Tuesday, February 11, 2003

PAGI ATAU SENJA



Pagi atau senja, manakah yang lebih baik? Konon, di Eropa pada abad pertengahan, ketika kota-kota mulai tumbuh, para pekerja merindukan senja. Itulah moment untuk kembali ke keluarga, berkumpul dengan anak-anak, setelah seharian berkutat dengan peluh. Di sebuah wilayah dengan lingkungan industri, senja adalah waktu pulang. Tapi tidak di Jakarta.

Orang-orang menghindari senja. Mereka lebih senang menunggu malam. Meski jam pulang tetap pukul 16 atau 17, para pekerja datang ke rumah ketika hari mendekati larut. Tak ada waktu berkumpul dengan anak-anak. Bukankah setiap anak wajib tidur ketika jam berdentang sembilan kali?

Maka pintu masuk Senayan selalu macet. Di sebuah wilayah yang kesohor di Selatan Jakarta ini, kehidupan justru baru dimulai ketika senja. Ada yang senam, atau joging, sekedar nogkrong, bahkan membuat janji bertemu dengan seseorang. "Saya justru membuat janji bisnis di sini," kata seorang pebisnis.

Setiap kali ada koleganya yang mengajak bertemu, ia selalu menunjuk Senayan sebagai tempat yang nyaman untuk mendiskusikan bisnis. Tapi, pada awalnya, mungkin juga akhirnya, semua orang yang tumplek itu punya tujuan yang sama: menunggu jalan Jakarta sedikit lengang.

Tapi ada juga yang buru-buru. Memacu kendaraan di atas jalanan Jakarta yang licin dan macet. Atau berdesakan di Metromini yang apek, sembari waswas pencopet mengincar dompet. Mereka mungkin sudah atau kadung berjanji untuk membantu mengerjakan PR si buyung untuk diperiksa esok oleh guru kelas. Para pekerja yang buru-buru ini khawatir si upik menekuk muka karena tak bisa kagum pada bapak yang mampu menjawab semua soal. Hanya saja, pekerja yang buru-buru ini tahu risiko bahwa adrenalinnya akan naik sepanjang jalan menuju rumah, tapi mereka memilih menahannya.

Tapi pagi juga bukan pilihan. Tepat ketika matahari mencapai satu titik, yaitu pukul 7, adegan di setiap perempatan di senja itu kembali berulang. Orang, dengan kantuk yang masih menggelayut di pelupuk, berpacu dengan jam kerja yang tak kenal ampun. Waktu adalah uang, kata sebuah pepatah yang sudah ujur tapi masih dipercaya orang ini. Maka ketika orang berpikir bahwa uang akan hilang, setiap mereka akan melakukan apapun agar waktu tak terbuang.

Sopir dan kernet tak mau membuang waktunya karena uang dari setiap penumpang akan tersalip dan jadi rejeki kernet dan sopir lain. Mereka akan memacu angkutan dengan ngebut, tanpa menghiraukan dirinya sendiri ditunggu istri dan anaknya di rumah. Atau berdiam diri di tengah lalu lintas yang padat. Para pekerja saling salip agar tak telat mengisi kertas absen.

Kemacetan dan rudinnya lalu lintas selalu saja meninggalkan satu soal: pertumbuhan ekonomi tak dibarengi pertumbuhan birokrasi. Kota dengan lambangnya kelas menengah selalu akan menciptakan gengsi. Kelas menengah adalah mobil, apapun mereknya. Dan mobil akan meluncur mengisi setiap meter jalan Jakarta, hingga mereka tertahan di setiap perempatan. Birokrasi tak cepat merespon pertumbuhan dan gengsi kelas menengah itu. Lebih parah lagi, birokrasi kita nomor satu di Asia sebagai sarang "perampok".

KHALIL GIBRAN DI ATAS BUS *



Sekeping rembulan rebah di saku baju
sekeping hati mencari di langit biru


Dua baris puisi Khalil Gibran itu meluncur ringan dari mulut Pace (24) di bus Mayasari Bhakti AC 49 Tanjung Priok-Blok M, Jumat (7/2) sore. Suaranya parau. Pace mengucapkannya tanpa teks. Ia juga mengutip puisi dan kata mutiara para penyair dan filsuf besar lain, juga tanpa teks. Ia misalnya mengutip pepatah lain "dari seorang pintar Jerman": Hidup adalah lelucon bagi orang yang berpikir, tapi hidup adalah tragedi bagi orang yang terlalu memendam perasaan".

Pace bukan mahasiswa filsafat atau aktivis suatu organisasi. Ia hanya seorang pengamen. Pendidikannya pun cuma tamat Sekolah Teknik Menengah pada 1997-1998. Tapi ia hapal beberapa lirik syair Khalil Gibran. "Saya suka Khalil Gibran, syairnya bagus," katanya setelah kami turun di Grogol dan saya bisikan minta wawancara.

Sayang, pemuda kurus, hitam, dan gondrong itu, tidak ingat siapa orang pintar Jerman yang baru saja ia kutip kalimatnya. "Benar, kok, saya pernah membaca kalimat itu. Tapi lupa di buku apa, ya?" katanya. "Artinya jika kita ngoyo menjalani hidup, hidup akan terasa kejam," kata Pace menjelaskan. Maka, tutur Pace dengan semangat, "Hidup harus diperjuangkan."

Ia mengaku mengerti betul arti kata mutiara itu. Maka Pace pun mengamen di bus-bus yang menuju dan meninggalkan terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, setelah ia mencoba melamar pekerjaan namun tak ada yang mau menerimanya. Ia sudah kenal komunitas terminal sejak masih sekolah, yaitu pada 1996. Sejak lulus sekolah ia memutuskan meninggalkan rumah orang tuanya di Marunda, mencari sendiri biaya hidup, dan tinggal di rumah kos di daerah Timbangan.

Saat mengamen ia ditemani Budi (24). Keduanya bertemu di terminal setahun lalu dan memutuskan kos dan mengamen bareng. Pace mengaku terus memikirkan bagaimana teknik mengamen agar orang tak bosan. Ia tahu penumpang dari dan ke Tanjung Priok sebagian besar adalah pekerja yang setiap hari, tentu saja, orangnya itu-itu juga. Maka, selain membacakan kutipan tulisan para filsuf, kadang-kadang Pace membawakan monolog, kali lain campuran antara monolog dan lagu, campuran ketiganya sekaligus, atau membawakan puisi dan lagu bergaya penyiar radio bergelombang 49,9 FM..

Tema yang diusung dalam monolog, atau dialog dengan Budi, Pace kerap membawakan tema politik yang sedang hangat di Jakarta. Misalnya, ia menyoroti kebijakan pemerintah yang menaikan harga bahan bakar minyak, tarif telepon, dan listrik yang berujung maraknya demonstrasi mahasiswa. "Keadaan sudah susah, malah ditambah susah," katanya. Pengetahuan itu mereka dapat dari membaca koran.

Pace juga hapal teks Proklamasi versi penyair Hamid Jabbar yang dibawakan saat pentas di Taman Ismail Marzuki pada 1999. Pace menonton Hamid lalu menghapalkannya. Saat menyinggung kondisi politik, Pace berteriak, "Kami atas nama bangsa Indonesia dengan ini menyatakan proklamasi kedua kali. Mengenai hal-hal yang menyangkut hak asasi manusia serta utang pitung negara yang tak ada habis-habisnya, Insya Allah akan habis atas terselenggaranya pemerintahan secara bersama dan seksama..."

Setiap hari, kata Budi, mereka mengantongi Rp 40-50 ribu. "Tapi tergantung," timpal Pace, "itu kalau tanggal muda, kalau tanggal tua paling cuma Rp 30 ribu." Uang itu mereka gunakan untuk bayar kos yang sebulannya Rp 125 ribu, makan, ditabung, beli buku Gibran, dan koran. "Lumayanlah bisa beli sepatu" kata Budi menunjuk sepatu koboy yang dipakainya.

Keduanya sadar, penumpang bus kerap menganggap pengamen sebagai anak jalanan yang beringas. Maka, saat membawakan dialog, Pace berusaha tampil lucu. Misalnya, ia pura-pura salah, atau mengutip kata-kata filsuf dua kali, lalu berkomentar sendiri itu sudah diucapkannya saat ia membuka "pertunjukannya". Citra buruk itu, kata Budi, karena banyaknya pengamen yang meminta uang dengan memaksa, mencopet, atau menodong. "Di Tanjung Priok tidak ada yang seperti itu. Kalau ada, sudah kami gebukin rame-rame," katanya.

Karena penumpang bus sebagian besar pekerja, Pace dan Budi sudah berangkat dari rumah pukul 06.00 dan baru pulang di atas jam 21.00. "Kalau jam sewa uangnya suka banyak," kata Budi. Jam sewa adalah waktu ketika para penumpang berangkat dan pulang dari tempat kerja. Maka, setiap pagi dan sore itu, Pace selalu teriak, "Hidup adalah lelucon bagi orang yang berpikir..." Keduanya pun tersenyum jika hasil mengamen melimpah.