Thursday, February 12, 2004

THE NAME OF THE ROSE

NOVEL ini bercerita tentang sebuah pertanyaan yang menggema di sebuah biara di pinggran Italia pada sebuah musim salju akhir November 1327. Biara yang menjadi tempat utama berlangsungnya cerita dalam novel Umberto Eco, profesor semiotika di Universitas Bologna, Italia : The Name of The Rose. Aslinya, novel ini terbit dalam bahasa Italia dengan judul Il nome della rosa pada 1983. Pernahkah Kristus tertawa?

Para rahib muda, yang setiap hari bergulat dengan ribuan kitab di perpustakaan di antara kegiatan rutin biara, memunculkan pertanyaan itu dalam diskusi sembunyi-sembunyi. Adalah Jorge yang menentangnya. Bagi rahib tua yang buta ini, Kristus tak pernah tertawa. "Kebenaran dan kebajikan bukan untuk ditertawakan. Inilah mengapa Kristus tak pernah tertawa, tertawa menyebabkan keragu-raguan," katanya (hal. 203).

Untuk mengusut perilaku bidah dalam biara itu diutus William dari Baskerville, seorang bruder Franciskan asal Inggris. William datang ditemani seorang calon rahib dari Jerman, Adso, si "aku" dalam novel tebal ini. William, seorang intelek yang telah merambah pelbagai ranah ilmu pengetahuan, hidup di zaman ketika gereja dan kepausan sedang kehilangan pamor. Ordo Franciskan berperan sebagai penentang utama Paus Yohannes XXII (1316-1334) yang menyerukan agar gereja yang bergelimang kemewahan kembali hidup miskin seperti ajaran Kristus. Sementara di seberang yang lain berdiri para raja dan kaisar yang menginginkan kerajaan lepas dari kekuasan Paus. Perselisihan tiga kubu itu memuncak ketika diberlakukan hukum bakar bagi para pengikut Santo Fransiskus dan siapapun mereka yang mengecam gemerlap hidup Paus.

Tapi di antara saling-silang sengketa itu, toh ada juga upaya untuk menyatukan perbedaan pendapat. Dalam novel ini, pada hari ketiga, Eco mengisahkan, kubu-kubu itu saling bertemu dan berdebat di biara megah itu meski tak mencapai kata sepakat. William, selain bertugas mengusut bidah, adalah salah satu utusan dari kubu penentang Paus. Namun, belum juga pertemuan itu digelar, William dan Adso sudah dikejutkan oleh kematian seorang rahib yang jatuh ke dasar jurang pada hari pertama kedatangan. Kematian Adelmo, si rahib itu, tak berdiri sendiri. Kematiannya diikuti oleh serentetan kematian rahib-rahib lainnya. William tergerak untuk menyelidiki kematian yang misterius itu.

Eco, agaknya, telah dengan cermat mempersiapkan tokoh William. Karena asal William mengingatkan kita pada sebuah cerita detektif Sherlock Holmes yang terkenal: Anjing Setan dari Baskerville. Begitulah. William dan Adso menjelma dua orang detektif yang tangkas. Keduanya bahu-membahu menguak misteri tujuh kematian selama tujuh hari, seluruh waktu dalam novel ini. Dalam investigasinya itu, William masuk ke dalam lorong-lorong perpustakaan biara yang dihuni ribuan naskah dan kitab pada malam hari, waktu di mana peristiwa penting selalu terjadi. Ia mengumpulkan bukti, menanyai saksi, menguraikan simbol-simbol rahasia dan kode manuskrip serta menghubung-hubungkan pelbagai peristiwa di seputar kematian itu. Ia mengurai sengkarut misteri itu dengan analisis logika a la Francis Bacon, tokoh yang amat dikaguminya, atau teologia Thomas Aquinas.

Dalam penelusurannya itu mereka menemukan pelbagai peristiwa haram yang dilakukan oleh para rahib di balik tembok biara. Cerita hubungan seksual sesama jenis dan rasa cemburu antar rahib. Rahib yang lain memasukan perempuan dari kampung sekitar biara untuk melampiaskan syahwat dan menukarnya dengan makanan. Di antara kisah-kisah manusiawi para rahib itu, Eco menguraikan sejarah Abad Tengah Eropa yang kelam oleh perselisihan gereja, politik yang ruwet, filosofi, mitologi, sihir hingga makanan dan tata cara peracikan racun dan obat dengan latar arsitektur zaman Gothik yang eksotik.

Bambang Sugiharto, pengajar filsafat di Universitas Parahiyangan, dalam pengantarnya menulis bahwa novel ini merupakan roman yang kompleks, enigmatik, berlapis-lapis dan menawarkan kemungkinan tafsir terbuka. "Ia bisa dibaca sebagai cerita detektif, cerita sejarah, eksperimentasi teks, parodi petualangan filosofis yang mencari kebenaran, atau apa saja," tulisnya (hal. 15).

Di akhir kisah, William akhirnya mengetahui kematian para rahib itu disebabkan oleh racun yang tersebar di halaman buku dan termakan para rahib yang diterkam rasa ingin tahu saat membolak-balik naskah-naskah kuno itu. Cemburu dan iri hati hanyalah penyebab kecil lain pada tiap kasus kematian. Pelumur racun tak lain adalah Jorge yang tak ingin seorang pun mengetahui kebenaran dalam kitab-kitab yang terhimpun dalam buku Akhir Afrika. Jorge menyimpan kitab itu dalam ruang perpusatakan terra incognita dan siapapun yang menyentuhnya akan mati.

Buku itu sendiri berisi fabel-fabel dalam bahasa Arab yang menjungkirbalikan realitas hingga mengundang gelak tawa. "Misi mereka yang mencintai kemanusiaan adalah untuk membuat manusia tertawa atas kebenaran," kata William pada hari ketujuh saat ia berdebat dengan Jorge tentang makna tawa dan kebenaran. Perdebatan itu kemudian menyulut keributan dan Jorge melemparkan api untuk membakar seluruh naskah itu.

Api merembet dan seluruh harta biara hancur tak bersisa, termasuk Jorge. Maka dengan terbakarnya seluruh kitab di perpustakaan itu, William dan Adso gagal mempertahankan kebenaran yang tersimpan dalam buku dan kebenaran itu hanya menjadi milik mereka berdua. Mereka pulang ke Roma dengan sehimpun kenangan menegangkan di biara itu. Zaman belum berubah, penentang gereja makin bertambah, dan Kaisar Roma telah memilih Paus tandingan: Nicholas V.

Dalam perjalanan kembali itu, William mengatakan bahwa petualangan mereka adalah mencari kebenaran. Dan inilah hakikat dari novel yang mengasyikan ini, meski agak membosankan karena dialog-dialognya yang panjang. Kebenaran bagi William harus terus menerus diragukan, dipertanyakan, untuk mencapai kebenaran yang hakiki. William sendiri tak segan membuang pelbagai hipotesisnya yang tak terbukti dan menajamkan hipotesis lain yang mendekati kebenaran sebagai ramuan kemungkinan penyebab kematian para rahib.

Eco telah dengan tepat memilih cerita detektif untuk mengantarkan pokok-pokok pikirannya. Karena seorang detektif adalah seorang yang mencari. William akan terus menerus bertanya, meramu data, meragukannya, sebelum akhirnya menemukan kebenaran yang diyakininya.

Pernahkan Kristus tertawa? William sendiri menjawab tidak. Tapi ia seorang pembawa pikiran bebas Abad Tengah yang kukuh mempertahankan bahwa humor, satir dan permainan adalah upaya sah hidup manusia. Ia seorang yang yakin manusia perlu untuk ragu pada kebenaran. Dengan terang-terangan ia menyebut Jorge sebagai Sang Iblis. "Iblis adalah arogansi rohani, iman tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah dicengkram keraguan," katanya (hal. 631).

Novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris. Penerjamahnya mengakui butuh nafas panjang untuk menerjemahkan kalimat Eco yang berbelit dan menyimpan tanda yang tak gampang diurai. Agaknya, ia bukan orang Kristen sehingga ada terjemahan yang tak konsisten ketika Injil disebut Bibel, kali lain disebut Al Kitab. Bagaimana pun, buku ini patut disambut karena sebelumnya novel ini sampai ke Indonesia hanya dijumpai sebatas kutipan para esais kendati dalam bahasa aslinya novel ini sudah terbit lebih dari 20 tahun lalu.

Monday, February 02, 2004

KESUNYIAN HUJAN



[dalam empat komposisi]

I

Desember memberi basah pada udara Jakarta yang kering. Hujan menitik di atap seng. Seorang penyair tergeragap di muka jendela. Hujan begitu ngungun. Selalu ada jeda di antara rintik hujan. Sebuah keheningan yang masif. Keheningan yang tak tercatat. Kesunyian yang abadi, yang tak terlindih oleh rintik-rintik berikutnya. Jeda yang pendek. Ada peristiwa apakah di setiap jeda dua buah rintik? Ia tak seperti garis. Ia hanya titik. Rintik selalu berdiri sendiri. Memberi kelonggaran pada rintik yang lain. Ada sebuah tanda di sana. Seorang penyair hendak mengabadikan jeda itu dalam kata-katanya. Penyair yang duduk di muka jendela dengan takjub yang tak terdefinisi.


II

Ia memandang rintik-rintik itu. Tak berkedip mengikuti setiap keclak hujan yang jatuh dari atap seng sice tanpa lampu. Ia mengambil pinsil, bersiap menangkap ada peristiwa apa gerangan di setiap jeda rintik hujan. Tatapnya takzim. Rautnya terpesona. "Sebuah pesona yang ...," desisnya. Tapi bukan kalimat itu yang kemudian ia tuliskan di secarik kertas yang digenggamnya. Kalimat itu tak cukup melukiskan peristiwa yang telah ia tangkap tapi tak kunjung mengendap. Ia ingin menemukan sebuah kata yang pas, yang bisa menggambarkan ketakjubannya pada jeda rintik hujan.

III

Seorang penyair yang ingin mengabadikan peranjat, bukankah ia sedang menggamit sebuah peristiwa dahsyat? Satu rintik telah lewat. Air itu hancur dan menimpa kayu berlumut yang menyangga kamar di loteng rumah itu. Sang penyair menunggu rintik berikutnya. Bulir air yang menakjubkan. Ia menggumpal di atap seng. Mencari tempat genangan. Mengalir perlahan-lahan. Tapi tak ada lekukan di atas seng yang mengkilap. Bulir itu melorot dan jatuh di tepi atap. Penyair tergeragap. Begitu cepat bulir itu jatuh. Ia, untuk kedua kali, gagal mendefinisikan sesuatu yang tersimpan dalam jeda dan rintik hujan.

IV

Kertasnya masih kosong.