Wednesday, December 31, 2003

DESEMBER

Ine, kenapa kita tidak ketemu?

31 Desember 1995. Saya kedinginan di puncak Ciremai. Ini, sejauh bisa mengingat, satu-satunya perayaan untuk menyambut matahari terbit di tahun baru, karena setelah itu setiap tahun baru berlalu begitu saja: sedang di jalan, hanya menonton televisi atau ketiduran. Waktu itu masih SMA dan kepingin juga ikut menyambut 1 Januari. Lagi pula, saya baru 17. Kalau tidak salah, pelakon Ine Febrianti juga mendaki Ciremai di akhir tahun itu, dan ketemu dengan calon suaminya. Apakah kita selisih jalan?

Berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Berkumpul dengan teman-teman sekelas lain di terminal di kaki gunung Ciremai. Jarak dari rumah ke terminal itu tak sampai satu jam.

Kami tak bersiap secara khusus. Ide mendaki Ciremai datang begitu saja, ketika pelajaran di kelas hampir berakhir. Hanya membawa dua jaket dan makanan untuk masing-masing orang, juga tenda sewa dari ruang OSIS. Seorang teman membeli satu slop Commodorre yang satu bungkusnya hanya lima ratus perak. Rokok dengan bungkus putih-hijau itu rasa dua hisapan pertamanya mendekati Marlboro yang harganya 3 ribu. Kelak rokok itu yang membawa perkenalan ke beberapa orang yang jauh lebih kedinginan. Seorang lagi membawa gitar

Sebelum malam, perjalanan harus sampai ke puncak. Ciremai terkenal dengan mahluk halusnya. Sering terdengar cerita para pendaki digoda penunggunya dengan hipnotis: semalaman tak menemukan jalan pulang dan hanya berputar-putar mengitari satu pohon. Jalanannya juga licin. Pada Desember, Kuningan selalu berhujan. Maka, ketika matahari belum lingsir kami sudah hampir mencapai puncak tertinggi di Jawa Barat itu. Dingin makin menusuk dan oksigen kian menipis.

Di puncak itu kami kelelahan. Hujan turun renyai. Semesta terungkup gelap. Ini puncak, lalu apa? Desember telah lewat. Pukul 0 orang tak sanggup gaduh. Ini Januari, mana matahari baru itu? Apa sebetulnya yang baru? Mungkin hanya almanak di meja belajar. Selebihnya adalah sesuatu yang rutin, sisanya menunggu. Yang berubah hanya angka-angka karena waktu toh berjalan seperti biasa. "Waktu diam, kita bergerak karena itu kita tua," sergah Michael Crichton.

Tapi apa sebetulnya arti Desember dan Januari bagi kita, orang-orang kepayahan di puncak gunung? Mungkin karena kita butuh penanda. Bahwa ada sesuatu yang harus berakhir dan bermula agar hidup tak jadi jemu. Manusia akhirnya menyadari bahwa ingatan tak selamanya panjang: harus ada batas pada sehimpun catatan. Dan ada batas lagi untuk memulai menulis catatan di lembar yang baru: bahwa jatah hidup kian berkurang.

Tahun baru disambut riang. Bukan karena itu 1 Januari, tapi karena waktu turun telah tiba. Matahari mulai memancar-mancar menerobos celas pinus yang basah. Gigil mulai hilang. Jalan tikus membentang, berkelok-kelok. Kami menyusur punggung gunung itu hingga sampai di Palutungan. Ableh, dll, ini lagu yang kita nyanyikan di tenda yang koyak itu.

December clouds are now covering me
December songs no longer I sing
[December | Collective Soul]

Thursday, December 25, 2003

OSHIN




Kenangan selalu saja datang tiba-tiba. Pada sore yang basah ini, kenangan itu datang dari Oshin--sebuah film seri yang ditayangkan TVRI tiap jam setengah tiga sore, di penghujung 1980-an. Oshin kami nanti sehabis hujan-hujanan di halaman. Saya dan adik-adik sudah berselimut di kursi panjang sementara ibu mulai menghidupkan televisi. Tak ada pilihan lain, waktu itu, selain TVRI yang acaranya masih bagus-bagus.

Oshin adalah sebuah contoh bagaimana kerja keras akhirnya berbuah. Ayako Kobayashi, yang memerankan Oshin, pas betul digambarkan sebagai prototip seorang Jepang. Saya tidak tahu kenapa Sugako Hashida memilih peran perempuan untuk menggambarkan Jepang bangkit dari keterpurukan akibat perang. Tapi, mungkin juga karena perempuan adalah sosok yang liat.

Di film yang diproduksi pada 1983 itu kita lihat, Oshin yang anak petani di desa Tohoku, Jepang Utara, mulai meninggalkan tradisi nenek moyangnya. Ia tak sekedar bercocok tanam di sana. Tapi mulai menjual sendiri hasil pertaniannya saat panen tiba. Dalam film itu proporsi Oshin menjual memang kelewat besar dibanding Oshin belanja ke kota.

Oshin juga seorang yang hemat. Saat sepatunya jebol karena melesek oleh gigil salju, ia tak membeli sebuah sepatu baru. Oshin menggantinya dengan jerami hanya agar kakinya tak keriput. Pendeknya, Oshin bukan seorang yang besar pasak daripada tiang. Ia menabung, tapi tak banyak membeli. Semangat saudagar tumbuh dalam diri seorang gadis Oshin. Kelak dari tabungan dan semangatnya, Oshin berhasil membangun sebuah jaringan pertokoan di desa dan kotanya.

Oshin tumbuh sebagai orang kaya baru di daerah itu. Para petani di Tohoku tak harus bersusah payah menjual hasil pertaniannya ke kota yang jauh dan becek oleh salju. Oshin berubah predikat dari seorang petani menjadi pedagang. Dan kita menyaksikan kemudian, Jepang tumbuh sebagai pusat dagang di dunia. Mata uang Yen bahkan diperhitungkan sebagai alat penukar di hampir seluruh negara.

Cerita Oshin, sebenarnya, adalah cerita yang juga terjadi di banyak negara. Oshin-Oshin lain tumbuh di belahan-belahan dunia lain ketika kapitalisme menjawab pelbagai soal dan menawarkan impian modern setelah perang ternyata tak memunculkan harapan ketenangan. Bukankah Nabi Muhammad sendiri datang menyampaikan Islam melalui perniagaan?

Tapi dalam soal perniagaan selanjutnya, para pedagang dianggap sebagai sosok yang menakutkna. Di Turki, konon, para pedagang disebut bazingun, istilah yang mengacu pada seseorang yang kerap berbuat culas. Kata itu kemudian sampai ke Indonesia dengan pola peluluhan "z" menjadi "j" dan "u" menjadi "a".

Stasiun televisi NHK boleh berbangga karena serial itu menempatkan Oshin sebagai serial drama yang paling dinanti penontonnya di 50 negara. Rating serial itu konon belum terkalahkan oleh serial-serial lainnya. Dan Hashida dengan bangga menyebut Oshin sebagai wakil semangat Asia. Sebuah semangat yang, sayangnya, tak mampir ke Indonesia.

Tuesday, December 16, 2003

HP


Handphone, atau kalau di-Indonesia-kan jadi telepon genggam itu kini sudah jadi bagian dari identitas. Kalau Anda ditanya, "Lu, punya henpon? Ntar gua telpon," kurang lebih maksudnya, "Henpon lu merek apa?" Dan merek, tentu saja, berhubungan dengan berapa besar penghasilan yang punya telgam itu. Juga seberapa kuat dia mengikuti mode. Lalu penghasilan berkait erat dengan status sosial.

Identitas memang rumit. Ketika pulang kampung, dulu-dulu, pertanyaan uwa, bibi, tetangga, dan handai taulan, pasti "sudah semester berapa?" "Lulusnya kapan?" Dua tahun berikutnya, uwa, bibi, paman, tetangga dan handai taulan itu kembali bertanya, "Sudah kerja belum?" Setahun kemudian, pertanyaan si uwa, si bibi, si tetangga, dan si handai taulan, menjadi, "Kapan nikah?" Ah, ya, sekarang saya sudah menikah. Mereka itu kini bertanya, "Kapan punya anak?" dst, dst, dst. "Ah, kenapa tidak nanya saja, 'kapan meninggal?'" "Husssssssssshhhh!!!!!" Bapak menghardik.

Jika Anda bertukar kartu nama, yang dicari pertama adalah nomor telgam masing-masing orang. Setelah itu jenis pekerjaan. Maka, pertanyaan, "Bekerja di mana?" maksud sebenarnya adalah, "Berapa gaji Anda?" Karena saya wartawan, pertanyaan yang sering mampir adalah, "Di mana?" Ini ternyata pertanyaan yang lazim diterima sesama juru warta. Tempat bekerja, dalam satu soal ini, menjadi penentu seseorang disegani atau tidak. Padahal, bukan karena medianya, seseorang jadi bagus bekerja.

Dalam sebuah acara hiburan (orang jadi latah menyebutnya infotainment), seorang selebritas kebingungan memilihi tawaran kakaknya: umrah atau handphone. Umrah atau handphone! Di zaman yang ndableg seperti sekarang sesuatu yang profan jadi sulit dipilih ketika berdampingan dengan suatu yang transeden. Orang menyejajarkannya seolah-olah itu dua komoditas berbeda yang sama penting. Tapi, mungkin juga sama penting di sebuah zaman ndableg: ketika lu adalah apa yang lu punya.

Identitas ternyata ruwet. Seruwet Zahra merumuskan siapa dirinya. Dalam novel Tahar Ben Jelloun ini, siapa menjadi apa sudah tak jelas lagi. Zahra lahir sebagai perempuan yang tak diinginkan ayahnya. Maka ia dididik dan diperlakukan sebagai laki-laki. Pada umur dua tahun ia pun disunat. Agar terlihat berdarah, si bapak melukai paha si bayi. Dan Zahra pun tumbuh sebagai laki-laki.

Tapi dalam usia balig, Zahra kebingungan ketika dari dalam vaginanya merembes darah menstruasi. Tapi, pola pikir laki-lakinya menolak itu peristiwa alamiah yang dialami oleh seluruh perempuan ketika menginjak masa puber. Ia tak ambil pusing. Sejak kecil, karena didikan keras ayahnya, ia juga merentang dendam terhadap si bapak. Maka, ia kabur dari rumah dan ikut rombongan sirkus-sandiwara yang keliling dari satu kota ke kota lainnya. Dalam rombongan sirkus itu, Zahra berperan sebagai perempuan!

Mana yang lebih rumit: Zahra atau handphone? Minggu-minggu ini saya memilih handphone yang tertinggal di rumah di kampung. Satu sisi saya senang tak memegang handphone, tapi jadi ruwet karena berurusan dengan kantor. Huh!

Monday, December 08, 2003

SHOT






Ini wajah Michael Jackson sesaat setelah ditangkap polisi Santa Barbara karena dituduh mencabuli bocah laki-laki 12 tahun. Klik di sini.



Dan ini wajah bos Microsoft Bill Gates pada 1977, setelah ia ditangkap polisi karena ngebut. Masih banyak lagi wajah artis dan pesohor lainnya yang dipotret polisi karena ngebut, mabok atau main cinta dengan pelacur di pinggir jalan seperti kelakuan Hugh Grant. Arsip foto-foto polisi yang memamerkan wajih artis tanpa riasan itu didokumentasikan di situs www.thesmokinggun.com, www.mugshots.net, atau www.mugshots.com. Mari melihat-lihat.

Friday, December 05, 2003

FAIZ




Faiz, aku malu membaca sajak-sajakmu. Malu, karena sudah jauh umur belum juga bisa menulis rapi sepertimu. Seperti kata Taufik Ismail, Pak Tuomu itu, anak umur dua kali lipat dari usiamu saja belum tentu bisa menulis serapi sajak-sajakmu. Umurmu baru 8, tapi sajakmu seperti 29.

Faiz, aku menyesal setelah membaca sajak-sajakmu. Menyesal telah menyia-siakan umur. Apa yang ada di kepalamu ketika kau menulis, "Ayah Bunda, Kucintai kau berdua, seperti aku, mencintai surga." Uh, Faiz...Faiz...aku menemukan bening kata-kata dari sajak-sajakmu. Eh, boleh ya, aku kutipkan sajak-sajakmu di sini...."semoga aku tidak dipenjara karena mengutip puisimu di sini...."

JALAN BUNDA

bunda
engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu

(September 2003)

AYAH BUNDAKU

Bunda
engkau adalah
rembulan yang menari
dalam dadaku

Ayah
engkau adalah
matahari yang menghangatkan
hatiku

Ayah Bunda
kucintai kau berdua
seperti aku
mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam tamanNya terindah
nanti

(Januari 2002)

PUISI BUNDA 2

Engkau adalah puisi abadiku
yang tak mungkin kutemukan
dalam buku

(November 2003)

Faiz sudah menelurkan buku kumpulan puisinya berjudul Untuk Bunda dan Dunia yang menghimpun 20 sajak-sajaknya. Ini sedikit tentang Faiz yang memenangkan lomba menulis surat untuk presiden.

Tuesday, December 02, 2003

CARTI




Namanya Carti. Hanya itu. Tak ada nama kedua atau nama panjang. Di kampung kami nama kedua atau nama panjang hanya akan membebani hidup si anak kelak. Karena dia lahir Kamis maka namanya harus berawal huruf "C" atau "K". Jika tidak keduanya, hidup si anak akan sengsara atau sakit-sakitan. Maka bapaknya memberi nama Carti setelah nama Casinah tak cocok bagi si anak. Nama Casinah hanya dipakainya sampai umur enam bulan, selama ia diserang demam tak henti-henti.

Carti baru lulus sekolah dasar dua tahun lalu. Waktu saya berangkat ke Bogor untuk sekolah, dia masih suka telanjang hujan-hujanan di halaman rumahnya. Waktu mudik lebaran kemarin saya lihat ia sudah jadi gadis yang berparas bersih waktu ketemu halal bi halal dengan tetangga. Kini, Carti bukan anak yang pemalu lagi. Ia menyapa saya duluan dan menjelaskan bahwa ia Carti yang dulu kepergok mengambil jambu air di depan rumah saya; karena saya pangling melihatnya.

Baju yang dipakai Carti bisa dibilang modis untuk ukuran gadis seusianya. Ia juga pakai bedak dan sedikit lipstik. Sandalnya berhak tinggi. Gerak-geriknya sedikit ganjen. Kami terlibat obrolan. Katanya, ia baru tiba dua hari menjelang lebaran. Di kampung saya, jika orang mengatakan pulang, itu berarti baru datang dari Jakarta atau kota lainnya. Dan Carti baru pulang dari Jakarta.

Jadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Ibukota. "Kerja saya hanya memberi makan anjing," katanya. Anjing tuannya ada 10 dan yang paling dikenalnya hanya anjing herder. Dari pagi hingga malam, ia harus tak luput memastikan anjing-anjing itu sudah diberi makan. Selain itu tidak, karena pekerjaan rumah tangga lainnya sudah ada pembantu lain yang menanganinya. Pembantu di rumah tuannya Carti ada lima yang mengurus seluruh pekerjaan utama rumah tangga, tidak lagi membantu seperti julukannya.

Dari raut dan intonasi bicaranya Carti sepertinya senang sudah bisa bekerja. Ia jadi kebanggan keluarga. Tiap bulan separo gajinya ia weselkan ke orang tuanya. Setiap bulan ia menerima 200 ribu rupiah. Sisanya ia simpan. Jika ada keperluan mendadak, bapaknya datang ke rumah tuannya untuk meminta duit. Carti sudah jadi kepala rumah tangga urusan duit sejak setahun lalu, sejak ia pertama kali ke Jakarta.

Carti menjadi gadis kormod atau korban mode. Di kampung saya anak-anak perempuan sedang gandrung kerja di Yayasan (para tetangga selalu menjawab kerja di Yayasan jika bekerja sebagai pembantu) setelah lulus sekolah. Maksudnya, ikut mendaftar ke sebuah yayasan penyalur pembantu rumah tangga. Mang Arif, seorang yang punya kenalan dengan pekerja Yayasan bertindak sebagai makelar. Ia sudah mengirimkan puluhan anak gadis ke Jakarta. Dan rata-rata "berhasil".

Untuk lebaran tahun ini Carti membawa uang tunai 1 juta rupiah dari tabungannya. Dan semuanya ia serahkan ke orang tuanya. Baju-baju lebaran yang dipakainya merupakan baju bekas anak tuannya yang sudah tak terpakai lagi meski terlihat masih baru di tubuh Carti. Uang kerjanya itu utuh tanpa belanja apapun. Menurut sahibul cerita (di kampung tak pernah ada rahasia), uang itu akan dipakai merenovasi rumah.

Carti belum mau pacaran, kendati pada malam hari para jejaka kampung ramai-ramai berkunjung ke rumahnya. Mungkin ia akan bertahan dua tahun pada keteguhannya. Setahun ia mungkin luluh dan menjadi pacar seorang anak muda yang belum punya pekerjaan tetap. Tahun kedua rencana pernikahan dan mengundang penghulu sudah dirancang.

Lalu kemodisan Carti hilang. Wajahnya dan tubuhnya kembali ke asal: kelelahan gadis-gadis desa mengurus rumah tangga pada usia belia. Ini kronologis yang lazim bagi gadis desa yang sudah dianjangi jejaka desa. Seperti juga Minah, Emun, Een, dan banyak gadis-gadis lain senior Carti

Carti adalah sebuah cerita bagaimana kemiskinan terpelihara. Ada banyak ribuan Carti di desa-desa di Indonesia. Seusai pensiun jadi pembantu, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Keahlian Carti yang tertinggal dari bekerja, ya, memberi makan anjing itu. Lainnya tidak. Para tuan itu tak pernah memikirkan bagaimana jika Carti sudah tak bekerja lagi di rumahnya suatu saat. Mereka tidak pernah diajari mandiri dengan diberi keahlian khusus selain jadi pembantu.

Pulang dari Jakarta, Carti dkk. itu hanya membawa selepit uang yang bisa dihabiskan dalam waktu seminggu. Kesenangan dan kebanggaan itu hanya dinikmati sampai rumah direnovasi. Setelah itu hidup kembali sempit dan pendek, sependek nama Carti, yang tak punya arti apapun selain hanya sepenggal nama.