Sunday, March 09, 2003

BLOGONOMICS




Farid Gaban, Wartawan Tempo

Banyak hal yang berlangsung dan kita lakukan di internet tak lebih dari cermin kehidupan nyata. E-mail adalah jasa pos yang lebih cepat. Koran online adalah yang kita baca di layar komputer sambil menyeruput kopi di pagi hari. Bahkan pencuri kartu kredit di internet hanya sedikit lebih canggih dari copet di Terminal Blok-M.

Tapi, blogging mungkin adalah satu-satunya kegiatan internet yang khas, yang sulit kita temukan padanannya di luar komputer dan modem.

Diperkenalkan sejak 1997, blog atau weblog adalah spesies baru yang tumbuh cepat di alam maya. Istilah ini merujuk pada situs-situs pribadi yang dibangun di internet, sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, mengungkapkan unek-unek dan gagasan serta berinteraksi dalam komunitas-komunitas khusus. Memadukan komputer-plus-modem serta kebiasaan lama menulis buku harian, penampilan sebuah blog diperbaharui secara rutin, ditampilkan secara kronologis dan siap diakses serta dikomentari siapa saja, kapan saja.

Sampai akhir tahun ini diperkirakan ada sekitar satu juta blog di seantero internet. Dan jumlahnya terus tumbuh secara eksponensial--termasuk di Indonesia.

Popularitas blog tumbuh tak hanya karena hadirnya teknologi yang memudahkan setiap orang untuk menulis dan menayangkannya seketika di internet, tapi juga karena sifatnya yang revolusioner. Blogging memadukan sekaligus kebiasaan menulis kolom di koran untuk memaparkan gagasan dan memperdebatkannya seperti dalam acara bincang radio yang bersifat interaktif serta tanpa pandang bulu.

Tak heran jika seorang penulis mengatakan blogging sebagai model baru dalam jurnalisme, komunikasi dan pembelajaran yang interaktif lagi demokratis. Setiap orang bisa menjadi jurnalis sekaligus pembaca, sementara gagasan dievaluasi berdasarkan merit dan bukan siapa yang mengatakan. Setiap orang praktis kini bisa menjadi wartawan, penulis, penerbit dan sekaligus distributor berita.

Tapi, keindahan blog tidak hanya terletak pada keragaman ekspresi dan gagasan pemiliknya. Kekuatan lain terletak pada kemampuannya membangun komunitas. Para pemilik blog umumnya tergabung dalam kerumunan sesuai minat dan orientasi. Satu blogger biasanya akan membuat link kepada blog milik orang lain, membentuk sebuah jaring-jaring gagasan dan pengetahuan yang kaya. Orang-orang dengan minat dan perhatian yang sama--dari pengumpul keramik antik hingga pakar bioteknologi--bisa membentuk komunitas kecil, menulis, mengumpulkan bahan di internet dan memperdebatkannya.

Mungkin karena itulah kini tengah terjadi ledakan hebat dalam jumlah blog di internet. Dan karena itu pula, blogging tengah bergeser dari kegiatan amatir menjadi lebih profesional, dengan uang sebagai iming-imingnya. Belakangan ini beberapa pakar mulai bicara tentang blogonomics--nilai ekonomi yang dibangkitkan oleh medium baru ini.

Makin bagus sebuah blog, artinya makin bermutu dan beragam isinya, makin mungkin dia menjadi terkenal melalui jalur pemasaran yang di dunia nyata kita kenal sebagai penularan dari-mulut-ke-mulut. Dan dengan begitu, seorang blogger yang populer ibarat duduk di puncak rantai multi-level-marketing yang menguntungkan.

Tak hanya itu. Kemampuan blogging membangun komunitas juga memiliki makna ekonomi lain: mendefinisikan pasar yang segmented dan terarah--kata-kata kunci yang penting dalam iklan. Sekarang ini sudah muncul beberapa jasa seperti blog-ads, atau pemasangan iklan khusus di lingkungan blogger.

Kemampuan membentuk komunitas juga penting untuk membangun "brand loyalty". Beberapa perusahaan besar kini mulai pula memanfaatkan blogging. Macromedia, perusahaan software pembuat Flash dan ShockWave, belum lama ini meluncurkan blog khusus untuk berinteraksi dengan pengguna. Tak hanya itu membantu pengguna memanfaatkan produk tapi juga menampung kritik mereka terhadap produknya--sebuah upaya umpan-balik untuk menyempurnakannya.

Masih terlalu dini untuk menilai seberapa besar ceruk blogonomics. Namun, cepat atau lambat medium baru ini tengah pula dilirik kalangan wiraswastawan di internet.

Sumber : Koran Tempo Minggu, 15 Desember 2002 rubrik E-Culture