Saturday, June 23, 2007

WARTAWAN ITU ENAK, KATA ORANG



MENJADI wartawan itu enak, kata orang. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution pernah menyebut wartawan sebagai "warga negara kelas satu". Apa-apa mudah, katanya. Bikin surat-surat gampang. Seringnya gratis pula. Sementara dirinya membuat surat pindah rumah saja harus bayar sekian ratus ribu.

Seolah-olah wartawan sejenis pekerjaan yang punya kekebalan tertentu di depan sejenis hukuman tertentu. Di jalanan, misalnya. Kartu pers, konon, ampuh membatalkan tilang. Saya tak pernah mencoba. Bukan karena tak sedang membawa kartu "sakti" itu, tapi tak punya keberanian menunjukkannya. Rasanya, ada yang salah jika saya keluarkan kartu itu, lalu bilang sedang meliput acara penting, kemudian menghiba dibebaskan. Keberanian itu mungkin tumpas karena, dalam hati kecil, saya tahu saya telah salah. Berbelok di jalur yang tak semestinya, misalnya. Dua kali saya pernah ditilang.

Tapi saya juga pernah bertengkar dengan polisi ketika akan ditilang karena lupa menyalakan lampu, di kolong jembatan Semanggi. Tempat ini memang "strategis". Pengendara sepeda motor tak akan menyangka ada serombongan polisi yang menunggu di tikungan. Jika sudah berbelok, mereka akan masuk "perangkap". Saya kira, polisi kelihatan benar mencari kesalahan orang, bukan mencegah pengendara berbuat salah.

Saya ngotot karena menyalakan lampu, ketika itu, belum menjadi peraturan resmi, baru woro-woro di koran. Lagipula saya lupa. Lupa memang bisa jadi tindak pidana. Bisa juga lupa menghindari penjara. Para koruptor itu sering berkelit dengan "lupa" jika diperiksa. Apa yang bisa diadili dari sebuah ingatan? Begitulah. Saya cuma lupa. Lampu saya tidak mati. Setelah otot-ototan polisi itu mengalah. Ia membiarkan saya melanjutkan perjalanan dengan pesan "jangan ulangi lagi lupa menyalakan lampu". Saya jawab, "Siap, kumendan!"

Belum lagi cap UUD alias ujung-ujungnya duit. Wartawan sering dicap mencari berita karena butuh duit. Mereka berharap atau terang-terangan meminta amplop. Yang ada duitnya, tentu saja. Setiap kali mengobrol tentang pekerjaan ini dengan orang lain, saya selalu khawatir dicap begitu. Sebab, sepupu mertua pernah bertanya begini: "Berapa ongkos taksi setiap habis liputan?" Saya terperangah. Mereka melek huruf. Tahu berita terbaru. Membaca gosip politik sampai tips merawat gigi. Bagaimana dengan mereka yang tak pernah mendengar mekanisme kerja wartawan? Saya shocked mendengar pertanyaan itu. Pantas saja, Bapak belum juga mengerti dengan pekerjaan anaknya.

Kerepotan lain, misalnya, ketika dulu bikin SIM. Orang lain sering bercerita gampang bikin SIM jika mengaku wartawan. Saya malah dicurigai. Begini cerita tiga tahun lalu, di kampung saya di bawah Gunung Ciremai:

Setelah mengisi formulir dan membayar biaya kesehatan, dst, sampailah saya pada ujian tulis. Di sini juga mengisi formulir. Saya mencantumkan "karyawan swasta" untuk kolom pekerjaan. Eh, petugas--lebih tepatnya sih calo yang pake seragam coklat--tumben-tumbenan menelisik-nelisik. Ia bertanya kerja di mana?

"Di Jakarta, Pak," kata saya, berharap pertanyaan berhenti.
"Jakartanya di mana? Saya juga punya saudara di Jakarta."
"Menteng."
"Apa nama perusahaannya?"

Nah, sampai di sini saya tertegun. Saya masih berharap, dengan tertegun, pertanyaan berhenti.
"Masak, swasta doang. Kan ada jenis-jenis pekerjannnya." Saya menduga-duga, untuk apa selidik-selidik begini.
"Di malajah, Pak."
"Majalah?"
"Ya."
"Ooo, kamu wartawan, ya?"
"Begitulah."

Petugas dengan kumis baplang sangadulang ini membisiki polisi yang berseragam jalanan lengkap di dekatnya. Dari jarak selangkah, saya mendengar bisik-bisik itu. "Dia wartawan. Ujian saja. Nanti ditulis berabe..." Hah, ujian saja gimana nih? Apa pula kok bisa berabe kalau ditulis.

Dia lalu menyodorkan soal-soal pilihan berganda yang harus dijawab. "Ujian aja ya.." katanya. Adakah pilihan lain selain ujian? Ada. Ya, nyogok itu. Makanya, dia takut juga ditulis minta-minta sogok SIM--bagus sih ada calo yang masih takut korupsi. Kalau keluar uang dua kali lipat dari tarif, ujian tulis dan praktek tak perlu lagi. Anehnya, ongkos bikin SIM saya ditotal-total sama dengan kalau nyogok tak pakai ujian. Asem.

Pak Anwar mungkin benar. Wartawan, menurut cerita-cerita Pramoedya Ananta Toer, juga terdengar seperti "warga kelas satu". Mereka penegak pilar demokrasi, begitu teorinya. Tapi mungkin itu zaman dulu. Zaman pers dan wartawan bekerja untuk kemerdakaan diri dan bangsanya. Saya, agaknya, selalu menderita dengan profesi ini.

Friday, June 08, 2007

SALAT JUMAT



Kali ini cerita soal salat Jumat. Tentu saja di sekitar Jakarta, masjid langganan saya ibadah mingguan itu. Di masjid ini, pesertanya selalu penuh. Warga sekitar dan pekerja kantoran di sekelilingnya. Masjid ini pun letaknya menempel dengan sebuah kantor mentereng yang halamannya luas tempat parkir mobil-mobil mewah dan desainnya modern: sebagain besar berdinding kaca.

Tokoh utamanya tentu saja salah satu makmum salat di sini. Dia selalu datang setiap kali kotib sudah setengah jalan memberikan kutbah. Saat masuk arena salat itu, ia akan mencari sajadah yang sudah dibentangkan oleh ajudan, seorang tinggi-besar dengan safari hitam plus emblem marinir menancap di kerah bajunya.

Karena ritual salat sudah hampir rampung, tempat duduk sudah hampir penuh. Jika orang lain menunggu kutbah dengan berdiri di pinggir-pinggir tenda karena tak kebagian tempat, tidak begitu dengan tokoh kita ini. Si tinggi-besar itu akan membeslah orang yang duduk di tempat biasa sajadah itu dibentangkan, yaitu di saf belakang, kolom dua, teras masjid ini. Orang yang dibeslah biasanya sudah menunduk karena ngantuk, sebab dia sudah datang sebelum adzan dikumandangkan. Dia tergopoh-gopoh dalam kantuk meloncat ke saf depan kendati di sana sudah tak kebagian tempat lagi.

Selang dua-tiga menit sejak sajadah dibentangkan, tokoh kita datang. Ia mungkin seorang bos di kantor mentereng itu. Sebab, sejak kedatangannya semua orang sibuk. Beberapa orang yang mungkin karyawannya akan mengangguk, berhenti mencari tempat duduk, lalu penjaga sepatu dan sandal dengan sigap menyongsong sandal jepit tokoh kita ini dan menempatkannya di rak paling atas.

Tokoh kita ini salat sunah dengan kecepatan superkilat. Menguap, mengusap-usap rambut, menarik-narik jari kaki, menggut-manggut (mungkin) mendengarkan kotib yang berceramah menyitir ayat Quran tentang kedudukan manusia yang sama di hadapan Tuhan, kecuali takwanya. Tentang kutbah yang itu-itu saja, tentang iman yang ngawang-ngawang.

Iqamat pun datang. Kami sembahyang bersama. Tokoh kita ini akan meninggalkan sajadah begitu saja, tanpa melipat atau membawanya, sebelum imam membacakan doa penutup. Si tinggi-besar safari hitam itulah yang akan merapikan sajadah itu. Kali lain seseorang yang lain, mungkin jongos di kantor itu.

Begitulah. Di masjid pun manusia merasa diri mereka sendiri tidak sama satu dengan yang lain.