Friday, January 17, 2014

ANAK DAN TETANGGA

Esai di Koran Tempo, edisi 13 Januari 2014


Apa beda antara anak dan tetangga? Seorang jiran di kampung punya penjelasan jitu soal ini. Kami mengobrol sewaktu saya pulang ke rumah ayah saya di lereng Ceremai yang sejuk, menjemput anak yang menikmati liburan tengah semester, pekan lalu.

Sebetulnya ia berkomentar hal umum tentang betapa pendek waktu kunjungan saya. Tapi tukar pendapat dengan ayah saya kemudian membuat saya memikirkannya dalam perjalanan sepuluh jam kembali ke Bogor. Ia menohok saya, "anak hilang" yang menjadikan kampung hanya tempat singgah sebentar. "Kita ini memang terlalu singkat memiliki anak," katanya kepada ayah saya, sambil menyeruput kopi.

Ia sendiri, tetangga ini, memiliki anaknya cuma 20 tahun, sebelum mendapat mantu yang memboyong putrinya ke rumahnya di Jakarta karena sebuah kerja. Tanggung jawabnya sebagai ayah terlepas ketika ijab kabul pernikahan. Anak perempuannya menjadi milik suaminya, punya urusan sendiri dengan hidupnya. Hubungan bapak-anak pun lepas tak hanya secara fisik.

Anak-anak menjauh begitu dewasa. Sedangkan dengan tetangga, katanya, tak ada batas waktu berpisah. Para tetangga, mereka yang tak punya ikatan darah dan datang dari entah, akan menolong pertama kali ketika ada musibah. Sedangkan anak-anak harus ditelepon dulu, bahkan jika kangen ingin ketemu. Mereka akan menelepon meminta bantuan ketika pengasuh anaknya pulang kampung dan mengeluhkan betapa susah mendapat pengasuh baru sementara cuti kerja sudah habis-padahal mereka dulu besar di satu tangan, tangan ibunya.

Anak-anak pasti akan meninggalkan rumah, tapi tetangga tak akan jauh-jauh dari rumah. Sebab, para orang tua mendidik anak-anaknya mandiri, yang berarti harus bisa hidup sendiri jika waktunya tiba. Pada tetangga kita membangun hubungan justru agar kelak tak hidup sendiri.

Saya tertohok berkali-kali. Ia berbicara tentang sesuatu yang saya alami, tapi tak saya pikirkan. Ia merumuskan hal umum yang akan dialami oleh siapa saja, tapi sering luput dari renungan siapa saja. Ia lalu mengutip sebuah ungkapan: orang tua kaya anak jadi raja, anak kaya orang tua jadi pembantu rumah tangga-karena mengasuh cucu yang ditinggal ayah-ibunya bekerja. Ia berbicara tentang kecenderungan zaman industri, di mana kota selalu menjanjikan harapan dan dusun tetap sekadar kampung halaman.

Bagi saya dan adik saya, rumah ini hanya sebuah kenangan. Bahkan saya merasa asing karena kamar tempat dulu saya lahir, kamar tempat dulu mereka-reka surat untuk pacar pertama, ruang tempat saya membayangkan masa depan dan membangun cita-cita, tak ada lagi. Rumah ini dipugar ketika saya keluar kampung untuk bersekolah. Rumah ini, dengan desain agak modern, praktis milik ibu-bapak saya. Saya hanya punya sedikit kenangan pada lemari dan bufet lama, juga foto sepia.

Dan kini, saya tak memilikinya lagi, tak meniduri kasurnya lagi, tak menghidu bau sorenya lagi, tak menyesap aroma sampah yang dibakar ayah tiap sore lagi. Bapak-bapak tetangga inilah yang akan terus berkomunikasi dengan ayah-ibu saya, secara nyata di sawah, pekarangan, di jalan, dalam rapat-rapat desa, atau saat bertamu. Sedangkan kami, anak-anaknya, mesti menunggu waktu libur atau mengambil cuti kerja atau saat Lebaran untuk bisa bercengkerama dengan mereka. *

Thursday, January 02, 2014

CUCKOO'S CALLING

SEPERTI umumnya novel detektif, The Cuckoo's Calling menampilkan selapis-demi-selapis kisahnya--menyuguhkan sedikit, menunda sedikit, memancing pertanyaan banyak, memunculkan dugaan-dugaan. Ini novel detektif pertama J.K Rowling dengan nama samaran Robert Galbraith.

Dalam situsnya, Rowling menjelaskan bahwa ia memakai nama samaran itu karena sudah lama suka dengan nama Robert dan ia selalu ingin dipanggil Galbraith sejak kecil. Cuckoo's itu jenis burung yang merujuk pada nama panggilan Lula Landry, supermodel London yang tewas terlempar dari kamar apartamennya di lantai 4. Penelusuran kematian itulah yang menjadi pokok cerita novel ini.

Jagoan baru Rowling kali ini adalah Cormoran Strike, detektif swasta yang disewa kakak tiri Lula mengungkap kematian adiknya. Scotland Yard sudah memutuskan Lula mati karena bunuh diri, hanya karena polisi tak menemukan bukti pembunuhan. Satu-satunya alasan adalah Lula mengidap bipolar, ketakseimbangan kimia dalam otak yang membuat penderitanya terdorong bunuh diri secara tiba-tiba.

Bahan awalnya adalah rekaman CCTV yang menunjukkan dua orang berlari dari apartemen Lula setelah tubuh dan kepala model campuran Inggris-Afrika itu membentur aspal. John Bristow curiga merekalah pembunuhnya tapi tak didalami polisi karena tak ditemukan sidik jari lain di kamar adiknya.

Dari sanalah Strike mulai menelusuri kematian dengan bertanya kepada banyak orang, saksi-saksi yang mengetahui hidup Lula, pacarnya yang brengsek, desainernya, tetangga apartemennya yang mata duitan, dan orang-orang kaya London dengan segala versinya. Dan seperti umumnya novel detektif, dari banyak pertanyaan yang sengaja dimunculkan berdasarkan kesaksian, akhir novel ini tak bisa ditebak bahkan hingga ujung penyelidikan.

Strike dibantu oleh Robin, sekretaris sementara yang butuh pekerjaan. Tanpa sengaja, perempuan ini tertarik mengikuti investigasi Strike dengan mengungkap selapis demi selapis fakta mengejutkan yang sambung menyambung. Seperti Robin kepada Batman, atau Salander kepada Mikael Blomkvist, atau Adso kepada William Baskerville, Robin membantu menyingkap fakta pokok dalam pemecahan kasus misterius seperti ini. Ia menjadi partner Strike tanpa diinginkan.

Novel ini sangat filmis sejak awal. Adegan dan pikiran setiap tokohnya begitu jelas tergambar dengan gaya penceritaan yang efektif, khas Rowling dalam serial Harry Potter. Semua hal begitu menggoda untuk tak dilewatkan karena kita khawatir lapisan itu akan muncul kemudian sebagai pendukung lapisan yang lain.

Dan London sebagai setting novel ini begitu nyata. Taksi hitam, bar, jalan-jalan, kereta bawah tanah, trotoar, seperti membaca Agatha Christie dengan latar London modern: iPhone, paparazi, dan internet serta Wikipedia yang menyediakan data profil semua orang.

Juga tokoh-tokoh yang punya referensi pesohor Inggris. Lula Landry, misalnya, akan terasosiasi kepada Kate Moss, supermodel Inggris yang juga berkulit coklat dan punya pacar bengal yang doyan marijuana. Ayah Strike mungkin Freddy Mercury, vokalis Queen yang bercinta sana-sini dengan perempuan manapun, karena ibu Strike populer sebagai groupies band rock.

Kekurangan Strike barangkali karena ia tak terceritakan pernah meragukan temuan-temuannya. Saat sendiri di kamar merangkap kantornya karena ia tak punya rumah, pikirannya sibuk oleh nyeri di tungkainya yang diamputasi karena terkena ranjau saat jadi tentara Biro Khusus Investigasi di Afganistan. Atau pusing karena tunggakan utang, kali lain memikirkan tunangan obesesif-jelita yang baru saja ia putuskan.

Tak seperti William kepada Adso dalam The Name of The Rose atau Blomkvist kepada Salander dalam The Girl with The Dragon Tattoo, terlalu sedikit ia melibatkan Robin sebagai partner untuk menguji fakta-fakta. Strike bahkan awalnya tak menginginkan sekretarisnya ini ikut campur penyelidikannya. Tahu-tahu kita disuguhi monolog kesimpulan hasil penyelidikan Strike di depan pelakunya.

Rowling tak membuat jagoannya ini prototif detektif CSI atau NYPD yang berambut spike dan berotot mengkal, selalu berjas, selalu serius, ganteng, rapi, dan wangi. Strike tinggi, besar, gendut, dengan rambut mirip jembut. Kalau difilmkan, pemerannya mungkin John Goodman--aktor yang kerap memerankan polisi gendut yang lucu--dengan tampang murung dan serius.

Kombinasi-kombinasi aneh ini toh bisa nyambung dan logis dalam keseluruhan cerita dengan plot yang ajeg dan terjaga.