Monday, April 20, 2009

WARNA KESUMBA SENI LEKRA

Buku yang merekam gempita kesenian Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dokumentasi penting, tak ada wawancara.

JIKA Fuad Hassan menyebut cerita pendek Indonesia di akhir 1960 penuh warna ungu karena mengeksplorasi renungan, kesedihan, dan rasa frustrasi, bolehlah disebut jika sastra dan seni satu dekade sebelumnya menggelorakan warna kesumba. Tiga buku ini merekam bagaimana seniman-seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat merayakan “realitas sepersis kenyataan”.
Lekra Tak Membakar Buku kita bisa merasakan bagaimana para seniman “kiri” itu mencoba merumuskan definisi “sastra Indonesia” berdasarkan filsafat realisme-sosialis. Buku ini ditulis berdasarkan 15 ribu artikel yang terbit di Harian Rakjat antara 1950-1965. Dari sana kita bisa tahu bagaimana Lekra didirikan, Harian Rakjat diterbitkan, sampai hal-hal sederhana tapi asyik: petinggi-petinggi Partai Komunis Indonesia macam Aidit-Njoto-Lukman menjajakan sendiri koran mereka di stasiun dan pelabuhan.

Sayangnya, dokumentasi penting ini tak dilengkapi wawancara seniman-seniman yang masih hidup, yang namanya menggelanggang, untuk memberi konteks. Sebab di Lekra juga ada penulis nonkomunis, yang menganggap integrasi politik dan seni sangat susah diterapkan. Alhasil, penyusun buku ini merayakan asumsi mereka sendiri ketika memberi komentar dan kesimpulan atas pidato, reportase, laporan-laporan wartawan Harian Rakjat tentang kesenian di kurun itu.

Barangkali karena buku-buku ini diterbitkan dengan tujuan “untuk memberi panggung kepada mereka yang dibungkam.” Kita tahu sejak peristiwa G30S tahun 1965 berita dan karya sastra seniman “kiri” tak lagi punya tempat. Maka konteks tak perlu lagi karena sumber tunggal itu sudah jadi “kebenaran” sendiri. Tumpukan 15 ribu artikel itu ditemukan di sebuah perpustakaan di Yogyakarta yang terkunci di sebuah ruangan terlarang, menguning, dan aus dimakan rayap.

Sebagai dokumentasi, tiga buku ini menjadi penting karena memberi gambaran utuh bagaimana seniman Lekra melahirkan karya-karyanya. Kedua penulis terasa ingin meyakinkan bahwa seniman Lekra dan kesenian kiri tak senajis dan sedangkal yang dikira orang. Tak semua puisi menyajikan kebanalan realitas seperti tampak pada beberapa puisi Agam Wispi dan HR Bandaharo.

Kita pun paham mengapa, misalnya, terjadi perdebatan sengit kubu Lekra dengan seniman yang berhimpun dalam Manifes Kebudayaan. Buku Gugur Merah menyajikan 425 puisi dari 111 penyair. Sementara Laporan dari Bawah menghimpun 97 cerita pendek dari 61 penulis.

Dari dua buku ini kita mengerti mengapa seniman Manifes menolak seni kesumba macam itu: puisi hanya alat memuji Rakyat, cerita hanya reportase yang tak mengejutkan ketimbang sebuah liputan di koran. Realitas pun kehilangan ketajaman dan misterinya. Setiap puisi atau cerita nyaris tak bisa dibedakan tema, gaya, dan penulisnya.

Amarzan Ismail Hamid, yang 15 puisi dan tiga ceritanya dimuat di buku ini, mengatakan pada zaman itu para penulis tak memiliki bahan bacaan yang melimpah sebagai referensi. Bahkan karya-karya realisme-sosialis dari Uni Soviet yang menjadi kiblat penulis Lekra tak tersedia di toko-toko buku. “Apalagi sastra Eropa Timur itu susah dipahami,” katanya. “Para penulis ingin menjadi Marxis tapi tak membaca dan memahami ideologinya.”

Buku Nikolai Chernisevsky, Hubungan Seni dan Realitet, memang sampai ke sini pada 1962 lewat terjemahan Oey Hay Djoen. Sayangnya, kata Amarzan, pandangan Chernisevsky yang menempatkan realitas lebih sempurna ketimbang karya seni justru sedang dikritik di Soviet ketika paham ini mulai diserap di Indonesia.

Hal lainnya: penyusun buku ini agaknya lupa mendefinisikan Rakyat yang selalu ditulis dengan “R” itu. Rakyat macam apa yang memenuhi benak para penulis itu ketika menulis puisi, menggarap lukisan, menulis cerita, membuat tarian. Sebab Rakyat dan realitas itu adalah sumber inspirasi karya-karya mereka. Alhasil, rakyat di buku ini sesosok mahluk gaib yang tak jelas rupa dan bentuknya. Rakyat hanya disebut dalam jargon rumusan ideologi kesenian.

Apapun itu, seperti terbaca di halaman pengantar, penyusunan buku ini hanya menghimpun dan memberi tempat kepada sastra kesumba di tahun 1960-an yang pernah mengharu biru sastra Indonesia. Bukan telaah sastra dari dua sisi.

LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M DahlanEdisi : September 2008Penerbit : Merakesumba YogyakartaTebal : 582 Halaman

GUGUR MERAH (Sehimpun Puisi Harian Rakjat 1950-1965)Penyusun : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M DahlanEdisi : September 2008Penerbit : Merakesumba YogyakartaTebal : 966 Halaman

LAPORAN DARI BAWAH (Sehimpun Cerita Pendek Harian Rakjat 1950-1965)Penyusun : Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M DahlanPenerbit : Merakesumba YogyakartaTebal : 558 Halaman