Monday, June 12, 2006

BATAS

Albert Camus pernah bilang dirinya berutang kepada sepakbola karena permainan ini mempertontonkan soal moral dan tanggungjawab--dua topik kajian utama filsafat. Dalam Piala Dunia, tanggungjawab itu bertolak dari nasionalisme. Bagaimana Didier Drogba kecewa dan marah karena Pantai Gading keok 1-2 dari Argentina. Salah satu penyarang gol Argentina dalah Hernan Crespo, seorang yang bersama Drogba bekerjasama membuat gol jika membela klub Chelsa. Dengan begitu moral bisa dibagi-bagi.

Sepakbola telah melintasi batas-batas geografi. Para pemain saling bertarung dengan kawan mereka di klub, tempat mereka merumput uang dan jadi kayaraya. Karena itu, mungkin, kejuaraan ini tak diberi nama. Hanya Piala Dunia. Piala apa dan dunia apa tak mendapat penjelasan yang cukup dari dua kata ini. Tetapi orang akan tahu jika dua kata ini disandingkan yang melintas bukan lagi pokok yang lain, tapi bola. Seolah inilah olahraga yang tak menuntut spesialisasi penyebutan. Ini olahraga milik kita semua.

Seorang wartawan Koran Tempo yang meliput ke Jerman kerepotan harus menjelaskan asal muasalnya ketika polisi heran ada orang Indonesia datang jauh-jauh ke Jerman hanya untuk meliput kejuaraan di mana negaranya tak ikut serta. Di manakah nasionalisme?

Barangkali hanya ada di sepatu para pemain yang berlaga di sana saja. Kita, di sini, toh bisa juga menjagokan Belanda atau Australia atau Amerika. Kita rela begadang hanya untuk melihat tim "kita" itu menekuk lawan-lawannya. Kita juga sudah tak peduli, bukan, kenapa Indonesia tak kunjung bisa mengirim sebelas orang ke setiap kejuraan ini. Ah, pertanyaan yang sudah klise! Mungkin karena kita tak kenal dengan olahraga ini. Masih untung ada kumpeni. Tapi, begitulah, sepakbola di Indonesia datang bukan oleh keinginan orang bermain dan menjadi bugar. Tapi politik. PSSI itu adalah organisasi politik. Jadi jangan berharap ada Indonesia dalam Piala Dunia.

Permainan bola sepak, konon, milik Eropa dan Amerika Latin. Bagaimana bisa? Olahraga ini pertama kali lahir di Cina pada tahun 2 sebelum masehi. Eropa mencurinya puluhan abad kemudian. Eropa tahu banyak dunia Timur menyimpan cikal bakal tapi tak pernah digarap serius. Merekalah yang mengembangkannya hingga sepakbola bukan lagi soal kemenangan. Johan Cruyff yang menemukan total-football mengatakan, dalam sepakbola kemenangan tak lagi penting, yang utama adalah keindahan. Pendeknya sepakbola telah menjadi bagian dari seni.

Bukankah, olahraga secara harafiah juga adalah sebuah proses: mengolah raga, mengolah jiwa. Eropa terlalu banyak mencuri hal ihwal dan tampil gemilang dengan itu. Dari agama, ilmu pengetahuan, filsafat, budaya, semuanya diolah dari Timur. Kita saja yang tak menyadarinya, lalu terpesona dengan tindak-tanduk orang yang ada di sebelah barat itu.

Geografi, bukankah dengan begitu, menjadi penting? Awalnya ya. Lalu kapitalisme mengaburkannya, dalam pelbagai segi, kini dengan Internet. Jika negara adalah semacam proyek bersama, nasionalisme yang membungkusnya toh menjadi abstrak, hadir hanya dalam kepala setiap orang yang hidup dalam batas itu. Dalam sepakbola, "batas" itu kian hilang.

Siapa tahu, sepakbola di tahun 3000 tak lagi medan pertempuran tim antar negara, tapi tim yang disewa negara. Negara sebagai sebuah teritori hanya hadir sebagai nama. Kita akan menyaksikan generasi Drogba atau Crespo tampil atasnama Indonesia, suatu waktu, jika kita sudah punya uang banyak. Tentu saja ini impian dari seseorang yang seumur-umur hanya menjagokan tim dari Belanda. Mimpi toh boleh saja, bukan? Mimpi dari tidur yang sebentar ini.

Tuesday, June 06, 2006

KEPALA BAYI

BARANGKALI Tuhan bersemayam dalam setiap kepala bayi. Saya makin percaya Tuhan itu ada, hadir bersama manusia, karena ciptaannya begini sempurna.

Setiap hari ada saja keajaiban pada bayi. Mikail, misalnya, yang baru berumur 23 bulan, setiap akan tidur pasti bercerita apa yang dilakukannya sepanjang hari ini. Ia bisa bercerita dengan detail, terutama, reportase soal jenis-jenis mobil lengkap dengan aksesorisnya. Ia bisa tahu lebih banyak elemen mobil dibanding nenek yang menjaganya. Bukan hanya menyebut nama tetapi ia bisa menunjukkannya ketika saya minta. Saya masih menebak-nebak darimana ia tahu semua itu.

Dia mungkin menyerap hal ihwal terlalu banyak. Ketika saya ngobrol dalam bahasa Sunda dengan ibu saya ia ingat kata-kata lucu, yang baru ia dengar, yang saya ucapkan. Jika keisengannya muncul, seperti mengail benda-benda kecil di meja sambil lewat, saya marah dalam bahasa Sunda. Bukannya takut dia malah tertawa sambil menirukan omongan saya. Ah...

"Mika ngapain aja sehari ini?"
"Lihat mobin."
"Mobil apa aja ya?"
"Ada taksi, kijang, APV, jip, truk, sedan, sama mobin diselimutin."
"Wah, kenapa mobilnya diselimutin?"
"Kedinginan. Mobinnya bobo. Ada antenenya."
"Ada berapa antenenya ya?"
"Ada banyak."
"Coba hitung."
"Satu, dua, tiga, enam, tujuh..."
"Empat, limanya kelewat."
"Kapnya kebuka."
"Kenapa kapnya kebuka?"
"Mogok."

Mikail juga sudah hapal surat Al-Fatihah, doa makan, dan doa tidur. Ia selalu bilang alhamdulillah setiap kali habis menyedot susu dari botolnya. Ia ingat rute mencapai rumah kakeknya di Bandarlampung. Pertama-tama naik angkot, trus bus, trus berenang dulu, trus naik becak. Yang bikin kaget, ingatannya sampai jauh ke tahun yang lampau ketika ia mudik lebaran sewaktu umurnya baru setahun dua bulan.

"Mika, abah (kakek) ke mana ya?"
"Ke Kuningan."
"Mika mau ke Kuningan lagi?"
"Mau."
"Naik apa kalau ke Kuningan."
"Keneta."
"Di Kuningan ngapainnya ya waktu itu?"
"Naik bombom kan (car)."
"Sama siapa?"
"Sama siapa ya?"
"Sama Mih Ii. Mika inget gak sama Mih Ii?"
"Inget sih."

Biasanya saya rekam dialog-dialog lucu seperti ini. Tetapi ngobrol apapun akan terputus jika ia dengar jinggle sebuah iklan anak-anak atau iklan mobil. Dia suka nonton iklan di televisi dan hapal detail jingle, musik atau ucapan para bintangnya.

Tentu saja ia sedang menyusun konsep-konsep. Saya tidak tahu bagaimana ia membayangkan hutan Amazon yang punya tebing tinggiiiii sekali seperti diucapkan seorang anak dalam sebuah iklan susu. Baiknya saya biarkan saja imajinasinya yang bekerja merumuskan apa itu hutan, Amazon, dan tebing yang tinggi.

Saya sudah lupa bagaimana ketika menjadi anak-anak seumuran dia. Apa yang diserap apa yang ingin diketahui apa yang harus dilakukan. Saya hanya tahu dari cerita ibu atau bapak. Mungkin keajaiban juga bagaimana bertumbuh, karena Tuhan ada di sana. Ah, kenapa ingatan punya batas tertentu. Jika suatu hari Mikail membaca-baca tulisan-tulisan tentang dirinya, mudah-mudahan ia masih ingat.


Friday, June 02, 2006

PANCASILA

Indonesia selalu berada dalam persimpangan jalan yang tak mudah. Di manakah Pancasila?

Saya sudah lama tak mendengar lima sila itu dibacakan dengan takjub, lewat upacara bendera setiap hari Senin. Kita mungkin sudah lama lupa 36 butir yang dulu hapal dalam kepala sebagai syarat kelulusan anggota Pramuka atau mata kuliah Kewiraan. Pancasila surut sejak delapan tahun yang lampau.

Pancasila lahir, 61 tahun yang lalu, dalam sebuah masa yang rusuh oleh ide-ide besar. Sosialisme, kapitalisme, ah, semuanya tak berhasil membuat dunia tentram dan nyaman, di manakah Pancasila kita itu? Bung Karno bilang Pancasila digali seperti ubi, bukan wahyu yang datang dari langit untuk kita, begitu saja. Pancasila adalah sebuah simpul dari sejarah panjang Nusantara.

Agaknya orang kini semakin tak percaya akan kesakralan itu. Di setiap sudut orang menyuarakan ide-ide yang lain berbekal agama dengan semangat yang lebih purba. Politik identitas yang dulu amat dihindari dan ditakuti kini hadir seutuh-utuhnya di depan kita dan jadi bahan obrolan yang sedap di warung kopi. Apakah ini buah dari desakralisasi Pancasila yang digelorakan secara sembunyi-sembunyi oleh kita yang kini kembali mengkhawatirkan Indonesia yang seragam?

Sebuah persimpangan yang tak mudah, bukan? Ketika Pancasila masih sakral, dulu, setiap suara yang berbeda dibungkam dengan senapan. Kini ketika Pancasila sudah kehilangan pamornya, setiap suara yang berbeda dikeroyok sampai bonyok. Kita bertengkar terus oleh setiap perbedaan yang tak mungkin dihapus.

Presiden Ahmadinejad dan Abdullah Badawi bilang Indonesia akan menjadi bangsa yang besar seandainya bersatu, seluruh dunia akan takut kepada Indonesia. Bayangkan, ada 17 ribu pulau yang terserak, ribuan bahasa, ratusan juta orang. Ah, betapa klisenya pernyataan ini. Tetapi ketika orang lain yang mengucapkannya, ada terasa yang mengiris di dalam dada kita. Seandainya kita bisa.

Barangkali karena akan menakutkan itu kita tak boleh bersatu. Kita akan bertengkar terus hingga turun Imam Mahdi. Sepanjangan itukah? Mungkin. Kita sering putus asa mencintai Indonesia kita ini.

Seorang teman menghardik karena saya tak ikut menyanyi Indonesia Raya. Dia lalu bercerita bisa menangis ketika mendengar lagu ini dinyanyikan karena seorang pemain bulutangkis menang dalam pertandingan Olimpiade di Yunani atau di Cina atau di manapun di luar Indonesia. Saya mengangguk. Indonesia, sebagai kampung halaman, sebagai tanah tumpah darah, memang mengharukan jika kita terentang jarak. Itulah kenapa banyak orang yang berhasil menulis Indonesia jika sudah ada di luar. Di dalam sini, kita melihat benang kusut.

Itulah, mungkin, kenapa Iwan Fals sekarang tak bisa menulis lagu seperti dulu, semacam Celoteh Camar Tolol atau Tikur-tikur Kantor. Padahal persoalan pun toh sama juga. Album Manusia Setengah Dewa yang salah satunya untuk presiden liriknya sudah mengawang-awang. Jika menulis tentang cinta, temanya sudah basi. Barangkali, kata seseorang, Iwan sudah tak turun lapangan lagi. Hidupnya sudah enak, jarang "berkeliaran" lagi seperti dulu.

Indonesia sekarang semakin rumit, kian banyak persimpangan yang harus dipilih.