Tuesday, April 08, 2003

PATUNG

DI Mampang, Jakarta Selatan, sebuah baliho iklan dicoret-coret seseorang. Di situ wajah Sophia Latjuba yang sedang berselonjor memamerkan kulit lembut karena dibasuh sabun Lux diberi topeng, hingga yang tersisa hanya kedua matanya. Badannya juga. Alhasil, Sophia Latjuba di sana tak lagi memakai baju tipis. Ia kini seperti seorang perempuan Iran yang dipotret lalu dipajang di pinggir jalan. Tak cukup di situ, baliho juga dicoreti dengan kata "porno" besar-besar.

Tapi itu dulu. Orang iklan kemudian ramai-ramai membahas aksi itu. Pelakunya, seingat saya, tak tertangkap. Ada yang mengecam, ada juga yang setuju dan menggunakan moment itu untuk terus menolak porno-pornoan. Kini, baliho itu sudah diganti dengan gambar Sophia yang bersih, yang coklat kulitnya, yang bibirnya basah sedikit terbuka. Tapi, pesan coret-coret itu jelas: Sophia, dengan wajah dan pakainnya di baliho itu, dianggap seronok; karena itu porno. Tapi kenapa patung-patung di Jakarta tak dicoreti atau dipasang rumbai-rumbai?

Di Jakarta, patung-patungnya tak diberi pakaian yang layak. Patung obor di bundaran 69, Jalan Sudirman, tak memakai celana. Selangkangannya hanya ditutup sehelai kain yang melorot dan berkibar ditiup angin. Meski ia gagah, dengan otot yang menggumpal di sana-sini, berteriak memangku obor, patung itu tak beradab.

Atau di Lapangan Banteng. Patung pembebasan itu juga tak jelas jenis pakaiannya. Sama halnya dengan patung setengah-monyet-setengah-manusia yang sedang berlari di Pancoran.

Patung Tani di Jalan Ridwan Rais juga hanya pakai selana pendek dengan cangkul di pundak. Masih mending, Bu Tani memakai kebaya lengkap dengan selendangnya. Di kampung saya, Pak Tani selalu berpakaian pangsi hitam-hitam yang longgar. Bu Tani juga memakai baju lengan panjang yang robek di sana sini dengan topi lebar. Kebaya justru dipakai kalau kondangan. Karena itu badawang yang dipasang di tengah sawah untuk mengusir burung yang memakan padi selalu diberi pakaian hitam dan topi lebar. Seseorang di saung akan menarik tali untuk menggerakan orang-orangan Pak Tani itu.

Patung yang berpakaian layak mungkin cuma patung Jenderal Sudirman di markas zeni di Bogor. Pak Dirman, dengan wajah kuyu menahan TBC, berdiri gagah memakai blangkon dan jas hujan yang menjuntai. Celananya juga pantalon dengan sepatu pantopel yang necis.

O ya, satu lagi patung Pak Pos di depan Gedung Pos di belakang katedral dekat lapangan Banteng. Pak Pos berseragam lengkap dengan topi khasnya; juga sepeda kumbang dan kantong surat di belakang sepeda. Patung itu memegang surat dengan tatapan seorang pegawai yang setia dan bersedia berkorban menerjang halangan apapun asal surat sampai ke tempat tujuan.

Tugu kujang di Bogor juga agak aneh. Setiap kali lewat tugu itu sehabis nonton film atau keluyuran malam-malam, seorang teman selalu menunjuk ke arah kujang sambil nyengir. Kujang itu disorot lampu dari bawah, sehingga yang tampak adalah gagang kujang yang disepuh warna emas. Sedangkan bilahnya yang lancip dan melengkung dirungkup malam langit Bogor. Yang aneh di sana adalah bentuk tonjolan gagangnya: persis bentuk penis yang sedang ereksi.

Tapi, mungkin mesti dibedakan, patung pahlawan dan patung yang bercerita tentang semangat. Patung pahlawan--atau setidaknya patung yang dibuat untuk mengenang seseorang yang pernah hidup--dibuat dengan pakaian sesuai dengan cara seseorang itu berpakaian sewaktu hidup. Lain dengan patung yang tak mempersonifikasikan seseorang. Kebanyakan patung-patung itu tak diberi pakaian yang layak.

Mungkin perlu juga ada kontes pakaian patung terbaik di Jakarta, bahkan seluruh Indonesia.