Thursday, April 30, 2009

CERITA UNTUK MIKA

Dua cicak berhamburan ke dekat lampu di langit-
langit beranda. Menunggu laron pancaroba.

(Kamu begitu antusias.
Menunjuk teras yang tempias)

Aku selalu berharap bisa menangkap mereka
Menghadiahkannya untuk kamu
agar hari tak kelewat jemu
dan malam datang bukan karena lampu di beranda

"Ah, betapa kita bahagia."
"Tidak, bapak, kita hanya bisa menangkap ekornya."

2005

Tuesday, April 28, 2009

LETHOLOGICA


Seseorang memainkan Killing Me Softly pada piano. Serak-serak, sayup-sayup entah dari mana. Lambat, nglangut. Sementara angin Juni menubruk-nubruk di bahu.
Warung kuno ini hampir tutup. Jam 23, pengunjung sudah pulang. Salmon sudah termangsa dengan sempurna. Tapi kamu masih riang, menyantap tiramisu yang giung. Kita duduk membayangkan yang mungkin dan tak mungkin. Tentang kenangan yang baru saja usai, soal membangun masa depan yang tak kunjung selesai. Tapi apa kenangan apa masa depan, kita pun tak juga bisa merumuskan. Ketidakpastian memang menjengkelkan, tapi kita menempuhnya, bahkan ketika ketidakjelasan menjadi tak jelas.

Manusia barangkali harus menjalani takdir seperti Sisipus, yang menggulingkan batu setelah ia naikkan ke bukit itu. Kita sesungguhnya menikmati kerja yang sia-sia. Tapi bahkan yang sia-sia itu pun, dalam lethologica, tak lagi terasa sebagai sesuatu yang mubazir. Kita menganggap setiap kerja itu bermakna, meski kita tak tahu sebenarnya untuk apa. Sisipus tak menyesali hidupnya, karena ia tak tahu sedang dihukum seperti itu--ia selalu bergairah tiap kali mengggulingkan batu karena tahu ia akan menaikkannya lagi.
Maka syukur, bahkan dalam Sisipus, adalah momen paling penting dalam hidup. Kita menempuh hukuman dengan suka cita. Karena itu Tuhan tertawa ketika manusia berpikir. Kita menangkap gema tawa itu sebagai sebuah isyarat bahwa Tuhan belum jera dengan kita. Sebab, jika Ia suka menghukum buat apa dia menciptakan mahluk serumit manusia?

Seseorang kini memainkan Please Forgive Me. Masih pada piano, tetap dengan ritme lambat dan melangut. Suara perempuan itu masih terjaga setelah tiga jam menyanyi. Saya membayangkan ia bersenandung untuk dirinya sendiri. Mungkin ada yang mendengarkan, tapi mereka tak acuh dan hibuk dengan pikirannya sendiri, seperti kita. Musik itu hanya sebuah latar dari pelbagai peristiwa dalam kepala. Musik itu tak penting benar meski hadir dan menghempaskan waktu dan peristiwa ke dasar ingatan. Saya masih ingat walau nada itu hampir setahun lewat. Harum malam sehabis hujan yang sebentar itu masih menggantung di ujung hidung.

Dan hujan dan angin itu kini tak lagi punya arti. Kita tak lagi mengisi kenangan ke dalamnya. Kita tak lagi menghentikan waktu untuk mendesakkan sesuatu yang berharga. Waktu berlari kita lupa menuliskan maknanya. Atau sengaja lupa, pada aku dan kamu, yang tak lagi kita...

Sunday, April 26, 2009

KEPADA ANAK-ANAK MUDA

ANAK-anak muda muncul ketika para orang tua tak bisa menyelesaikan hal ihwal. Dalam novel Orang Tua dan Anak, Ivan Turgenev menghadirkan sosok Yevgeny Vasilevich Bazarov yang mencemaskan para orang tua karena jalan pikirannya. Anak muda ini tipikal seorang yang pulang dengan marah setelah bertahun-tahun menyerap ilmu di universitas.

Bazarov merasa tak ada gunanya belajar jauh-jauh sementara Rusia, negerinya di abad 19, tetap saja tertinggal. Masyarakat hidup bodoh, sementara orang kaya foya-foya dengan pesta. Tsar duduk angkuh di istana, para padri tak henti-henti berkotbah seraya tutup mata pada kebatilan di sekeliling. Bagi Bazarov, segala kekusutan itu bersumber pada nilai-nilai lama yang nyaman dianut generasi tua.

“Wahai paman, bisakah paham yang kalian anut ini membuat kita menjadi berarti?” kata Bazarov kepada Pak Kirsanov, ayah temannya.

Setelah lulus, Bazarov tak langsung pulang ke kampungnya. Ia mampir ke rumah temannya, Arkady Kirsanov, lalu tertarik mempraktekan ilmu dokternya. Di sinilah ia menyaksikan kekolotan dan paham kuno para orang tua yang ia benci.

Arkady dan Bazarov sering terlibat diskusi tentang zaman yang terbelakang. Cita-cita, harapan, dan solusi yang mungkin bisa diterapkan. Dan Pak Kirsanov adalah keterbelakangan yang nyata di depan mata mereka. Petuah dan kebajikannya sudah usang.Orang-orang tua, yang tak mengerti dunia sudah berubah di luar sana, hanya berpikir bagaimana membuat tanah pertanian agar subur dan panen berlimpah untuk hidup sehari-hari. Pak Kirsanov hanya perlu ke kebun mencari rumput untuk meredam demam seorang adiknya. Sedangkan Bazarov ingin penyakit itu dideteksi dan si bibi minum obat. Mereka pun kerap bertengkar untuk hal-hal sepele.Pak Kirsanov tak mengerti apa yang selalu diobrolkan kedua orang muda itu. Ia bahkan berpikir Bazarov adalah “orang berbahaya yang bisa meracuni pikiran anakku karena mengajarkan hal-hal yang dilarang tradisi”.

Bazarov makin frustrasi ketika tahu keterbelakangan itu hinggap di seluruh negeri. "Kita harus berubah," katanya. Tapi dengan cara apa? Bazarov mewakili kaum intelektual Rusia beberapa puluh tahun sebelum Revolusi Oktober 1917: mereka yang tak berdaya menghadapi carut marut keadaan.Bazarov kian meradang ketika tahu Pak Kirsanov berselingkuh dengan pelayannnya, sebuah simbol nilai-nilai lama di mana laki-laki mengendalikan seks. Sementara di mata orang tua, Bazarov adalah orang yang tak tahu adat. Dua-duanya memakai mata yang berbeda dalam memandang situasi. Maka kedua generasi pun berbenturan.

Tapi di kampung itulah, Bazarov bertemu Anna Odinstova, seorang janda kaya yang cantik lagi baik hati. Odinstova terpesona kepada pikiran-pikiran Bazarov. Keduanya terlibat cinta yang aneh. Odinstova menyukai Bazarov tapi takut menunjukkannya karena ngeri menerima paham-paham yang dibawa anak muda itu. Arkady juga ternyata menaruh hati. Turgenev meramu kisah cinta segitiga ini dengan memikat.

Ini memang keahliannya. Novel-novel sebelum Orang tua dan Anak bercerita tentang hubungan asmara, dengan lanskap sungai-sungai berarus tenang di dusun-dusun Rusia. Konflik psikologis ini menarik karena memberi warna ke dalam kisah yang penuh dengan dialog-dialog padat jargon. Perkenalan dengan Odinstova meluluhkan kekerasan hati Bazarov. Ia menjadi lebih lembut dan toleran menerima kritik dan pandangan orang lain.

Tokoh lain juga sibuk dengan urusannya sendiri. Arkady kemudian jatuh cinta kepada sepupu Odinstova, setelah tahu tak mungkin bersaing dengan sahabatnya sendiri. Mereka menikah secara tradisional dan hidup bahagia. Pak Kirsanov, atas desakan anak-anaknya, kemudian juga menikahi pelayannya itu.

Adapun Bazarov, ia pulang sebagai seorang orang kalah. Odinstova menolak cintanya, Rusia tak kunjung berubah. Bazarov berubah menjadi seorang nihilis tulen. Sementara Arkady juga sejenis manusia yang memilih berdamai, mencoba bahagia, dengan tetap kritis.

Novel ini disebut-sebut novel Turgenev yang paling indah. Bazarov dianggap personifikasi dirinya, yang juga bertahun-tahun hidup dan belajar di luar negeri, lalu menjadi pelopor sastra realis Rusia. Tapi, setelah novel ini terbit, Turgenev berhenti menulis selama satu dekade karena kritik yang bertubi-tubi kepada novelnya ini. Satu kritik, misalnya, menganggap Bazarov terlalu lembek sebagai seorang nihilis.

Tapi, kritik itu kian menegaskan bahwa Turgenev seorang penulis besar. Fyodor Dostoyevsky sampai menulis Kejahatan dan Hukuman sebagai tanggapan sekaligus mengekplorasi gagasan novel ini. Ketika Turgenev meninggal di usia 63 pada musim gugur 1883, seluruh Rusia menyambut jenazahnya dari Paris. Tentara siaga di jalan-jalan St. Petersburg karena khawatir iring-irangan berakhir menjadi rusuh politik.

Toh, kerusuhan itu tetap terjadi, pada Oktober 1917, ketika Bazarov-Bazarov yang menolak menjadi nihilis seperti Lenin dan Stalin menumpahkan segala kritik dan marahnya dengan menyerbu Istana dan menumbangkan Tsar. Rusia pun memasuki abad baru di bawah panji-panji komunisme.

Tuesday, April 21, 2009

WALI PENJAGA KEBEBASAN PERS

Biografi wartawan Atmakusumah Astraatmadja. Serba sepintas.

Ini buku tentang Atmakusumah Astraatmadja, wartawan Indonesia Raya di tahun 1960an. Tapi hidup orang Banten ini hanya sedikit saja disinggung, sebagian besar halaman bercerita tentang pikiran dan upayanya menegakkan kehidupan pers yang bebas. Ia pelopor Undang-Undang Pers tahun 1999, Ketua Dewan Pers 2000-2003, aktivis yang getol menyerukan agar wartawan tak dipenjara karena salah menulis.

Sebab pekerjaan wartawan adalah pekerjaan kolektif. Menurut Atma, jika seseorang merasa dirugikan oleh sebuah berita, tiga hal bisa ditempuh: menggunakan hak jawab, menempuh mediasi lewat Dewan Pers, dan—upaya terakhir yang tak ia sarankan—menggugat ke pengadilan dengan memakai Undang-Undang Pers. Karena itu hukuman bagi media yang memang punya niat buruk memfitnah, tak berimbang, kacau akurasi, adalah dengan mendendanya.

Memenjarakan wartawan adalah ciri negara otoriter. Atma menunjukkan di negara-negara demokratis pemidanaan wartawan sudah dihapus. Amerika Serikat memulainya tahun 1768—ketika anggota kongres masih banyak yang buat huruf. Karena itu, Atma menyebut siapa saja yang menilai pers kebablasan di zaman ini adalah sikap “mentalitas penjara”: seorang yang baru keluar bui (otoritarianisme) justru takut pada kebebasan. Sayangnya, para penakut itu datang dari kelompok elite, mereka yang tak buta huruf.

Atma berpikir sebaliknya: pers harus “kebablasan” karena berperan mengungkap kejahatan. Jika kini wartawan dan pers mengumbar pornografi, ceroboh membuat berita, keliru mengungkap fakta, bukan kebebasan yang disalahkan, tapi pekerja media itu yang ngawur. Ini menyangkut soal prosedur dan kode etik, yang bisa diuji. Di wilayah itulah media diadili. Tapi jika wartawan menerima suap, membunuh, menipu, memeras, dan hal-hal lain di luar jurnalistik, ia harus diseret secara pidana.

Kebebasan pers tak bisa ditawar jika Indonesia ingin menjadi negara demokratis, maju, dan modern. Atma seorang yang tak lelah menyerukan dan merawat soal ini sepanjang 50 tahun karirnya di dunia pers.

MENJAGA KEBEBASAN PERS, 70 TAHUN ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA
Penulis : Lukas Luwarso, Imran Hasibuan, Samsuri, Aa Sudirman
Penerbit : Lembaga Pers Dr. Soetomo, 2009
Tebal : viii + 220 halaman

Monday, April 20, 2009

WARNA KESUMBA SENI LEKRA

Buku yang merekam gempita kesenian Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dokumentasi penting, tak ada wawancara.

JIKA Fuad Hassan menyebut cerita pendek Indonesia di akhir 1960 penuh warna ungu karena mengeksplorasi renungan, kesedihan, dan rasa frustrasi, bolehlah disebut jika sastra dan seni satu dekade sebelumnya menggelorakan warna kesumba. Tiga buku ini merekam bagaimana seniman-seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat merayakan “realitas sepersis kenyataan”.
Lekra Tak Membakar Buku kita bisa merasakan bagaimana para seniman “kiri” itu mencoba merumuskan definisi “sastra Indonesia” berdasarkan filsafat realisme-sosialis. Buku ini ditulis berdasarkan 15 ribu artikel yang terbit di Harian Rakjat antara 1950-1965. Dari sana kita bisa tahu bagaimana Lekra didirikan, Harian Rakjat diterbitkan, sampai hal-hal sederhana tapi asyik: petinggi-petinggi Partai Komunis Indonesia macam Aidit-Njoto-Lukman menjajakan sendiri koran mereka di stasiun dan pelabuhan.

Sayangnya, dokumentasi penting ini tak dilengkapi wawancara seniman-seniman yang masih hidup, yang namanya menggelanggang, untuk memberi konteks. Sebab di Lekra juga ada penulis nonkomunis, yang menganggap integrasi politik dan seni sangat susah diterapkan. Alhasil, penyusun buku ini merayakan asumsi mereka sendiri ketika memberi komentar dan kesimpulan atas pidato, reportase, laporan-laporan wartawan Harian Rakjat tentang kesenian di kurun itu.

Barangkali karena buku-buku ini diterbitkan dengan tujuan “untuk memberi panggung kepada mereka yang dibungkam.” Kita tahu sejak peristiwa G30S tahun 1965 berita dan karya sastra seniman “kiri” tak lagi punya tempat. Maka konteks tak perlu lagi karena sumber tunggal itu sudah jadi “kebenaran” sendiri. Tumpukan 15 ribu artikel itu ditemukan di sebuah perpustakaan di Yogyakarta yang terkunci di sebuah ruangan terlarang, menguning, dan aus dimakan rayap.

Sebagai dokumentasi, tiga buku ini menjadi penting karena memberi gambaran utuh bagaimana seniman Lekra melahirkan karya-karyanya. Kedua penulis terasa ingin meyakinkan bahwa seniman Lekra dan kesenian kiri tak senajis dan sedangkal yang dikira orang. Tak semua puisi menyajikan kebanalan realitas seperti tampak pada beberapa puisi Agam Wispi dan HR Bandaharo.

Kita pun paham mengapa, misalnya, terjadi perdebatan sengit kubu Lekra dengan seniman yang berhimpun dalam Manifes Kebudayaan. Buku Gugur Merah menyajikan 425 puisi dari 111 penyair. Sementara Laporan dari Bawah menghimpun 97 cerita pendek dari 61 penulis.

Dari dua buku ini kita mengerti mengapa seniman Manifes menolak seni kesumba macam itu: puisi hanya alat memuji Rakyat, cerita hanya reportase yang tak mengejutkan ketimbang sebuah liputan di koran. Realitas pun kehilangan ketajaman dan misterinya. Setiap puisi atau cerita nyaris tak bisa dibedakan tema, gaya, dan penulisnya.

Amarzan Ismail Hamid, yang 15 puisi dan tiga ceritanya dimuat di buku ini, mengatakan pada zaman itu para penulis tak memiliki bahan bacaan yang melimpah sebagai referensi. Bahkan karya-karya realisme-sosialis dari Uni Soviet yang menjadi kiblat penulis Lekra tak tersedia di toko-toko buku. “Apalagi sastra Eropa Timur itu susah dipahami,” katanya. “Para penulis ingin menjadi Marxis tapi tak membaca dan memahami ideologinya.”

Buku Nikolai Chernisevsky, Hubungan Seni dan Realitet, memang sampai ke sini pada 1962 lewat terjemahan Oey Hay Djoen. Sayangnya, kata Amarzan, pandangan Chernisevsky yang menempatkan realitas lebih sempurna ketimbang karya seni justru sedang dikritik di Soviet ketika paham ini mulai diserap di Indonesia.

Hal lainnya: penyusun buku ini agaknya lupa mendefinisikan Rakyat yang selalu ditulis dengan “R” itu. Rakyat macam apa yang memenuhi benak para penulis itu ketika menulis puisi, menggarap lukisan, menulis cerita, membuat tarian. Sebab Rakyat dan realitas itu adalah sumber inspirasi karya-karya mereka. Alhasil, rakyat di buku ini sesosok mahluk gaib yang tak jelas rupa dan bentuknya. Rakyat hanya disebut dalam jargon rumusan ideologi kesenian.

Apapun itu, seperti terbaca di halaman pengantar, penyusunan buku ini hanya menghimpun dan memberi tempat kepada sastra kesumba di tahun 1960-an yang pernah mengharu biru sastra Indonesia. Bukan telaah sastra dari dua sisi.

LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M DahlanEdisi : September 2008Penerbit : Merakesumba YogyakartaTebal : 582 Halaman

GUGUR MERAH (Sehimpun Puisi Harian Rakjat 1950-1965)Penyusun : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M DahlanEdisi : September 2008Penerbit : Merakesumba YogyakartaTebal : 966 Halaman

LAPORAN DARI BAWAH (Sehimpun Cerita Pendek Harian Rakjat 1950-1965)Penyusun : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M DahlanPenerbit : Merakesumba YogyakartaTebal : 558 Halaman

Sunday, April 19, 2009

SENJATA ORANG KALAH

Raden Saleh bukan seorang nasionalis, revolusioner, apalagi radikal. Lukisan Dipanegara melenceng dari kenyataan.

RADEN Saleh Syarif Bustaman tertunduk takzim di depan Pangeran Dipanegara yang mendongak dengan muka mengeras. Pemimpin Jawa itu seolah menolak perintah Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berdiri di sebelahnya sambil menunjuk kereta yang siap membawa sang pangeran ke pembuangan. Adegan dalam lukisan Penangkapan Dipanegara itu terkenal sebagai masterpiece Raden Saleh.

Sejarawan Inggris, Peter B.R. Carey, menelisik benarkah adegan dan suasana penangkapan di rumah Keresidenan Magelang, Jawa Tengah, pada 30 Maret 1830 itu. Ia membongkar catatan harian Jenderal de Kock, Ali Basah Gandakusuma—panglima perang kepercayaan Dipanegara—dan Babad Dipanegara, otobiografi anak Sultan Hamengkubuwono III itu. Carey menyimpulkan, lukisan itu imajinasi Raden Saleh belaka.

Tak ada satupun catatan, misalnya, soal kehadiran Raden Ayu Ratnaningsih, istri Dipanegara, di teras itu yang digambar Saleh bersimpuh di kaki suaminya. Raden Saleh, saat penangkapan Dipanegara di hari Lebaran kedua itu, juga tak sedang di Indonesia. Ia masih tinggal di Belanda.

Saleh melukis adegan itu karena kagum pada sosok Dipanegara. Ia melukisnya pada 1857, dua tahun setelah Dipanegara meninggal di pengasingannya, Benteng Rotterdam, Sulawesi Selatan.

Lagipula, Dipanegara tak menolak diasingkan. Dalam Babad, ia mengakui kekalahannya di Solo tahun 1826 memupus harapannya menegakkan kesultanan baru di Jawa, selain Surakarta dan Yogya. Kepada Ali Basah, Dipanegara mengatakan lambat atau cepat Belanda pasti menangkapnya.

Perang Jawa antara 1825-1830 telah menyedot kas Pemerintah Hindia Belanda hingga 25 juta gulden. Ribuan prajurit tewas. Belanda sudah patah arang menghadapi Dipanegara. Telegram Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memerintahkan agar anak keraton Yogya yang memilih nyatri itu dibunuh saja. De Kock lalu merekayasa pertemuan dengan kedok perundingan di hari Lebaran, sehingga Dipanegara tak mungkin menolak karena itu hari siliaturahmi setelah puasa.

Buku ini menarik, meski hanya kumpulan tiga tulisan lama yang pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris. Harsja W. Bachtiar menulis sisi lain Raden Saleh sebagai seorang arkeolog dan filolog yang tekun. Ekskavasinya menemukan rahang hiu purba di Sentolo, Jawa Tengah. Manuskrip-manuskrip yang ia temukan di Cianjur, ibukota Priangan lama, adalah catatan penting kehidupan sosial dan agama Sunda di abad 8.

Harsja menolak tafsir nasionalisme Raden Saleh lewat lukisan Penangkapan Dipanegara. Menurut Harsja, Saleh hanya seorang tradisional yang menerima begitu saja struktur masyarakat koloni. Saleh menikmati 23 tahun hidup di Belanda dari beasiswa raja dan pengusaha, keluar masuk istana Belgia dan Prancis dengan jas hangat Rusia dan kemeja Inggris yang necis.

Harsja membuktikan tak ada andil Raden Saleh dalam “pemberontakan Bekasi” April 1869. Seorang lurah yang memimpin perlawanan menyamar dalam kerumunan dengan pakaian yang biasa dikenakan Saleh. Lelah diinterogasi dan dimata-matai Belanda, Saleh menulis di jurnal Tidjschrift voor Nederlandsch Indie bahwa hidup-matinya hanya “dipersembahkan untuk rajaku, pemerintah, dan bangsa Belanda”.

Praktis 66 tahun hidup Saleh (ia lahir 1814) hanya dihabiskan untuk seni, ilmu, dan pergaulan borjuis. Tempat tinggalnya di Cikini, Bogor, atau Eropa bak istana. Di Bogor, ia berjalan bersama istrinya diiringi cantrik yang memegang payung kebesaran raja.

J.J. Rizal yang meracik pengantar untuk buku ini menduga upaya Saleh menggambar suasana dramatis penangkapan Dipanegara karena ketidakberdayaannya sebagai pribumi. Ia tak sanggup menentang Belanda secara terbuka karena berutang budi. Cara melawan pemerintah kolonial adalah dengan menganggumi Dipanegara dan melukiskan sosoknya yang mencongak melecehkan penangkapnya.

Dalam bahasa sosiolog James C. Scott, ini cara melawan yang khas dari orang yang kalah. Para petani desa menunduk di hadapan majikan seolah-olah takzim padahal kentut diam-diam. Sebuah perlawanan ala punakawan dalam wayang. Saleh barangkali tak seekstrim itu. Meski kemudian ia menghadiahkan lukisan Dipanegara itu untuk Raja Willem III, induk semangnya di Belanda.

Judul : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indiƫ, dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, 2009
Tebal : xl + 200 halaman

Saturday, April 18, 2009

BIOGRAFI SAMBIL LALU

Omi Intan Naomi merekam kreativitas perupa Ugo Untoro selama 17 tahun. Buku terakhir, kacamata seorang nihilis.


JIKA warna, garis, bentuk, dan isi sudah habis digarap perupa masa lalu, apalagi yang tersisa untuk perupa masa kini? Ugo Untoro tak menjawab pertanyaannya sendiri yang klise ini. Perupa 38 tahun dari Yogyakarta yang sedang tenar itu memilih mempraktekkannya saja: “melukis adalah mencurahkan isi batin”.

Bahwa kemudian orang tak menangkap isi batin melalui goresan cat dan warna yang dibingkai dengan judul itu, Ugo tak peduli. Sejak 1989 ia melukis, membuat boneka, wayang, buku, instalasi, toh kini “pasar” menyukainya. Karya-karyanya laku hingga ratusan juta rupiah. Majalah Tempo ini menobatkannya sebagai Tokoh Seni 2007 dengan menilai karya instalasi kuda sebagai paling unggul sepanjang tahun itu.

Omi Intan Naomi, penulis dan penerjemah yang tekun, merekam kreativitas perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta 1996 itu hingga 2006. Hasilnya sebuah buku tebal dengan judul amat panjang: The Sound of Silenece and Colors of The Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter. Omi merumuskan dengan tepat bahwa karya-karya Ugo itu seperti haiku, puisi Jepang amat pendek, sederhana, irit, tapi bertenaga.

Seperti haiku, yang ditampilkan Ugo adalah momentum—apa yang dia rasa dan gagas saat peristiwa itu terjadi. Ketika ia menangkap dan memikirkan tetesan hujan, atau keterguncangan mendapat anak terbelakang mental. Karena itu momen itu bukan milik kita, tapi entah kenapa “selalu mengait ke manusia,” tulis Omi. Ia menilai kemampuan Ugo itu sebuah kesaktian.

Tapi buku ini tak melulu pujian. Sebagian besar halamannya justru berisi kritik. Kritik Omi terhadap penilaian para kurator, juga kritik terhadap cara pandang Ugo sendiri terhadap proses kreatifnya.

Para kurator umumnya menahbiskan Ugo sebagai “perupa-pemikir” dengan mengaitkan karya dan kredo perupaannya pada bacaan yang bejibun, dari Nietzsche, Sapardi, Freud, sampai Zoetmulder. Meski Omi mengakui hanya Ugo perupa Yogya yang mau membaca, ia menampik penilaian itu. Menurut Omi, karya-karya Ugo tak lebih hanya kelebat pikirannya. Memangnya gambar hujan Ugo didapat dari Stephen Hawking?

Alih-alih mengaitkan psikoanalisa Sigmund Freud soal pengaruh masa kecil, Omi membahas karya-karya Ugo lewat konteks: lingkungan Malioboro, kedekatan Ugo pada wayang kardus, kegemarannya pada kuda, dan kelahiran anaknya. Sebab, tafsir Ugo atas Ɯbermensch dalam Also Sprach Zarathustra Friedrich Nietzsche ternyata tak sepenuhnya berhasil, kalau bukan keliru.

Buku ini menarik bukan saja karena “membumi” dan ditulis dengan gaya nyinyir dan ngajak bertengkar seperti itu, juga karena paparan Omi yang naratif. Ugo sepenuhnya ditafsir dari kacamatanya dengan bingkai kisah dan peristiwa di sekeliling Ugo yang langsung atau tidak langsung bersinggungan dengannya: sejak Ugo masih menggelandang hingga kini punya museum dan ruang pamer sendiri. Dari situ Omi menarik bahasannya ke khazanah yang lebih luas.

Ketika memindai lukisan Mau Mencoba Jadi Napoleon? (2004) tentang gambar kuda putih meringkik, Omi membahasnya hingga jauh ke sejarah panglima-panglima perang Jepang abad 15 yang memakai kuda tak sebatas kendaraan tapi pasukan perang itu sendiri. Kegemaran Ugo menenggak pil sebelum melukis ia tubrukan dengan perilaku pemain band yang sudah meninggalkan era narkotika. Soal buku dan boneka ia benturkan dengan tradisi origami.

Maka bukan cuma Ugo yang tampil di sana, tapi juga sejarah, cerita di balik layar perupa Yogya, musik pop, kisah cinta, tabiat pemilik galeri, filsafat, wayang, empati. Keriuhan itu diadon menjadi bacaan yang legit, meski agak menjengkelkan karena semua bahan yang ada di hadapan Omi itu semua salah dan keliru.

Omi tak menyaksikan bukunya ini terbit. Perempuan kelahiran 1970 ini meninggal 5 November 2006. Dodo Hartoko, karib Ugo, yang menawarkan ide menulis biografi para perupa Yogya kepada Omi pada 2005, kemudian menemukan terjemahan tulisan itu dalam bahasa Inggris di komputer Omi. Jadilah buku ini tersaji dalam dua bahasa. Ugo menyediakan Rp 200 juta untuk menerbitkan seribu eksemplar. “Seingat saya, Omi menulis ini dalam sepuluh hari,” kata Dodo.

Mungkin karena itu, seperti apologianya di lembar pengantar, Omi yang jarang keluar rumah itu menyebut bukunya ini hanya pengamatan sambil lalu. Apa yang diceritakan setengahnya kabar angin, selebihnya faktual. Ia tak masuk menyelami proses kreatif Ugo hingga detail. Ia tak membahas bagaimana kesakitan, dendam, dan kesepian Ugo itu tumpah di kanvas dari kacamata pelukisnya sendiri.


Judul : The Sound of Silence and Colors of The Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of The Lighter
Penulis : Omi Intan Naomi
Penerbit : Museum dan Tanah Liat, Yogyakarta
Tebal : 481 halaman

Friday, April 17, 2009

LAKON ANAK SENEN

Memoar Misbach Yusa Biran merekam jejak dan sejarah film Indonesia. Penuh cemooh kocak.

MINAT Misbach Yusa Biran terhadap film mengalahkan keinginan lulus dari Sekolah Menengah Atas. Ketika teman-temanya di Taman Siswa, Kemayoran, Jakarta Pusat, tegang menempuh ujian akhir, dia malah ngelencer dengan sepeda dari studio ke studio film untuk melamar menjadi kru. Cita-citanya satu: menjadi sutradara.

Meski minat awalnya menulis sajak, Misbach lebih senang dengan teater karena pertunjukkannya selalu sukses. Bersama Sjuman Djaja dan S.M. Ardan, ia mementaskan naskah-naskah Utuy Tatang Sontani dan Usmar Ismail.

Tapi tak ada studio yang mau menerima anak SMA di tahun 1953, meski Misbach mau dijadikan apa saja tanpa gaji. Siswa SMA dianggap terlalu luhur hanya menjadi kru. Pujian menjadi sutradara di sekolah tak menggoyahkan orang studio menerimanya bekerja.

Kesempatan itu datang setahun kemudian, langsung dari Usmar Ismail, sutradara terkenal dari studio Perfini yang semula menolaknya. Usmar terkesan oleh kritik Misbach atas film Meratjoen Soekma di majalah Aneka. Perfini menawarinya menjadi pencatat skrip dengan gaji Rp 250 per bulan. Film pertama yang ditanganinya adalah Heboh karya Nyak Abbas Acup. Sejak 1954 itulah karir Misbach sebagai orang film dimulai.

Melalui memoar ini Misbach mencatat hidupnya yang 70 tahun untuk memotret sejarah film Indonesia. Karena itu bukan semata dia yang menjadi aktor di buku ini. Nama-nama legenda film bermunculan dengan peran-peran mereka pada hidup Misbach dan dunia film. Pertentangan seniman film Kiri dan nonKiri ia singgung dengan antusias. Dari Misbach kita tahu, bukan semata ideologi para seniman di tahun 1960-an bentrok. Motif ekonomi, persaingan, gengsi, lebih kental sebagai latar belakang perselisihan.

Tentu saja bagian utama dan terpenting dari buku ini adalah episode Misbach membangun Pusat Perfilman Usmar Ismail di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia menyebut periode hidupnya itu sebagai era menjadi idealis. Gedung arsip film—ia menyebutnya sinametek, saduran dari kata Prancis ƧinĆ©mathĆØque itulah tonggak dan titinggal Misbach yang paling berharga.

Seorang diri, tanpa gaji memadai dan referensi, Misbach membangun sinamatek Indonesia dengan mengumpulkan pelbagai film di tengah cibiran sesama seniman. Bahkan ketika sudah jadi pun tak ada orang yang mau menengoknya. Waktu itu di Asia baru India yang punya arsip film [saking asingnya, Gubernur Ali Sadikin selalu melafalkannya “simeletek”.

Kesibukannya itu menyita waktu Misbach menulis skenario yang honornya lebih jelas. Ia sering menolak pembuatan naskah drama dari TVRI. Pemain film Nani Wijaya, istrinya, sampai harus menjajakan buku dan berjualan sirop agar dapurnya tetap ngebul. Sejak menikah dengan Misbach, Nani mandek main film. Misbach sempat diprotes oleh penggemar dan sesama pemain film karena “menyuruh Nani hamil terus”. Tiga dari enam anak pertama mereka lahir di tahun yang berdekatan.

Toh, hidup susah begitu, Misbach menjalaninya dengan enteng. Misbach pantang mundur jika sudah punya mau. Pergaulannya di Senen—jantung Jakarta di tahun 1950-an—mengajarinya gigih tanpa kehilangan selera humor. Maka periode Senen ini ia ceritakan agak panjang dibanding masa kecil dan sekolah. Ia merekam segala kejadian di sana. Seniman dan penjahat berbaur jadi satu dan saling tukar posisi, seperti ia ceritakan dalam kumpulan cerita pendek Keajaiban di Pasar Senen. Siapa sangka pemimpin copet-gelandangan di sana menulis drama Si Manis Jembatan Ancol pada 1955.

Memoar ini memikat terutama karena cara bertutur Misbach dan lakon hidupnya yang penuh drama: runut, jelas, jernih, jenaka, sesekali mengharukan, meski pada beberapa tema ia mengomel. Yang mengharukan, misalnya, ketika ia dan Nani harus mengangkut properti pameran film ke Taman Ismail Marzuki. Nani waktu itu sedang hamil besar anak ketiga. Atau ketika Misbach bercerita seputar meninggalnya pemain sinetron Sukma Ayu, anak bungsunya, yang disiarkan berhari-hari di televisi.

Tentu saja semua cerita dan sejarah dalam memoar ini subjektif dan tak lengkap. Seperti kata Ajip Rosidi dalam pengatar, orang-orang yang disebut dalam memoar ini harus juga menulis sejarah dari kacamatanya sendiri agar fakta-fakta yang disajikan Misbach bisa teruji.


Judul : KENANG-KENANGAN ORANG BANDEL
Penulis : Misbach Yusa Biran
Penerbit : Komunitas Bambu Jakarta, 2008
Tebal : xviii + 326 halaman