Wednesday, July 24, 2013

GEOGRAFI KEBAHAGIAAN


PERTANYAAN paling purba yang menjadi pencariaan seumur hidup manusia adalah kebahagiaan. Kita tak pernah tahu mengapa kita bisa bahagia. Apakah hewan dan tumbuhan juga bisa bahagia seperti manusia. Puisi Dingin Tak Tercatat yang bercerita tentang kesetiaan manusia pada dunia, karena keindahaan cahaya berenang mempermainkan warna, meski hari beku, adalah pertanyaan pokok di stanza terakhir: Tuhan, mengapa kita bisa bahagia?

Dan jawaban atas pertanyaan filosofis itu dicari Eric Weiner ke sepuluh negara. Ia ingin tahu apa rumusan bahagia orang-orang di negara itu dan kenapa mereka bisa bahagia. Alasan apa yang membuat mereka bahagia dibanding orang-orang di negara lain. Mengapa manusia bisa bahagia di tempat yang satu dan ada yang menderita di tempat yang lain. Apakah tempat yang mempengaruhinya? Atau sistem pemerintahan, atau agama, kepercayaan ataukah semata karena tiap manusia bisa menciptakan bahagianya sendiri?

Hasilnya adalah buku The Geography of Bliss yang mengesankan. Ini catatan jurnalistik Eric Weiner, setelah sepuluh tahun menjadi koresponden National Public Radio di banyak negara. Ia orang Amerika, yang tentu saja punya rumusan bahagia yang khas Amerika. Ia lalu membanding-bandingkannya dengan konsep kebahagiaan di negara lain. Amerika menjadi salah satu bab, sehingga ada 9 negara lain yang ia kunjungi. Beda antara laporan jurnalistik Eric dengan laporan sejenis lain adalah bahwa liputannya bertendens: Eric menetapkan angle dan tema sebelum ia mengunjungi negara-negara itu. Sebaik-baiknyaangle tulisan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: apa dan bagaimana bahagia di negara-negara itu.

Pertama kali ia mengunjungi Belanda, karena di negeri ini ada seorang ilmuwan yang mengurutkan negara berdasarkan indeks kebahagiaan penduduknya. Lalu Swiss, tentu saja. Negara Skandinavia umumnya punya indeks kebahagiaan tinggi, meski pajak di sana mencekik. Tapi pajak itu kembali ke masyarakat dalam bentuk jalan yang rapi, kota yang cantik, masa lalu yang terawetkan pada gedung dan batu padas di kota-kota, bahkan Swiss mengklaim punya toilet kereta paling bersih di dunia.

Pembentukan kota dan sejarah ini kemudian menumbuhkan konsep bahagia, ada istiadat, serta alam pikiran pada orang Swiss. Di Swiss pamer kekayaan itu tak sopan, karena tak ada orang miskin. Justru pamer itu menunjukkan orang itu sedang punya masalah keuangan. Ini terbalik dengan di Amerika yang orang-orangnya berlomba menonjolkan kekayaan dan kebahagiaan. Karena itu tak ada Switzerland Idol atau Finland Idol di negara-negara macam ini.

Orang Islandia juga bahagia, padahal negeri ini selamanya gelap dan beku. Namanya saja "tanah es". Negerinya ngungun, kotanya murung, desa-desanya susut kelabu. Tapi orang-orangnya bahagia. Dalam kemurungan dan kesepian dan dingin kota seperti itu, mereka jadi punya banyak waktu merenung. Imajinasi jadi liar. Dongeng peri, jin, dan dunia lain macam Lord of the Ring muncul dari negeri-negeri sekitar Islandia. Kelakar di Islandia adalah kelak mereka akan mendirikan patung orang Islandia yang tak pernah bikin puisi, sebab semua orang adalah penulis dan penyair--dua pekerjaan dan profesi paling terhormat.

Tapi tak hanya ke negeri bahagia, Eric berkelana. Ia mengunjungi Moldova. Negara pecahan Soviet ini punya indeks kebahagiaan terbawah. Ini seperti sebuah negeri yang tak punya harapan. Seperti ukuran bahagia di negara lain, Eric mereportase kafe, makanan, berbaur dengan orang-orangnya, menyesap sejarah beberapa kota. Di Moldova, masa depan seperti tak ada. Orang-orang akan menerima keadaan kacau akibat politik dan birokrasi yang korup, seolah-olah itu keadaan yang tak bisa diubah.

Ungkapan terkenal di Moldova adalah "Itu bukan urusan saya". Semua orang tak peduli pada kebobrokan situasi. Makanan utama orang Moldova, kata Eric, adalah vodka, korupsi, dan nepotisme. Di negara gagal, harapan sirna, dan orang seperti Eric bersumpah kapok mengunjunginya.

Buku ini kuat dengan riset, juga cara pandang Eric yang menyebrang dari cara pandang umum. Subjudul buku ini adalah "pencariaan kebahagiaan oleh seorang penggerutu". Eric datang ke sebuah negara mencari konsep bahagia, tapi tiap kali ketemu ia mengkritik, menyoal, menyanggah konsep itu. Ia jurnalis yang terlalu skeptis. Karena itu bahagia tak selamanya seperti yang ia rumuskan. Di Moldova tentu ada bahagia menurut ukuran orang-orangnya. Jika tidak, orang-orang di sana pasti sudah bunuh diri. Seperti di Indonesia.

Sayangnya Eric tak ke Jawa. Jika datang ke sini ia pasti tahu bahagia tak semata diciptakan pemerintahan yang bersih. Orang Indonesia tak kurang persediaan untung meski sudah celaka keliwat-liwat. Untung tak mati meski terjerembab lubang jalan karena ongkos perawatannya dikorupsi, untung masih bisa ke kantor meski telat karena jadwal kereta kacau. Sebab bukan demokrasi yang menciptakaan kebahagiaan, tapi orang bahagia lebih mungkin menciptakan demokrasi dan pemerintahaan bersih. Toh Dominique Lapierre menulis City of Joy tentang kebahagiaan para pastor menolong kusta di Kalkuta yang rudin dan brengsek.

Juga ukuran-ukuran sepele namun berasil dipotret Eric. Misalnya, negara-negara tak bahagia karena kekacauan politik adalah terlalu rewel pada mata uang asing negara maju. Di Swiss penjaga toko tak peduli menerima dolar sobek, sementara di imigrasi Moldova atau Pakistan, dolar cacat menurunkan nilainya. Dengan begitu Eric seperti memanggul kamera untuk kita. Deskripsinya melimpah, gerutuannnya kocak dan ngawur tapi terasa benar, kutipan-kutipan filosofisnya mendalam.

Setiap buku bagus selalu mengundang iri kita bisa menulis tema itu seperti itu. Geography of Bliss masuk kategori buku seperti ini.

Wednesday, June 19, 2013

TEMPO



Catatan: Tulisan Goenawan Mohamad, pendiri dan redaktur senior Tempo, tentang pertemuan internal Tempo untuk mengklarifikasi Forum Pemimpin Redaksi yang membuat acara mewah di Nusa Dua, Bali. Saya mengutip dari notes di Facebook GM karena nilai-nilai penting dalam jurnalisme di zaman ini. Saya ada di ruangan itu, memberi pendapat tapi tak ikut menangis. Ketika membaca kembali catatan ini kok mata jadi rembes....

-----------

Pertemuan klarifikasi tentang Forum Pemred
DUA hari yang lalu saya datang ke kantor Tempo untuk menemui S. Malela Mahargasarie, guna membicarakan penerbitan buku puisi saya, "Don Quixote" dalam dwi-bahasa.

Di tengah kesibukannya, Malela (dan Koko, atau Arcaya Manikotama, desainer grafis) selama ini dengan murah hati membantu penerbitan buku-buku saya melalui Tempo.


Saya sangat jarang mengunjungi kantor Tempo. Sehari-hari saya di Komunitas Salihara. Hari itu, ketika saya sedang berbicara dengan Malela, rupanya para wartawan sedang berkumpul di ruangan lain. Mereka mau mendengarkan penjelasan Pemimpin Redaksi, Wahyu Muryadi tentang peremuan Forum Pemimpin Redaksi di Bali baru-baru ini.


Rupanya ada keresahan para wartawan itu melihat Pemimpin Redaksi menjadi Ketua Forum Pemimpin Redaksi -- apalagi melihat Forum itu menyelenggarakan pertemuan yang mewah di Nusa Dua, dengan biaya yang besar bukan dari kantong sendiri.


Seperti saya, dan banyak orang lain, para wartawan Tempo itu tak tahu apa tujuan Forum itu; kenapa pula pemimpin mereka mengetuainya. Para wartawan itu, (sebagaimana saya dengar hari itu), menolak untuk terlibat ke dalam organisasi yang tak jarang dipergunakan untuk "berjual-beli" informasi agar pas dengan kepentingan pemegang kekuasaan politik dan oligarki.


Sebagaimana merka katakan, kebanggaan wartawan Tempo sekarang (dengan gaji yang tak luar biasa) adalah karena bisa membuktikan diri: mereka profesional yang berani, jujur, dan teguh.


Komitmen untuk itu tak mudah, di tengah godaan zaman ini. Juga tak jarang berbahaya, dan umumnya tak enak -- terutama karena dianggap congkak. Tapi seperti diingatkan seorang jurnalis perempuan di ruang rapat hari itu, jadi wartawan Tempo itu ibarat samurai yang memilih "jalan pedang": keras hati, terlatih, selalu siap dalam melihat dan berkonfrontasi dengan musuh -- dengan kekuatan yang kotor dan destruktif.


Maka mereka hari itu bertanya, mereka menggugat, mengapa justru Pemimpin Redaksi mereka aktif dalam pertemuan Bali yang dibeayai pengusaha besar dan BUMN?


Saya diajak ke dalam pertemuan. Saya terkesima dan terharu menyaksikan dari dekat bagaimana tradisi demokratis dan egaliter di Tempo masih hidup.


Toriq Hadad, Direktur, ada di sana, tapi tidak memimpin pertemuan. Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi, mendengarkan dengan sabar semua kritik yang mendasar. Dan para wartawan mengutarakan pikirannya dengan jernih, terus terang tapi santun.


Tentu saja seperti biasa dalam pergaulan Tempo bertahun-tahun, ada humor. Hanya hari itu ada air mata: mereka sedih bila Pemimpin Redaksi tak menyadari bahwa dalam pertemuaan Bali itu ada yang tak sesuai dengan prinsip etis Tempo.


Agak malu saya bahwa saya juga tak bisa menahan air mata. Saya terharu. Sebagian besar para wartawan itu ada di sana, menjadi para "samurai", jauh setelah saya tak aktif lagi. (Dalam jajaran redaksi, saya adalah redaktur senior -- kata lain dari "redaktur pensiunan" -- yang dapat honorarium sebagai penyumbang esei "Catatan Pinggir"). Tapi para wartawan itu, dalam umur yang mungkin separuh umur saya, meneguhkan kembali: jurnalis yang bermutu dalam kerja dan dalam kejujuran bukan hanya sebuah mithos. Mereka ada. Mereka riil.


Dan mereka dengan mudah mencapai kesepakatan dalam hal nilai-nilai dasar.


Tak mengejutkan bahwa dengan tanpa susah payah Wahyu Muryadi, menyadari kekhilafannya. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Forum Pemimpin Redaksi.


Semua bertepuk tangan. Semua memeluk pemimpin dan kolega mereka, Wahyu.


Tak ada yang jadi pahlawan. Yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha menjaga apa yang baik di tengah keculasan dan sinisme di masyarakat kita hari-hari ini.

Saturday, April 06, 2013

PETANI


kebunku..
SEBETULNYA jadi petani cukup menghasilkan. Bibi saya punya sawah 2.100 meter persegi. Dia tanami kacang tanah dan panen kemarin menghasilkan Rp 6 juta dari modal Rp 2 juta (pupuk, bibit, bensin untuk mesin pompa air). Upah tenaga kerja nol karena membersihkan rumput, mencangkul, menyemprot hama, ia lakukan sendiri bersama suaminya. Artinya, penghasilan keluarga ini kira-kira Rp 1,2 juta sebulan, karena kacang itu dipanen setelah tiga bulan. Itu setara penghasilan pegawai negeri golongan III-A, atau seorang karyawan baru lulusan diploma di Jakarta.

Tentu saja uang itu lebih dari cukup untuk hidup di kampung. Beras untuk makan sehari-hari adalah hasil panen padi sebelum sawahnya ditanami kacang. Lalab ia petik dari kebun di halaman rumah. Tinggal lauk yang ia beli. Sisanya ia tabung untuk modal mengolah sawah di musim berikutnya dengan membeli emas. Tentu saja jika semua berjalan normal, tak ada gangguan di tengah jalan dengan, misalnya, salah satu dari mereka ada yang sakit. Sepanjang semua sehat, hidup mereka berada di atas garis kemiskinan.

Tapi sawah-sawah itu kian menyempit. Bukan karena berubah jadi rumah. Sawah-sawah itu ditumbuhi alang-alang karena tak ada yang mengolah. Di sawah atau ladang hanya orang-orang tua jompo yang terlihat. Mereka masih setia memelihara sapi atau kerbau. Saya tak ketemu anak muda yang jadi gembala atau bercengkrama riang mencari rumput setelah mencangkul atau menyiram tanaman, ketika pekan lalu pulang kampung.

Mereka juga tak ada di rumah. Mereka pergi ke kota. Selepas SD anak laki-laki ikut paman atau orang dewasa lain menjadi buruh bangunan di Jakarta, Depok, Bandung atau wilayah lain di luar kampung kami. Anak-anak perempuan juga pergi ke kota, menjadi pembantu rumah tangga. Tak ada yang bisa ngored, ngarit, atau menyunggi tampah. Mereka pulang dua-tiga bulan sekali, dengan uang di saku Rp 5 juta lalu memamerkan penghasilan lewat sepeda motor, telepon seluler, dan pakaian necis.

Kampung ini sudah berubah, tak hanya bentuk jalan dan gangnya, tapi juga orang-orangnya. Banyak orang asing karena saya tak menyaksikan para remaja itu tumbuh ketika saya keluar kampung untuk sekolah lalu tinggal di rantau yang lain, 17 tahun lalu. Sepulang sekolah anak-anak tak ada yang main ke sungai atau mencari rumput ke tenggalan, tapi beradu cepat di jalanan dengan sepeda mesin. Ladang, huma, sawah, bukit dan gunung pun sepi dan angker.

Kini tak ada anak sunat yang membelanjakan salam tempel untuk membeli kambing atau sepeda angin. Semua anak sunat membeli sepeda motor, untuk bayar tunai atau sekadar uang muka jika tak cukup. Keadaan pun terbalik-balik. Dulu anak-anak punya tabungan kambing untuk sekolah. Saya menjual satu ekor tiap kenaikan kelas untuk membeli buku dan sepatu baru. Harganya kira-kira Rp 30 ribu untuk kambing yang kini Rp 1 juta. Dengan membeli sepeda motor yang harganya menyusut dari hari ke hari, anak-anak itu kehilangan tabungan saat orang tua mereka butuh biaya sekolah. Karena itu para orang tua mengeluh tak punya biaya kendati kini sekolah gratis. Sekolah di tingkat lanjut, paling tidak, perlu ongkos ojek atau untuk mobil angkutan.

Dulu, bagi anak-anak yang tak melanjutkan sekolah, selepas SD mereka akan menjadi gembala sapi atau kerbau. Setiap satu tahun ia memperoleh satu anak kerbau dengan hidup yang ditanggung pemilik ternak. Ternak-ternak itu kelak menjadi modal  menikah dan melanjutkan hidup beranak-pinak. Dengan sistem dan siklus hidup seperti itu, masa depan orang kampung sedikit banyak terjamin.

Tradisi itu pelan-pelan luntur sejak 1998. Televisi, teknologi telepon seluler, mendorong mereka untuk menggapai gaya hidup dengan memiliki uang tunai setiap hari--seluler butuh pulsa. Karena itu menjadi petani yang siklus pendapatannya tiga bulanan tak bisa mencukupi kebutuhan itu.

Nilai-nilai pun berubah. Jika dulu yang disebut orang kaya adalah Pak Haji yang berangkat ke Mekkah karena punya sawah luas dan ternak banyak, kini orang kaya adalah mereka yang pulang Lebaran membawa mobil, lalu pergi lagi ke kota meninggalkan rumahnya yang besar dengan cat warna mencolok. Atau pedagang hasil bumi yang menampung panenan dari warga kampung lalu menjualnya ke pasar induk Jatinegara. Kini tak ada satupun pegadang hasil bumi yang tersisa.

Tentu saya sedang romantis mengenang masa lalu yang kelihatan indah dan hidup dilihat dari jarak waktu pada hari ini. Dan saya juga berada di barisan urbanisasi itu. Saya dan adik-adik saya tak mewarisi kemampuan ayah kami membaca musim, menghitung modal dan keuntungan bertani, daya tahannya mencangkul berjam-jam di sawah yang terik. Tangan dan kaki kami tak pernah kena lumpur dan akrab dengan air kubangan saat musim hujan, sejak tak lagi tinggal di sini. Sawah keluarga kami barangkali akan telantar lima-sepuluh tahun lagi, seperti huma dan ladang yang ditinggalkan generasi saya di kampung ini.

Thursday, March 28, 2013

TETANGGA


APA beda antara tetangga dan anak? Seorang tetangga di kampung punya penjelasan jitu soal ini. Kami mengobrol di antara kepulan asap tungku tanah--dalam bahasa Sunda namanya hawu--di sela keriuhan panitia hajatan pernikahan adik saya, dalam gelap, dekat sumur timba.

Bapak-bapak, para tetangga itu, sedang istirahat setelah mencuci piring, sambil merokok. Dua orang berdagang es di Jakarta, satu buruh bangunan di Depok, dua lagi bertani. Dua lagi ikut nimbrung sambil bolak-balik mengangkut piring dan gelas kotor dari ruang prasmanan.

Seseorang--dia bapak dua anak yang baru menikahkan anak perempuannya--berbicara tentang perbedaan anak dan tetangga itu. 

Katanya, waktu berkumpul anak dan orang tua sangat singkat. Ia sendiri memiliki anaknya cuma selama 20 tahun, sebelum mendapat mantu yang memboyong putrinya ke rumahnya sendiri atau ke Jakarta untuk sebuah kerja. Sebab di kampung, menjadi petani tak lagi musim, tegalan lengang penuh alang-alang karena bertani tak lagi menghasilkan: harga palawija selalu anjlok tiap panen, itupun jika tak terserang hama sementara modal tak seberapa.

Dan soal anak, bapak ini bilang bahwa tanggung jawab sebagai ayah terlepas ketika ijab kabul pernikahan. Anak perempuannya menjadi milik suaminya, punya urusan sendiri dengan hidupnya, apalagi kelak jika sudah punya anak--cucunya sendiri. Hubungan bapak-anak ini pun lepas tak hanya secara fisik.

Anak-anak akan menjauh setelah dewasa. Para orang tua perlu rupiah untuk membeli pulsa untuk mengobrol atau ongkos untuk berjumpa. Karena itu para orang tua harus bersengaja mencari waktu. Perjumpaan menjadi sebuah rendezvous yang langka dan mewah.

Tapi dengan tetangga, katanya, tak ada limit waktu berpisah. Justru dengan para tetanggalah hidup lebih sering bersinggungan. Para tetangga kadangkala jauh lebih tahu apa masalah kita ketimbang anak-anak, yang jauh dari rumah. Para tetangga, mereka yang tak punya ikatan darah dan datang dari entah, akan menolong pertama kali ketika kita ketiban musibah. Sedangkan anak-anak harus ditelpon dulu jika kangen ingin ketemu.

 Anak-anak pasti akan meninggalkan rumah, tapi tetangga tak akan jauh-jauh dari rumah. Sebab, para orang tua mendidik anak-anaknya mandiri, yang berarti harus bisa hidup sendiri jika waktunya tiba. Pada tetangga kita membangun hubungan justru agar kelak tak hidup sendiri.

Saya manggut-manggut. Ia berbicara tentang sesuatu yang saya alami, tapi tak saya pikirkan. Ia merumuskan sebuah hal umum yang akan dialami oleh siapa saja, tapi sering luput dari renungan siapa saja. Ia berbicara tentang kecenderungan yang terjadi dari zaman-ke-zaman, apalagi ketika urbanisasi tak lagi bisa dicegah karena kota tetap menjanjikan sebuah harapan dan dusun tetap saja sebagai kampung halaman.

Bagi saya dan adik saya, rumah ini hanya sebuah kenangan. Bahkan saya merasa asing karena kamar tempat dulu saya lahir, kamar tempat dulu mereka-reka surat untuk pacar pertama, ruang tempat saya membayangkan masa depan dan membangun cita-cita, tak ada lagi. Rumah ini dipugar ketika saya sudah keluar dari rumah untuk sekolah. Rumah ini, dengan desain agak modern, praktis milik ibu-bapak saya. Saya hanya punya sedikit kenangan pada lemari dan bufet lama, juga foto sepia.

Dan besok, setelah resepsi usai, saya tak memilikinya lagi, tak meniduri kasurnya lagi, tak menghidu bau sorenya lagi, tak menyesap aroma sampah yang dibakar bapak tiap sore lagi. Kami akan kembali ke Jakarta, ke sebuah rumah lain yang bukan tempat asal dan masa depan kami. Rumah dan kampung ini hanya sebuah masa lalu dengan kenangan-kenangannya yang terus membetot dan mendekam dalam ingatan, tapi tak mudah disinggahi. Kami harus pergi lagi setelah dua-tiga hari tinggal, seperti ritual keluarga zaman industri--di mana setiap orang punya kampung dan rantau.

Bapak-bapak para tetangga inilah yang akan terus berkomunikasi dengan bapak-ibu saya, secara nyata di sawah, pekarangan, di jalan, dalam rapat-rapat desa, atau saat bertamu. Sementara kami, anak-anaknya, mesti menunggu waktu libur atau cuti atau saat Lebaran untuk bisa bercengkrama dengan mereka.

Tuesday, February 12, 2013

UNTUK IORI


* Catatan ulang pada ulang tahun ke-3.

INILAH, nak, secuplik cerita bagaimana kamu datang ke dunia...

...menghirup udara pertama di kamar bersalin Rumah Sakit Azra. Kamu lahir lebih cepat sepuluh hari dari perkirakan dokter. Tanggal sepuluh bulan dua tahun dua-ribu sepuluh pukul nol-nol duapuluh. Jika waktu lahirmu dideretkan akan membentuk angka yang ritmis. 10-02-2010-00-20. Ini waktu yang dicatat dokter ketika kepalamu menyembul dan kamu menjerit.

Kelahiranmu begitu mudah. Hanya 15 menit sejak kontraksi terakhir yang membuat ibumu tak kuasa lagi menjerit. Padahal dokter yang ramah dan baik itu memperkirakan kamu lahir lima jam lagi, atau sekitar subuh. Dia baru pulang dari rumah sakit itu setelah menolong bayi lain yang lahir sejam sebelumnya. Ia baru akan berangkat tidur ketika suster memberitahu kamu segera akan keluar. Dan ia datang tepat waktu.

Dokter kamu itu muncul tepat ketika kecemasanku hampir punah. Dengan sikap tenang, terukur dan riang, dia menyiapkan alat-alat persalinan. Sementara ibumu, nak, menganga tanpa suara. Dia bilang sudah tak kuat menahan sakitnya. Saya tak tahu seberapa jauh kesakitan itu. Tapi dari cengkeraman tangan dan gigitannya, saya bisa bayangkan itu batas sakit yang bisa ditahan manusia. Saya tanya, bukankah dulu melahirkan Mika, kakakmu, juga sakit luar biasa? Sebuah besi merobek vaginanya karena tangan kakakmu menyilang di kepala, bukan sedekap di depan dada, sehinga kakakmu nyangkut di jalan lahir. Ibumu menjawab, sudah lupa sakit yang pertama :)

Di dalam perut kamu menggeliat mendengar kami bercakap...

Dua suster memegang perut ibumu. Dokter itu meminta ibumu menarik napas, mengumpulkan tenaga untuk mendorong tubuhmu. Saya lihat, darah dan ketuban mengalir dari vagina ibumu, keluar seperti air menyembur dari mata air. Dorongan pertama tak berhasil. Dokter dan suster memberi aba-aba untuk dorong dan tahan, buka mata, dan menjeritlah sekerasnya. Aduh, nak, bagaimana saya bisa mengingat peristiwa ini?

Kucium kening ibumu berkali-kali, kurekatkan hidungku ke pipinya yang pucat, kusangga lehernya agar tenaga itu terkumpul di perut. Pada dorongan keenam, kata suster, rambutmu sudah terlihat, tapi ibumu kehabisan tenaga. "Good, Bu, bagus. Tahan lagi, dorong lagi ya, Bu. Pada hitungan ketiga... satu...." Ya, Tuhan... Aku serasa tak menapak. Aba-aba dokter terdengar seperti genderang pecah di telinga. Pada dorongan ketujuh kepalamu menyembul. Dokter menariknya untuk mengeluarkan tubuhmu. Ketuban muncrat, darah menderas. Ibumu terkulai dengan napas yang memburu....

Dokter menyerahkan gunting untuk memotong ari-ari lalu meletakanmu di dada ibu. Ari-arimu kuat ataukah saya tak punya tenaga untuk memotongnya? Butuh dua kerat kupotong jalan napasmu di perut ibumu itu. Kamu merangkak mencari puting dengan jerit yang keras sekali. Merah, mungil, dan mata yang mengerjap-ngerjap ketika kuazani.

Kusangka proses itu selesai sampai ari-ari. Dokter bilang masih harus membersihkan sisa kelahiran di rahim ibumu. Hhhh, tangannya masuk mengorek sisa darah dari sana. Saya tergeragap merasakan sakit, ngilu, dan perihnya. Saya telungkup mencium kepala kamu. Sakit dan ngilu dan perih itu, nak, adalah sebuah alasan mengapa setiap anak harus mencintai ibu.

Kunamai kamu Iori. Tadinya, akan kunamai Arashiyama. Ini nama sebuah kampung kecil yang cantik dan dingin di pinggiran Kyoto, sebuah desa dengan gunung dan sungai yang berkelok, dan menjadi pusat maiko dengan udon paling sedap di Jepang. Rimanya juga enak karena bunyi a dan i. Tapi, kata ibumu, Arashi artinya topan, badai, dan penghancur. Jadilah kupilih Iori. Sebab kakekmu titip pesan agar nama anak kedua dimulai huruf vokal. Sebab kami bertiga--aku, ibumu, dan kakakmu--punya inisial konsonan. "Harus ada satu yang huruf hidup," kata abahmu. Baiklah.

Dan Iori bisa berarti 10 Februari, tanggal lahirmu. Atau jika mau diartikan lagi itu akrnoim dari "Ini orang Indonesia" :) Iori adalah anak kesayangan Musashi, samurai dengan ilmu kanuragan paling canggih di Jepang pada abad 16. Iori sendiri jadi samurai paling disegani pada abad 17. Seorang suci yang menghabiskan hidup mencari ilmu. Dalam bahasa Jepang Iori berarti "yang dapat diandalkan".

I bisa juga berarti "aku" dalam Inggris, O bisa menandakan bentuk hati, seperti O dalam cerpen "Godlob", dan RI tak lain Republik Indonesia :-d. Betapapun negeri ini, tanah air ini, selalu diguncang masalah, centang perenang mencari bentuk, toh kita harus tetap mencintainya. Lalu Ahmad Masagi. Ahmad ini titipan nenekmu. Dan Masagi adalah kata Sunda yang berarti sempurna, dalam konteks mencari ilmu. Dalam dongeng-dongeng, seorang guru selalu berpesan kepada muridnya agar mencari ilmu hingga masagi: tekun, sempurna, tak setengah-setengah, seperti Miyamoto Iori...

Tentu saja, ini hanya utak-atik seorang orang tua yang sedang bungah mencari dan memadankan arti nama anaknya. Toh, nama hanya penanda, bahwa kamu punya ciri yang berbeda....

Azra, 10 Februari 2010

Wednesday, January 02, 2013

TERONG BALADO


SAYA tak suka rona menyala pada makanan. Kulit cabe itu seperti lipstik yang tertinggal pada terong yang dibalado. Tentu saja saya suka lipstik, yang sudah menempel pada tempatnya. Tapi lipstik yang tertinggal--pada tisu, pada kertas, pada gelas, pada sendok--menandakan jejak yang tak mudah dihapus, jika memakai pengertian yang diruwet-ruwetkan. Yang gamblang, saya tak suka lipstik yang mbelber. Dan bleberan lipstik itu diwakili dengan sempurna oleh cabe merah bumbu terong balado.

Sampai 2008, saya tak menyentuh terong yang dibalado, menghindari menatapnya jika bersirobok di warung makan, alih-alih memakannya. Juga terong yang disayur. Terong yang direbus akan mengkerut dan lembek, melarikan selera dalam kondisi kelaparan sekalipun. 

Dan sampailah masa itu. Ibu saya tiba-tiba membalado teron. Kami sekeluarga tak suka makan pedas. Sambal ibu saya adalah sambal terasi yang dicampur tomat, lalu digoreng hingga berminyak. Satu-satunya warna agak menyala, sebelum 2008, yang boleh menempel dan tercampur nasi adalah warna emas minyak sambal itu.

Dan saya tak bisa menolak makanan yang dimasak ibu. Dia sudah menempuh perjalanan lima jam untuk sampai ke rumah saya dengan bus dan mencoba bereksperimen dengan menu yang tak pernah dicoba sebelumnya. Dan saya kira, ia sukses. Saya jadi doyan terong balado. Bayangan lipstik yang tertinggal pada nasi lambat laun tergantikan oleh enaknya paduan bumbu yang pas di terong itu. Jika ibu yang memasak ini, saya akan nambah nasi berkali-kali.

 Saya merasa aneh sendiri bisa menghilangkan imajinasi kacrut tentang makanan dan asosiasi lipstik setelah makan terong balado bikinan ibu. Sebab, bayangan kurang ajar tentang rona menyala pada makanan itu muncul lagi begitu ibu-lain menghidangkan terong balado. Saya pernah mencoba terong balado bikinan tangan lain itu, dan selera makan langsung hilang.

 Tentu saja ini sikap yang tak baik menilai makanan. Anda bisa langsung berceramah tentang pentingnya beryukur dan menghargai makanan karena ada banyak orang yang tak beruntung bisa makan semau mereka. Saya akan terima. Saya bukan pencicip makanan yang baik. Tapi ini soal makanan ibu saya. 

 19 tahun saya memakan makanan yang dia buat. Lidah ini, selera ini, telah begitu disetel oleh keterampilan tangannya. Bagaimana pun bumbu yang dia buat selalu pas di lidah saya. Bahkan tempe yang dicelupkan pada campuran garam dan bawang putih yang digeprek lalu digoreng, hatta dicocol kecap yang digulai dengan irisan cabe rawit, bisa membuat saya menambah makan berkali-kali. Tapi jika saya, atau orang lain, yang menggoreng tempe dengan cara serupa, takaran serupa, cara ngaduk yang sama, rasanya tak senikmat itu.

Barangkali itu yang disebut "sihir tangan ibu". Ibu saya sendiri bingung jika disuruh menunjukkan resep kenapa bisa membuat makanan seenak itu. Jika ia masak, ya, menuangkan bumbu yang menurut dia cukup dan seharusnya seperti itu. Tak pakai teori. Ia juga tak belajar dari siapa-siapa kenapa garam seujung sendok, kenapa gula seperempat sendok. Itu terbentuk oleh pengalaman dalam jutaan kali bergelut dengan makanan yang ia masak untuk anak-anak dan suaminya. Pengalaman yang telah membentuk selera kami. 

 Atau mungkin karena saya anak laki-lakinya. Setiap anak laki, kata orang pintar, cenderung bermental Oedipus, tak akan pernah melupakan anasir-anasir yang melekat pada--dan dibangun oleh--ibunya sendiri. Pada saya, ia bisa mengusir bayangan aneh tentang rona merah dalam terong balado.

Untuk mudahnya, kita mendefinisikan "sihir ibu" sebagai cinta--sesuatu yang kita rasakan tapi susah dirumuskan.