Saturday, October 24, 2015

BUKTI KEJAHATAN AMERIKA DI INDONESIA



BISAKAH kita percaya kepada orang semacam John Perkins? Ia menyebut dirinya bandit ekonomi. Tugasnya memasok informasi sumberdaya alam di negara-negara miskin untuk korporasi Amerika. Ia membujuk pemerintah negara yang ia kunjungi agar menerima pinjaman Bank Dunia dan IMF. Lalu membual tentang pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan terciptanya investasi.

Padahal semua itu hanya tipu-tipu. Utang membuat debitor Bank Dunia bangkrut, sementara sumberdaya alamnya sudah dikuasi perusahaan Amerika. Kenyataan terbalik dengan apa yang dilaporkan Perkins: ekonomi dinikmati segelintir orang kaya, lapangan kerja seret, investasi hanya alat agar penguasa bisa berkorupsi ria. Pendeknya, sebuah penjajahan terselubung.

Kini Perkins telah insyaf. Ia membuat pengakuan tentang pekerjaannya dan perusahaan yang mempekerjakan yang telah memberinya kemewahan dan kesenangan. Bukunya disambut meriah. Orang seakan punya sekutu baru buat menohok Amerika yang sejak dulu tak pernah bisa dibuktikan kesalahannya. Perkins mendadak tenar.

Ia berceramah dan kembali berkeliling dunia dengan profesi baru: penulis. Ia bertemu banyak orang , para pejabat Bank Dunia dan IMF, yang berani bercerita tentang misi rahasia dua lembaga itu setelah membaca bukunya. Bahkan para bandit yang seprofesi dengannya juga muncul.

Perkins pun terdorong menulis buku kedua. Judulnya bagus: The Secret History of The American Empire dan telah diindonesiakan. Buku kedua ini mengupas agak lebih panjang kunjungannya ke Indonesia, bagaimana ia menghasut para pejabat kita (tanpa nama, tentu saja) agar mengorupsi triliunan utang itu. Tidak seperti buku pertama yang menceritakan Bandung di tahun 1970-an, kota yang dijadikan markas oleh para bandit itu, kali ini fokusnya Jakarta dan Makassar.

Di Jakarta, Perkins tinggal di Intercontinental Hotel di Jalan Sudirman. Di hotel mewah ini, ia bertemu para gadis Asia yang mengaku sebagai “geisha”. Perempuan 20-an tahun ini punya koneksi dengan top eksekutif perusahaan minyak dan pejabat-pejabat Indonesia. Mereka rupanya juga sejenis bandit, yang bekerja lebih lembut ketimbang Perkins: dengan layanan seks dan gemerlap gaya hidup.

Lalu Perkins terbang ke Makassar. Di provinsi ini ia bertemu pejabat daerah dan Buli, seorang pembuat perahu. Kepada Perkins, Buli mengatakan kalimat yang sangat cerdas untuk ukuran seorang tukang perahu di pedalaman Makassar di tahun 1971: “Kami kalah. Bagaimana segelintir orang dalam kapal kayu bisa menandingi kapal selam, pesawat, bom, dan misil orang Amerika?”

Perkataan Buli ini kelak mengubah hidup Perkins. Nuraninya terketuk melihat orang-orang tak berdaya seperti Buli yan meruyak di negara-negara miskin di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Mereka menjadi miskin karena kalah dalam rebutan sumberdaya alam dengan korporasi besar dari Amerika yang menjarah karena ulahnya. Perkins insyaf dan membuat pengakuan dosa lewat dua bukunya ini.

Bisakah kita percaya? Perkins insyaf setelah dunia memasuki babak baru dengan runtuhnya menara kembar World Trade Center, empat belas tahun lalu. Sejak itu Amerika dengan terbuka mengumumkan musuh barunya: teroris. Teroris yang labelnya dilekatkan kepada Islam—sebuah agama yang mengategorikan membunuh sebagai dosa besar.

Dan negara-negara Muslim umumnya kaya cadangan minyak. Amerika sudah lama diramalkan bakal terkena krisis energi karena cadangan minyaknya sudah sangat tipis. Amerika sedang butuh emas hitam itu untuk menopang gaya hidup boros mereka. Untuk merengkuhnya, Amerika perlu menegakkan sebuah imperium agar bisa sesuka hati mengeduk minyak dari negara mana saja.

Kenapa Perkins insyaf setelah “Selasa Kelabu” itu? Tidakkah ini juga sejenis bualannya agar dunia kompak membenci Amerika. Sebab, jika ini terjadi kehausan Amerika tentu saja terpuaskan: Amerika tak perlu lagi susah-sungguh menciptakan musuh barunya—setelah Uni Soviet—untuk menciptakan Imperium itu.

Musuh sudah nyata di depan mata, atas nama sosialisme atau khilafah Islamiyah. Amerika, dengan begitu, bisa leluasa mengirimkan misil dan pasukan tanpa harus menyiapkan sederet argumen seperti ketika mereka menginvasi Afganistan atau Irak.

Dengan kata lain, dengan atau tanpa pengakuannya ini, Perkins tetap saja seorang bandit ekonomi—ujung tombak impian Amerika itu. Lagipula apa yang diungkapkannya tak jauh beda dengan yang sudah diuraikan Joseph Stiglitz, bekas Kepala Bank Dunia. Bedanya, Stiglitz memaparkan niat busuk Bank Dunia dan IMF secara akademis, Perkins berdasarkan pengalaman personal. “Tapi kesimpulan kami identik,” tulisnya.

Jadi, apa yang baru? Betapapun kita meragukan niat baik Perkins, fakta yang ia sodorkan menarik dan untuk beberapa segi cocok dengan apa yang dialami Indonesia. Kini, perusahaan-perusahaan minyak dunia bersuka cita menghisap perut bumi Indonesia sementara kita terkena krisis energi: minyak langka, listrik byar-pet, berpaling ke nuklir segala. Korupsi sampai kini menjadi gaya hidup tukang sapu hingga pejabat tinggi. Anggaran kita habis untuk bayar utang.

Semua itu tak lain “jasa” para bandit ekonomi. Indonesia, kata Perkins, memang sebuah contoh yang sangat berhasil dari proyek rahasia para jakal itu. Mereka suskes menularkan dan  menjarah Indonesia dalam segala segi: sumberdaya, budaya, sistem bernegara.
Apapun niat Perkins, bukunya layak disimak; pengakuannya patut didengar, terutama karena kisahnya menghibur dengan sajian gaya cerita detektif. Diksinya khas seorang bandit: nyinyir, kasar, dan provokatif. Minimal kita tahu sudah sejauh mana Amerika menjajah kita.

Dimuat juga di Indonesiana Tempo.

Friday, October 02, 2015

CARA JEPANG MENCEGAH KORUPSI



Memberantas korupsi bisa dimulai dengan larangan memberi dan menerima tip. Cara sederhana yang diterapkan di Jepang.

Seorang penjamu tamu di sebuah hotel di Akasaka, jantung keramaian Tokyo, menolak menerima selembar yen seusai mengantar koper ke kamar saya. Dengan sopan gaya shogun, ia meminta saya memeriksa buku aturan menghuni hotel tua itu pada buku di dalam kamar.

Di buku itu tertera pasal terakhir pada bagian tata tertib larangan kepada tamu memberi tip kepada petugas hotel. Bagi yang melanggar akan dikenakan denda berupa tarif kamar naik 10 persen dari harga semestinya. Dan petugas yang menerima akan dikenai sanksi seperti yang sudah diatur dalam hukum perusahaan.

Esoknya saya bertemu dengan manajer hotel dan bertanya, bagaimana kalian tahu ada transaksi tip sementara pemberi dan penerimanya berada di lorong hotel yang sunyi, tak ada saksi. Manajer itu mengatakan anak buahnya mengecek secara rutin kamera di seluruh sudut dan lorong. Mungkin saja tamu itu lolos dari denda, tapi petugas yang menerimanya akan ketahuan dan diberi sanksi.

Korupsi terjadi karena ada pemberi dan penerima. Jepang telah mencegahnya dari hal sepele tapi penting. Dan yang sepele itu memang inti persoalan korupsi dewasa ini. Menurut seorang pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri, yang saya tanya soal itu, para perumus larangan korupsi di negeri itu tak ingin tip menjadi budaya. “Yang saya tangkap dari larangan itu, kami tak ingin ketulusan dihargai dengan materi,” begitu katanya. "Sebab materialisme itu pangkal segala keserakahan.”

Seorang teman mendapatkan ketulusan itu dari seorang perempuan Jepang di Kyoto. Dompetnya jatuh entah di mana, dan ia baru sadar setelah sampai di apatonya. Di tengah kebingungan setelah bertanya ke sana ke mari, terutama petugas trem dan stasiun yang baru saja ia lalui, seorang perempuan menelepon ke kamarnya. Perempuan itu menerangkan bahwa ia menemukan dompet berisi kartu nama yang ada nomor telepon apartemen itu.

Dengan girang tak terkira, teman yang sedang kuliah di Ritsumeikan itu, berterima kasih atas kebaikan perempuan entah siapa ini. Keduanya membuat janji bertemu di dekat sebuah mal yang terkenal di Ibu kota Jepang lama itu. Dan dompet itu masih utuh hingga lembar-lembar kertas yang tak penting.

Seperti umumnya orang Indonesia, teman ini mencabut semua lembar yen yang ada di dompetnya dan hendak diberikan kepada perempuan yang ia taksir 45 tahunan itu. Perempuan itu menolak. Teman ini berusaha menjelaskan bahwa ia ingin berterima kasih atas kebaikannya.

Perempuan Jepang itu tetap menolak. Menurut dia agak aneh bahwa di Indonesia ketulusan membantu dihargai dengan uang. Setelah termangu, teman saya ini mengangguk berkali-kali mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke masjid di lantai dasar sebuah toko kelontong dan menyumbangkan semua yen di dompetnya ke sana.

Saya teringat kembali omongan pejabat di Kementerian Luar Negeri itu. Kelancungan para koruptor tanpa rasa malu mencuri kekayaan yang bukan haknya mungkin memang bersumber dari sifat serakah karena lingkungan yang membudayakan materi sebagai alat tukar niat baik dan ketulusan.

Kita tak menyadari bahwa hal-hal sepele seperti itu bisa menjadi persoalan serius dalam membentuk pola pikir, tradisi, dan pada akhirnya menciptakan norma baik dan buruk. Pejabat Jepang itu menjelaskan lebih ilmiah bahwa tip membuat penghasilan petugas hotel itu tak tercatat, karena itu luput dari aturan pajak. Di Jepang pajak adalah instrumen mengatur hajat hidup orang banyak.

Ekonomi bawah tanah dalam tip membuat penerimanya menikmati rejeki yang bukan haknya, sebab hak dalam kekayaan terikat kewajiban kepada negara berupa pajak. Tip berada di luar penghasilan resmi. Dan mengantar koper telah menjadi tugas penjamu tamu di hotel di Akasaka yang diganti dengan upah wajar yang diatur secara umum dalam peraturan pemerintah kota Tokyo. Mereka bekerja bukan mengharap kebaikan para tamu.

Dan di luar itu semua, semangat melarang tip adalah memberi pemahaman: upah di luar gaji dalam pekerjaan bukan rejeki yang mesti diterima. Di Jepang, pola pikir dan tradisi ini dituangkan melalui hukum positif yang dijalankan dengan takzim oleh penduduknya.