Saturday, August 23, 2003

DUA MALAM DI LOSARI




Dari empat hari keliling Makassar pekan lalu, dua malam saya nongkrong di Pantai Losari dan jalan-jalan sepanjang tubir pantainya. Kata seorang teman--saya bersama rombongan lain dari Jakarta--Pantai Losari waktu malam kayak di Miami. Waduh, saya belum pernah ke Miami. Tapi mungkin begini persamaannya. Ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, trotoar sepanjang 5 kilometer itu jadi ramai sekali dengan lalu lalang orang. Atau mereka sekedar nongkrong di tembok pembatasnya. Di belakang mereka, di pantai yang gelap, lampu-lampu berkelap-kelip dari tiang-tiang perahu yang diparkir di sepanjang pantai. Perahu-perahu itu mencolok di tempat gelap karena hanya ada satu warna: putih pucat kafan.

Ke sebelah selatan, "meja makan terpanjang di dunia" terang benderang. Di sana anak-anak muda membuat janji ketemu atau sekedar kongkow. Ada pelbagai jenis makanan di sini. Tapi, sayangnya, lebih banyak makanan Jawa. Pecel dan bakso hampir tertulis di setiap warung-warung tenda itu. Yang khas, apakah khas (?), mungkin hanya pisang epe. Ini pisang bakar yang diberi bumbu selundreng dicampur gula merah. Tentu saja, rasanya sangat manis. Tapi, kata teman kami yang asli sana, "belum serasa ke Losari jika belum makan pisang epe".

Di Losari pengamennya juga bagus-bagus, terutama yang anak-anak. Kebetulan si teman kami itu seorang aktivis LSM yang banyak membantu membiayai dan mempertajam kemampuan anak-anak ini memainkan alat musik. Ada satu kelompok pengamen yang kami suka. Sehingga pada malam kedua, kami khusus mencari mereka untuk didengarkan lagu-lagunya.

Anak-anak ini rata-rata putus sekolah. Mereka kemudian hanya mengamen dari awal hingga akhir malam. Katanya penghasilannya lumayan juga. O ya, salah satu alumnus pengamen Losari adalah Rudi Makassar. Kalau Anda sempat nonton tivi pas 17 Agustusan di Istana Negara, Rudi tampil di sana membawakan beberapa lagu Iwan Fals. Rudi tubuhnya kecil, sehingga sangat jomplang dengan besar gitar di pangkuannya. Kini Rudi sudah jadi "artis". Sewaktu kami ke Losari, Rudi sedang show ke daerah di Makassar. Yang tinggal hanya kakaknya, anggota grup pengamen yang kami tanggap itu.

Nongkrong di Losari sebetulnya acara terakhir setelah keliling kota Makassar waktu malam dengan mobil sewaan. Oleh teman kami yang orang Makassar itu, kami ditunjukan pelbagai tempat penting di kota ini. Ia fasih betul mengenalkan tempat-tempat itu, hingga makanan khasnya. Sewaktu makan malam kami dibawa ke restoran Pallu Kalloa. Ini jenis sayur ikan yang rasanya amat gurih. Pakai lalab rumput laut yang makannya dicelupkan ke air ikan itu. Apalagi jika menyesap isi kepala ikan Kerapu itu. Mak nyus rasanya.

Orang Makassar itu selalu terbalik melafalkan "n" dengan "ng". Jika ada kata berakhiran "n" maka mereka mengucapkannya "ng", dan sebaliknya. Tapi, anehnya, banyak orang Makassar yang punya nama berakhir "din". Keterbolak-balikan pengucapan itu terbawa oleh para pengamen saat bernyanyi. "Ada Mbah Dukung, sedan ngobating pasiennya....kakakak..." Orang-orang pun tertawa mendengarnya.

Saharuddin, teman kami itu, pandai betul mengejek cara pengucapan orang Bugis yang lucu itu. Maka ia bercerita tentang sepasang kekasih. Si lelaki orang Makassar yang ditolak cintanya oleh perempuan asal Jawa. Si laki-laki pun merajuk.

"Sayan, apa kekuran aku ini, Sayan? Kenapa kau menolak cintaku? Apa yang kuran. Bapakku oran pentin. Rumahku rel estet, mobil kijan, motor RX Kin, punya kapal terban. Kawinlah sama aku, Sayan, kau akan bahagia."

Si gadis dengan tersipu lalu menjawab. "Kekuranganmu cuma satu, Sayang. Kurang "g"." Kami terbahak mendengar cerita itu (tapi, maap, kalau jadi garing ketika dituliskan lagi di sini, heheh). Dia juga mengejek namanya sendiri. Katanya, kalau kenalan sama orang dia mengenalkan, "Saharudding, jangan pake "g", ya." Losari memang asyik untuk nongkrong.