Tuesday, March 25, 2003

MENGENANG RACHEL CORRIE




Rachel Corrie yang tangguh, semoga engkau damai di sorga. Kini engkau semakin tahu apa arti takut bagi anak-anak Palestina. Maka kau tinggalkan kampus Evergreen State College yang teduh di Olympia, Washington, untuk menumbuhkan sedikit rasa tenang bagi anak-anak itu. Tubuhmu lumat dihantam moncong buldozer pada 16 Maret yang tak tercatat, di usiamu yang belum juga genap dua-empat. Si pengemudi--seorang tentara Israel-- pura-pura tak melihatmu, kendati kau sudah mengenakan jaket oranye. Dengan megaphone kau berteriak untuk mencegah laju doser yang merangsek merobohkan rumah-rumah Palestina di kota Gaza. Rachel Corrie yang tangguh, semoga engkau damai di sorga.








[photo by miftah.org, bbc]

Friday, March 21, 2003

PERANG, PERANG, PERANG...




Di Inggris, kata "war" lebih populer dibanding "seks" atau "Britney". Paling tidak itu yang dicatat oleh Freeserve: kata perang lebih banyak diklik sejak minggu ini. ABC menurunkan beritanya. Tapi, itu di Inggris, di Indonesia, yang paling banyak masih INUL. :D

Wednesday, March 19, 2003

DI MANA LETAK DUNIA DALAM SELEMBAR KORAN?




"Jika saya harus memutuskan, memilih pemerintahan tanpa koran atau koran tanpa pemerintahan, saya tak akan ragu memilih yang kedua."

Thomas Jefferson, 17 Januari 1787, dalam sebuah surat untuk Kolonel Edward Carrington.

Menulis tentang diri sendiri kerap kali membosankan. Tapi, saat ini, saya kepingin benar membicarakan diri sendiri.

Setiap wartawan tahu, dunia tak selebar selembar koran. Ada banyak hal yang belum terungkap dan diungkap oleh kerja jurnalisme. Ada banyak hal, lebih banyak lagi malah, yang luput dari mata dan telinga juru warta. Lalu di mana letaknya dunia, dalam selembar koran?

Seorang teman yang berpindah profesi jadi birokrat setuju dengan saya. Sewaktu ia masih bekerja dengan bisnis kata-kata, ia merasa ada banyak hal yang bisa ia temukan saat menulis suatu berita. Dunia tiba-tiba saja menjadi terbuka, setelah terkukung dalam apek ruang-ruang kuliah. Tapi, dunia itu kembali menutup.

Ia mengangguk bahwa ada banyak hal yang belum ditulis wartawan yang kini ia ketahui dalam departemen tempatnya bekerja. Ia merasa hal-hal yang diketahuinya itu juga harus diketahui orang banyak. Tapi, ia bingung dengan cara apa ia memberitahu wartawan. Tiba-tiba saja, dunia jadi benang kusut.

Koran hanya menulis sesuatu yang muncul di permukaan, katanya. Koran hanya memberitakan apa yang ingin ditulis para wartawannya. Kadang-kadang juga koran-koran menulis apa yang tak ingin diketahui orang. Tapi, menulis banyak hal juga membikin hal ihwal menjadi tidak fokus.

Kerja wartawan sama halnya dengan kerja lain yang menuntut berpikir: kerja mencari kebenaran. Goenawan Mohamad kerap mengingatkan setiap wartawan tentang itu. "Kebenaran ada di mana-mana," saya kutip dari orang kedua, "termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka." Karena itu kerja wartawan kerap menelusup ke tempat-tempat yang mereka benci, menakutkan, mengerikan. Karena mereka tahu, informasi adalah hak setiap orang.

Karena misinya mencari kebenaran, kerapkali media berbuat salah, meski narasumber juga belum tentu benar. Seperti orang sedang belajar naik sepeda, berbuat salah adalah pintu utama menemukan kebenaran. Menuliskan fakta dengan akurat adalah pertaruhan setiap kerja jurnaslime. Karena akurasi itulah yang akan diuji untuk menemukan kebenaran-kebenaran itu. Pembaca, tentu saja, bukan sekumpulan orang goblok yang hanya menelan begitu saja informasi yang ia terima. Ia akan menguji dengan sendirinya informasi fakta-fakta yang disampaikan para wartawan itu..

Bad news is good news, konon begitu rumus kerja wartawan. Tapi, saya kira, itu hanya satu sisi saja. Berita yang buruk tidak hanya ingin menonjolkan sensasi. Karena berita buruk diharapkan bisa mengingatkan orang agar, misalnya saja, tak mengulangi perbuatan yang menyebabkan berita jadi buruk itu. Berita korupsi, contohnya, adalah berita untuk mengingatkan agar orang berhati-hati mengelola uang yang bukan haknya.

Menjadi wartawan kadang harus punya penjelasan lebih ekstra. Orang kerap menyangka pekerjaan wartawan bisa cepat mendatangkan uang. Ini adalah buah dari ulah wartawan yang menulis berita karena diberi uang oleh narasumber. Dan si sumber juga yang menganggap budaya setelah diwawancarai harus menyediakan amplop. Mereka berharap, si wartawan mau menulis yang baik-baiknya saja, sehingga harus menyogok dengan sejumlah uang. Korupsi, di negeri ini, memang sudah merasuk ke segenap aspek. Saya tidak tahu, apakah narasumber yang seperti ini pernah mendengar Thomas Jefferson.

Jefferson tahu bahwa rakyat harus dilibatkan untuk memutuskan apa yang diinginkannya. Dan pemerintah mendengar lalu menyusun kebijakan yang direstui orang banyak. Pers adalah salah satu jembatan paling efektif untuk kerja itu. Pasar ide-ide itulah kemudian disebut orang sebagai demokrasi.

Saturday, March 15, 2003

MINYAK




15 Maret 1938. Tanggal ini menjadi penting, karena untuk pertama kalinya para insinyur menemukan ladang minyak di Arab Saudi. Sebuah penemuan yang berpuluh tahun kemudian akan mengundang petaka. "Minyak," kata seorang mantan Raja Iran, "adalah petaka bagi dunia Arab." Kita tahu ucapan yang masyhur dari seorang raja Iran sebelum dimakjulkan itu akan menjadi benar bahwa minyak menjadi alasan yang paling inti sebuah kekuasaan bisa menaklukan nyawa manusia.

Raja itu, Syah Reza Pahlevi, kemudian mendapat tentangan dan disingkirkan karena berupaya menghalangi orang untuk mendapatkan bahan bakar itu. "Cerita tentang minyak," kata dia kemudian, "adalah kisah yang paling tidak manusiawi yang pernah dikenal manusia." Minyak itu pula yang membuat ngiler setiap penguasa, dan menerbitkan pelbagai revolusi berdarah yang memakan tumbal nyawa manusia, batas, dan geografi.

Dalam The Shah's Story, sebuah biografi Pahlevi yang diterbitkan pada 1980-an, raja itu bercerita bahwa minyak melahirkan pelbagai persekongkolan ekonomi dan politik yang melahirkan teror, kudeta, dan revolusi berdarah. Untuk itu, sekali lagi, dengan tegas tapi bernada murung, ia bilang bahwa minyak adalah petaka.

Aneh juga memang, di sebuah wilayah dengan minyak yang melimpah, selalu saja ada kemiskinan sebagai korban. Minyak bukan sumber daya yang langsung berpengaruh pada hajat hidup orang banyak, seperti cabai, misalnya. Minyak perlu pengelolaan yang apik dengan teknologi. Dan teknologi bukan berasal dari wilayah yang disebut Dunia Ketiga. Teknologi berasal dari wilayah kekuasaan yang punya duit. Para insinyur berbondong-bondong bekerja di negeri asing.

Itu pula yang terjadi kini, dan mungkin seterusnya. Saat pertama kali orang menemukan minyak, masyarakat Yunani Kuno melempar minyak-minyak itu untuk membakar kapal-kapal musuh yang merapat ke pantai. Baru pada 1859, di Pennsylvania, Colonel Edwin Drake mengebor sebuah sumur sedalam 69 kaki. Sejak itu pengeboran menjadi salah satu cara untuk mendapatkan minyak bumi.

Tapi semakin tua bumi, semakin beragam kebutuhan orang. Pesatnya jumlah penduduk menjadikan teknologi menjawab pelbagai kebutuhan itu dengan beragam tawaran. Dan teknologi, tentu saja, berimbas pada semakin meningkatnya kebutuhan bahan bakar. Amerika kini sedang butuh minyak.

Diperkirakan konsumsi minyak Amerika akan meningkat 30 persen dalam dua dekade dan menjadi dua kali lipat menjelang 2020. Tapi, Kelompok Pengembangan Kebijakan Energi Nasional AS pada Mei 2001 mengumumkan bahwa produksi minyak dalam negeri akan berkurang 21 persen dalam jangka 20 tahun ke depan. Karena itu, bidikan Amerika jelas: Irak menjadi penghalang pengusaan minyak di Timur Tengah, terutama di lautan Coxswain.

Kendati Amerika menyangkal target serangan itu adalah minyak, tetapi senjata pemusnah massal, toh dugaan itu sudah menjadi rahasia umum. Strategi penaklukan Taliban di Afganistan lalu menggantinya dengan rezim pro adalah langkah yang paling gampang dicium untuk melebarkan strategi lanjutan ke Timur Tengah. Meski, Saddam Husein sendiri mempunyai catatan sejarah yang tak gampang ditolelir dalam ceruk kekuasaannya.

Orang-orang di sekeliling Presiden Bush, adalah para pembisik yang jas dan dasinya berbau solar. Sementara anggaran belanja untuk senjata dan tentara jauh lebih besar dibanding anggaran untuk kebutuhan lain. Maka, tak ada jalan lain selain memanfaatkan anggaran itu untuk memburu "hantu" teroris Usamah Bin Ladin dan menggempur Irak, serta menaklukan dunia untuk mewujudkan impian jadi globo-cop.

Ucapan Pahlevi makin terdengar benar hari-hari ini, menjelang tenggat keputusan Dewan Keamanan PBB merestui bergeraknya 200 ribu tentara Amerika yang sudah bercokol di Turki dan perbatasan Irak lainnya. Lobi yang gencar dengan iming-iming penghapusan utang, pinjaman yang besar, menggoyahkan negara miskin yang punya suara di PBB untuk berpaling mendukung Amerika.

Saya ingin menulis tentang minyak karena ini menyangkut nasib dan trauma jutaan manusia pekan depan, juga karena minyak, ternyata, ditemukan orang di Arab pada 15 Maret.

Thursday, March 13, 2003

KETEMU SITOR




Saya ketemu Sitor Situmorang Rabu malam pada acara pembacaan puisi di Galeri Cemara. Ternyata, ia seorang yang kocak. Itu pertemuan fisik kami yang pertama. Saat break acara pembacaan puisi penyair Indonesia-Prancis itu, saya dekati dia. Saya jabat tangannya dan bertanya kabar. Ia hanya manggut-manggut saja sambil memegang tongkat kayu berukir untuk menyangga tubuhnya saat jalan.

Pertemuan itu tak urung membuat saya gemetar. Saya kelewat ingin memanfaatkan kehadirannya untuk hal-hal yang ingin saya obrolkan, misalnya, soal buku Salju di Paris itu, atau tentang puisi Malam Lebaran yang heboh itu, atau tentang blog ini. Tapi, yang keluar dari mulut saya adalah hal-hal yang tak pernah saya pikirkan. Saya hanya bertanya kegiatan hariannya. "Ya, begini-begini saja," jawab Sitor.

Saya bilang bahwa saya punya website pribadi yang namanya saljudiparis yang diambil dari judul kumpulan cerpen miliknya. "Saya minta izin, Pak," kata saya. Dia tertawa. "Silahkan," katanya, "tapi nanti kau dituntut kantor hak cipta. Kau bisa dituntut sampai bangkrut." Ia terkekeh, saya juga terkekeh. "Saya ini generasi ketinggalan internet," ia menyambung. Obrolan terputus, karena ada seorang penggemar lain yang mengajaknya bicara.

Malam itu Sitor tampil di penghujung acara dengan membaca dua puisi yang relatif baru. Dengan batik hijau dan rambut yang putih, Sitor tampak tua, tapi masih terlihat segar di usianya yang ke-79. Ia maju ke depan mik. Berbasa-basi menjelaskan judul puisi yang akan dibacanya. Tapi, sial, saat ia membaca Tamasya Batu-batu Karang Lembah, mik mati, suara Sitor tak bergema ke ruangan. Ia pun celingukan.

Seseorang kemudian mengambil mik itu. Sitor tersenyum sambil menyentuh-sentuh gagang mik yang sudah kosong, dan penonton tertawa. Pembawa acara mengganti mik dengan wire yang dicantolkan di kancing baju Sitor. Ia diam saja ketika pembawa acara yang tampil modis itu mengaitkan mik. "Teknologi canggih," katanya. Kini ia sudah siap membaca puisi.

Tamasya Batu-batu Karang Lembah adalah puisinya yang dibuat pada 2001, tentang kerinduan pada kampung halaman. Di bawah judul puisinya, si "Anak Hilang" itu menulis: untuk Atun di usia 75. Atun adalah panggilannya untuk penyair Ramadhan KH yang juga tampil membacakan dua puisi menggantikan Joko Pinurbo. Saat Sitor memanggil Atun, penyair Priangan si Jelita itu pun melambaikan tangan. Saya kutip utuh dua syair Sitor itu di sini.



Tamasya Batu-batu Karang Lembah
(Upacara)
untuk Atun
di usia 75

ini aku datang lagi ziarah
tertegun menatap dari lereng lembah
melayangkan pandang khayal batu-batu karang
aral-melintang sekujur dasarnya
membentang

tamasya jagadraya (masih wacana)
lukisan citra sang arsitek
Borobudur yang baka

lantunan lagi panen abadi
Yang memadukan hidup dan mati

sambil sadar--aku ke Jakarta akan kembali--
(lagi pula) rindu Paris bisa bangkit lagi
sambil terangkat hanyut irama tarian
puak
saat tubuhku seluruh menghirup serempak

baubauan panen semesta
menuju moksa jagadraya
......

2001


Angin Sepoi di Pagi Tahun Baru
untuk Hans dan Joosye Teeuw

Inilah pemandangan pertama
di pagi hari tahun baru:
Langit biru cerah

(salju belum turun juga)

Di dahan pohon dekat jendela
tua lagi gundul tak berdaun
seperti lazimnya musim dingin

nampak tiga ekor merpati
diam berjemur seperti menyambut
dari luar waktu

Selainnya alam masih terdiam
seperti menanti sesuatu pertanda
dari luar waktu

Seketika
buluh halus merpati
nampak nyaris bergetar

Tertutup angin sepoi

dari alam di luar alam...

Di pantai Scheveningen,
1 Januari 1998



Penonton memberi aplaus yang panjang. Sitor hanya tersenyum sambil duduk kembali di kursinya. Malam itu ia datang ditemani istrinya yang duduk di barisan penonton dengan senyum yang tak pernah lepas. Seorang perempuan Prancis yang setia menemani Sitor di setiap acara seni yang menghadirkan suaminya jadi pembicara.

Acara selesai pada pukul 21.15. Saat bubaran, saya mendekati lagi Sitor. Kali ini saya mengenalkan diri yang tadi sempat lupa menyebut nama. Tak lupa saya minta nomor telepon untuk sewaktu-waktu saya menghubunginya karena urusan kerja. Saya berterima kasih dan menyalaminya, juga menyalami istrinya, dan Ramadhan KH yang berdiri di samping Sitor.

Selain Sitor dan Ramadhan, pembacaan puisi itu juga dihadiri penyair Indonesia lainnya antara lain Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Toety Herati, Eka Budianta, Embun Kenyowati Ekosiwi, dan Dorothea Rosa Herliani. Sedangkan dari Prancis: Christian Doumet, penyair kelahiran 1953 yang juga mengajar Sastra Prancis dan Estetika Musik di Universitas Paris VIII; dan Pascal Riou, penyair kelahiran 1954 yang tinggal di Selatan Prancis dan mengajar sastra dan filsafat.






























































Monday, March 10, 2003

BLOGPORN




Seminggu ini, saya agak murung, tapi bisa senyum-senyum. Saya catat hampir 30 pengunjung blog ini dalam sepekan terakhir kebanyakan orang yang nyasar. Dan mereka nyasar untuk hal yang membikin saya murung. Blog saya ternyata diketemukan orang lewat kata-kata : inul, inul daratista, inul telanjang, payudara, ukuran p*&&$, seks, dan sejenisnya.

Kata-kata ini, di komputer kantor saya jelas tak bisa dibuka di situsnya. Kata-kata yang mengandung pornografi semacam teen, adult, k**n%$, m&*^^ (maaf, saya menyensor sendiri tulisan ini), yang konon adalah kata yang paling banyak dicari oleh para peselancar, tak ada tempat di komputer-komputer kerja.

Meski saya bisa senyum-senyum karena ternyata blog saya dibaca orang, meski semula mereka punya niat bejat. Seorang teman meledek bahwa blog saya sudah berubah jadi blog "syuur ah". Padahal, saya menuliskan Inul karena ia fenomenal, atau menuliskan judul seks karena ingin berbagi pengalaman tentang pengetahuan seks yang masih tabu itu. Atay saya bercerita tentang Cindy yang mengaku rela dibayar dengan traktiran suatu malam. Atau saya tulis Kramat Tunggak, waktu menyaksikan Aa Gym dikerubungi ibu-ibu.

Tapi, saya tak kapok menulis tentang hal ihwal yang berhubungan dengan kebutuhan manusia paling dasar itu. Karena seks, dan pronografi adalah anak kandung lansekap bernama kota, dan ibu kandung internet. Maka, kepada para peselancar, saya ucapkan selamat datang. Maaf, jika tulisan di blog ini ternyata mengecewakan Anda.

UPDATE. Inul sudah masuk Time. Klik di sini

Sunday, March 09, 2003

BLOGONOMICS




Farid Gaban, Wartawan Tempo

Banyak hal yang berlangsung dan kita lakukan di internet tak lebih dari cermin kehidupan nyata. E-mail adalah jasa pos yang lebih cepat. Koran online adalah yang kita baca di layar komputer sambil menyeruput kopi di pagi hari. Bahkan pencuri kartu kredit di internet hanya sedikit lebih canggih dari copet di Terminal Blok-M.

Tapi, blogging mungkin adalah satu-satunya kegiatan internet yang khas, yang sulit kita temukan padanannya di luar komputer dan modem.

Diperkenalkan sejak 1997, blog atau weblog adalah spesies baru yang tumbuh cepat di alam maya. Istilah ini merujuk pada situs-situs pribadi yang dibangun di internet, sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, mengungkapkan unek-unek dan gagasan serta berinteraksi dalam komunitas-komunitas khusus. Memadukan komputer-plus-modem serta kebiasaan lama menulis buku harian, penampilan sebuah blog diperbaharui secara rutin, ditampilkan secara kronologis dan siap diakses serta dikomentari siapa saja, kapan saja.

Sampai akhir tahun ini diperkirakan ada sekitar satu juta blog di seantero internet. Dan jumlahnya terus tumbuh secara eksponensial--termasuk di Indonesia.

Popularitas blog tumbuh tak hanya karena hadirnya teknologi yang memudahkan setiap orang untuk menulis dan menayangkannya seketika di internet, tapi juga karena sifatnya yang revolusioner. Blogging memadukan sekaligus kebiasaan menulis kolom di koran untuk memaparkan gagasan dan memperdebatkannya seperti dalam acara bincang radio yang bersifat interaktif serta tanpa pandang bulu.

Tak heran jika seorang penulis mengatakan blogging sebagai model baru dalam jurnalisme, komunikasi dan pembelajaran yang interaktif lagi demokratis. Setiap orang bisa menjadi jurnalis sekaligus pembaca, sementara gagasan dievaluasi berdasarkan merit dan bukan siapa yang mengatakan. Setiap orang praktis kini bisa menjadi wartawan, penulis, penerbit dan sekaligus distributor berita.

Tapi, keindahan blog tidak hanya terletak pada keragaman ekspresi dan gagasan pemiliknya. Kekuatan lain terletak pada kemampuannya membangun komunitas. Para pemilik blog umumnya tergabung dalam kerumunan sesuai minat dan orientasi. Satu blogger biasanya akan membuat link kepada blog milik orang lain, membentuk sebuah jaring-jaring gagasan dan pengetahuan yang kaya. Orang-orang dengan minat dan perhatian yang sama--dari pengumpul keramik antik hingga pakar bioteknologi--bisa membentuk komunitas kecil, menulis, mengumpulkan bahan di internet dan memperdebatkannya.

Mungkin karena itulah kini tengah terjadi ledakan hebat dalam jumlah blog di internet. Dan karena itu pula, blogging tengah bergeser dari kegiatan amatir menjadi lebih profesional, dengan uang sebagai iming-imingnya. Belakangan ini beberapa pakar mulai bicara tentang blogonomics--nilai ekonomi yang dibangkitkan oleh medium baru ini.

Makin bagus sebuah blog, artinya makin bermutu dan beragam isinya, makin mungkin dia menjadi terkenal melalui jalur pemasaran yang di dunia nyata kita kenal sebagai penularan dari-mulut-ke-mulut. Dan dengan begitu, seorang blogger yang populer ibarat duduk di puncak rantai multi-level-marketing yang menguntungkan.

Tak hanya itu. Kemampuan blogging membangun komunitas juga memiliki makna ekonomi lain: mendefinisikan pasar yang segmented dan terarah--kata-kata kunci yang penting dalam iklan. Sekarang ini sudah muncul beberapa jasa seperti blog-ads, atau pemasangan iklan khusus di lingkungan blogger.

Kemampuan membentuk komunitas juga penting untuk membangun "brand loyalty". Beberapa perusahaan besar kini mulai pula memanfaatkan blogging. Macromedia, perusahaan software pembuat Flash dan ShockWave, belum lama ini meluncurkan blog khusus untuk berinteraksi dengan pengguna. Tak hanya itu membantu pengguna memanfaatkan produk tapi juga menampung kritik mereka terhadap produknya--sebuah upaya umpan-balik untuk menyempurnakannya.

Masih terlalu dini untuk menilai seberapa besar ceruk blogonomics. Namun, cepat atau lambat medium baru ini tengah pula dilirik kalangan wiraswastawan di internet.

Sumber : Koran Tempo Minggu, 15 Desember 2002 rubrik E-Culture

Saturday, March 08, 2003

MASJID, MASJID




Masjid adalah sebuah rendezvous yang dikangeni sekaligus suci. Di kampung-kampung masjid menjadi tempat pertemuan yang lebih sering dibanding balai desa. Jika di balai desa orang bertemu untuk suatu kerja gotong royong, pendeknya ada keperluan yang menyangkut hajat hidup orang desa, masjid menjadi tempat pertemuan apa saja. Saat magrib tiba, orang-orang tua datang ke masjid untuk salat, anak-anak ke masjid untuk mengaji dan sedikit main-main.

Dalam jeda antara magrib dan isya itu, anak-anak mengaji berkelompok-kelompok dipandu oleh orang yang lebih dewasa, yang sudah tahu tajwid, dan biasanya menetap dari malam ke malam. Sementara para orang tua duduk berselonjor kaki membicarakan palawija yang kena wereng, air sawah yang surut, atau hal ihwal pertanian lainnya. Masjid menjadi tempat diskusi yang mengasyikan. Karena dari obrolan itu, seseorang akan tahu jenis obat apa yang harus dipakai untuk membasmi wereng tertentu berdasarkan pengalaman seorang yang lain yang telah berhasil mengusir wereng yang sama.

Masjid juga tempat yang suci. Marebot melarang orang-orang masuk sembarang ke dalamnya jika bukan untuk ibadah. Masjid juga beda dibanding rumah penduduk lainnya. Lantainya lebih bersih, air kulahnya selalu mengalir, sejuk dengan rerimbunan pohon, meski bangunannya agak kumuh. Persegi empat dengan bagian barat menonojol tempat imam salat. Tak ada speaker, minus kubah yang membumbung, kecuali beduk dan kohkol yang dipukul untuk memberi tahu waktu salat.

Orang-orang, dengan sukarela, mengapur biliknya jika Lebaran tiba. Biaya perawatannya pun dikumpulkan seadanya dari sumbangan bulanan per rumah. Meski sedikit, toh biaya itu selalu cukup. Dan meski sederhana, masjid selalu dikangeni, karena itu jamaahnya selalu banyak.

Setiap orang tua membawa anaknya serta meski mereka baru bisa berjalan. Sementara anak yang sudah sekolah wajib hukumnya ngaji di masjid, jika tak ingin dikecam teman-temannya, atau ditanyai guru agama di kelas: kamu mengaji sudah sampai surat berapa? Para ibu hanya sebagian saja yang salat di masjid, sebagian yang lainnya memilih salat di rumah. Bukankah perintah mendirikan salat bagi lelaki disunahkan di masjid, dan perempuan disunahkan di rumah? Orang-orang kampung tahu betul isi hadits itu.

Tapi, kampung-kampung di Indonesia punya kulturnya sendiri, dan selalu beda dengan kota. Di kota, masjid dibangun untuk pamer kemegahan. Arsitekturnya itu yang lebih penting dibanding jamaahnya. Maka masjid, sebesar dan secantik apapun, selalu kosong jika tiba waktu salat, kecuali salat Jumat yang menjadi kewajiban laki-laki untuk melakukannya di masjid. Saat pembangunannya, panitia rela mencari biaya walau harus naik-turun bus, misalnya; mencegat para pengendara di jalan dengan pengeras suara yang menjengkelkan.

Maka yang tertinggal dari pengumpulan dana seperti itu adalah masjid menjadi sesuatu yang menjanjikan kepada orang-orang untuk mengeluarkan rejekinya. Seorang teman punya teori yang bagus tentang tumbuh suburnya masjid-masjid dibangun di pelbagai kota. Katanya, pertumbuhan pembangunan masjid yang pesat berbanding lurus dengan tingkat korupsi di negeri ini. Karena, katanya, seorang koruptor sudah akan merasa terhapus dosanya jika telah menyisihkan uang hasil korupsinya itu dengan menyumbang masjid.

Yang aneh, memang, masjid-masjid dibangun saat pertumbuhan ekonomi sedang seret. Begitu Orde Baru tumbang, ramai-ramai orang mendirikan rumah ibadah itu. Gejala ini mungkin bisa ditulik dalam satu soal. Dulu, ketika safari Ramadhan tiap hari muncul di televisi, Golkar menjanjikan akan menyumbang berapa ratus juta jika, tentu saja, sebuah desa atau kecamatan memenangkan Golkar dalam Pemilu mendatang. Maka, rekayasa mulai dijalankan. Warga pun dipaksa mencoblos gambar di tengah dalam kartu suara jika masjid berdinding tembok ingin segara berdiri. Setelah itu para ulama pun menyebutkan para donatur yang telah menyumbang kepada tetamu saat peresmian berlangsung.

Pendeknya orang-orang masih punya harapan disumbang oleh partai anu jika ingin membangun jalan atau masjid atau rumah terang dengan listrik. Kini, ketika partai jumlahnya mencapai puluhan, dan orang bebas mencoblos gambar apa saja, orang tak lagi menggantungkan pada sumbangan, sehingga mereka mencari sendiri biaya membangun itu. Orang-orang membangun masjid untuk sebuah kebanggan, bukan unutuk sebuah rendezvous antara manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan Tuhannya.

Tuesday, March 04, 2003

GYM



KH Abdullah Gymnastiar atau populer disapa Aa Gym makin mempesona. Setidaknya itu terjadi saat ia menghadiri peresmian Islamic Center Kramat Tunggak, Jakarta Utara, Selasa (4/2). Pesona kyai muda asal Kampung Geger Kalong Bandung itu membuat ribuan massa rela berdesakan agar bisa dekat ke Aa Gym. Ibu-ibu dan anak-anak gadis berteriak histeris dan mengikuti ke mana pun si Aa pergi.

Saat Aa akan berkeliling meninjau komplek Islamic Center mendampingi Gubernur Jakarta Sutiyoso, ribuan pengagum itu berdesak-desakan untuk mendekat ke tempat Aa, hingga meruntuhkan beberapa anjungan counter produk-produk Islami. Si Aa pun bukannya nyaman meninjau kompleks gedung, ia sibuk meladeni para pengagumnya untuk berjabat tangan. Sesekali Aa melempar senyum dan melambaikan tangan yang disambut remaja-remaja dengan histeria.

Yang repot, tentu saja, sepasukan pengamanan yang berusaha menjaga Aa Gym dari serbuan massa itu. Tapi, dasar Aa, bukannya menghindar, ia malah meladeni jabat dan cium tangan itu. Hingga beberapa kali Aa harus berhenti berjalan karena terkepung ribuan orang itu. Saat Aa keluar kompleks untuk menuju mobilnya, massa yang tadinya duduk di aula sontak berdiri dan ikut merubung Aa. Mereka menguntit hingga Aa masuk ke dalam mobilnya. Walhasil, Sutiyoso pun sepi dirubung warganya dan melenggang menuju mobilnya.

Beberapa ibu-ibu yang tak sempat melihat Aa dari dekat dan menjabat tangannya terlihat menyesal. Seperti tiga orang ibu dari Kebayoran Baru itu. Mereka sampai tak sadar, masuknya Aa ke mobil karena acara telah usai. "Aa Gym nanti balik lagi enggak, Mas," tanya salah seorang dari mereka. Waktu saya jawab acara telah usai selama-lamanya, tiga ibu itu saling pandang. "Yah, padahal kita-kita mau foto-foto dulu," kata si ibu yang lain. Mereka pun pulang tanpa membawa pose dengan Aa Gym untuk ditunjukan ke para tetangga.

Monday, March 03, 2003

TAKSI BLUE(S)



Malam belum juga beranjak larut ketika seorang perempuan 25-an melambaikan tangan di depan Apartemen Brawijaya, Jakarta Selatan, untuk menghentikan taksi yang dikemudikan Yusnan (45). Dia seorang muda dengan pakaian laiknya perempuan malam: jins ketat, kaos ketat memperlihatkan udel yang ditindik, rambut dicat pirang dibiarkan tergerai, lipstik coklat tua berpadu selaras dengan kulitnya yang putih. "Ke Hotel Menteng, Bang," pinta perempuan yang kemudian mengaku bernama Cindy itu.

Dengan semangat yang terpompa, Yusnan memacu kendaraan di jalan Jakarta yang licin dan mulai lengang. Yusnan, yang dasarnya memang ramah ke setiap orang, mulai bertanya ini-itu kepada penumpangnya itu. Yusnan tahu, Cindy sedang terlibat janji dengan seorang teman laki-lakinya. "Mungkin sudah dibooking," duga Yusnan. Obrolan pun sampai pada berapa tarif Cindy semalam, yang dijawab "Tergantung". Tergantung pada apakah mereka bercinta dengan sedikit dasar suka sama suka. Cindy malah rela tak dibayar, asal--tentu saja--segala keperluannya untuk berkeliaran malam hari terpenuhi: makan, nonton, beli celana, sepatu, lipstik, dll.

Mereka pun sampai ke Hotel Menteng. Cindy memijit sebuah nomor melalui telepon selularnya. Lama panggilan itu tak berjawab. Cindy mulai gelisah setelah beberapa kali panggilan teleponnya tak menuai jawaban dari seberang. Ia pun minta Yusnan menunggunya hingga didapat kepastian si teman laki-laki itu muncul dan memenuhi janjinya tadi sore. Tapi, hingga beberapa lama teman laki-laki itu tak datang juga. Cindy memutuskan untuk pergi ke Rawasari, Jakarta Timur. "Siapa tahu dia di sana," begitu pikirnya.

Tapi, di Rawasari pun si teman tak terlihat lempang jidatnya. Cindy memutar haluan ke Kafe Bintang di kawasan Blok M. Ia turun di sana dan bertanya ke bartender yang sudah dikenalnya. Cindy belum bayar taksi dan meminta Yusnan menunggunya. Angka yang tertera di argo taksi sudah menunjuk angka Rp 50 ribu. Yusnan pun terpaksa menunggu.

Cindy keluar kafe dengan muka ditekuk. Si teman, katanya, tak juga ada di sana. Cindy makin terlihat bingung. Ia hanya memijit-mijit nomor yang terus tak berjawab. "Ya, tapi bagaimana ongkos taksinya," kata Yusnan. Cindy minta agar Yusnan ikut bersabar. Lama ditunggu Cindy mengaku juga. Katanya, dia tak punya uang untuk membayar taksi. Rencananya, jika ketemu si teman itu, Cindy akan minta dibayar ongkos taksi. Yusnan pun hanya menghela nafas. "Tapi, bagaimana dengan ongkos taksi saya?"

Cindy malah menuliskan nomor teleponnya. "Abang telepon nomor saya, nanti kalau sudah punya uang saya bayar," katanya. Yusnan tak bisa terima. "Bagaimana saya tahu itu nomor mbak, handphonenya saja saya pegang" tukasnya. Cindy menolak. Lama kedunya mencari jalan agar ongkos taksi itu bisa terbayar. Akhinya, Cindy menawarkan tubuhnya untuk membayar ongkos yang membuat Yusnan terlonjak dari tempat duduknya. "Lama saya berpikir untuk tawaran itu," katanya.

Pikir Yusnan, Cindy memang molek. Ia sendiri sudah tiga minggu tak pulang ke Pekalongan menjenguk istri dan tiga anaknya. Hasrat menyalurkan kelaki-lakiannya pun timbul. Ia hampir saja menerima tawaran Cindy, ketika suatu pikiran tiba-tiba melintas di benaknya. "Hidup saya di dunia sudah susah. Saya tidak ingin hidup saya kelak tambah susah," katanya. Yusnan pun memilih pikiran yang kedua: ia menolak tawaran Cindy. "Sudahlah, Mbak. Kalau memang tak punya uang biar saja, mungkin ini rejeki saya," katanya. Yusnan pun menurunkan Cindy di pintu keluar terminal Blok M.

Sambil memacu taksinya menuju pool Blue Bird sekaligus tempat tinggalnya di Kramat Jati, Yusnan tak habis pikir dengan kelakuan Cindy. Itu pengalaman pertamanya sejak memegang stir taksi tujuh tahun silam. Tapi belakangan ia menemukan banyak perempuan malam serupa yang gagal bertemu dengan laki-laki yang sudah berjanji mengencaninya. Di depan Hotel Sahid, kata Yusnan ketika saya menumpang di taksinya akhir pekan lalu, banyak perempuan malam yang menitipkan kartu nama untuk diberikan kepada penumpang yang kesepian.

Tapi Yusnan membuang kartu-kartu itu. "Ah, itu sih uang lendir istilahnya," katanya, "rejeki saya bukan dari situ. Iya gak, Bang?" Padahal, kata Yusnan yang selalu menyebutkan frase 'Iya gak, Bang' di setiap ujung kalimatnya, jika ia mau setiap perempuan malam itu menjanjikan tips Rp 100 ribu untuk setiap lelaki yang dibawanya. "Bisa saja saya lakukan, banyak penumpang yang suka nanya perempuan yang bisa diajak kencan," katanya. Yusnan mengaku tak kapok jika kelak ditumpangi pelacur cekak seperti Cindy lagi.