Tuesday, August 28, 2007

ABAD PERTENGAHAN DI DUNIA MAYA



Steve Fuller, profesor sosiologi di Universitas Warwick

Wikipedia, ensiklopedia online, merupakan proyek intelektual kolektif paling mengesankan yang pernah diupayakan--dan berhasil. Ia meminta baik perhatian maupun kontribusi dari siapa pun yang peduli terhadap masa depan ilmu pengetahuan.

Karena cepatnya menduduki tempat yang terkemuka di ruang maya, arti penting Wikipedia yang sebenarnya kurang diserap. Sejak ulang tahunnya yang keenam pada 2007 ini, Wikipedia secara konsisten telah berada pada posisi sepuluh website teratas yang paling sering diakses di seluruh dunia. Setiap hari 7 persen dari 1,2 miliar pengguna Internet di dunia membuka website Wikipedia, sementara laju pertumbuhan penggunanya tercatat lebih cepat daripada laju pertumbuhan pengguna Internet secara keseluruhan.

Siapa pun yang mempunyai waktu, kemampuan berartikulasi, dan keterampilan mengoperasikan komputer bisa menyumbang kepada Wikipedia. Siapa pun bisa mengubah entri atau menambah entri baru, dan hasilnya langsung muncul di layar untuk dilihat--dan mungkin disanggah--oleh siapa pun.

Wikipedia merupakan sebuah akar kata Hawaii yang secara resmi ditambahkan pada akar kata Inggris pada 2007 yang berarti sesuatu yang dilakukan dengan cepat--dalam hal ini, perubahan dalam tubuh kolektif ilmu pengetahuan. Sekitar 4,7 juta "Wikipediawan" sekarang telah menyumbangkan 5,3 juta entri, sepertiga di antaranya dalam bahasa Inggris, sisanya dalam lebih dari 250 bahasa lainnya. Selanjutnya, terdapat kelompok kontributor teras yang relatif besar jumlahnya: sekitar 75.000 Wikipediawan menyumbang sekurang-kurangnya lima entri dalam setiap 30 hari tertentu.

Kualitas artikelnya tidak merata seperti yang tidak mungkin diharapkan dari suatu proses yang mengatur dirinya sendiri, tapi umumnya tidak buruk. Memang, topik yang disenangi pria haus seks dibahas dengan sangat menarik dan terperinci, sementara hal-hal yang kurang memikat sering kali dibiarkan dangkal. Meski demikian, menurut Cass Sunstein, guru besar ilmu hukum pada University of Chicago, Wikipedia sekarang dikutip empat kali lebih sering daripada Encyclopedia Britannica dalam keputusan-keputusan yang diambil pengadilan di Amerika Serikat. Selain itu, evaluasi yang dilakukan majalah Nature pada 2005 mengenai artikel-artikel ilmiah dalam dua ensiklopedia ini menunjukkan bahwa rata-rata terdapat empat kesalahan dalam Wikipedia dibanding tiga dalam Britannica. Tapi sejak itu selisih kesalahan tersebut mungkin sudah dipersempit.

Booster Wikipedia mengumumkan akan tibanya "Web 2.0.". Sementara "Web 1.0" mempercepat penyimpanan dan penyampaian berbagai jenis informasi dalam jumlah yang besar di ruang maya, "Web 2.0" katanya membuat seluruh proses menjadi interaktif, dan dengan demikian menyingkirkan hambatan terakhir yang memisahkan penyampai dari penerima informasi. Tapi kita sebenarnya sudah berada pada tahapan itu sebelum ini--sebenarnya sudah sejak dulu dalam sejarah umat manusia.

Jurang tajam yang memisahkan produsen dari konsumen ilmu pengetahuan baru mulai terjadi sekitar 300 tahun yang lalu ketika para pencetak buku memperoleh perlindungan raja menghadapi para pembajak dalam suatu pasar literer yang cepat berkembang. Warisan keberhasilan mereka, yaitu undang-undang hak cipta, terus menghambat upaya membuat ruang maya sebagai pasar bebas gagasan. Dahulu belum banyak pembaca dan penulis. Tapi kedua-duanya tidak berbeda. Mereka sama-sama memiliki akses langsung ke karya masing-masing.

Sebenarnya, semacam komunitas Wikipedia dalam bentuk yang lebih kecil, lebih lamban, dan lebih terfragmentasi sudah lahir bersamaan waktunya dengan munculnya universitas-universitas di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13. Jilid-jilid tebal dengan ornamentasi yang indah pada awal Abad Pertengahan digantikan buku-buku ringan yang bisa dibawa ke mana-mana sesuai dengan sentuhan ringan mata pena bulu ayam. Tapi halaman buku-buku ini tetap terbuat dari kulit hewan, yang dengan mudah bisa ditulisi secara berulang-ulang, sehingga sering sulit mengetahui pengarang aslinya karena suatu teks itu mungkin berupa salinan kuliah yang disisipi komentar penyalin dan mungkin diubah di sana-sini sementara buku itu pindah dari tangan ke tangan.

Wikipedia sudah mengatasi masalah-masalah teknis seperti itu. Setiap perubahan entri secara otomatis diikuti jejak sejarahnya, sehingga entri tersebut bisa dibaca seperti apa yang oleh ilmuwan pada Abad Pertengahan disebut "palimpsest", suatu teks yang ditulisi lagi secara berturut-turut. Lagi pula "halaman-halaman berbicara" yang ada sekarang memberikan banyak peluang untuk membahas perubahan-perubahan yang harus dan mungkin dilakukan. Walaupun Wikipediawan tidak perlu mengedarkan salinan-salinan teks yang ada--setiap orang punya salinan mayanya sendiri--kebijakan Wikipedia mengenai isinya tetap "kuno" dalam semangat.

Kebijakan itu terdiri atas tiga pokok. Pertama, tidak ada penelitian yang original; kedua, sudut pandang yang netral; dan ketiga, bisa diverifikasi. Ketiga pokok dirancang untuk mereka yang langsung memiliki bahan-bahan referensi, bukan otoritas yang akan menilainya.

Begitulah posisi epistemologi pada Abad Pertengahan, yang menganggap semua manusia setara satu sama lain tapi tunduk kepada Tuhan yang gaib. Paling-paling yang dapat diharapkan seseorang hanyalah dialektika yang berimbang sempurna. Pada Abad Pertengahan, sikap seperti ini melahirkan pertengkaran skolastik. Di ruang maya, praktek serupa yang sering dinamai "trolling", artinya memancing, tetap merupakan tulang punggung kontrol kualitas Wikipedia.

Wikipedia merupakan wujud Abad Pertengahan yang demokratis yang tidak mengakui klaim kepakaran pribadi tanpa sumber-sumber yang bisa diverifikasi. Untuk sepenuhnya merealisasi konsep yang ideal ini, partisipasi dalam Wikipedia mungkin bisa dijadikan mata kuliah wajib bagi mahasiswa S-1 ataupun S-2 di seluruh dunia. Norma-norma perilaku yang diharapkan dari para mahasiswa ini sesuai benar dengan kebijakan mengenai isi Wikipedia: seseorang tidak diharapkan melakukan penelitian original, tapi tahu di mana bahan penelitian berada dan bagaimana berargumentasi mengenai bahan penelitian yang ada itu.

Partisipasi wajib mahasiswa tak hanya akan meningkatkan basis ilmu pengetahuan kolektif Wikipedia, tapi juga mungkin mengekang pretensi elitis para peneliti dalam sistem ilmu pengetahuan global. *

Diterjemahkan dan dimuat Koran Tempo, 28 Agustus 2007

Friday, August 24, 2007

UNTUK DAN TENTANG DIRI SENDIRI

Di Tempo, saya tetap saja seorang orang luar. Seorang asing yang mengetuk lobi kantornya lalu mengangguk: selamat pagi.

Bacalah, misalnya, Wars Within, yang edisi Indonesianya diluncurkan pekan ini. Biografi Tempo yang ditulis Janet Steele, seorang guru jurnalistik dari George Washington University, Amerika Serikat, dan sering memberi pelatihan "jurnalisme-sastra" kepada wartawan Indonesia, bagi orang seperti saya, adalah sebuah biografi di seberang. Janet menutup kisah pergulatan di tubuh Tempo itu sesaat setelah majalah ini dibunuh pemerintah, 1994--dengan tambahan epilog kasus dengan pengusaha Tomy Winata.

Saya tak mengalami apa yang Tempo alami. Saya tak terlibat dalam arus utama sejarahnya. Sebab, Tempo yang terbit kembali pada 1998 praktis sebuah Tempo yang baru, sebuah majalah yang memulai dari nol, bahkan orang-orangnya. Saya, dan generasi sesudah 1998, tak bersintuhan langsung dengan para pendiri. Pucuk Tempo sekarang sudah generasi kedua.

Maka jika dulu para pendiri mempertaruhkan bagaimana Tempo beralih kepada generasi kedua, kini pertaruhannya adalah bagaimana Tempo beralih kepada "generasi pasca bredel"--mereka yang dari luar, mereka yang melihat, dan hanya mendengar bagaimana Tempo dibangun. Sebuah peralihan yang lebih sulit dibanding peralihan yang pertama.

Sebagai seorang luar, saya hanya mendengar bagaimana dulu Tempo dibangun, bagaimana kultur awak redaksinya yang kini coba dipertahankan. Tempo kini jelas berbeda dengan Tempo yang dulu. Manajerialnya, gajinya, cara merekrut reporternya, cara liputannya, bahkan gaya tulisannya. Jika membaca Tempo edisi 1980-an, misalnya, ada perbedaan jelas dengan gaya Tempo zaman kiwari.

Tempo sekarang sepertinya kian menegaskan apa yang dirasakan oleh almarhum Umar Kayam, seorang sosiolog dan penulis sastra terkemuka. Ketika memberi komentar saat peringatan ulang tahun Tempo yang ke-30 pada 2001, Kayam menulis bahwa Tempo kini lebih ruwet dengan persoalan. "Menurut saya, Tempo sekarang lebih kering bahasanya, tidak selucu dulu, dan kurang inovatif," katanya. Janet memberi satu kata yang pas: analitis. Padahal, moto Tempo tetap saja : jujur, jernih, jenaka pun bisa.

Tempo, kata Kayam, tak lagi sesuai dengan iklannya yang "enak dibaca dan perlu". Karena yang mengemuka persoalan, sajian Tempo kini lebih menonjolkan yang perlu-perlu. Enak dibaca jadi nomor dua. "Tempo dulu," kata Kayam, "bukan hanya memperbaiki bahasa jurnalistik, tapi memberi semacam hiburan." Yang kering-kering ini bahkan merambah ke kolom-kolomnya. Penulis kolom untuk Tempo terasa sekali lambat tumbuhnya. Bahasa-bahasa rancu yang keluar dari meja pengadilan dan mulut pejabat sudah merasuk ke dalam gaya Tempo.

Barangkali karena zamannya memang sudah lain. Dulu Tempo diisi oleh para penulis, sastrawan, aktivis, yang "pekerjannya" memang bergulat dengan bahasa. Mereka menjadi sastrawan dan penulis lebih dulu baru menjadi wartawan. Kini, sebaliknya. Ada yang menjadi sastrawan setelah lama "belajar" di Tempo.

Setiap generasi memang tidak selalu sama. Dulu dan sekarang tantangannya juga jelas lain. Membaca Tempo zaman dulu memang lebih terasa bagaimana ceritanya, bukan bagaimana materi beritanya. Jurus begini lahir dari sebuah upaya menghindari sensor. Setelah sensor tak ada lagi, para wartawan menulis berita langsung kepada intinya.

Jika dulu wartawan harus melipir-melipir menulis korupsi menteri A, kini tudingan itu lebih langsung. Persoalan juga kini lebih ruwet, macam-macam, dan canggih. Apalagi, saingannya kini situs dan televisi. Jargon wartawan kini tak lagi sekadar "berani". Zaman berani-berani sudah lewat. Pertaruhan wartawan sekarang adalah bagaimana menjadi yang pertama tahu. Kecepatan lebih utama. Barangkali, inilah soalnya. Tempo berubah karena mengikuti perubahan suasana.

Tapi baik atau burukkah perubahan itu? Bagi awak Tempo, pertaruhan di dalam jelas bagaimana memelihara semangat jenaka seraya memberi isi yang lebih berbobot ke dalam sajiannya. Dalam kelas-kelas evaluasi setiap pekan, misalnya, sering muncul kritik jika ada yang menggunakan istilah-istilah jadul. Istilah-istilah segar dari tahun 1970-an kini sudah jamak dan klise. Pembacanya juga sudah uzur-uzur.

Kritik ini penting karena pembaca Tempo sekarang generasi 1990-an, generasi MTV yang gaul, generasi Internet yang melek. Jika tak segera menyesuaikan tentu mereka tak akan melirik majalah ini, sementara penggemar yang tua sudah tak membaca lagi.

Friday, August 17, 2007

SIAPA YANG TAHU DI MANA BERAKHIRNYA MATA SEORANG PENYAIR?



Jenis puisi apakah yang bisa membikin orang marah? Bukan puisi mimbar apalagi puisi kamar, tapi puisi gagal. Puisi yang bukan “sebuah sajak yang menjadi”—untuk mengutip Chairil Anwar dalam sebuah pidato radio di tahun 1946.

Sebuah sajak yang menjadi menyediakan sebuah proses yang terus berlanjut kendati sajak itu telah selesai ditulis. Sebuah tualang yang tak berakhir. Ia mengalir-menjalar ke jauh bawah sadar, menjadi sebuah pengalaman puitik dalam diri pembacanya. Puisi yang gagal, sebaliknya, membuat orang sewot. Karena itu tak heran jika orang marah membaca sajak Malaikat.


Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru

2007

[Pikiran Rakyat, 4 Agustus 2007]

Saeful Badar mengolok dengan kenes sosok malaikat yang sudah umum hidup dalam bawah sadar kita lewat cerita-cerita kitab suci. Ia "menggugat" tingkah mahluk tak berdosa itu lewat puisi, seraya melupakan anasir renungan dan sublimasi kata. Orang marah karena malaikat yang sudah hidup dalam “sejarahnya” itu dicemooh secara dangkal oleh sajak satu kuplet ini.

Sama halnya ketika kita manyun karena sosok Si Boy dalam sandiwara radio itu muncul diwakili Onky Alexander dalam film. Sosok Onky meruntuhkan “tafsir” kita atas sosok Si Boy yang cuma hadir suaranya. Kita membayangkan Si Boy begini dan begitu, ini dan itu, lalu yang muncul Onky. Tafsir, karena itu, bersifat subjektif. Ia meniadakan ingatan kolektif.

Demikian pula ketika orang marah Tuhan yang murka dilukiskan turun ke bumi yang bejat dengan memakai kacamata bergagang emas dalam cerita pendek Langit Makin Mendung. Tuhan yang hidup dalam bayangan setiap orang oleh Ki Panjikusmin dipersonifikasikan begitu rupa. Orang pun marah.

Kasus sajak Malaikat dan cerita Langit Makin Mendung adalah sensor yang tipikal di dalam masyarakat yang menganggap tafsir harus tunggal. Dan sensor semacam ini niscaya tak akan mati-mati. Ia akan kekal sepanjang manusia masih menyebut Tuhan dan iman kepada yang gaib terus hidup dan tumbuh. Para penyair, sementara itu, mau tak mau juga akan bersintuhan dengan ranah ini karena renungan pada akhirnya bermuara pada hakikat manusia sendiri.

Sebuah ketegangan yang tak mudah lenyap. Dulu ketika negara ingin mengontrol hal ihwal, sebuah puisi atau penyair menghadapi musuhnya yang tunggal. Sensor pun datang dari sana. Kini, ketika peran negara surut ke belakang dalam urusan-urusan kreativitas, sensor tetap langgeng.

Kini sensor datang dari organisasi-organisasi massa, fatwa-fatwa majelis agama. Modal dan kekuasaan, dari luar negara, mengukuhkan apa yang boleh dan dilarang, menurut selera mereka sendiri.

Maka, demikianlah, syair yang dangkal akan memicu sensor yang dangkal pula. Sebab, belum pernah ada yang tersinggung lalu melayangkan somasi berlembar-lembar mengatasnamakan iman dan Tuhan terhadap puisi-puisi yang menjadi puncak-puncak sajak di Indonesia. Katakanlah orang marah kepada sajak Sutardji Calzoum Bachri atau Goenawan Mohamad. Yang timbul justru pelbagai analisis yang mengupas pelbagai segi sajak-sajak mereka. Padahal, tak kurang radikal apa Tuhan dan gugatan terhadap kebenaran umum dalam puisi mereka.

Karena itu, kasus sajak Malaikat dan Langit Makin Mendung mencemaskan sebab sajak dan sensor semacam itu menutup tumbuhnya kritik dalam karya sastra.

Kasus sajak Malaikat yang disomasi oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Bandung itu, lalu dicabut oleh Pikiran Rakyat sehari kemudian, kian menegaskan kematian kritikus dalam ranah sastra Indonesia. Kritik sedang absen justru di tengah menjamurnya dan kian mudahnya orang menerbitkan buku-buku sastra. Kritik sastra kian tak berwibawa mengatasi kritik dari luar sastra sendiri. Tapi, adakah kritikus sastra kini? Adakah kini orang yang "tahu di mana berakhirnya mata seorang penyair"--ungkapan Toto Sudarto Bachtiar untuk menyebut ikhtiar H.B Jassin?

Sastra Indonesia mutakhir kini memang hiruk pikuk. Orang kini bisa mengomentari sebuah buku yang kian mudah diterbitkan dengan leluasa di pojok-pojok diskusi maya di Internet. Setiap orang bisa menjadi kritikus, bahkan tanpa identitas sekalipun. Setiap orang tiba-tiba bisa naik ke pentas sastra Indonesia. Sastra bukan lagi sebuah wilayah angker yang dijaga “Paus” yang bisa membaptis seseorang layak dibaca atau tidak.

Ketiadaan kritik yang sehat akan kian memberi ruang kepada “kritikus” di luar sastra itu menentukan kelaikan sebuah puisi, kesesuaian sebuah prosa dengan sebuah tafsir. Kritikus seperti ini sudah tentu mengabaikan argumen. Sebab, dalam sensor, argumen bisa disimpan di laci meja.

Tuesday, August 07, 2007

APAKAH WARTAWAN ITU?

Seringkali saya kesulitan jika ditanya tentang pekerjaan wartawan. Sebab wartawan adalah profesi yang simpel, pekerjaannya, ya, menyajikan berita di medianya. Sama saja dengan pengacara yang pekerjaannya memberikan persfektif fakta dari terdawa yang dibelanya, meskipun sekarang lebih sebagai makelar kasus belaka.

Biasanya, pertanyaan semacam itu tak berhenti. Pertanyaan akan berlanjut pada apa yang ditulis, bagaimana menulis, dan dengan cara apa mengumpulkan bahan tulisan. Orang-orang yang bertanya itu sesungguhnya tak jauh-jauh dari jenis pekerjaan yang ditanyakan mereka itu: mereka setiap pagi membaca koran. Kadang-kadang percaya dengan apa yang dibaca, seringkali ragu. Saya mungkin bersyukur di kelilingi oleh orang-orang tua yang tak mengerti pekerjaan anak dan keponakannya ini. Mereka masih heran kenapa saya yang sekolah bukan dari jurnalistik bisa menjadi wartawan. "Kapan belajar cara liputannya?"

Saya jadi bersyukur karena pekerjaan ini selalu menjadi bahan obrolan, terutama karena mereka selalu punya pertanyaan dari setiap jawaban yang saya berikan. Saya tidak tahu apakah itu karena mereka memang tak bisa mengerti, atau saya terlalu goblok menjawabnya.

Mereka juga sering heran, kenapa saya banyak tahu tentang gosip politik terbaru, hubungan-hubungan seorang aktor berita dengan aktor-aktor lainnya yang tampak tak bersinggungan. "Kenapa ceritamu itu tak kau tulis di majalahmu?" Kalau sudah begini, saya juga ikut heran kenapa mereka heran dan tidak tahu dan menganggap saya tahu segala hal. Sebab, apa yang saya ceritakan itu sudah tercetak semua di koran dan majalah.

Bacaan mereka mungkin terbatas. Mereka menyerap sebagian besar berita dari layar televisi, yang hanya muncul beberapa detik. Tak seperti di koran atau majalah yang menyajikan berita lengkap dan tuntas atau bersambungan, lengkap dengan latar belakang dan konteksnya. Para pengelola televisi tentu tak akan menurunkan berita jika mereka tak punya gambarnya. Jadinya, begitulah, para pemirsa pun menguyah berita hanya sepotong-sepotong.

Pertanyaan yang sering mampir adalah "Apakah sekarang sudah di kantor?" Maksudnya, tentu, tidak ke lapangan lagi, mewawancarai narasumber, mengejar koruptor. Ini pertanyaan tersulit. Sebab, pekerjaan ini sesungguhnya tak mengenal kantor. Pekerjaan wartawan ya meliput lalu menyajikan beritanya. Seorang pemimpin redaksi sekalipun tetap punya kewajiban liputan. Biasanya, saya menjawab gampangnya saja. "Begitulah."

Saya pernah menjawab bahwa wartawan itu pekerjaan seumur hidup. Jabatan hanya sebuah jenjang saja untuk memudahkan bagi-bagi pekerjaan. Jawaban ini tak lagi saya pakai karena akan melahirkan puluhan anak pertanyaan yang tak selesai-selesai. Misalnya, saya sampai bercerita bagaimana wartawan di luar negeri masih "turun" ke "lapangan" meliput sebuah peristiwa, padahal mereka sudah berusia 50 tahun.

Apa boleh buat. Profesi ini mungkin masih aneh di zaman internet ini--bahkan bagi wartawannya sendiri. Wartawan sering dianggap sebuah profesi untuk mengejar karir. Teman saya, ketika masih menjadi calon reporter, bahkan bercita-cita, kelak, ingin menjadi "wartawan senior". Padahal, "jabatan" ini digapai dengan sendirinya karena hanya ditentukan oleh umur belaka. Teman saya itu menganggap "wartawan senior" adalah puncak karir menjadi jurnalis. Kini, ia tertawa jika disinggung soal cita-citanya itu, dan menjadi bahan ledekan dalam obrol-obrolan di sela tenggat.

Wednesday, August 01, 2007

O, ANAK



Setiap anak akan menciptakan sejarahnya sendiri. Mikail akan punya riwayat dan sejarahnya sendiri, dan mungkin, lepas dari sejarah orang tuanya. Ketika kecil, di udik, saya bertelanjang dan menghambur ke halaman jika hujan turun. Mikail dilarang karena air hujan di Jakarta bisa bikin sakit. Saya hanya mengenal cerita oral tentang legenda-legenda, Mikail tahu dari buku-buku yang dibacakan ayah dan ibunya ketika berangkat tidur.

Saya hanya kenal mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali atau bambu, Mikail sudah tahu segala jenis merk mobil dan memainkan stir dan persneling betulan. Saya tak membayangkan memegang komputer, Mikail sudah bisa memperagakan mengetik di laptop lalu bermain games di sana. Saya asing dengan telepon, Mikail sudah bisa ngobrol lewat ponsel. Saya baru bisa menghitung, dan hapal Al Fatihah, saat masuk sekolah dasar. Mikail bahkan sudah lancar menghitung dalam bahasa Inggris dan melafalkan beberapa surat Quran.

Saya tidak ingat apa peristiwa saat usia tiga tahun. Mikail menagih janji saya yang tertunda dua hari. Saya cuma menonton Donald Bebek, Mikail tahu segala cerita kartun di televisi dan buku, mampu menirukan beberapa iklan yang dia suka, meminta merk makanan yang gambarnya muncul di layar tivi. Setiap hari saya akrab dengan ayam, kambing, kerbau, sapi. Mikail melihat hewa-hewan itu hanya sepekan di sekitar hari lebaran.

Saya dididik dengan cara tradisional: sekolah hanya dijadikan batu loncatan agar hidup tak sengsara. Mikail sudah masuk sekolah sejak umur dua tahun. Ia sudah diajarkan bagaimana logika jika makan tak cuci tangan lebih dulu. Atau kenapa bulan ada di langit. Jika bertanya sesuatu, ia akan memberondongkan "kenapa" hingga lima-enam kali, sampai ia merasa puas. Misalnya, "Itu mobil apa?"
"Mobil Citroen."
"Kenapa mobil itu bempernya copot?"
"Itu mobil rongsokan."
"Kenapa jadi rongsokan?"
"Karena sudah rusak."
"Rusak kenapa?"
"Sudah tua."
"Tua kenapa?"
"Belinya zaman dulu."
"Dulunya kapan?"
"Tahun 70."
"Tahun 70 itu apa?"

O, anak, sejarah apa yang akan kauciptakan kelak.

Saya tidak tahu apakah saya senang atau cemas dengan itu. Sejarah memang tidak selalu sama, kendati mungkin mirip karena perulangan. Dan anak-anak akan punya zamannya sendiri. Setiap manusia akan punya riwayatnya sendiri. Zaman berubah, abad berlari, manusia pun berganti. Apa yang hari ini canggih dan modern, esok akan segera lumat karena manusia terus berkembang dan berpikir.