Wednesday, May 30, 2007

SIDDHARTHA



Siddhartha berjalan jauh, menembus hutan, mengarungi sungai, mengembara ke desa dan kota-kota. Tapi ia tetap gelisah. Hatinya tak kunjung tenang. Ia telah menanggalkan istana dan kebrahmanaannya. Ia bersalin rupa menjadi samana, yang cuma bercawat, bercambang dan gondrong, terus berjalan, berpuasa, meninggalkan segala nafsu dunia, dan menyerahkan sepenuh raga kepada apa yang ia namakan cinta. Tapi tak ada tuhan. Sang Maha itu selalu luput. Tuhan, pada Siddhartha, selalu bertukar tangkap dengan lepas.

Ia pernah bertemu Kamala, pelacur cantik di kota yang dikunjunginya. Kepadanya Siddhartha belajar segala hal. Main cinta, berniaga, hingga bagaimana menghibur diri ketika patah hati. Tetap sia-sia. Harta, wanita, dan tahta tetap tak bisa menyembuhkan kehausan Siddhartha akan cinta dan ketentraman jiwa.

Padahal, sudah banyak ia berkorban. Ia meninggalkan orang tua yang sangat menyayanginya, meninggalkan Govinda, teman yang mengasihinya lebih dari siapapun, yang menemukan kedamaian setelah bertemu Gautama. Bagi Siddhartha, Tuhan tetap luput, dunia tak juga terkaut. Selalu ada lubang besar yang menganga, membentangkan jarak antara dirinya dengan yang di-Sana. Siddhartha berusaha merumuskan sesuatu apa yang di-Sana itu. Tapi kian jauh mendefinisikan, kian buyar rumusan dan kesimpulannya.

Siddhartha pun menanggalkan kembali segala kenikmatan dunia, Kemala yang telah memberinya janin, Kamaswami yang mengajarinya ilmu-ilmu dagang. Ia menemui Vasudeva, yang dulu menyeberangkannya ketika ia meninggalkan dunia samana di hutan. Sebab, setelah sekian lama pengembaraan, hanya tukang perahu itulah yang paling unggul menawarkan ketenangan. Kepadanya Siddhartha belajar bagaimana mengerti bahasa sungai, arus yang jernih, angin, kecipak burung, ketenangan batu-batu. Kepada alam itulah Siddhartha membuka segala indranya untuk menyerap dan mendekatkan diri kepada yang di-Sana.

Kita tidak tahu apakah Siddhartha berhasil dengan segala upayanya itu. Novel pendek Hermann Hesse, yang memberat dan terasa berusaha mengharukan, ini berhenti ketika Siddhartha belajar kepada sungai. Tapi barangkali tidak penting benar apakah Siddhartha berhasil atau gagal. Sebab, baik Shidarta maupun novel ini atau Hesse sendiri, barangkali tidak mementingkan hasil akhir. Siddhartha terus mencari sepanjang hayatnya.

Hesse sendiri "menemukan" Siddhartha setelah ia melawat ke Timur, antara lain ke India, Sri Lanka, dan Indonesia. Novel ini ia tulis--lalu terbit pada 1922--ketika ia sendiri sedang haus mencari akar religiusitasnya. Pada masanya, novel pemenang Nobel Sastra 1946 ini memang terasa menghentak dan aktual. Eropa, Jerman terutama, sedang dilanda gelisah oleh pelbagai ide ketika itu. Nihilisme merajalela, Holocaust, sosialisme, manusia bertempur dengan manusia, dan seterusnya.

Dan pencarian itu agaknya kekal. Gemanya sampai ke zaman Internet ini. Ada banyak novel sejenis dengan alur dan cerita yang berbeda ditulis banyak orang. Seperti Han Nolan ketika menulis Send Me Down a Miracle. Pada akhirnya, novel-novel sejenis ini sering berakhir dengan kesimpulan seperti dikatakan Charrity Pittman, tokoh utama novel Nolan, "Tuhan ada bersama kita. Tidak dalam kitab suci, tidak dalam puisi, masjid atau gereja atau sinagog, atau banyak tempat ibadah lain. Ia menyatu bersama kita. Selamanya." Kesimpulan yang umum dari segala pencarian spiritual dalam banyak agama-agama.

Lalu kita pun percaya kepada doa. Dan agama dan iman bertaut dengan nalar yang tak berkesudahan. Sampai sekarang. Kita sendiri kadang tak habis pikir...

Friday, May 11, 2007

HOMO URBANUS



Homo sapiens akan tinggal cerita. Kita sedang bersalin wujud menjadi Homo urbanus. Kelak, demikianlah majalah The Economist edisi awal Mei lalu meramalkan, pada 2030 lebih dari 80 persen penghuni bumi ini akan menjadi orang kota. Jumlah itu berarti 4 miliar manusia yang nongkrong di bumi yang bundar ini.

Kota, kata Raymond Williams, adalah sebuah lanskap--sebuah kampung--yang asing. Itulah kenapa kota berbeda dengan desa. Dan kota berarti gedung menjulang, mobil, gerak gegas, ketika waktu, ketika umur, dihargai dengan sejumlah uang. Perilaku orangnya akan seperti Joshua Karabish, Nyonya Elberhart, M, dan segerombol penghuni kisah Orang-orang Bloomington, yang berlaku aneh dan tak mengenal keinginan-keinginannya sendiri. Mereka akan menyampaikan pertanyaan purba tenang identitas ketika keterasingan kian menyergap.

Dan kota berarti hukum rimba. Sebab kota menuntut teknologi yang bisa meringkas jarak, memampatkan waktu. Kota membuat orang menjadi kaya sekaligus menciptakan orang miskin. Pada awal 1970 separuh penduduk Asia buta huruf. 30 tahun kemudian, berkurang tinggal 20 persen. Masa hidup orang juga kian lama karena ada pelbagai tips memanjangkan usia di internet, majalah keluarga, dan buku kesehatan. Tapi orang miskin juga terus tumbuh mengimbangi laju pertambahan penduduk.

Mereka kalah dalam rebutan sumberdaya alam. Sebab kota dengan teknologinya itu akan menguras hal ihwal perut bumi yang terbatas: jalan tol, mall, jembatan, pesawat, kereta api, mobil baru. Yang tidak kuat dan lihai dalam perebutan itu akan tersisih. Dan Asia dan Afrika diprediksi akan menampung jumlah terbesar manusia yang tak bertahan dalam pertempuran itu. Kita tetap menjadi Homo sapiens jenis Homo ruralus alias wong ndeso bin katro.

Tapi kota mungkin tak selalu identik dengan kaya. National Geographic melaporkan bahwa definisi kekayaan bisa berbeda antar wilayah. Kekayaan punya alamat dan tempat tinggal dan geografi. Orang Norwegia yang merasa dilahirkan dan memiliki gen sejahtera tak perlu ngoyo mengejar harta. Jam 4 kantor-kantor tutup, orang diberi keluasan berkumpul dengan keluarga, mengantar anak berenang atau nonton pertandingan sepakbola. Seorang pemenang lotre US$ 500 ribu membiarkan saja uangnya berbiak di rekening banknya. Sementara ia terus menanam kentang. Bagi petani ini, uang itu tak penting, "Saya tak bisa membayangkan jika saya berhenti bekerja."

Geografi dan identitas kemakmuran inilah yang luput dari ramalan The Economist itu.

Thursday, May 03, 2007

JENDERAL LAPANGAN TENGAH



Sepakbola menyimpan dan melahirkan banyak istilah baru. Kata-kata dari luar lapangan pun bisa masuk dan diterima dengan baik dalam peristilahan sepakbola. Misalnya, "Dida (kiper AC Milan) dengan gampang memetik bola". Jika ada yang bilang bahasa Indonesia itu miskin, tengoklah kolom-kolom dan berita sepakbola. Di sana istilah bagus, aneh, gak nyambung, bergelimpangan.

Kita pun akrab dengan istilah "jenderal lapangan tengah". Siapa yang mengenalkannya? Entahlah. Para komentator pertandingan dan wartawan memakainya setiap kali mengupas Michael Ballack, Steven Gerrad, atau Frank Lampard. Jenderal di sini tentu mengacu kepada "gelar politis" dalam dunia tentara. Biasanya inilah orang yang paling tinggi jabatannya. Panglima TNI kita jenderal bintang empat--satu level di bawah Soeharto yang punya lima bintang. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian lain kepada istilah ini, yaitu "orang yang paling berpengaruh dalam satu kelompok".

Anehnya, dalam sepakbola tidak demikianlah artinya. Frank Lampard bukan kapten, baik di klubnya, Chelsea, maupun kesebelasan nasional Inggris. Gerrad kapten Liverpool, tapi hanya pemain tengah di Inggris. Ballack kapten di kesebelasan Jerman, tapi cuma pemain tengah di Chelsea.

Sebab kaptenlah yang mengatur irama permainan. Ia perwakilan dari pelatih di lapangan. Seorang kapten harus bisa bernegosiasi dengan wasit jika ada prikik yang merugikan timnya. Karena itu Park-Ji Sung diledek habis-habisan oleh wartawan Inggris ketika menyandang ban kapten Manchester United. Orang Korea Selatan ini belum lama main di MU. Bahasa Inggrisnya belum lancar benar. Bagaimana ia bicara dengan wasit?

Kapten, sementara itu, adalah pangkat perwira pertama dalam dunia militer. Jadi terbalik-baliklah pemakaian istilah ini dalam sepakbola. Jika kata "jenderal" diambil dari dunia tentara, makna, fungsi, dan kedudukannya ditanggalkan. Seorang kapten akan memberi hormat kepada seorang jenderal, dalam sepakbola yang terjadi sebaliknya.

Jenderal tidak memimpin pasukan saat pertempuran. Ia mengendalikan dari jauh. Seorang kolonellah yang memimpin pasukan saat perang. Kenapa Ballack, Lampard atau Gerrard tidak disebut kolonel? Karena julukan jenderal lebih tepat untuk para pelatih yang duduk di pinggir lapangan mengamati permainan.

Rafael Benitez, Alex Ferguson, atau Jose Mourinho, sering terlihat menggerakkan tangan dan kaki sebagai perintah-isyarat kepada pemainnya. Dia jugalah yang punya kewenangan mengganti pemain yang dinilai kurang sesuai dengan strategi. Karena itu dialah jenderalnya.

Tetapi, salah istilah seperti ini sudah umum terjadi dalam bahasa Indonesia. Kesalahan jenderal dan kapten ini pun mungkin sudah ditemukan oleh Jaya Suprana ketika menyusun kamus kelirumologi.

Wednesday, May 02, 2007

DRAMA



Daniel Agger menebus kesalahan di Stamford Bridge. Di kandang Chelsea itu, pemain sepak bola asal Denmark itu lalai memepet Didier Drogba. Agger salah cara mengawal. Ia seperti memicing Andriy Sevchenko yang tak perlu adu badan. Drogba yang menjulang 2 meter harus dikawal hingga jatuh. Akibatnya, Joe Cole menyambar operan Drogba hingga berbuah gol. Liverpool kalah 1-0.

Di Anfield, markas Liverpool, tadi pagi dalam semifinal kedua Piala Champions, Agger sukses menghambat laju Drogba. Pemain Pantai Gading itu nyaris tak berkutik. Hanya sekali, Drogba bisa lolos lalu menendang dengan keras bola ke kiper Pepe Reina. Itu pun, sebetulnya, Drogba dalam posisi offside. Sisanya adalah pertandingan yang seru. Cole, kebetulan, pembuat sebab gol Agger.

Ia mengganjal Steven Gerrard, 25 meter di sisi kanan gawang Petr Cech. Pemain Chelsea menyangka Gerrard akan menendang bola langsung ke mulut gawang. Nyatanya ia mengoper pelan ke arah Agger yang berdiri bebas. Gol di menit 22.22 itu bertahan hingga 90 menit.

Tak hanya Drogba yang tak berkutik. Sembilan pemain lainnya juga sama. Frank Lampard jarang disorot kamera sedang menggiring bola, atau mengatur serangan dari tengah lapangan. Essien yang biasanya gesit dan kokoh di tengah, kerepotan sebagai bek. Lain-lainnya seperti frustrasi.

Beruntung bagi Liverpool karena punya Agger yang dibeli dari Brondby IF, Denmark, 5,8 juta pound, Januari 2006. Sebab, setelah itu tak ada gol lagi. Crouch di depan tak berfungsi. Kuyt agak lumayan ketika sundulannya membentur mistar dan golnya di anulir karena kepalanya lebih maju dari John Terry. Rafael Benitez rupanya mengandalkan Jemaine Penant untuk menggempur Chelsea dari sayap--cara yang ia tempuh ketika mengurung Chelsea di babak kedua semifinal pertama, kendati Penant, waktu itu, telat diturunkan.

Kali ini Benitez telat memasukkan Robbie Fowler. Seharusnya pemain gaek inilah yang menemani Kuyt sebagai penyerang, setelah duet Kuyt-Crouch tak menghasilkan banyak peluang gol. Terry sudah tahu bagaimana membuat Crouch tak pernah punya bola enak untuk ditendang atau disundul. Fowler baru dipasang di menit akhir.

Karena tak ada gol lagi, penalti--kekerasan paling sadis dalam sepakbola modern itu--dipakai untuk menentukan tim yang akan ke final di Yunani nanti. Kali ini Jose Maurinho, pelatih Chelsea, gagal membaca mental pemain. Ia memasukkan Arjen Robben dan Geremi sebagai penendang bola. Dua pemain ini baru dua-tiga kali menendang bola sebelum pertandingan usai. Padahal, keduanya belum menyatu dengan emosi pemain lainnya yang berkeringat selama 120 menit. Tendangan keduanya pun bisa dibaca Reina. Kemana Essien? Kemana Drogba?

Saya selalu suka Mourinho: mulut besarnya, overcoat dan jasnya, cara dia membuat dan mengubah strategi. Saya kira, dia pelatih terbaik saat ini. Ferguson bagus tapi selalu membawa masalah pribadi ke lapangan. Beckham, Nistelrooy, Keane, jadi korban egoisme pelatih Manchester United ini. Saya suka Moourinho karena ia tipe palatih yang tahu bahwa sepakbola juga sebuah drama.

Ia menciptakan drama itu di luar lapangan. Omong besarnya memang bikin jengkel. Tapi, seperti Simon Cowel di American Idol, Mourinho seringkali membuktikan omong besarnya itu. Ia orang yang penuh percaya diri. Karena dialah, salah satunya, yang membuat Liga Inggris selalu seru dan menjadi liga terbaik di dunia, di dalam maupun di luar lapangan.

Di Anfield, Mourinho terlihat tenang, atau ditenang-tenangkan. Maklum, pemainnya tak komplit betul. Banyak yang cedera. Ia seperti sudah tahu timnya bakal keok di Anfield. Dan itu terbukti. Gerrard, you'll never walk alone. Ada pemain ke-12 yang membantu: penonton. Dari sanalah drama tercipta dengan jumlah aktor puluhan ribu.