Sunday, June 22, 2008

NASIONALISME

Dalam sepakbola, nasionalisme perlu segera direvisi. Guus Hiddink tanpa sungkan merayakan setiap gol pemain Rusia ke gawang Edwin van Der Sar--kiper Belanda itu. Ia juga terus gembira ketika pertandingan berakhir dan negaranya itu harus pulang karena dibantai dengan skor 1-3. Berbeda dengan Lucas Podolski yang menunduk ketika menjebol gawang Polandia, Hiddink gregetan setiap peluang gol hangus.

Dan sepakbola bukan sebuah "komunitas yang dibayangkan" dalam rumusan Benedict Anderson. Tak ada bangsa, tak ada negara. Sepakbola sebenar-benarnya globalisasi. Paspor barangkali hanya sebuah penanda asal seseorang. Batas negara hanya ada dalam atlas. Di lapangan hijau itu, yang ada adalah bagaimana mengalahkan lawan--tak peduli lawan itu negara sendiri: sebuah oksimoron paling nyata.

Piala Eropa kali ini memang penuh dengan centang perenang semacam itu. Hampir setiap tim diisi pemain lain negara--karena kelahiran, situasi politik, atau alasan ekonomi. Bahkan pelatih. Dan sepakbola adalah sebuah contoh bagaimana kekacauan "tanah air" itu tak menimbulkan chaos. Deco tak dikecam Brasil karena memilih Portugal. Hiddink barangkali hanya jadi gunjingan sesaat. Kecuali Podolski yang memantik amarah presiden Polandia hingga mau mencabut paspornya segala.

Dunia mungkin sedang menuju kapitalisme yang sebenarnya. Bagaiaman klub Inggris banyak dihuni pemain asing, bahkan pemilik-pemilik klubnya. Hasilnya, "negara sepakbola" itu tak lolos ke putaran final Piala Eropa karena regenerasi jadi mandek. Tak ada nasionalisme, tak ada kesempitan batas negara. Modal lebih menentukan. Hiddink bilang, baginya yang penting adalah profesionalisme. Ia menjadi pelatih pelbagai tim negara-negara lain sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai warga Belanda.

Suatu saat, tim sepakbola mungkin hanya perlu meminjam nama sebuah negara. Atau, negara nanti hanya perlu menyewa sebuah tim untuk berlaga dalam sebuah kejuaraan. Sebab, nama hanya sebatas penanda. Negara hanya hadir sebagai nama. Setelah itu pemain akan kembali membela klubnya masing-masing di negara-negara lain. Dan kita--bangsa penonton ini--toh tak perlu meninjau sejarah kolonilaisme untuk mendukung sebuah tim.

Saturday, June 21, 2008

BRUTAL

Turki menyingkirkan Kroasia, dan kita menyaksikan sisi brutal sepakbola. Kroasia yang tinggal merayakan kemenangan terkesima oleh gol Senturk Semih satu detik sebelum pertandingan berakhir. Pemain-pemain Turki yang berbahagia akhirnya bisa lebih lepas mengeksekusi tendangan penalti--kiper Recber Rustu tersenyum sebelum tos-tosan dimulai. Skor 3-1 untuk mereka.

Kita tak menyaksikan brutalitas sepakbola ketika Prancis kalah dari Italia. Pasukan Roberto Donadoni itu hanya beruntung: melawan sepuluh orang tua hanya menghasilkan dua gol dari bola mati. Prancis sejak awal sudah kelihatan lelah, kepayahan, tak percaya diri, tanpa Zinedine Zidane.

Dan Turki mungkin layak juara. Jika Belanda bermain sebagai tim sempurna, Turki adalah tim yang alot. Dua kali mereka membuktikan semangat menang bisa mengatasi segalanya. Mereka tak terpuruk ketika sudah tertinggal 2-0 dari Republik Cek. Mereka tak turun semangat kendati sudah kalah dari Kroasia dan pertandingan tersisa kurang dari satu menit. Barangkali seperti Yunani empat tahun lalu: "negara-bukan-bola" itu ingin membuktikan diri sebagia kuda hitam--bagaimana dulu Yunani yang kalah segalanya bisa melibas Portugal yang bermain tanpa cela.

Piala Eropa kali ini seperti arena "cuci dosa" pemain yang berbuat salah. Bastian Schweinsteiger membayar kartu merah ketika Jerman kalah 1-2 dari Kroasia dengan membobol gawang Portugal dan memberi umpan matang kepada Miroslave Klose dan Michael Ballack untuk membuat gol. Rustu membayar kesalahannya dengan memberi umpan bagus kepada Semih dan menghadang tendang penalti tiga pemain Kroasia.

Sepakbola itu seperti drama, kata Milan Kundera. Sebuah teater dua babak yang mempertontonkan hasrat purba manusia: saling menghadang dan mengalahkan. Sebuah brutalitas yang tak tepermanai. Sejarah sepakbola ternyata tak berubah kendati ada peraturan dan sikap fair play. Sepakbola--sejak dimainkan pertama kali 5.000 tahun lalu--tetap mempertontonkan semangat untuk menang. Dan dalam semangat itu senantiasa selalu ada luka.

Saturday, June 14, 2008

MAKLUMAT KE-INDONESIA-AN

Kita bersama-sama di sini, untuk menegaskan kembali Indonesia tempatkita berdiri. Indonesia sebagai sebuah warisan yang berharga, tapi jugasebuah cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para pendahulu,tapi juga titipan berjuta anak yang akan lahir kelak..

Kita bersama-sama di sini, untuk menyadari kembali, bahwa Indonesiaadalah satu prestasi sejarah namun juga proyek yang tak mudah. Dalambanyak hal, tanahair ini belum rampung. Tetapi sebuah masyarakat, sebuahnegeri, memang proses yang tak akan kunjung usai. Seperti dikutip BungKarno, bagi sebuah bangsa yang berjuang, tak ada akhir perjalanan.

Dalam perjalanan itu, kita pernah mengalami rasa bangga tapi jugatrauma, tersentuh semangat yang berkobar tapi juga jiwa yang terpuruk.

Namun baik atau buruk keadaan kita, kita bagian dari tanahair ini dantanahair ini bagian dari hidup kita: ‘Di sanalah kita berdiri, jadipandu Ibuku’…

Di sanalah kita berdiri: di awal abad ke-21, di sebuah zaman yangmengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telahmenyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namunakhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan. Abad yangpenuh harapan, tapi juga penuh korban. Abad sosialisme yang datangdengan agenda yang luhur, tapi kemudian melangkah surut. Abad kapitalismeyang membuat beberapa negara tumbuh cepat, tapi memperburukketimpangan sosial dan ketakadilan internasional. Abad Perang Dingin yang tak adalagi, tapi tapi tak lepas dari konflik dengan darah dan besi.
Abadketika arus informasi terbuka luas, tapi tak selalu membentuk sikaptoleran terhadap yang beda.

Dengan demikian memang sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakincepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalanbaru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan. Kini makin jelas-lah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untukmemecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagikini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrinyang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkahalternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengansumber-sumber kreatif yang beraneka..

Sejarah mencatat, Indonesia selalu mampu untuk demikian – sebabIndonesia sendiri, 17 ribu pulau yang berjajar dari barat sampai ke Timur,adalah sumber kreatif yang tumbuh dalam kebhinekaan.

Para ibu dan bapak pendiri republik dengan arif menyadari hal itu.Itulah sebabnya Pancasila digali, dilahirkan, dan disepakati di hari ini,61 tahun yang lalu..

Tidak, Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payahdalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang-menyumbanggagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Dengan demikiania mengakui perbedaan manusia dan ketidak-sempurnaann ya. Ia takmenganggap diri doktrin yang maha benar.

Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telahbelajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri maha benar.

Maka Indonesia tak menganggap Pancasila sebagai agama – sebagaimanaIndonesia tidak pernah dan tidak hendak mendasarkan dirinya pada satuagama apapun. Nilai luhur agama-agama menghilhami kita, namun justrukarena itu, kita mengakui keterbatasan manusia. Dalam keterbatasan itu, tak ada manusia yang bisa memaksa, berhak memonopoli kebenaran, patutmenguasai percakapan.
Maka hari ini kita tegaskan kembali Indonesia sebagai cita-citabersama, cita-cita yang belum selesai. Maka hari ini kita berseru, agarbangun jiwa Indonesia, bangun badannya, dalam berbeda dan bersatu!

Jakarta, 1 Juni 2006.

.Goenawan Mohamad

Tuesday, June 10, 2008

DIOBRAL: POTONGAN PENIS

Di Malioboro, penis-penis tak bertuan ini diobral Rp 30 ribuan. Saya tak sempat bertanya kepada penjaga, untuk apa mereka semua ini dikumpulkan...