Sunday, September 28, 2003

KAMPUS KITA


Ini survei kecil-kecilan di kantor. Beberapa teman, saya tanya tentang kebanggaan terhadap almamaternya. Saya terkejut bahwa mereka ternyata lebih banyak mengatakan kecewa. "Masuk ke sana bikin patah semangat," kata alumni Unpad. "Tak ada yang saya dapat dari 7 tahun kuliah selain pertemanan yang menyenangkan," ini suara alumni ITB. "Bagaimana, ya, 4 tahun belajar di sana setara dengan setahun belajar di sini, bahkan lebih banyak yang bisa diserap di sini," alumni IPB juga mengatakan hal yang tak beda.

Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa setiap alumni itu mengira sekolah di kampus lain lebih menyenangkan. Alumni IPB, misalnya, menganggap kuliah di UI lebih menyenangkan karena lebih terbuka dan demokrtis, meski penilaian itu jadi bahan tertawaan alumni UI sendiri. Tapi, begitulah, walau ini survei yang jauh dari mewakili apa yang sebenarnya terjadi. Ini survei yang hanya obrol-obrolan saja.

Barangkali, memang, belajar tidak menyenangkan di sini. Mereka merasa telah salah masuk fakultas bahkan salah masuk perguruan tinggi. Seorang teman yang menyukai sastra dan humaniora tentu saja jengkel saat kuliah di IPB yang isinya hanya menghapal dan menghapal. Ia punya daya ingat yang lemah terhadap angka-angka dan definisi.

Apa boleh buat, soal ujian memaksanya bekerja keras menghapal definisi dan pengertian dari suatu istilah yang diucapkan si dosen. Akhirnya indeks prestasinya anjlok saat mau wisuda. Padahal, saya tahu, ia seorang yang cerdas karena punya perspektif sendiri tentang sesuatu. Ia selalu punya sudut pandang berbeda jika kami berdiskusi, dan pikirannya terasa benar. Mereka merasa tertipu dengan gambaran yang dijual universitas tentang jurusan dan produk yang dihasilkan saat masih SMA dulu.

Maka si teman ini, saya tahu, menenggelamkan diri dengan bacaan yang tak ada hubungannya dengan pelajaran di ruang kuliah. Selama 4,5 tahun kuliah, setahu saya, tak satupun buku teks yang ia punya. Waktu ujian ia sibuk mencari fotocopy catatan kuliah teman lain yang rajin mencatat apa kata si dosen. Ia hanya berbekal bahan itu saja untuk menjawab setiap soal ujian. "Toh, tak ada hal lain di luar catatan ini," katanya, "tak ada persepektif yang harus digali di soal ujian dengan membaca buku teks aslinya."

Mungkin saya salah menanyai orang yang kini bekerja tak sesuai dengan ilmu [jika benar itu disebut ilmu] yang didapatnya di bangku kuliah. Rata-rata orang yang bekerja di kantor ini mengaku menempuh jalan yang salah tapi menyenangkan. Mereka melamar jadi wartawan dan kemudian bekerja jadi pewarta hanya karena dorongan keinginan untuk jadi penulis. Alasan lainnya, tak ada pekerjaan lain yang lebih cocok dan menyenangkan selain jadi wartawan. Karena setiap orang di sini rata-rata punya latar belakang pernah mengelola majalah atau buletin di kampusnya.

Saya sendiri merasakan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. 4 tahun kuliah, yang paling saya suka dan masih teringat adalah saat kumpul-kumpul usai kuliah di kantin atau di lorong ruang-ruang kuliah. Saya bisa menyerap lebih banyak informasi dari teman lain dibanding dari dosen yang hanya sekali bertemu selama dua jam setiap minggu. Pengetahuan lainnya diperoleh saat kongkow di kos sambil lihat televisi dan baca koran atau nongkrong di warnet kalau punya uang sisa bulanan. Kuliah hanya rutinitas saja, selain karena dorongan bisa ketemu dan ngeceng cewek di kelas yang lumayan manis.

Tapi hal-hal di luar ruang kelas itu, ternyata, yang kelak menjadi bekal membentuk bagaimana cara berpikir kita. Toh, jika harus mendeteksi suatu pohon dari daun dan baunya kita bisa melihat ensiklopedi atau kamus dendrology. Maka, sungguh mengherankan, bagaimana setiap dosen mengawasi kita di ruang ujian dan memberi sanksi pada mereka yang saling berbisik di belakang atau mengintai mahasiswa yang membawa kepe-an. Padahal, di luar ruang kelas itu kita saling contek informasi dan menyerapnya jadi pengetahuan.

Dan dunia mencatat orang seperti Totto-chan yang berhasil menimba pengetahuan setelah ia diusir dari sekolah. Atau Albert Einstein yang bloon dan selalu mendapat rapor merah. Ada banyak lagi orang yang justru bisa mengubah jalan hidup banyak orang padahal mereka tak mengenyam ilmu dari sekolah. Maka, apa gunanya STPDN memukul dan menendang mahasiswa dan mengerangkeng diri di dalam tembok kampusnya, menutup terhadap akses dunia luar yang mungkin justru akan membawa sumber ilmu pengetahuan baru.

Monday, September 22, 2003

ANAK-ANAK




Setiap anak datang dengan membawa satu pesan Tuhan: bahwa manusia masih dipercaya meneruskan hidup. Itu kata-kata penyair India yang masyhur, Rabindranath Tagore. Penyair ini, begitu mencintai dunia anak-anak, dan menceritakan dengan menggugah di setiap syair dan ceritanya. Bagi Tagore, dunia anak adalah dunia yang tak menyimpan tanda tanya. Dunia yang apa adanya, terbuka, suci.

Tapi, apa yang tersirat dalam dunia setiap anak kini? Barangkali kita sulit merumuskan dunia anak yang hidup di zaman kekwahatiran para orang tua. Dunia anak adalah dunia yang sudah dirumuskan oleh mereka yang bukan anak-anak. Mereka dicetak untuk satu tujuan hidup yang menyenangkan, bukan memilih hidup yang menyenangkan.

Roland Barthes, leksikolog Prancis ini, menyebut bahwa orang dewasa seringkali menganggap anak adalah (se)orang dewasa yang lebih kecil. "Mereka menganggap dunia anak adalah tiruan dunia orang dewasa," kata Barthes. Pernyataan ini ditulisnya melalui sebuah esai pendek yang memikat berjudul Toys.

Lihatlah, kata Barthes, bagaimana orang-orang dewasa menciptakan mainan yang lebih kecil dari mainan orang dewasa. Mobil-mobilan, traktor, pesawat terbang, dan pelbagai mainan lainnya yang dimainkan pula oleh orang dewasa. Jadi apa bedanya dengan orang dewasa? Kita lupa bahwa anak-anak punya imajinasinya sendiri tentang dunianya.

Barthes mungkin salah, atau mungkin juga benar karena ia memotret mainan-mainan yang dipajang di toko-toko Paris. Dia salah karena sewaktu kecil saya malah sibuk dengan mencipta. Mainan kami adalah mainan yang dibuat sendiri. Mobil dari potongan kayu, atau kulit jeruk Bali, dengan roda bekas sandal yang dicetak bulat. Kali lain membuat orang-orangan dari lempung atau daun singkong. Lebih sering kami membuat wayang golek dari lempung. Kainnya kami jahit sendiri, lengannya kami buat sendiri. Dan wayang golek itu kami mainkan dengan kisah yang kami reka sendiri, misalnya, kami ingin punya lapang bola sendiri.

Kami bebas mengkreasi akan dibuat apa lempung-lempung itu. Meski pun mainan itu juga meniru dari objek yang sudah ada, paling tidak kami berusaha sendiri. Menginginkan mobil dari plastik yang bentuknya persis menyerupai bentuk aslinya, hanya jadi mimpi saja, karena selain mahal juga harus dicari ke kota. Orang-orang tua kami pasti tidak mau sengaja ke kota dengan ongkos mahal hanya beli mainan. Alih-alih dikabulkan, kami pasti kena marah.

Dunia anak adalah dunia yang tak ada tanda tanya, kata Tagore. Maka biarkanlah ia bertanya dan menikmati dunianya.

* untuk yang mau punya bayi

BDL, 21903

Thursday, September 18, 2003

ROSEWOOD



Beberapa hari lalu Trans TV menayangkan film Rosewood. Bagi saya, film yang dibikin tahun 1997 ini, bercerita tentang Indonesia tahun itu. Kisahnya dimulai ketika veteran Perang Dunia I vet Mann (Ving Rhames) datang ke perkampungan Rosewood yang tentram tapi menyimpan hasut.

Mann ingin mengasingkan diri dari masa lalu yang dekat dengan kematian juga hiruk pikuk salak senapan. Ia ingin ngaso dari hidupnya yang capek. Mantan tentara angkatan darat kulit hitam ini kemudian berkenalan dengan keluarga Bibi Sarah (Esther Rolle) dan jatuh cinta kepada salah satu cucunya, Scrappie.

Rosewood adalah sebuah pemukiman di hutan rawa Florida abad 19 yang berisi orang kulit putih dan hitam. Mereka bertetangga, tapi tak cukup akrab. Yang kulit hitam bekerja pada kulit putih atau bertani. Yang bule bekerja sebagai sheriff, berdagang, dan pekerjaan terpandang lainnya. Selintas perkampungan ini tentram dan nyaman: orang kulit hitam pesta menari tiap malam di halaman. Orang kulit putih juga tekun bekerja dan tidur tanpa terganggu. Orang kulit hitam dan putih bekerjasama dalama tata niaga atau calo tanah.

Tapi, ketentraman itu dirusak oleh Fannie Taylor (Catherine Kellner), seorang perempuan kulit putih yang gemar berselingkuh. Ia bercinta dengan ganas dengan laki-laki kulit putih selingkuhannya ketika suaminya bekerja di perkebunan. Dasar selingkuhan, hubungan pun hanya sebatas seks, yang sedikit sadomasokis. Tiap kali selesai bercinta, tubuh Fannie biru lebam. Ia tak tahan dan kemudian ribut dengan selingkuhannya itu suatu siang. Fannie dipukuli hingga hampir telanjang. Ia menjerit tiap kali ujung sepatu selingkuhannya menghantam dagu dan punggungnya. Jeritan itu kelak terdengar oleh Bibi Sarah, yang kerja sebagai pembantu di keluarga Taylor.

Bukannya menyesal, eeh, si Fannie malah lari keluar rumah dan teriak-teriak bahwa ia diperkosa oleh seorang kulit hitam bertubuh tinggi besar. Rosewood yang damai pun gempar. Sheriff Walker (Michael Rooker), polisi yang tak dihormati warganya, segera mengumpulkan para lelaki dan anjing pelacak untuk mengendus jejak si pemerkosa. Anjing kemudian sampai di rumah seorang kulit hitam yang baru didatangi selingkuhan Fannie untuk membeli kuda. Si kulit hitam pun jadi terdakwa dan mati digantung. Dalam sekarat ia menyebut sebuah nama: Jesse Hunter, yang tak lain selingkuhan si Fannie itu.

Setelah itu adalah konflik yang diseret antara kulit hitam dan putih. Siapapun yang berkulit hitam adalah mereka yang bersalah. Siapapun lelaki negro adalah dia bernama Jesse Hunter. Keadaan jadi kacau, karena para lelaki bule jadi kerasukan setan dan membunuh siapapun kulit hitam, tak peduli anak-anak, orang cacat, atau perempuan. Rumah negro dibakar ramai-ramai. Tuduhan pun kemudian dialamatkan ke Mr Mann, seorang asing yang tak jelas tujuan kedatangannya. Ia diburu untuk satu tujuan: bunuh!

Mann kemudian terjebak dalam hidup yang tak ingin kembali dialaminya: bergerilya dan berperang. Ia harus menyelematkan anak dan cucu Bibi Sarah dari amukan orang bule. Ketika datang ia bertemu dengan John Wright (Jon Voight), seorang kuilt putih kaya yang buka toko senapan untuk berburu. Mereka punya kesamaan, karena Wright adalah veteran perang dari angkatan laut. Melalui Wright inilah, anak-cucu Bibi Sarah selamat dilarikan keluar Rosewood. Wright adalah pahlawan bagi kulit hitam, dan pengkhianat bagi kulit putih. Rumahnya nyaris dibakar karena menyembunyikan puluhan kulit hitam.

Tapi Wright bukan tanpa cacat. Ia adalah pedagang yang culas dan kemaruk. Ambisinya menguasai seluruh tanah pertanian Rosewood. Nuraninya luluh ketika menyaksikan Mann jungkir balik menyelamatkan anak-cucu Bibi Sarah yang baik menyebrang rawa-rawa yang ganas.

Film ini berakhir dengan selamatnya anak-anak kulit hitam yang kelak menggugat warga kulit putih ke pengadilan dan memenangkan perkaranya, berkat kesaksian Wright. John Singleton, sutradara film nyata ini, tak membawa kisahnya menjadi ajang balas dendam. Film yang bagus ini berakhir dengan senyum getir Mann dan kelelahan di wajahnya, sebuah sikap yang mengingatkan kita pada korban di Aceh, Ambon, Sambas, Sampit, Poso atau Papua.

Monday, September 15, 2003

BOGOR




Bogor adalah kota yang aneh. Kota ini tak pandai menyimpan kenangan. Tak ada hembus angin gunung lagi. Tak ada gerimis yang mempercepat kelam lagi. Tak ada gerimis kuning yang jatuh tersorot lampu-lampu jalan lagi. Tak ada wangi bunga randu dan gugurnya daun sonokeling yang sewaktu muda berganti warna hijau, biru, dan kuning setiap senja. Sejarah seperti lenyap.

Bogor kini sudah menjadi sebuah kota yang sebenar-benarnya kota. Sebuah lansekap, kata Aristoteles, tempat transaksi pelbagai keinginan dan ketidakinginan. Kota menyediakannya untuk para pendatang.

Rumah-rumah tua yang dulu berderet sepanjang Jalan Pajajaran kini tak lagi menampakan ketuaannya. Ia menjadi muda, modis, modern. Rumah tua bercorak tropis berganti dengan Factory Outlet yang memasang gambar perempuan pirang memakai sweater. Ketika berjalan di trotoar di depannya, pohon-pohonnya tak mampu menghadirkan kenangan-kenangan lima atau tujuh tahun lalu. Angin hanya lewat menebarkan ketergesaan. Tak ada bencong lagi di sini, yang dulu kerap menggoda mahasiswa yang melintas yang terlambat pulang sehabis nonton di bioskop.

Bau tanah basah juga tak seharum wangi gunung. Dulu, hujan dan gerimis menghembuskan angin gunung ketika saya tersiksa menghapal rumus Kimia yang tak kunjung masuk kepala karena sedang jatuh cinta. Hujan dan gerimis kini masih ada di Bogor tapi tak sanggup menghadirkan suasana itu lagi. Angin dari hujan sudah berganti bau monoksida.

Bogor kini tengah menghianati namanya sendiri, Buitenzorg--sebuah kata Belanda yang merujuk pada arti istirahat. Pohon-pohon besar yang merungkup jalanan, sehingga jalanan yang sepi seperti lorong, tak menghembuskan lagi aura angker. Cerita lisan menyebut sering ada hantu tak berwajah yang menggoda mahasiswa yang pulang telat sehabis praktikum. Hantu itu kini mungkin sudah ogah menghuni pohon-pohon itu lagi.

Kota ini sedang berdandan dan mungkin akan meniru tetangganya: Jakarta. Jalanan tak cukup menampung seribusatu angkot yang berdesakan saling mendahului. Bunyi klakson dan bentakan sopir kini sudah mirip bentakannya sopir-sopir metromini di Blok M. Pengemis, makin hari makin bertambah, juga pak ogah di setiap perempatan. Bogor memang kota yang aneh.

Tuesday, September 09, 2003

MENELISIK AGAMA DENGAN PSIKOLOGI




Suatu kali, seorang sahabat menemui Nabi Muhammad s.a.w. Maka terjadilah dialog ini.

"Ya, Rasul," kata sahabat itu, "apakah agama itu?"
"Agama adalah akhlak yang baik," jawab Nabi.
Sahabat itu kemudian mendatangi nabi dari sebelah kanan.
"Ya, Rasul, apakah agama itu?" ia mengulang pertanyaanya.
"Akhlak yang baik," ulang Nabi.
Kini si sahabat mendatangi dari sebelah kiri dan bertanya serupa. Kemudian ia melontarkan pertanyaan yang sama dari belakang nabi. Muhammad pun menolehnya.
"Belum jugakah engkau mengerti?" kata Rasul, "Agama itu akhlah yang baik, misalnya, jangan engkau marah."

Cerita lain datang dari film Vertical Limit. Di Everest yang ganas tiga pendaki terjebak dalam badai salju. Pertolongan dikirim. Salah seorang tim SAR bernama Kareem Nazir yang berjalan bersama seorang Amerika, yang Kristen, yang tak pernah ke gereja, nakal, sembrono, tapi lucu. Kareem adalah seorang pendaki yang taat. Ia salat tiap kali datang waktu sembahyang.
"Kau percaya surga, Kareem?," tanya si Amerika. "Aku tidak. Tapi aku percaya ada neraka."
Kareem berbalik. "Kenapa kau merisaukan keadaan surga dan neraka. Kewajiban hidup adalah berbuat baik."

Jarak antara kejadian zaman nabi itu dengan produksi Vertical Limit terbentang ribuan tahun. Tapi, keduanya punya hubungan dengan menyajikan konsep yang sama tentang sebuah pertanyaan: Apakah agama? Jalaluddin Rakhmat membedah persoalan itu dalam bukunya ini: Psikologi Agama, Sebuah Pengantar.

Peluncuran buku itu sekaligus memperingati ulang tahun Jalal yang ke-54 di pusat belanja D'Best Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jalal ulang tahun pada 29 Agustus pekan lalu. Penerbit Mizan berencana menerbitkan satu buah buku karya Jalal setiap perayaan ulang tahun kyai yang juga dosen Komunikasi Massa di Universitas Padjadjaran itu. Acaranya meriah dengan menghadirkan pembahas rohaniwan Franz Magnis-Suseno, akademikus Zakiah Daradjat, dan psikolog Sartono Mukadis.

Pesertanya pun tak kalah heboh. Function Hall penuh sesak oleh peserta bedah buku yang sebagian besar ibu-ibu yang datang dari Bandung dan Jakarta. Sebelum bedah buku dimulai beberapa pertunjukan seni digelar seperti nyanyian ibu-ibu pengajian Az-Zahra dan Al-Munnawarah pimpinan Jalal, juga pentas teater Agama Intrinsik versus Agama Ekstrinsik. Pertunjukan seni yang jauh lebih panjang dibanding acara bedah bukunya sendiri. Hingga acara molor satu jam dari jadwal yang ditetapkan.

Judul pentas teater itu kembali menjadi ruh utama buku Jalal kali ini (sebelumnya ia sudah menerbitkan buku dengan judul serupa). Pengertian intrinsik dan ekstrinsik dikutip Jalal dari bahasan G.W. Allport dalam bukunya The Individual and His Religion: A Psychological Interpretation (Macmillan, New York, 1950).

Dalam pentas teater itu, agama ekstrinsik digambarkan dengan adegan pengajian yang "santrinya fungky-fungky dan ustadznya genit-genit". Sedang agama intrinsik ditunjukan dengan nyanyian memuji Muhammad s.a.w. "Muhammad ya Rabbi/Hamba yang hina dina/Seperti siang dan malam/yang patah dan setia....

Dalam pengantarnya, Jalal mengaku banyak menyimpan tanya tentang agama yang dianutnya, dimulai ketika mendapat Fullbright sekolah di Iowa State University, Amerika Serikat. "Saya tertarik bagaimana saya dan orang lain menjalankan agama," tulisnya. Ia mendapat jawab yang pendek setelah membaca buku Allport: orientasi keagamaan orang-orang itu bermacam-macam. "Dari situ saya berangkat menjelajah psikologi agama..."

Penjelajahannya itu memaksanya melihat polah orang-orang dalam memahami kemudian mengamalkan agama yang diyakininya. Ada yang terpesona oleh keimanan dan Tuhan lalu menjalankan agamanya dengan sahaja. Tapi, ada juga yang memahami agama dengan mengamalkannya melalui ritus-ritus spiritual seperti prosesi pencukuran bulu di seluruh tubuh oleh pengikut Salamullah pimpinan Lia Aminudin. Bom Bali tak luput menjadi contoh bahasan tentang militansi muslim.

Jalal menelisik beragam polah penganut agama itu dengan memakai perangkat ilmu psikologi. Tapi, buku yang tipis itu tak menjawab pelbagai pertanyaan Jalal sendiri tentang "bagaimana saya dan orang lain menjalankan agama". "Seharusnya," kata Sartono Mukadis melontarkan kritik, "judul buku ini adalah Psikologi dan Agama."

Kritik Sartono diamini Romo Magnis. "Karena Kang Jalal belum sampai menganalisis keduanya," katanya. Enam bab buku ini baru membahas bagaimana benturan ilmu dan agama menjadi sejarah panjang benturan peradaban manusia, bagaimana para psikolog memandang agama dan keyakinan, seperti apa sebuah keyakinan mendorong penganutnya berbuat apa saja untuk melepas dahaga rindu pada Tuhan. Untuk itu, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menyarankan agar Jalal menambahkan bahasannya yang lebih mendalam melalui buku berikutnya. Itu memang rencana Jalal dan Penerbit Mizan. Jalal berjanji setiap bab buku itu akan dibahas sendiri melalui buku berikutnya.

Tapi, kata Jalal, itu jawaban sendiri mengapa ia menyisipkan kalimat "sebuah pengantar" di bawah judul bukunya itu. "Saya menulis buku ini dengan tergesa-gesa," katanya. Tapi, ketergesaan Jalal masih juga mencantumkan referensi yang luas. Di setiap halamannya, tokoh-tokoh psikologi klasik hingga posmodern bertebaran di hampir setiap halaman buku setebal 247 halaman plus 18 halaman pengantar itu. Kalimat-kalimatnya cair dengan sisipan beberapa kata lucu di sana sini. Jalal mengutip dengan ringan senandung kematian Tuhan Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra, atau mengutip teori psikoanalisa Sigmund Freud. "Buku referensinya tak satupun yang ditulis orang Islam," kata Zakiah Daradjat.

Memang bukan terpaku pada Islam saja Jalal mencari jawab hubungan antara dorongan keimanan dengan agama. Ia juga menyajikan pelbagai contoh perilaku umat banyak Tuhan, ateis, atau pengikut seorang imam yang fanatik dengan pelbagai bentuk ritual ibadahnya. "Buku ini menjadi penting karena langka," puji Magnis. Meski bukan orang pertama yang mengangkat tema ini, menurut Magnis, buku Jalal menjadi penting karena hingga kini sangat sedikit buku yang membahas sekaligus memadukan psikologi dan agama yang ditulis oleh orang Indonesia. Zakiah Dardjat, disebut Jalal, sebagai ibu psikologi agama di Indonesia. Karena untuk pertama kalinya peraih doktor pertama bidang psikologi ini menulis buku Ilmu Jiwa Agama pada 1970.

Padahal, tutur Magnis, agama dan psikologi sangat erat hubungannya. Meski banyak ditulis dalam literatur di luar negeri, menelisik dan membenturkan agama dengan psikologi tak habis-habis ditulis orang. Magnis memberikan alasan untuk itu. Katanya, pengertian agama yang datang dari manusia bisa keliru. "Psikologi bisa membantu beragama lebih baik," katanya, "sedangkan agama bisa belajar dari psikologi dengan pengalamannya yang luas".

Buku ini penting, kata Magnis, sehingga ia sendiri akan menggunakannya sebagai bacaan wajib mahasiswanya yang belajar filsafat ketuhanan. Tapi, Sartono melontarkan kritik yang lain. Katanya, buku ini berpotensi dijadikan buku teks di universitas namun cara pandang Jalal terhadap penganut agama harus diubah dulu. Jalal, dengan bahan bacaannya, ikut mempercayai bahwa seseorang yang ateis adalah mereka yang kehilangan figur bapak dalam hidupnya, seperti Nietzsche. "Ini tafsiran Kang Jalal sendiri," katanya. Menurutnya, sebuah buku teks harus netral dengan tidak memakai stereotipe terhadap objek bahasan.

Karena agama intrinsik dan ekstrinsik pun kemudian mengalami evolusi. Di kalangan psikolog setidaknya ada empat tipe keberagamaan di kalangan umat-umatnya. Lalu manakah yang benar, ekstrinsik atau intrinsik? Jalal tak memberi jawab atas pertanyaan ini, karena memang tak perlu dijawab. Tapi, Romo Magnis memberi titik terang. "Allah tak akan pusing menyelesaikan masalah keragaman agama," katanya.

Dari bahasan dengan referensi yang luas tentang psikologi dan agama itu, Jalal sampai pada kesimpulan bahwa kesucian akan mengantarkan orang pada kerendah-hatian. Seperti sabda Nabi, beragama tak perlu dengan sikap marah. Sikap yang ditunjukan Jalal sendiri, sehingga peluncuran bukunya meriah oleh para peminat buah pikirannya. Usai bedah buku ia pun harus rela tertunda makan siangnya karena peserta antri untuk mendapat tanda tangan penulis buku Psikologi Komunikasi yang fenomenal itu.