Tuesday, June 15, 2004

WASIT



Saya selalu kagum pada wasit, dalam setiap pertandingan sepak bola di Eropa, Amerika Latin, atau Asia--selain Indonesia. Di sana, wasit selalu berwibawa. Ia benar-benar menegakkan hukum sepak bola di lapangan hijau. Setiap detil pelanggaran ia pantau, seolah ia tak ingin kecolongan oleh kepura-puraan pemain. Yang melanggar disemprit, yang berbuat curang diperingatkan, yang melanggar dengan sengaja dikeluarkan.

Wajahnya pun tampil sangar, meski kadang juga melempar senyum jika memang ada yang harus dilempari senyum. Dia berlari ke mana bola menggelinding. Meski tak punya hak menyentuh bola, wasit adalah orang yang menentukan sebuah pertandingan. Dan kita menyaksikan sebuah seni di lapangan besar itu. Sebuah nasionalisme 90 menit, kata sosiolog Skotlandia, Grant Jarvie, meski tesis ini runtuh karena sepak bola ternyata menghilangkan batas negara ketika setiap klub boleh menyewa pemain asing.

Di televisi itu kita menyaksikan ketangguhan pemain Denmark dan wajah Vieri dan Totti yang frustrasi. Ada amarah dan cemooh. Tapi semuanya tak berakhir dengan rusuh. Jika emosi meletup, para pemain paling banter saling memaki, atau menyumpah wasit karena keputusan yang dianggap merugikan. Penonton pun riuh rendah di tempatnya. Bersedih jika tim dukungannya kalah, bersorak bagi yang menang. Wasit pun menunaikan tugasnya tanpa beban dan kekhawatiran akan digebuki jika satu tim kalah. Tak seperti kecemasan wasit-wasit yang memimpin pertandingan Persib-Persebaya.

Namanya juga pertandingan. Kata ini telah memiliki segalanya. Sepak bola, kata Antonio Gramsci, menuntut inisiatif, kompetisi dan konflik, tapi dia dikendalikan oleh peraturan tak tertulis tentang fair play. Barangkali bisa pula ditambahkan kini dengan kata "industri". Bisnis dan duit mengocor ke lapangan hijau beserta isinya.

Barangkali sepak bola juga kini sudah jadi indikator sebuah negara disebut maju. Hukum yang tegak di lapangan hijau itu adalah miniatur tegaknya hukum sebuah negara. Sepak bola bisa menjadi indikator ekonomi selain pertumbuhan, inflasi, dan nilai tukar. Negara yang bisa mengelola sepak bolanya dengan benar akan memenuhi kategori itu. Negara sepak bola adalah negara yang beradab.

Friday, June 11, 2004

JUMAT



I don't care if Monday's blue
Tuesday's great and Wensday too
Thursday, I don't care about you
It's Friday, I'm in Love

[The Cure | Friday, I'm in Love]

Selalu ada gairah tiap datang hari Jumat: kangen yang tertimbun, sebuah pertemuan, tapi juga bayangan sebuah perjalanan yang membosankan.

Saturday, June 05, 2004

MIMPI YANG MEMBOSANKAN



Ada mimpi yang menyenangkan, disebut mimpi indah. Ada mimpi yang menyeramkan, disebut mimpi buruk. Tapi tak ada mimpi yang membosankan. Dua-duanya bisa menyimpan tanda, dua-duanya bisa tak menunjukan apa-apa. Mimpi hanya realisasi dari keinginan-tak-sadar. Begitu Freud bersabda.

Itulah mungkin sebabnya kecengan kita di kelas sewaktu baru tumbuh jerawat dulu tak singgah di mimpi. Dia menjadi bagian keinginan-sadar. Dia menjadi bagian angan-angan, bagian yang diharapkan. Sebab itu yang datang justru Inneke K, seseorang yang hanya saya lihat di televisi, dulu, sewaktu tumbuh jerawat satu.

Dalam mimpi itu saya melihat diri sendiri melakukan sesuatu. Maksudnya, sesuatu duduk, sesuatu berjalan, sesuatu melamun, sesuatu berbicara entah apa. Saya tak pernah bisa mengingat dengan jelas gerak dan percakapan itu. Hilang ketika bangun. Lenyap ketika mata membelalak. Suatu kali, karena ingin mengingat, buru-buru saya catat suatu mimpi yang aneh tapi mengesankan sewaktu terbangun. Tapi saat mencatat itu pun pikiran saya kacau dan tak bisa menyusun kembali mimpi itu dengan persis. Setelah dibaca kembali, catatan itu bukan seperti sebuah mimpi.

Saya melakukan sesuatu di mimpi itu tanpa beban, sonder bosan, meski mimpi itu datang dari sebuah realitas yang menjemukan. Entah apa pula warna mimpi itu. Mungkin warna sepia seperti digambarkan orang-orang film.

Suatu kali saya nonton sebuah film indi yang lupa judul dan asal negaranya. Mungkin Timur Tengah, karena dari sana filmnya bagus-bagus. Pemain film itu hanya dua: kamera dan kadal gurun. Isinya melulu hanya gerakan kamera yang mengikuti gerakan kadal di hamparan pasir. Kemana kadal itu pergi ke sanalah kamera merekamnya dari jarak dekat. 40 menit hanya begitu saja. Capek. Bosan dan jengkel. Mual. Ia meneror. Film berakhir dengan menjauhnya kamera dari kadal yang masih berlari ke garis horison. Kamera seperti capek, secapek mata saya menontonnya.

Berselang kemudian, setelah bisa melupakan, film itu datang dalam mimpi. Saya lihat saya di sana menonton film itu. Menonton kejengkelan itu, melihat mual dan bosan itu. Tapi saya sebagai saya yang melihat saya di sana amat menikmati tontonan kemualan saya dalam mimpi itu. Saya si penglihat bahkan bisa mengendalikan saya yang ditonton harus bergerak seperti apa, meski ada beberapa gerak yang gagal dikendalikan. Tak ada bosan, tak ada jengkel. Tak ada mimpi yang membosankan.

Tuesday, June 01, 2004

PJKA



Seseorang selalu saya lihat berdiri di sana, dekat Damri yang sedang menunggu jam 22 di Stasiun Tanjung Karang. Memakai jas partai, selalu, warna hijau. Merokok dan necis. 40-an. Geraknya kaku karena takut jas itu kusut atau terlipat. Rambutnya licin pomade. Sepatunya juga mengkilap. Kalau memesan tiket, selalu dengan wibawa yang dibuat-buat yang ternyata tak sanggup menggentarkan nyali penjaga. Saya selalu melihat dia di sana, menunggu dengan dada yang mendongak.

Dia bagian dari orang-orang yang tergabung dalam PJKA atawa orang-orang yang "Pulang Jumat Kembali Ahad". Menengok istri dan anak-anak sehabis kerja seminggu di Jakarta. Menengok untuk menghabisi kangen yang tertahan, dan menjengkelkan. Lalu kembali lagi, ke Jakarta, juga dengan Damri. Lalu bertemu lagi dengan Senin pagi yang tak berubah: selalu macet.

Dia tak sendiri. Ada banyak penumpang Damri, setiap Minggu malam itu, yang saya lihat wajahnya itu-itu saja. Mereka pekerja, buruh, atau yang karena urusannya harus bolak-bolak Lampung-Jakarta. Ada yang sudah lima tahun merutin seperti itu. Ada yang tiga tahun. Ada juga yang baru mulai. Pantas wajahnya masih segar, tak ada gurat bosan.

Tidak setiap mereka yang kembali itu pulang lewat Gambir. Mungkin lebih banyak yang pulang putus-putus: ke Merak-naik kapal cepat ke Bakauhuni-naik taksi Kijang. Lalu kembali ke Jakarta baru pakai bus Damri, karena di Tanjung Karang tiket bisa dipesan dengan telepon, tidak seperti di Gambir. Atau tak ingin buru-buru kembali dengan naik kapal yang rusuh.

Pulang, bagi orang-orang PJKA, telah punya dua arti: pulang dari kantor ke rumah kos, dan pulang setiap akhir pekan, ke rumah, ke kampung, ke tengah keluarga. Ada banyak duit yang hijrah dan dibawa pulang orang-orang PJKA dari Jakarta.

Seorang teman juga tergabung dengan kelompok itu. Hanya dia ke Jogja. Naek Argo Bromo atau semacamnya, dan ketemu dengan orang-orang PJKA lainnya, dengan ongkos yang bisa cincai karena langganan. Tidur-duduk di lantai kereta, atau kalau yang beruntung, bisa menyelusup ke ruang resto. Yang ke Jawa Tengah atau Timur lebih punya ikatan kuat sampai membentuk klub PJKA segala. Setiap lebaran mereka saling mengunjungi.

Mereka orang-orang muda, yang baru setahun-dua beristri. Sedang menanti kelahiran atau baru punya bayi, seperti teman saya itu. Selalu ada saja lelucon di sana. Ketika naik kereta itu, mereka sudah berkaus. Kemeja dan dasi disumpal dalam tas. Duduk lesehan sambil melempar joke-joke baru. Kadang-kadang juga satir pada nasib yang mendamparkan mereka jadi anggota PJKA. Menyenangkan sekaligus mengharukan.