Tuesday, May 31, 2005

PARTAI PUISI

SEBUAH puisi lebih berbahaya ketimbang seribu partai politik. Sewaktu pertama kali boleh ikut pemilihan umum, saya pilih PDI. Ini nazar karena tak tahan diledek sebagai "anak Golkar". Masa kecil saya tersiksa hanya karena bapak saya seorang komisaris di kecamatan. Dia berkampanye program-program dan itu hanya bisa terwujud jika "kecamatan kita Golkar 100 persen". Saya muak dengan pidato itu.

Saya makin muak ketika tahu, setiap kali pencoblosan selesai, para petugas itu mengumpulkan kertas suara baru lalu mencoblos gambar yang di tengah. Kertas suara yang dicoblos orang-orang raib disembunyikan di gudang belakang rumah. Saya uring-uringan tiap kali musim pemilu tiba. Main tak lagi leluasa karena teman-teman menatap dengan aneh.

Usai Mei 1998. Saya pulang. Saya dan bapak masih sering bertengkar jika sekeluarga nonton televisi. Ia tipe seseorang yang jatuh cinta pada Pancasila, dan terutama, pada Pak Harto. Waktu itu, dia sudah tak aktif di partai. Ia menjauh karena orang ramai-ramai memilih PDIP. Mereka tak lagi sungkan berduyun pergi ke lapangan sepak bola tempat kampanye. Tak lagi takut dicegah dan dicap pembangkang lurah. Jalanan merah. Pohon-pohon merah.

Tapi saya tak berani mengusik kenapa bapak menjauh dari partai. Saya tahu, ia seperti orang yang kalah. Sampai ketika ia mulai menerima bahwa sudah sepantasnya Pak Harto turun, meski ia tetap menolak caranya. Saya tanya, ragu-ragu, pelan-pelan, mlipir-mlipir. "Kenapa dulu semangat kampanye sampai sering lupa makan?" Ia menjawab : "Kalau tak begitu, rumah kita masih pakai petromak, kampung kita masih gelap, kamu harus gotong aki ke tukang setrum agar bisa nonton televisi, jalanan berdebu, masjid masih gubuk, sekolah-sekolah ambruk." Saya tertegun.

Lalu pemilu lebih cepat. Partai banyak. Saya tak lagi memilih PDIP, tapi PAN. Tadinya malas ke TPS. Tapi Wimar Witoelar membujuk di Asal-Usul Kompas. "...dulu wajib tak memilih, sekarang jadi fardu 'ain. Masa depan ada di tangan Anda." Tapi masa depan belum datang. Dan saya memilih tak ikut ke TPS dalam pemilu lalu.

Tidak dengan puisi. Ada seribu puisi. Saya memilih dan saya terpesona. Puisi yang berhasil adalah suara-suara yang datang menjenguk kita inci-demi-inci. Puisi yang gagal tak lain sebuah teriak kampanye atau sebuah pernyataan cinta yang tanggung. Ia gagal membujuk-merajuk.

Monday, May 09, 2005

KOMPAK



Mulai hari ini, 9 Mei 2005, Koran Tempo berubah ukuran dan perwajahan.



Sepanjang dua tahun terakhir, migrasi yang riuh telah melanda industri koran, khususnya di Eropa. Majalah The Economist menyebutnya dengan istilah tabloiditis.

Dalam fenomena itu, puluhan koran memutuskan untuk berpindah format atau ukuran kertas, dari semula berukuran besar sembilan, delapan, atau tujuh kolom (broadsheet) ke ukuran tabloid atau format kompak. Mereka melakukannya dengan tetap mempertahankan jurnalisme berkualitas. Tren ini diperkirakan masih akan berlangsung pada tahun-tahun mendatang, bahkan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Jim Chisholm, penasihat strategi World Association of Newspaper (WAN), dalam laporan berjudul New Designs, New Format, malah mendeklarasikan: "Broadsheet sudah mati."

Chisholm memang terkesan kelewat bersemangat. Sebab, dalam kenyataannya, koran berukuran besar masih banyak. Gairah untuk bermigrasi juga belum tampak meluap di Amerika Serikat, yang kerap menjadi kiblat untuk banyak hal termasuk koran. Tapi bahwa format kecil, kompak, adalah respons jitu terhadap perkembangan zaman, jawaban atas beberapa persoalan yang dihadapi koran pada umumnya, sekaligus yang membukakan peluang yang selama ini tak tergarap, terbukti dari pengalaman di Eropa.

Semua itu bermula dari keputusan The Independent, koran yang diterbitkan di London sejak pertengahan 1980-an. Pada September 2003, koran yang disebut-sebut bereputasi radikal ini mulai meluncurkan edisi berukuran tabloidnya di samping edisi broadsheet; keduanya memuat isi dan iklan yang sama. Hanya berselang dua bulan kemudian The Times, yang juga terbit di London dan sudah berusia 216 tahun, mengambil jalur yang sama.

Perkembangan yang baik, terutama di sisi sirkulasi, segera meletupkan semangat untuk melakukan perubahan serupa di kalangan pengelola koran di banyak negara Eropa. Sejak awal 2004, koran-koran ini berturut-turut menyusul melakukan migrasi: Gazet van Antwerpen dan De Standaard (Belgia), The Irish Independent (Irlandia), The Scotsman (Skotlandia), dan Blick (Swiss). Revolusi terbesar terjadi di Swedia. Dalam waktu yang singkat, 13 koran di negara ini menyeberang ke format tabloid.

Mereka umumnya mengadopsi siasat The Independent dan The Times, menerbitkan dua format bersamaan dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya mengucapkan selamat tinggal kepada format broadsheet. Ini pula yang dilakukan oleh New Straits Times (NST), koran Malaysia yang sudah berusia 160 tahun. Baru bulan lalu koran ini benar-benar meninggalkan broadsheet. "Sebuah kesempatan yang menyedihkan...," kata Pemimpin Redaksi Grup New Straits Times Kalimullah Hassan dalam pengantar perpisahannya, "Tapi pada saat yang sama kami, dengan bermacam cara, bangga bahwa kami telah menjalankan langkah berani untuk terus maju."

Sebuah langkah berani, untuk apa? Jelas, untuk meninggalkan segala hal menyenangkan, tradisi yang mapan, dan semua hal baik yang sudah diraih bersama format broadsheet; untuk mengambil risiko, untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan gaya hidup pembacanya.

Yang terbawa oleh perubahan zaman dan mempengaruhi kelangsungan hidup koran, mula-mula, adalah transportasi massa dan mobilitas personal. Dua hal ini menyebabkan orang tak bisa leluasa membawa-bawa, apalagi membaca, format broadsheet. Siapa mau koran yang hanya bisa dibaca di meja, terlalu besar untuk dibaca di kereta, bus, atau pesawat, dan perlu mata yang sanggup menjangkau jarak rentang baca di luar kemampuan?

Selain itu, televisi dan Internet telah mengubah cara sebagian besar orang memperoleh informasi. Jumlah pembaca koran di banyak negara terus-menerus turun; pembaca tua banyak yang sudah meninggal, sementara pembaca muda tidak tumbuh signifikan. Koran-koran gratis dan alternatif, yang kebanyakan memilih format kompak, dengan artikel-artikel ringkas, justru lebih menarik minat, terutama di kalangan generasi muda.

Perubahan ke format kompak adalah wujud dari keniscayaan bahwa ukuran koran akan terus mengecil untuk menyesuaikan diri--agar bertahan dan bisa membidik peluang-peluang baru. Mario Garcia, desainer yang menjadi konsultan dalam banyak proyek perubahan format koran, yakin pembaca memang menginginkan perubahan itu. "Trennya ada, dan tren ini tak bisa dihentikan," katanya kepada The Observer.

Masih banyak juga koran yang memilih bertahan, atau berubah perlahan-lahan dengan cara memilih ukuran kertas antara broadsheet dan tabloid (format Berliner). Koran The Guardian, misalnya, yang berada dalam tekanan akibat langkah-langkah The Independent dan The Times, mengisyaratkan hendak memakai format Berliner saja untuk "mempertahankan integritas jurnalisme The Guardian".

Namun, Garcia menilai strategi berubah perlahan-lahan hanya berguna bagi redaktur dan penerbit penakut, bukan untuk pembaca. "Pembaca tak peduli pada langkah-langkah evolusioner. Mereka hanya ingin Anda melakukannya," katanya.

Karena itu, Garcia dan banyak desainer dan kalangan lain percaya bahwa soal waktu saja perubahan bakal menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Simaklah kata-kata Tony Smithson, direktur produksi koran The Courier-Journal di Kentucky, Louisville, Amerika Serikat, ini: "Saya kira, secara pribadi, dalam 5 hingga 10 tahun broadsheet akan menjadi anakronisme, keganjilan. Anda tak akan sering melihatnya."

Sumber : Koran Tempo edisi 9 Mei 2005
Baca juga : Tajuk hari ini.

Wednesday, May 04, 2005

BARBIR



Peralatan tukang cukur ternyata sama. Terutama gambar model rambut yang dipajang di dinding-dinding ruang pangkas: gaya rambut tahun 90-an milik kepala model-model seangkatan Andy Lau yang terlihat dari samping kiri-kanan dan depan. Tapi diberi judul : Tatanan Rambut Terbaru atau Model Rambut Masa Kini. Tentu saja, bukan di salon yang ada pelayanan plus pijat dan krimbat segala, yang mereknya memakai nama pemangkas rambut terkenal. Ini di tukang cukur yang mereknya semisal "Pangkas Rambut Gaya" atau "Pangkas Rambut TOP".

Di pelosok Kuningan, kampung saya di bawah Ciremai itu, juga memajang gambar serupa. Begitu pun di Bogor. Di Samarinda juga sama. Di Bandar Lampung kok ya gak ada gambar lain. Bali dan Makassar tak ada bedanya. Lima pulau sudah, saya menemukan gambar yang sama itu-itu saja. Ketika saya intip nama percetakannya, wow, ternyata emang dia biangnya. Sama!

Waktu rambut mahasiswa empat-tahun-tak-disisir akan dipangkas karena bukan zamannya lagi gondrong saya bingung harus motong rambut semodel apa. Iseng-iseng saya tunjuk salah satu gambar di dinding: foto sebelah Andy Lau yang poninya tak dipangkas menjuntai sampai ujung hidung. Belah pinggir norak amat. Sementara belakang dan pinggirnya terpotong klimis. Eh, si barbir ini malah nyengir. "Wah, yang begitu mah susah. Harus pake tancho," katanya, mesem-mesem. Rupanya, dia cuma tahu satu merek minyak rambut. Saya sudah bisa menebak. "Loh, jadi foto-foto ini buat apaan?"
"Hehehe. Ini mah gaya aja. Biar tembok gak kosong." Waduh.
"Kalau gitu mohawk aja deh."
"Apaan tuh?"

Ya, sudah. Saya minta dipotong jangan terlalu pendek. Sedeng aja. Lalu prosesi pun dimulai. Ritual yang selalu mengundang kantuk. Saya merem-melek. Gunting dan silet bekerja krash-krash. Kepala saya dipegang, agak didorong ke kiri dan kanan. Setengah jam kemudian, saya buka mata. Wah, ini mah bukan potongan sedeng. Masih panjang. Dan kok pake poni. Waduh, mirip Andy Lau. "Pangkas pendek aja," buru-buru saya minta.
"Ini sudah pendek." Si barbir terkejut karena cukurannya tak disukai.
"Lebih pendek lagi. Sesenti."

Maka riwayat rambut sepanjang-panjang dan agak kriwil yang sudah jadi bahan ledekan, pujian, jijikan, bikin ibu saya sempat tak menerima pulang sebelum potong, itu tamat sudah. Panjangnya tinggal hingga tak bisa terpotong mata gunting.

Sekarang, tiap kali menyambangi tukang pangkas rambut saya abaikan gambar-gambar itu, meski beberapa barbir menempel sertifikat telah ikut seminar Rudy Hadisoewarno. Ketika ditanya potong model apa. Saya mantap menjawab. "Pendek". Jawaban "sesenti" disiapkan jika "pendek" tetap tak memuaskan.