaknya, bukan sebuah kegiatan yang istimewa. Ini sebuah kebiasaan membunuh waktu percuma. Membaca sama dengan duduk, berdiri, menguap. Para pembaca tak diselidik-selidik sedang membaca buku apa. Atau mereka yang baca juga tak merasa diri "orang terdidik" yang memanfaatkan waktu luang dengan pegang buku, sementara sudut mata lirik kiri-kanan mencari adakah orang yang memperhatikannya.

Ah, saya sedang menempuh Kyoto-Osaka, bukan Jakarta-Bogor di kereta Pakuan.

Wednesday, March 26, 2008

ORANG JEPANG



Jangan bertanya kepada orang Jepang, karena dia akan meninggalkan segala urusannya untuk menjawab pertanyaanmu. Saya berbelanja di sebuah toko sayur dan iseng bertanya, apa nama benda seperti kayu menyerupai singkong yang dijual di tokonya. Ia berhenti menghitung belanjaan, menghampiri saya dan menyebutkan sebuah nama dalam bahasa Jepang.

Tentu saja, saya tidak mengerti. Dengan bahasa Inggris yang cekak, ia berusaha menjelaskan semampunya. Tetap saja saya tak mengerti. Pembeli, sementara itu, mengantri akan bayar. Dengan perasaan tak enak saya memintanya kembali ke mejanya. Ia meminta maaf karena tak bisa bikin saya mengerti. Saya juga minta maaf karena menyela pekerjaannya.

Urusan rupanya tak berhenti di situ. Setelah pembelinya selesai membayar, ia kembali menghampiri saya yang masih melihat-lihat. Ia kembali menjelaskan tanaman itu. Aduh, dua kali menjelaskan, dua kali pula saya tak mudeng. Ia kesulitan mencari terjemahan nama (mungkin sejenis ubi) dalam Inggris. Saya menyudahi dengan pura-pura mengerti. Ia meminta maaf jika penjelasannya tak memuaskan. Saya mengangguk sekali, dia dua kali.

Sampai di rumah, saya tahu jawabannya. Dalam buku Polite Fiction--sebuah buku kecil yang menarik tentang bertolak-belakangnya budaya Amerika dan Jepang dan menjadi bacaan wajib kelas persilangan kebudayaan--Nancy Sakamoto menjelaskan bagaimana orang Jepang menjawab pertanyaan. Setiap orang Jepang, kata Nancy, akan merasa bertanggung jawab jika ditanya. Ia akan menjelaskan semampunya, tak peduli ia pun sedang sibuk dengan urusannya.

Nancy, seorang dosen Amerika yang mengajar di universitas Jepang, lalu bersuamikan orang Jepang. Ini buku pengalamannya sendiri bagaimana bergaul dalam budaya yang segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Suaminya mengeluh ketika mengunjungi Amerika karena di sana orang bertanya remeh temeh di meja makan. Pak Sakamoto sampai tak selesai makan karena harus menjawab setiap pertanyaan. Sementara orang Amerika makan sambil berbicara.

Dalam buku itu, seorang Amerika teman Nancy berkunjung ke Jepang dan menyewa guide untuk pelesiran. Di sebuah kuil, sambil melihat-lihat, si Amerika itu iseng bertanya: berapa tinggi pohon plam itu? Celaka, si guide tak memegang informasi itu. Ia pun minta maaf. Esoknya, ketika si Amerika sudah punya urusan lain, si guide menelepon. "Saya baru saja dapat informasi tinggi pohon yang anda tanya kemarin...." Astaga.

Istri saya mengalami juga. Sewaktu ia baru datang ke sini, di kampus ia akan menyalin satu tulisan. Mesin foto copy ternyata macet. Ia bertanya kepada temannya yang sedang makan siang, kenapa mesin ini tak berfungsi. Si teman, tanpa disangka, bangkit dan meninggalkan makanannya itu. Ia berniat mengopikan kertas istri saya itu. Mereka sampai tarik-tarikkan kertas karena istri saya tak mau mengganggu makan siangnya, sementara teman Jepang keukeuh membantu menyalin di mesin lain.

Di sini, orang bertanya disangka minta bantuan. Karena dari kecil serba mandiri, orang Jepang melakukan segala hal sendiri. Ketika ada orang lain minta bantuan, mereka menyangka orang itu sudah tak sanggup melakukannya sendiri, untuk hal remeh sekalipun. Dan orang Jepang, kata Nancy, menganggap orang lain itu "superior". Tapi, seorang teman membisikkan, orang Jepang diam-diam menganggap diri mereka "ras" terbaik. Dan, ini jeleknya, kadang lain di mulut lain pula di hati, juga terkesan tak peduli.

Di stasiun Kyoto, misalnya, saya lihat seorang nenek bongkok kesulitan naik tangga dengan tas di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri. Ratusan orang yang menyalip si nenek itu seolah tak peduli di sana ada manusia sedang kepayahan. Saya sudah geregetan ingin membantu membawakan tasnya. Tapi, bantuan saya mungkin akan ia tolak, atau saya malah akan dianggap aneh karena menolong seorang nenek di tangga stasiun, salah-salah dianggap akan melakukan kejahatan. Wah...

Tuesday, March 25, 2008

JALANAN JEPANG



Di Jepang, ditilang di jalan adalah sebuah aib. Seorang gadis tak mau keluar dari mobilnya ketika pak Polisi sibuk mencatat nama, nomor mobil, tanggal, dan waktu pelanggaran. Dia mencatat lama sekali. Saya yang menontonnya dari seberang jalan di samping Kyoto Perpectural, sampai menghabiskan setengah es krim.

Akhirnya si gadis itu keluar juga. Ia menunjuk-nunjuk ke arah ia parkir salah tadi. Di sana, rupanya, ada mobil lain juga yang melanggar. Pak Polisi terus menulis, si gadis terus menunjuk-nunjuk. Ia balik ke mobil, pak Polisi belum selesai juga. Tak tahulah apa yang dia catat dalam dokumen tilang itu.

Dan adegan itu menjadi tontonan para pejalan. Ada yang iseng-iseng mengintip apa yang ditulis si polisi itu, ada yang menyalakan kamera dan mengambil gambar adegan tilang itu, ada yang memotret--seperti saya. Saya pikir ini mungkin kejadian langka karena orang Jepang sendiri terlihat begitu ingin tahu dengan adegan tilang itu. Mereka saling berbisik, sengaja berhenti untuk menonton, atau cuma tersenyum dan geleng kepala sambil terus berjalan.

Catat-mencatat itu selesai juga. Si Gadis kembali ke mobilnya dengan cemberut. Ketika akan menutup pintu, sepasang manula menyalipnya dengan sepeda, dan entah berbicara apa sambil tertawa. Yang jelas, si gadis kembali naik pitam. Ia tak henti mengomel dan mengacung-acungkan tangan ke arah penunggang sepeda itu.

Pak polisi, sementara itu, kembali ke arah mobil yang ditunjuk si gadis. Mungkin ia mau menilang pengemudi salah parkir yang lain.

Ditilang rupanya memang sebuah aib. Apapun kesalahannya. Di negeri yang tertib seperti Jepang, aib datang dari kerumunan, dari hukum sosial yang tak jelas pasal-pasalnya, tapi mengikat orang dan menjadi pelumas dalam hukum positif. Atau, mungkin juga, karena orang Jepang gampang dan bisa diatur, dengan pasal paling rumit sekalipun.

Dan di jalanan itu orang teratur. Jalanan sepi dari bising suara. Tak ada bunyi klakson yang mengagetkan. Orang khusyuk berjalan atau mengemudi. Yang mengobrol memelankan suara.

Mobil-mobil berhenti jauh di belakang garis stop, yang jaraknya lima meter dari zebra cross. Kalau lampu sudah menyala merah, penunggang sepeda motor yang tanggung melaju pun akan berhenti dan kembali mundur. Sebab jalanan itu, selama satu menit itu, milik pejalan dan penunggang sepeda.

Dan orang tak malas menyeberang. Perempatan selalu menyediakan zebra cross dengan lampu merah menyala selama seukuran langkah bayi sampai ke ujung sana. Tak ada jembatan penyeberangan yang bikin repot.

Ada memang yang melanggar. Seperti di dekat persimpangan Kyoto University itu. Puluhan pejalan, dengan jas lengkap, overcoat, atau jaket yang necis, sedang menunggu lampu menyebang berwarna hijau ketika sepasang anak muda menyelonong karena mobil di simpang lain sudah berhenti.

Mereka mengira lampu segera akan hijau. Ketika tahu langkahnya tak diikuti pejalan lain, yang perempuan ketawa sambil menenggelamkan mukanya ke dada pacarnya. Rautnya memerah malu. Mereka lalu berjalan cepat diikuti tatapan puluhan pasang mata penyeberang lain.

Di sini angkutan publik juga efektif, selain pasti karena tepat waktu. Bus berhenti di halte dengan pintu masuk persis di lantai kuning tempat penumpang berderet antri. Mereka naik dari pintu belakang, dan turun dari pintu depan sambil menyodorkan tiket terusan 500 Yen yang bisa dipakai seharian ke mana dan bus apa saja.

Pak sopir--dengan jas, dasi, sarung tangan, dan mikropon--itu tinggal duduk di kursinya, lalu mengemudi dengan waspada. Tak perlu mengatur duduk penumpang, karena tanda gambar sudah berbicara banyak: ibu hamil, bawa anak, orang sakit, dan jompo mendapat prioritas kursi. Dan penumpang, di sini, tak antusias mendapat kursi. Meski bus lowong dan kursi kosong, orang-orang muda memilih tetap berdiri. Bus-bus tak memerlukan kernet yang meneriakkan jurusan. Nomor bus adalah jurusan itu.

Sepanjang hari pak sopir itu tersenyum kepada setiap penumpang yang turun, mengangguk, dan mengucapkan "arigato". Ia akan sigap menaikkan penumpang yang memakai kursi roda hingga duduk nyaman di dalam bus, dan memastikan kursi roda tak menggelinding ketika bus berjalan dengan mengikatkannya ke kursi lain.

Begitulah, di sebuah peradaban, orang bisa mengatur dirinya sendiri.

Saturday, March 15, 2008

CATATAN 30



ada gagak hinggap di antena
--sebuah tanda pagi yang menyiksa

matahari cuma cahaya

alarm itu, barangkali, hanya sebuah karilon
pada jam-jam yang basah. kyoto mendesah
malam, lalu kita bergumam, hanya singgah
di balkon

kota pun masih tidur
sirine cuma melindur

tapi kenangan itu sudah pergi

Wednesday, March 12, 2008

KYOTO



Pagi menggeliat di Kyoto. Jangan menelepon orang jam 10, mereka masih tidur. Kerai toko belum naik. Jalanan lengang. Padahal ini akhir musim dingin, ketika termometer kembali bisa mencatat udara: 10 derajat Celcius. Hari cerah, matahari berkibar-kibar.

Kota tua ini baru hidup menjelang tengah hari. Penjual sayur dan kembang baru menata dagangannya di kaki lima dengan payung terpal seadanya. Orang-orang keluar rumah dengan sepeda atau berjalan kaki di trotoar yang resik. Mereka tak lagi memakai jaket tebal atau kupluk dan sarung tangan, meski tetap dengan jaket atau sweter dan sepatu.

Kebanyakan orang-orang tua, sangat tua. Jika di Jakarta, mungkin mereka akan diam saja di rumah, alih-alih berjalan-jalan di sepanjang trotoar. Tapi di sini hak mereka terjamin, sama seperti mamalia lain yang berjalan tegak, bisa bernapas dan berpikir, yang kita sebut manusia. Mobil-mobil akan berhenti jika mereka akan menyeberang, sementara tak ada lampu merah di jalanan satu arah yang sempit.

Juga di trotoar. Tak ada pedestrian atau kaki lima selebar tiga meter seperti di Jakarta. Di sini trotoar cukup satu sampai 1,5 meter saja. Tapi di sana banyak hal tertampung: sepeda, pejalan kaki, warung-warung. Jika akan berpapasan, satu mengalah, seringkali dua-duanya. Biasanya, orang tua yang didahulukan, baru yang membawa anak, kemudian yang muda-muda. Mobil? Sabar, nanti belakangan.

Jepang adalah sebuah negara yang efektif. Rumah-rumah, jalan-jalan, mobil-mobil, berukuran mini. Kemubaziran dihindari. Hal ihwal dibuat untuk difungsikan.

Orang Jepang terkenal sopan dan penurut. Jared Diamond memasukkan orang Jepang sebagai kekuatan dunia modern. Sikap dan budaya mereka, tulis Jared dalam Guns, Germs, and Steel--yang memenangi Pulitzer itu--adalah contoh sebuah peradaban.

Bayangkan, mereka mau saja diatur memisahkan sebelas jenis sampah sebelum dibuang. Tapi itu di Minamata. Di Kyoto, sampah cuma ada dua jenis: plastik dan bukan plastik. Karena itu kota lama ini masih tergolong kota yang tak ramah lingkungan. Astaga! Padahal tak ada sampah dan ludah di jalanan, apalagi comberan.

Sebagai orang Indonesia saya malu. Dan kita tertipu. Kita dibuai oleh sejarah yang mengecap kita sebagai bangsa yang santun. Saya merasa, di Kyoto ini, cap itu sebuah cemooh. Kita tak pernah bisa diatur dan mengatur diri sendiri. Kita tak pernah bisa menghormati hak orang lain, seperti orang Jepang menghormati manusia lain, seperti di jalanan itu.

Seperti umumnya turis, saya memotret setiap sudut jalan. Hanya di trotoar itu saja. Saya tak sadar di belakang ada pejalan lain yang berhenti karena potret saya itu. Mereka menunggu saya selesai mengambil gambar, meski saya sudah mepet ke sisi untuk memberi jalan mereka. Tapi mereka tetap diam. Saya mengangguk karena mereka mengangguk. Saya mengangguk sekali, mereka dua kali. Kemudian mereka lewat dengan memberi permisi.

Santun dari mana kita ini, Indonesia?

Sunday, January 27, 2008

PADA MENINGGALNYA SOEHARTO



Soeharto meninggal dan ada banyak hal yang bisa dikenang dari kepergiannya, meskipun saya belum sekalipun bersalaman dengannya. Pertemuan paling dekat saya dengan dia terjadi pada 2003, ketika dia pulang dari Rumah Sakit Pusat Pertamina setelah sepekan dirawat akibat pneumonia. Dia melambai ke arah kerumunan wartawan dengan senyum khasnya itu, dan saya berdiri dua meter dari kursi rodanya.

Tapi Soeharto menyimpan trauma, mungkin semacam ingatan yang tak mudah lekang. Soeharto telah merampas masa kecil saya.

Pada pertengahan 1980, Golkar begitu berjaya. Meski ada dua partai lain dalam pemilu, Golkar senantiasa menang, karena partai yang bukan partai itu menjadi mesin ampuh bagi Soeharto untuk terus menjadi presiden. Dan kampung saya belum punya listrik, jalan masih berbatu, irigasi barang mewah. Sementara menunggu subsidi mengucur bukan sesuatu yang arif.

Dan subsidi meminta syarat. Subsidi hanya dikucurkan dari kabupaten, atas nama inpres atau banpres, jika sebuah desa bisa menghidangkan 100 persen suara kepada Golkar dalam pemilu. Maka Bapak, seorang kader Golkar kecamatan, merancang semua itu: memanipulasi suara pemilih dengan membakar kertas suara untuk PDI dan PPP lalu menggantinya dengan suara Golkar di kertas baru, membujuk orang agar memilih gambar partai nomor 2. Di setiap pemilu dia sering telat pulang dan lupa makan terus berkeliling untuk kampanye. Dan hasilnya, kampung saya selalu 100 persen Golkar. Listrik pun masuk, jalan diaspal, dam dibangun dan sawah berlimpah basah.

Bapak pun dibenci orang-orang muda. Anak-anak muda tak mau mendengar orang-orang tua yang menganjurkan memilih Golkar lewat speaker masjid dalam kultum safari Ramadan. Mereka sembunyi-sembunyi pergi ke lapangan yang menggelar kampanye PDI di kabupaten. Mereka diam-diam mencetak gambar PDI di kaus-kaus berwarna merah dengan cat tembok. Atau menempelkan mural di pagar-pagar rumah. Dan teror ini tak boleh dibiarkan.

Para pamong desa terus membujuk dan mengecap siapapun yang tak memilih Golkar sebagai pembangkang, sedikit lagi bakal menjadi PKI. Siapa yang tidak takut? Anak-anak muda itu, barangkali. Mereka membenci Bapak dan orang-orang dekatnya. "Awas ada anak Golkar," ini celetukan yang saya dengar tiap kali saya ingin bergabung dan bermain. Sejak itu saya murung, saya terkucil, tak ada lagi teman bermain.

Kami, saya dan Bapak, jadi sering bertengkar untuk "soal-soal politik". Entah kenapa, ada saja bahan yang bisa saya ungkapkan jika Bapak memuji-muji Soeharto yang sedang pidato di TVRI. Acara kesukaannya Forum Negara Pancasila yang diasuh Tedjo Sumarto Sarjana Hukum di RRI yang dipancarluaskan seluruh radio swasta.

Saya sering diminta ikut mendengarkan acara Minggu pagi itu karena, "bisa berguna bagi pelajaran PMP". Saya sering mutung karena acara itu membajak cerita dan dongeng anak di radio kabupaten.

Saya marah, terutama, karena tak ada lagi teman bermain. Karena "saya anak Golkar", teman-teman sebaya tak ada lagi yang mau mengajak main bola atau berenang di sungai. Teman-teman saya adalah mereka yang seumuran dengan kakek saya. Saya menjadi peserta obrolan-obrolan sore yang membahas berita-berita di RRI. Pada umur sekecil itu, saya mendapat cerita bagaimana dulu PKI pernah berjaya di kampung ini, lalu orang-orang yang memilih partai itu diburu dan dikucilkan dan dibunuh. "Seperti adik kakekmu itu!"

Bagaimana dulu gerombolan DI/TII turun gunung merampok ke desa-desa. Dan analisis-analisis yang membahas apa yang terjadi seandainya hidup tak ada Golkar dan Soeharto. Saya mendapatkan "cerita-cerita politik" itu jauh sebelum guru-guru di sekolah mengajarkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Dan Bapak kecewa ketika terang-terangan saya bilang tak ingin jadi pegawai negeri. Perseteruan saya dengan Bapak kian meruncing menjelang 1998. Ketika Soeharto tumbang, Bapak diam saja ketika saya tanya pendapatnya. Dan ia surut dari mimbar kampanye. Ketika Pemilu 1999, ia tak lagi menjadi jurkam. Partai tak lagi cuma Golkar, orang bebas memilih. Mereka yang dulu paling getol membantu kampanye Golkar kemudian memilih partai lain. Tapi, Bapak tetap mengagumi Soeharto. Ia sering mengecam demonstrasi-demonstrasi. Bolak-balik ia menelepon agar saya tak usah ikut rame-rame itu. Ia sering menyalahkan reformasi yang tak bisa segera mengembalikan keadaan seperti di zaman Orde Baru.

Tapi ia pernah mengaku, apa yang ia lakukan dulu hanya agar "hidup menjadi lebih baik", bukan karena soal Golkar atau Soeharto belaka. Golkar adalah sarana ampuh mencapai tujuan itu. Tanpa memilih Golkar, begitu selalu ia mengulang, desa ini mungkin masih gelap gulita, sawah puso, jalanan berdebu. "Mungkin kamu belajar  masih diterangi lampu semprong," katanya. Menjadikan desa ini 100 persen Golkar membuat proposal pembangunan gampang dan cepat disetujui. Lihatlah, katanya, telepon hanya tiang kabelnya saja dan kini roboh karena Soeharto keburu tumbang.

Saya belum menelepon, apa komentarnya setelah mendengar Soeharto meninggal.

Friday, January 11, 2008

SURAT PEMBACA



Jika media massa adalah cermin hidup kita, kata sebuah pepatah Iran, kolom surat pembaca adalah cermin media massa itu sendiri. Setelah iklan kematian, masa depan sebuah koran atau majalah bisa dilihat dari surat yang ditampilkannya.

Konon, menurut sahibul survei, halaman ini paling banyak dan pertama dibaca orang. Di majalah saya, tentu saja setelah Catatan Pinggir. Bukan karena tempatnya paling depan setelah daftar isi berita apa saja yang ditulis pada pekan ini, tapi karena kebiasaan. Kolom surat menjadi semacam interlude sebelum memasuki berita-berita di halaman dalam. Lembar surat juga menjadi semacam hiburan. Orang ingin tahu apa yang menjadi masalah orang lain--sebuah asumsi dasar jurnalisme.

Peminatnya juga banyak. Setiap hari saya menerima puluhan surat. Isinya rupa-rupa: komentar atas peristiwa, protes, kekecewaan, kritik. Tentu saja di luar hak jawab. Dari semua itu yang paling banyak adalah komentar. Ada yang bagus, lebih sering yang muter-muter, bahkan cuma merangkum berita di media belaka. Opini si penulis sendiri tidak ada. Ada yang pendek, ada yang panjang ampun-ampunan.

Ada yang rutin, ada yang sekali-sekali. Yang rutin ini perlu dipuji. Setiap hari, dia menulis surat. Setiap berita dia komentari, setiap peristiwa dia hubung-hubungkan dengan peristiwa lain. Saya punya banyak alamat surat yang sama, tapi dengan nama berbeda-beda. Isinya juga tak jauh-jauh. Kalau bukan soal Munir, soal perbatasan negara, Aceh, atau isu-isu yang menyangkut militer. Mungkin dia intel yang tugasnya membuat opini publik. Di zaman Orde Baru, penggiringan opini semacam ini disebut "Operasi Sandi Yudha".

Para intel tahu betul, sebelum hasil survei keluar, surat pembaca menjadi media ampuh menggiring opini publik dalam suatu kasus. Kini pola itu masih ada. Pola baru justru sedang berkembang: mencari uang lewat halaman ini. Saya sering menerima surat seseorang yang mengatasnamakan lembaga swadaya, tapi isinya menyerang salah satu perusahaan. Mungkin si penulisnya diminta oleh perusahaan yang menjadi seteru perusahaan yang ditulisnya itu.

Ada juga yang mengatasnamakan LSM tapi opini yang dibuatnya tidak nyambung dengan soal yang seharusnya dia urus. LSM pengemis, misalnya, berbusa-busa menyoal teknologi panser. Mungkin duit juga ujungnya. Atau LSM yang sedang mencari nama. Isi suratnya melulu puja-puji kepada pejabat tertentu. Jika semua media menyerang pejabat A karena korupsi, LSM ini tampil dengan sederet puja-puji atas jasa-jasa si pejabat itu.

Tapi, ada juga yang mengharukan. Misalnya, seorang pensiunan dari Lembang, Bandung, menulis surat--dengan mesin tik yang tintanya sudah pias dan rebek--memohon bantuan dana membangun perpustakaan. Ia sudah 20 tahun berkeliling ke kampung-kampung membagikan buku dan majalah tanpa memungut biaya. Kini ia sudah tua, tak sanggup lagi mendorong sepedanya berkeliling. Ia pun membangun satu ruangan di rumahnya untuk rumah buku-buku itu. Uang pensiunnya tak cukup jika harus dibagi dengan ongkos kuliah anaknya.

Kolom surat pembaca memang cermin media massa dan pembacanya.

Tuesday, January 01, 2008

TAHUN BARU



Tuhan menciptakan waktu, manusia menciptakan tanda. Kita sadar, manusia punya ingatan yang sempit dan cepat lekang. Maka waktu pun harus dibatasi. Kita tak bisa menampung segala hal ihwal dengan kenangan. Sejarah hanya berbeda tipis dari lupa. Setiap 1 Januari orang menganggap waktu kembali. Di tanggal inilah, 365 hari yang lalu, bumi berputar dari titik yang sama. Bumi berputar, kita pun jadi tua.

Tuhan menciptakan waktu, manusia membuat pembeda. Kalender harus baru, tahun bertambah. Dan konsep waktu ini betapa membelenggu dan menipu. Tidakkah waktu itu selapis lorong yang melingkar, bukan garis lurus yang kita singgahi ini? Sehingga waktu seolah-olah bertambah terus, dari kalender-ke-kalender. Orang pun menandai 1 Januari sebagai tahun baru, selebihnya sesuatu yang rutin, lainnya menunggu.