Saturday, April 06, 2013

PETANI


kebunku..
SEBETULNYA jadi petani cukup menghasilkan. Bibi saya punya sawah 2.100 meter persegi. Dia tanami kacang tanah dan panen kemarin menghasilkan Rp 6 juta dari modal Rp 2 juta (pupuk, bibit, bensin untuk mesin pompa air). Upah tenaga kerja nol karena membersihkan rumput, mencangkul, menyemprot hama, ia lakukan sendiri bersama suaminya. Artinya, penghasilan keluarga ini kira-kira Rp 1,2 juta sebulan, karena kacang itu dipanen setelah tiga bulan. Itu setara penghasilan pegawai negeri golongan III-A, atau seorang karyawan baru lulusan diploma di Jakarta.

Tentu saja uang itu lebih dari cukup untuk hidup di kampung. Beras untuk makan sehari-hari adalah hasil panen padi sebelum sawahnya ditanami kacang. Lalab ia petik dari kebun di halaman rumah. Tinggal lauk yang ia beli. Sisanya ia tabung untuk modal mengolah sawah di musim berikutnya dengan membeli emas. Tentu saja jika semua berjalan normal, tak ada gangguan di tengah jalan dengan, misalnya, salah satu dari mereka ada yang sakit. Sepanjang semua sehat, hidup mereka berada di atas garis kemiskinan.

Tapi sawah-sawah itu kian menyempit. Bukan karena berubah jadi rumah. Sawah-sawah itu ditumbuhi alang-alang karena tak ada yang mengolah. Di sawah atau ladang hanya orang-orang tua jompo yang terlihat. Mereka masih setia memelihara sapi atau kerbau. Saya tak ketemu anak muda yang jadi gembala atau bercengkrama riang mencari rumput setelah mencangkul atau menyiram tanaman, ketika pekan lalu pulang kampung.

Mereka juga tak ada di rumah. Mereka pergi ke kota. Selepas SD anak laki-laki ikut paman atau orang dewasa lain menjadi buruh bangunan di Jakarta, Depok, Bandung atau wilayah lain di luar kampung kami. Anak-anak perempuan juga pergi ke kota, menjadi pembantu rumah tangga. Tak ada yang bisa ngored, ngarit, atau menyunggi tampah. Mereka pulang dua-tiga bulan sekali, dengan uang di saku Rp 5 juta lalu memamerkan penghasilan lewat sepeda motor, telepon seluler, dan pakaian necis.

Kampung ini sudah berubah, tak hanya bentuk jalan dan gangnya, tapi juga orang-orangnya. Banyak orang asing karena saya tak menyaksikan para remaja itu tumbuh ketika saya keluar kampung untuk sekolah lalu tinggal di rantau yang lain, 17 tahun lalu. Sepulang sekolah anak-anak tak ada yang main ke sungai atau mencari rumput ke tenggalan, tapi beradu cepat di jalanan dengan sepeda mesin. Ladang, huma, sawah, bukit dan gunung pun sepi dan angker.

Kini tak ada anak sunat yang membelanjakan salam tempel untuk membeli kambing atau sepeda angin. Semua anak sunat membeli sepeda motor, untuk bayar tunai atau sekadar uang muka jika tak cukup. Keadaan pun terbalik-balik. Dulu anak-anak punya tabungan kambing untuk sekolah. Saya menjual satu ekor tiap kenaikan kelas untuk membeli buku dan sepatu baru. Harganya kira-kira Rp 30 ribu untuk kambing yang kini Rp 1 juta. Dengan membeli sepeda motor yang harganya menyusut dari hari ke hari, anak-anak itu kehilangan tabungan saat orang tua mereka butuh biaya sekolah. Karena itu para orang tua mengeluh tak punya biaya kendati kini sekolah gratis. Sekolah di tingkat lanjut, paling tidak, perlu ongkos ojek atau untuk mobil angkutan.

Dulu, bagi anak-anak yang tak melanjutkan sekolah, selepas SD mereka akan menjadi gembala sapi atau kerbau. Setiap satu tahun ia memperoleh satu anak kerbau dengan hidup yang ditanggung pemilik ternak. Ternak-ternak itu kelak menjadi modal  menikah dan melanjutkan hidup beranak-pinak. Dengan sistem dan siklus hidup seperti itu, masa depan orang kampung sedikit banyak terjamin.

Tradisi itu pelan-pelan luntur sejak 1998. Televisi, teknologi telepon seluler, mendorong mereka untuk menggapai gaya hidup dengan memiliki uang tunai setiap hari--seluler butuh pulsa. Karena itu menjadi petani yang siklus pendapatannya tiga bulanan tak bisa mencukupi kebutuhan itu.

Nilai-nilai pun berubah. Jika dulu yang disebut orang kaya adalah Pak Haji yang berangkat ke Mekkah karena punya sawah luas dan ternak banyak, kini orang kaya adalah mereka yang pulang Lebaran membawa mobil, lalu pergi lagi ke kota meninggalkan rumahnya yang besar dengan cat warna mencolok. Atau pedagang hasil bumi yang menampung panenan dari warga kampung lalu menjualnya ke pasar induk Jatinegara. Kini tak ada satupun pegadang hasil bumi yang tersisa.

Tentu saya sedang romantis mengenang masa lalu yang kelihatan indah dan hidup dilihat dari jarak waktu pada hari ini. Dan saya juga berada di barisan urbanisasi itu. Saya dan adik-adik saya tak mewarisi kemampuan ayah kami membaca musim, menghitung modal dan keuntungan bertani, daya tahannya mencangkul berjam-jam di sawah yang terik. Tangan dan kaki kami tak pernah kena lumpur dan akrab dengan air kubangan saat musim hujan, sejak tak lagi tinggal di sini. Sawah keluarga kami barangkali akan telantar lima-sepuluh tahun lagi, seperti huma dan ladang yang ditinggalkan generasi saya di kampung ini.