Thursday, December 21, 2006

SURAT DARI BAPAK

Bapak berkirim surat. Tumben. Sudah lama ia tak berkabar lewat tulisan. Dulu ia rajin mengirim atau bertanya kabar lewat surat. Sekarang ada sandek, tapi ia belum mahir memencet tombol ponsel yang kecil dengan pandangan yang sudah lamur.

Tulisannya masih sama: tulisan sambung yang rapi. Khas orang-orang tua. Bentuk tulisannya habis-habisan saya tiru, sewaktu baru kenal a-b-c. Tapi yang muncul adalah tulisan cakar ayam. Saya, mungkin kita, tak lagi diajari menulis sambung seperti zaman sekolahnya dulu. Tapi bukan itu yang utama. Yang pokok adalah isi suratnya. Saya kutip yang penting-pentingnya saja. Tentu ini sudah disadur. Aslinya ia menulis dalam Sunda halus.


"Hari ini Bapak sedih. Untuk yang kesekian kali. Pak Lurah pidato berapi-api di balai desa soal proyek bendungan itu. Ia baru dapat duit subsidi dari kecamatan. Warga bergotong royong mengerjakan. Di sela pidatonya itu ia bercerita. Pak Lurah jengkel. Sejak proyek itu mulai berjalan hampir setiap hari ada datang orang ke rumah. Berbondong-bondong. Mereka mengaku wartawan. Entah surat kabar apa.

"Mereka bertanya ini-itu soal proyek bendungan. Pak Lurah sampai kewalahan meladeninya. Pertanyaan mereka aneh-aneh. Padahal, ini pembangunan yang wajar. Warga butuh air untuk mengairi sawah saat kemarau. Mereka malah bertanya berapa jatah untuk pamong desa. Yang menyebalkan, sebelum pulang mereka minta duit untuk ongkos. Bayangkan, ada 10 orang dalam satu rombongan yang datang pagi-siang-sore. Diberi 100 ribu tidak mau. Tidak cukup, kata mereka. Padahal ongkos ke kota tak menghabiskan 5.000 seorang. Mereka minta satu juta.

"Setelah sengit tak mau memberi, Pak Lurah luruh karena diancam. Para wartawan itu akan menulis bahwa Pak Lurah telah menilap uang proyek. Tentu saja Pak Lurah takut. Jika benar ditulis, Pak Lurah telah dituduh oleh perbuatan yang tak dilakukannya. Kamu pasti tahu, jika sudah dituduh si tertuduh harus menjelaskan dan membuktikan bahwa tidak benar tuduhan itu. Dan itu merepotkan. Serombongan petugas kecamatan akan datang. Dan mereka tentu tak mau pulang tanpa ongkos kedatangan. Efeknya akan berantai. Sementara proyek bendungan itu benar-benar membutuhkan duit.

"Maka Pak Lurah harus rela beberapa juta diberikan kepada mereka. Di ujung pidatonya dia berkata yang membuat Bapak sedih. 'Saya berdoa, semoga tak ada keluarga dan kerabat saya yang menjadi wartawan'. Dada Bapak berdesir mendengar ucapan itu. Kalimat Pak Lurah seolah ditujukan pada Bapak. Ia seperti menuduh bahwa kamu juga berbuat seperti para wartawan itu.

"Bapak tahu kamu tidak melakukannya. Bukan begitu cara kerja wartawan, kan? Bukankah wartawan seharusnya menyampaikan kabar tentang sesuatu yang seharusnya diketahui umum. Bukan meminta-minta duit begitu. Wartawan juga kan seperti karyawan perusahaan biasa lainnya. Mereka digaji atas kerja mencari informasi itu.

"Sejak kamu memberitahu akan bekerja jadi wartawan, Bapak sudah mengingatkan ini pekerjaan yang aneh. Bapak sendiri tak kunjung mengerti bagaimana bekerja jadi wartawan. Apakah ada sekolah menjadi wartawan? Jam 23 kamu masih di kantor. Jam 8 sudah di kantor lagi. Kapan tidur? Kapan punya waktu untuk keluarga. Kapan punya waktu untuk diri sendiri. Toh, kerja rodi begitu kamu tetap miskin...

Desember 2004



Bapak, saya juga tak tahu bagaimana menjelaskan pekerjaan ini. Aneh memang. Ada banyak orang yang mau bekerja seperti itu. Dalam bursa kerja di Senayan beberapa bulan lalu pekerjaan yang paling diminati mahasiswa yang baru lulus adalah menjadi wartawan. Ajaib. Mungkin saya hanya menikmati. Dan ada perasaan senang jika tahu ada orang yang jadi "pinter" setelah membaca berita. Juga, ada kebanggaan setiap kali saya menolak amplop. Ah, ini mungkin hanya romantisme saja.

Saya juga tidak bisa merumuskan apa nama perasaan-perasaan aneh seperti ini. Barangkali, ini salah Bapak juga. Dulu, sebelum saya bisa membaca, kepala ini sudah penuh dengan kisah-kisah, dongeng-dongeng, legenda-legenda, yang Bapak ceritakan sebelum tidur. Sejak itu saya jadi suka cerita dan ingin membaginya dengan orang lain...

Sunday, December 03, 2006

SURAT UNTUK AA GYM

Aa Gym, saya tak kaget ketika mendengar gosip anda kawin lagi. Saya kecut ketika anda mengakuinya. Saya muak mendengar alasan anda bahwa perkawinan kedua itu untuk menghindari zina. Daripada teman tapi mesum, katamu. Astaga. Sudah sebegitu mesumkah anda jika berteman dengan perempuan?

Beristri lebih dari satu tentu tidak dilarang, seperti kau sebut-sebut kepada banyak wartawan. Agama Islam membolehkan dengan syarat yang ketat. Anda tentu merasa bisa memenuhi syarat itu sehingga memutuskan berpoligami, tiga bulan lalu. Tapi guru-guru ngaji saya di dusun, yang tentu tak sepopuler anda, menceritakan bukan dengan alasan takut zina Rasulullah menikahi perempuan lebih dari dua. Rasulullah menikahi perempuan yang suaminya gugur di medan perang dalam menyebarkan ajaran Islam. Ia hidup di zaman perang yang mengancam nyawa dan keselamatan. Lagipula dia berpoligami setelah Siti Khadijah, istri pertamanya, meninggal. Yang saya tahu, begitulah alasan Nabi memperistri banyak perempuan.

Poligami diatur dengan jelas dalam Surat Annisa. Anda pasti tahu, surat ini turun sesaat setelah Perang Uhud. Sebanyak 70 orang, dari 700 kaum muslimin, meninggal dalam perang itu. Banyak janda dan anak yatim karenanya. Surat itu kemudian mengatur bagaimana kaum muslimin memperlakukan anak-anak yatim dengan, antara lain, menikahi ibunya. Agar anak-anak itu terlindung dan mendapat warisan sebagai masa depannya. Karena itu syarat pertama poligami adalah keadaan darurat. Calon istri terutama janda yang ditinggal mati syuhada oleh suaminya. Syaratnya berat. Tak heran Nabi kurang sreg ketika Ali, menantunya, minta izin menikah lagi. Anda, Aa Gym, hidup di Indonesia yang mulai damai. Bahkan anda hidup di Bandung, sebuah kota yang menjadi tujuan wisata akhir pekan.

Saya tak akan menyoal perdebatan poligami. Sebab, dalam kasus anda, yang jadi soal bukan dilarang atau tidaknya poligami oleh ajaran agama. Tindakan anda legal di mata hukum apapun. Tapi tidak di mata "hukum" sosial. Anda seorang ustad yang tiap hari berkotbah tentang nilai-nilai moral di televisi, di masjid, menulis di koran, radio, bahkan lewat telepon seluler. Anda merangsek begitu jauh ke dalam hidup setiap orang. Banyak orang, dengan begitu, menjadikan anda sebagai panutan. Inilah soalnya. Anda mungkin cuma manusia biasa yang bisa salah. Tentu saja. Anda bukan nabi. Tapi perbuatan anda itu sudah dipikirkan benar bahkan sejak lima tahun lalu. Anda tentu sadar sepenuhnya melakukan poligami. Ada banyak orang, memang, yang juga tak puas dengan satu istri. Tapi mereka tak saya kenal. Mereka tak berkotbah tentang nilai-nilai luhur dan amal soleh.

Dulu, saya pernah juga ikut latah menjadi pelanggan SMS tausyiahmu. Lima kali dalam sehari saya membaca omong kosong tentang kebajikan, sampai saya menghentikannya ketika profil anda dimuat berseri-seri di media massa. Saya berhenti setelah membaca laporan wartawan Time yang menyebut anda Holyman, orang suci, yang berpose dengan motor gede dan gantole. Ganteng benar anda dengan semua kemewahan itu. Nabi Muhammad, orang yang paling anda kagumi dan kisah bajiknya sering kaukutip dalam ceramahmu, hanya punya sandal dari jerami yang ia jahit sendiri jika sobek.

Anda tak salah menikmati semua kekayaan dari hasil kerja sendiri itu. Tapi menjadi tak relevan ketika dipamer-pamerkan untuk semua orang. Bukankah memamerkan itu satu perbuatan kecil dari riya? Maka saya berhenti berlangganan tausyiahmu. Saya merasa tak ada gunanya membaca pesan moral dari orang yang suka berpamer-pamer harta. Sesekali saya masih ikut menonton kotbahmu di televisi, bersama anak dan istri saya--ketika tak punya pilihan acara televisi saat libur--seraya berdoa semoga orang lain mengikuti apa yang kau anjurkan. Di televisi, anda "berusaha" berpose mesra dengan istri pertama. Ah,...

Istri anda mungkin sudah bisa ikhlas setelah mendengar semua argumen anda dengan tameng semua ayat dan hadits juga janji sorga. Tapi, bagaimana perasaan orang lain yang menjadi korban poligami ayah dan suami mereka? Inikah hikmah yang ingin kaudapat? Anda harusnya tahu, dengan pro-kontra yang beredar di jamaahmu yang sedih dan kecewa di Bandung itu saja, hikmah itu sudah pupus. Anda ingin belajar adil dan ikhlas dengan poligami. Tak adakah cara lain belajar tentang dua hal itu dan menunjukkannya kepada orang lain? Anda ingin mengubah pandangan orang yang tak setuju. Tak bolehkah orang tak setuju? Poligami adalah pilihan, bukan tuntunan.

Keputusan anda berpoligami itu, Aa Gym, makin menyempurnakan runtuhnya kepercayaan saya kepada semua pengkotbah agama. Saya kian tak percaya apa yang diomongkan para pengkotbah yang merampas hak saya menikmati tontonan bagus di televisi. Menjadi ulama itu sulit, tapi kenapa begitu mudah orang berkotbah hanya dengan mengutip satu dua ayat plus lawakan yang sering terasa garing, lalu menjadi kaya dengan itu. Saya lebih senang menonton pertunjukan Oprah Winfrey, atau Extravaganza, atau Srimulat. Mereka tak berusaha memberi pesan muluk, tapi saya terhibur.

Kita sudah jenuh dengan retorika. Anda tampil menambahnya, seolah-olah memberi resep dalam hidup sehari-hari yang sumpek. Saya terkesima, mula-mula. Kotbahmu mengena. Anda, sepertinya, tak mencari kekayaan bermodal pengetahuan ayat dan hadist. Anda sudah kaya sebelum jadi ustad, meskipun saya tak tahu berapa rupiah anda dibayar satu kali tampil di mimbar.

Anda benar, tak mudah memang menjalankan 3M yang sering anda ulang-ulang: mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang juga. Saya pernah mencoba dan tak bisa. Kini anda sendiri gagal menjalankannya. Anda tak bisa memulai dari diri sendiri karena anda sendiri tak menganjurkan orang lain berpoligami. Anda juga lupa bahwa kesenangan duniawi kerap mengerangkeng akal sehat dan menyilapkan ingatan terhadap zaman hidup susah, ketika nasib ada di bawah, seperti katamu.

Aa Gym, seperti katamu lagi, memang gampang merumuskan sebuah kebajikan tapi berat menjalankannya. Anda bukti paling sempurna untuk itu. Anda sering menganjurkan agar jangan menyakiti orang lain, jika tak ingin disakiti orang lain. Ketika anda meminta izin menikah lagi, istri anda terguncang dan meriang. Anak-anak marah dan kecewa. Perempuan mana sih yang mau cinta suaminya terbagi-bagi? Tindakan anda makin mengukuhkan kesimpulan para pengkritik Nabi Muhammad yang dituding menyebarkan ajaran tak memberi tempat pada perasaan perempuan. Tindakan anda itu mengguncang saya sebagai ayah dan suami. Saya khawatir anak saya mencerna salah tindakan anda itu.

O, ya, saya juga dipanggil Aa di rumah. Dua adik saya memanggil begitu, istri saya mengikuti. Ketenaran anda ikut mempopulerkan panggilan khas di keluarga-keluarga orang Sunda. Saya malu menyandang panggilan itu kini.

Saya doakan semoga berat badan anda pulih dan tak berjerawat lagi.