Tuesday, December 16, 2003

HP


Handphone, atau kalau di-Indonesia-kan jadi telepon genggam itu kini sudah jadi bagian dari identitas. Kalau Anda ditanya, "Lu, punya henpon? Ntar gua telpon," kurang lebih maksudnya, "Henpon lu merek apa?" Dan merek, tentu saja, berhubungan dengan berapa besar penghasilan yang punya telgam itu. Juga seberapa kuat dia mengikuti mode. Lalu penghasilan berkait erat dengan status sosial.

Identitas memang rumit. Ketika pulang kampung, dulu-dulu, pertanyaan uwa, bibi, tetangga, dan handai taulan, pasti "sudah semester berapa?" "Lulusnya kapan?" Dua tahun berikutnya, uwa, bibi, paman, tetangga dan handai taulan itu kembali bertanya, "Sudah kerja belum?" Setahun kemudian, pertanyaan si uwa, si bibi, si tetangga, dan si handai taulan, menjadi, "Kapan nikah?" Ah, ya, sekarang saya sudah menikah. Mereka itu kini bertanya, "Kapan punya anak?" dst, dst, dst. "Ah, kenapa tidak nanya saja, 'kapan meninggal?'" "Husssssssssshhhh!!!!!" Bapak menghardik.

Jika Anda bertukar kartu nama, yang dicari pertama adalah nomor telgam masing-masing orang. Setelah itu jenis pekerjaan. Maka, pertanyaan, "Bekerja di mana?" maksud sebenarnya adalah, "Berapa gaji Anda?" Karena saya wartawan, pertanyaan yang sering mampir adalah, "Di mana?" Ini ternyata pertanyaan yang lazim diterima sesama juru warta. Tempat bekerja, dalam satu soal ini, menjadi penentu seseorang disegani atau tidak. Padahal, bukan karena medianya, seseorang jadi bagus bekerja.

Dalam sebuah acara hiburan (orang jadi latah menyebutnya infotainment), seorang selebritas kebingungan memilihi tawaran kakaknya: umrah atau handphone. Umrah atau handphone! Di zaman yang ndableg seperti sekarang sesuatu yang profan jadi sulit dipilih ketika berdampingan dengan suatu yang transeden. Orang menyejajarkannya seolah-olah itu dua komoditas berbeda yang sama penting. Tapi, mungkin juga sama penting di sebuah zaman ndableg: ketika lu adalah apa yang lu punya.

Identitas ternyata ruwet. Seruwet Zahra merumuskan siapa dirinya. Dalam novel Tahar Ben Jelloun ini, siapa menjadi apa sudah tak jelas lagi. Zahra lahir sebagai perempuan yang tak diinginkan ayahnya. Maka ia dididik dan diperlakukan sebagai laki-laki. Pada umur dua tahun ia pun disunat. Agar terlihat berdarah, si bapak melukai paha si bayi. Dan Zahra pun tumbuh sebagai laki-laki.

Tapi dalam usia balig, Zahra kebingungan ketika dari dalam vaginanya merembes darah menstruasi. Tapi, pola pikir laki-lakinya menolak itu peristiwa alamiah yang dialami oleh seluruh perempuan ketika menginjak masa puber. Ia tak ambil pusing. Sejak kecil, karena didikan keras ayahnya, ia juga merentang dendam terhadap si bapak. Maka, ia kabur dari rumah dan ikut rombongan sirkus-sandiwara yang keliling dari satu kota ke kota lainnya. Dalam rombongan sirkus itu, Zahra berperan sebagai perempuan!

Mana yang lebih rumit: Zahra atau handphone? Minggu-minggu ini saya memilih handphone yang tertinggal di rumah di kampung. Satu sisi saya senang tak memegang handphone, tapi jadi ruwet karena berurusan dengan kantor. Huh!