Wednesday, August 27, 2003

HARYANTO DAN KITA




Namanya Haryanto. Umurnya 12 tahun dan kini duduk di kelas 6 SD Kelurahan Muara Sanding, Garut. Tak ada yang istimewa dari curriculum vitae bocah ini. Tapi, ia mengejutkan kita dengan nekad menjeratkan kabel telepon ke lehernya di belakang rumah pada suatu siang. Haryanto gantung diri "karena malu belum membayar uang ekstrakurikuler sekolah".

Namanya Haryanto. Dan cuma itu, tapi dia mengejutkan kita.

Sudah beberapa hari itu, ia merajuk meminta uang kepada ibunya. Apa boleh buat. Dengan penghasilan Bapak yang cuma Rp 7 ribu sehari, si ibu tak bisa memenuhi keinginan anaknya untuk membayar uang ekstra membikin sulaman burung sebesar 2.500 perak. Lagipula, hari itu, Bapak sedang tak enak badan dan tak bisa berangkat ke pasar menjadi kuli panggul.

Si ibu pun hanya memberi uang 500 perak hasil mengutang ke tetangga untuk Haryanto dan adiknya saat pamitan hendak berangkat ke sekolah. Siangnya, Haryanto kembali merengek. "Kantun Ato anu can mayar (Tinggal Ato yang belum bayar)," begitu rengeknya. Si ibu terharu, tapi ia tak berdaya. Haryanto pun menangis sejadi-jadinya lalu berlari ke belakang rumah, dan si ibu mendapati anak sulungnya itu menggantung di pohon jambu.

Beruntung Haryanto belum meninggal saat si ibu menjerit dan menurunkan tubuh anaknya itu. Tapi, Haryanto terancam lumpuh, karena ada kerusakan di jaringan otaknya, juga terancam cacat mental.

"Kantun Ato anu can mayar," kalimatnya menunjukan rasa bersalah seorang anak, seorang murid. Kita tahu bagaimana perasaan Ato hari itu. Kita tahu, karena kita tahu bagaimana hubungan murid-guru di sekolah-sekolah kita. Guru-guru kita memerintahkan mengerjakan tugas sekolah tanpa terbantahkan. Dalam memberi tugas membuat sulaman burung itu, guru memerintah dengan memaksa. Tak ada murid yang berani menolaknya.

Guru, bagi sebagian kita yang belajar di sekolah-sekolah di kampung, adalah seseorang yang patut digugu dan ditiru. Ia hanya mengajar, tanpa mendidik bagaimana jadi manusia. Si guru mungkin hanya memberi tugas, sembari pusing bagaimana menutup tagihan kredit barang kelontong yang diutang istrinya.

Cerita Bapakanya Haryanto adalah cerita tentang bagaimana Indonesia. Penghasilan 7 ribu perak sehari adalah penghasilan kaum tani jaman Belanda dulu. Cerita seabad lampau yang masih terjadi hari-hari ini. Indonesia pun terpuruk di urutan 112 dalam indeks pembangunan manusia, dua tingkat di bawah Vietnam.

Kisah gantung diri Haryanto, dan sekolahnya, adalah cerita pendidikan di Indonesia. Haryanto mungkin anak yang cengeng sehingga hanya bisa meminta tanpa bisa melakukan sesuatu untuk keinginannya. Tapi apa yang bisa lakukan anak sekecil itu yang harusnya menikmati main bola di lumpur? Kondisi itu juga dibentuk oleh sekolah tempatnya belajar yang tak bisa merangsang murid-muridnya menyampaikan pendapat atas apa yang tak masuk akal dan sesuai kemampuannya.

"Sekolah adalah penjara," begitu tulis penyair India yang masyhur, Rabindranath Tagore, "setiap kali jam pelajaran mulai saya selalu ingin cepat dewasa dan buru-buru meninggalkan sekolah." Sama halnya dengan sekolah-sekolah kita yang merasa bertugas merumuskan hidup setiap anak.

Haryanto mengejutkan kita dengan gantung diri karena duit 2.500 perak. Sebuah nominal yang tak cukup membayar sebungkus rokok.