Wednesday, April 16, 2003

EKALAYA




Wayang selalu punya contoh bagus untuk setiap gerik hidup. Ada contoh kesembronoan ketika Pandawa menggadaikan kerajaan bahkan menyerahkan Drupadi, istri Yudhistira, ketika kalah dadu dari Kurawa. Ada tamsil kesabaran yang ditunjukan Destrarasta yang buta. Ada intrik, ada kecongkakan, dan perjuangan yang mengharukan dalam kisah heroik Mahabharata maupun cerita cinta Ramayana.

Ketekunan belajar dicontohkan Bambang Ekalaya. Saya kerap mendengar ceritanya dari mulut bapak saat akan berangkat tidur sewaktu kecil. Kisah Ekalaya adalah kisah ketangguhan mengejar cita-cita sekaligus keculasan yang ditunjukan Pandita Durna.

Ekalaya berangkat mencari Durna di Sokalima, sebuah lembah cantik di kawasan utara Hastinapura, sebagai pemuda sudra yang haus ilmu. Ekalaya bercita-cita pandai memanah dan ilmu keprajuritan. Bapaknya, seorang pangrehpraja di sebuah kota kecil menyiapkan Ekalaya sebagai kesatria digdaya.

Saat umurnya menginjak remaja, si bapak mengutarakan keinginannya untuk melepas Ekalaya berguru di padepokan Durna. Maka, pada suatu pagi yang cerah, Ekalaya dilepas dengan tangis dan harapan keluarga, ditemani seorang cantrik pengawal pribadi dengan satu pesan ayah: "Jangan pulang sebelum dapat ilmu".

Tak mudah mencari Sokalima bagi pemuda udik macam Ekalaya, kendati kemasyhuran Durna hinggap ke pelosok-pelosok negeri sebagai pandita luhung.

Menempuh jalur yang berliku, Ekalaya sampai di lembah teduh itu disambut Aswatama, anak laki-laki Durna dengan nada sinis. Keduanya terlibat pertarungan sengit karena kecongkakan Aswatama yang tak mau melihat orang asing di wilayah Ayahnya. Wiracarita mengisahkan, Aswatawama terjerembab hanya oleh satu tendangan Ekalaya tepat di dadanya. Ekalaya akhirnya di hadapkan pada Durna, yang bengkok tangan kirinya, yang meruncing jenggot putihnya dengan kepala selalu mendongak.

Ekalaya menyampaikan maksudnya. Ia tak menyangka jawaban apa gerangan yang akan diterimanya yang akan keluar dari mulut seorang pandita yang diidam-idamkan dan dibayangkan sebagai pandita luhung itu. "Kau sudra, tak layak berguru di sini," jawaban Durna meruntuhkan harapan Ekalaya.

Ia keluar padepokan dengan tertunduk dan tak habis pikir. Durna yang diagung-agungkan ayahnya ternyata hanya seorang manusia berpandangan picik, seorang pandita yang silau oleh permata. Tapi, pesan ayahnya sebelum pergi kembali mengiang. Pemuda itu bimbang dan terpekur di tengah hutan. Ia marah, tapi ia juga tak punya kuasa. Haruskah menyalahkan nasib yang tak memberi peluang untuk sebuah cita-cita?

Di tengah hutan itu, Ekalaya akhirnya membuat gubuk. Ia memutuskan belajar memanah sendiri. Ia ciptakan patung yang mirip Durna yang ditancapkan di halaman gubuknya. Seolah-olah patung itu selalu mengawasinya saat ia memegang gondewa mengarahkan anak panah, terasa menghardiknya jika ia bermalas-malas, terasa menagih jika ada waktu terlewat tak diisi pelajaran.

Berhari, minggu, bulan dan tahun, Ekalaya belajar dan berlatih. Ia kini tahu dengan kecepatan dan sudut berapa anak panah harus dilepas dari busur untuk membidik benda terbang, berlari atau diam. Konon, kecepatan dan kelihaian memanahnya hampir menyamai ilmu Arjuna, yang tak lain murid utama Pandita Durna.

Kisah itu berakhir sedih. Ekalaya kemudian dibunuh Kresna yang menyamar sebagai Durna. Generasi Ekalaya mematrikan dendam pada Durna dan justru mengagungkan raja Amarta itu. Ekalaya juga terlibat pertarungan alot dengan Arjuna yang mencoba melirik istrinya, Dewi Anggraeni, dan menggodanya. Di luar itu Arjuna tak ingin tersaingi. "Tak boleh ada matahari kembar di jagat raya ini," Arjuna bersumpah.

Saya tak tahu kisah selanjutnya, karena konon roh Ekalaya menitis pada jasad seorang pemuda lainnya. Saat cerita belum usai, biasanya, saya sudah tidur.