Thursday, August 27, 2009

TENTANG KISAH SETAHUN LALU



TAHUN lalu, menurut perhitungan Hijriah, kami duduk di taman ini, Taman Amir Hamzah di Matraman, Jakarta Pusat, setelah hujan yang selintas, sebelum waktu berbuka tiba. Hari ini, tahun ini, peristiwa itu seperti terulang: kami duduk di bangku tembok yang sama, menghadap ke arah yang sama, dengan perut keroncongan yang sama, dengan pemandangan taman dan hilir mudik orang-orang yang sama. Bahkan penjual es buah di pojok jalan juga sama, dengan arah gerobak dan posisi yang sama.

Betapa setahun adalah waktu yang cepat. Situasi setahun lalu tak ada beda.
Nasib kami masih seperti tahun lalu, dengan rutinitas yang sama seperti tahun lalu, bahkan dengan perasaan yang sama tiap kali menempuh puasa dan menanti waktu buka. Seseorang dari kami curiga jangan-jangan nasib abang penjual es buah juga tetap sama, dengan rambut tetap gondrong dan tubuh ceking, dengan senyum dan raut muka yang tak berubah ketika mengucap terima kasih sesaat setelah menerima uang. Seingat saya harga es buah juga sama dengan setahun lalu: Rp 5.000 semangkuk.

Yang lain barangkali hanya ingatan yang berkerumuk. Peristiwa terjadi antara dua Ramadan. Tapi praktis ingatan itu tak mengubah sedikitpun lanskap kenangan saat duduk di bangku taman itu sambil menyeruput sop buah dan melumat beberapa risol. Ingatan itu hanya mewarnai cara kita mensyukuri apa yang kita dapat, bahwa hidup tetap berjalan tanpa bisa kita cegah--ditandai dengan buah dan bahan-bahan risol yang berbeda dengan setahun lalu--meski kita tak memberi perubahan berarti ke dalamnya.

De ja vu adalah momen yang mengasyikan ketika kita sampai pada sebuah syukur.

Friday, August 21, 2009

KANSAI



-- untuk m

Ketika dingin menghembus bumi
ketika lampu-lampu siaga di teluk ini
kemana lagikah akan kita cari
anak yang bermimpi tentang nagasaki?

Osaka hanya sebuah singgah
ketika orang tersesat di gedung tengadah
kemana lagikah hendak kita tanya
bahkan setelah kiyamijudera?

Kecemasan ini, cintaku
selamanya tak akan bisa kita mengerti
sebab kudengar ia memanggilmu
"Ibu, ibu, aku masih di sini
di rahim ketakutanmu."

Maka
sebelum cahaya mengusir salju
sebelum lampu susut kelabu
berbaringlah di gerbong-gerbong arashiyama

aku segera memasukimu

2008

Thursday, August 20, 2009

TAK ADA MELATI DI JAYAGIRI



TAK ada melati di Jayagiri, tak ada tatapan penuh kasih, hati yang teduh, dan kecupan yang lembut. Yang ada adalah deru trail dan matahari menerobos lebih leluasa. Orang berlomba naik ke Tangkuban Parahu dengan sepeda motor, menerabas gawir-gawir yang rimbun, mengotori daun-daun dengan karbon monoksida, menderu campur debu...

Jalan-jalan pun banyak bercabang. Tebing-tebing hanya menyisakan bekas trek yang sudah tak dilewati pendaki, tapi tetap gundul karena pohon enggan hidup di sana lagi. Kini tumbuh trek-trek baru yang landai karena digilas roda motor, diinjak para pencari rumput, diteruskan para pendaki.

Pohon-pohon terluka oleh vandalisme. Di sebuah akasia, misalnya, tertoreh "Aku cinta padamu, Ratna...." dengan bulat hati tertancap anak panah. Betapapun ini romantika vandalisme tahun 80-an, cara menyatakan cinta begitu abadi dari generasi ke generasi. Betapapun itu melukai mahluk hidup yang lain. Akasia itu akan menanggung luka itu seumur hidupnya, tanpa bisa meneruskan pesan itu kepada Ratna, Rini, Riri...

Jayagiri kini begitu panas, kotor oleh sampah plastik dan bekas bungkus makanan sepanjang jalan. Pinus meranggas seolah tahu nasib mereka tak akan lama lagi. Pemerintah sudah menunjuk sebuah perusahaan untuk membabatnya, menggantinya dengan kebun kopi, mungkin bangunan-bangunan yang mentereng. Jayagiri barangkali segera akan tinggal kenangan. Anak-anak kita akan tahu kelebatan dan keteduhannya hanya dari lagu Iwan Abdulrahman yang diciptakannya tahun 1967.

Saya mendaki punggungnya 16 Agustus lalu dan kecele: tak ada bau embun yang bersarang di ujung-ujung daun, tak ada desau pinus dan humus yang lunak, tak ada harum angin, tak ada hutan kelabu meski sudah hujan, tak ada rimba, tak ada melati, keindahan tumpas di Jayagiri....

Tuesday, August 18, 2009

LIPUTAN INVESTIGASI*



Bagja Hidayat**



Seorang terpelajar harus adil sudah sejak dalam pikiran...
[Pramoedya Anant Toer, Bumi Manusia]



Rapat redaksi Tempo, 2014.
SEBUAH liputan investigasi seringkali dimulai dari pertanyaan sederhana. Liputan tentang tambang emas di Busang, Kalimantan Timur, oleh Bondan Winarno pada 1997 dimulai dari pertanyaan: kenapa mayat Michael de Guzman cepat sekali ditemukan di kelebatan hutan tropis Kalimantan? Padahal, banyak pesawat jatuh tak diketemukan bangkainya hingga sekarang.

De Guzman adalah seorang ahli eksplorasi perusahaan penambangan emas Bre-X asal Filipina. Ia yang menyampaikan bahwa Busang menyimpan cadangan emas dalam jumlah banyak. Bre-X kebanjiran duit dari investor yang ingin membeli sahamnya di bursa saham Toronto, Kanada.

Tiba-tiba ia dikabarkan mati dengan terjun dari helikopter yang membawanya. Mayatnya ditemukan mengambang di rawa tiga hari kemudian. Kecurigaan Bondan bekerja: bagaimana bisa benda seberat 80-90 kilogram jatuh dari ketinggian mengambang di hutan rawa?

Liputan Bondan kemudian menemukan bahwa Guzman memalsukan kematiannya untuk menghindari jerat hukum karena Busang ternyata hanya pepesan kosong. Wartawan yang kini terkenal sebagai pembawa acara kuliner di televisi itu berhasil membuktikan bahwa itu mayat orang lain. Berdasarkan cerita keluarganya, Guzman memiliki gigi palsu di rahang atas. Sementara menurut dokter forensik yang ditemuinya, mayat itu tak memiliki gigi palsu satupun.

Hidup Guzman tetap misterius sampai sekarang. Tapi liputan Bondan menguak kongkalikong antara penguasa Orde Baru dengan perusahaan eksplorasi emas asal Kanada itu. Tahun lalu ada kabar pengadilannya di Kanada tetap berjalan dan ditemukan bukti-bukti baru ihwal kebohongan eksekutif dan para peneliti di Bre-X.

Dalam meliput kasus itu, Bondan telah mempraktekkan naluri wartawan investigasi yang paling dasar: sikap skeptis. Ia menyebutnya metode "daya bertanya".

Seorang wartawan investigasi akan terus meragukan temuan-temuannya, mengolah kembali informasi dan cerita yang ia terima, memverifikasinya, lalu mengonfirmasikannya kepada banyak sumber. Sikap skeptis sebetulnya tak hanya harus dimiliki wartawan investigasi. Setiap wartawan harus memiliki sikap ini. Sebab skeptis akan menyelamatkan wartawan terjerumus ke dalam sikap partisan, tak seimbang, memihak.

Di Tempo ada tim khusus yang menangani berita-berita investigasi. Ini desk yang menelisik informasi yang masih sumir tapi menarik yang waktu penelusurannya tak cukup hanya sepekan—ritme terbit majalah ini. Waktu yang dibutuhkan tak selalu sama dari setiap cerita. Ada yang pendek, ada juga yang panjang karena susah konfirmasi dan verifikasinya. Bertahun-tahun kami mengelola desk ini akhirnya sampai pada kesimpulan: tak ada yang mudah dalam berita investigasi.

Sebuah cerita awalnya kelihatan gampang ditelusuri dan ditulis, tapi ternyata membutuhkan waktu lima bulan sampai pada kesimpulan akhir. Pada akhirnya kami tak pernah menggolongkan berita gampang atau berita susah. Sebab gampang atau susah metodenya tetap sama: disiplin verifikasi dan konfirmasi dengan sikap skeptis secara terus menerus.

Liputan tentang kematian Lambang Babar Purnomo, seorang arkelog yang sedang menangani pencurian dan pemalsuan arca di Museum Radyapustaka, Solo, dimulai dari pertanyaan sederhana: kenapa dia yang segar bugar tiba-tiba mati ketika sedang mengusut kasus ini?

Penelusuran atas kematiannya—melalui wawancara dengan puluhan teman, kolega, rival, dan keluarganya, ditambah catatan hasil otopsi—membuhulkan kesimpulan ia dibunuh. Penyidikan kematiannya juga menguak persekongkolan Keraton Solo, pengusaha terkenal, kolektor, calo, pedagang barang antik, hingga makelar benda seni dari balai lelang terkenal di luar negeri.

Lambang hanya pelanduk yang terjepit di antara permainan para gajah itu. Dua pekan lalu Aliansi Jurnalis Independen memilih liputan tentang mafia purbakala yang terbit akhir September tahun lalu sebagai liputan terbaik.

Cerita soal akal-akalan biaya admin listrik juga tak dimulai dengan setumpuk dokumen atau bahan cerita bombastis. Mula-mula cerita seorang anggota tim yang baru saja membaca sebuah surat pembaca di koran. Ia merasa heran karena surat keluhan soal biaya administrasi dalam pembayaran setrum secara online tak sekali-dua muncul. Tak hanya di koran, keberatan pengenaan pungutan itu juga muncul di pojok diskusi maya, blog, situs jejaring sosial. Berhari-hari dengan keluhan yang sama.

Tim ini juga baru sadar ada komponen biaya itu di tagihan listrik rumah mereka. Lalu mereka memutuskan memverifikasi secara serius soal itu di tengah liputan lain yang sudah ditentukan waktu terbitnya. Verifikasi kepada orang bank dan orang dalam di PLN menghasilkan kecurigaan ada sesuatu yang salah dalam penerapan biaya admin listrik. Kita tak pernah tahu biaya ini karena tak dibahas bersama komponen tarif di DPR. Ujug-ujug ada dengan besaran yang sudah ditentukan.

Kecil, memang. Hanya Rp 1.500-Rp 8.000 per tagihan. Tapi kalikan jumlah itu dengan 40 juta pelanggan. Kemana uang publik itu mengalir? Siapa yang menikmatinya? Bagaimana pungutan itu bisa muncul? Kenapa pembayaran telepon yang juga melalui online tak dikenakan biaya administrasi?

Sederet pertanyaan itu menuntun pada beberapa orang sumber yang mengetahui riwayat pungutan ini dan menguak praktek kotor penilapan uang publik secara diam-diam. Kami menyebutnya korupsi legal, seperti ketika kami menelusuri penjualan mobil mewah melalui jalur diplomatik setahun sebelumnya.

PLN memberi privilege kepada sebuah perusahaan jasa online untuk mengelola pungutan ini bersama bank-bank yang ditunjuk. Perusahaan ini mengelola data pelanggan listrik tak melalui proses lelang. Pengelola perusahaan ini ternyata para pejabat atau bekas petinggi perusahaan negara itu. Yayasan PLN juga ternyata punya saham di perusahaan ini.

Alhasil, ini cerita yang sangat menarik. Apalagi ketika proses konfirmasi berjalan sumber-sumber di dalam PLN, perusahaan jasa, dan bank memberi keterangan berbeda-beda. Pemilahan informasi dari pelbagai sumber menunjukkan mana informasi bohong mana cerita yang betul-betul terjadi. Sebulan lalu tulisan yang terbit Januari 2009 ini menggondol Mochtar Lubis Award.

Seorang redaktur menyebut proses liputan investigasi seperti mengupas bawang: selapis-demi-selapis sampai ketemu intinya. Inilah yang membedakan liputan investigasi dengan liputan jurnalistik lainnya. Liputan investigasi ditulis secara mendalam, topiknya seringkali luput dari perhatian banyak orang, menyingkap hal tersembunyi atau disembunyikan, menghasilkan kesimpulan yang jelas tentang siapa yang bersalah, dan kebenaran yang disajikan bukan berdasarkan omongan orang tapi karena temuan fakta di lapangan.

Liputan investigasi berbeda dengan liputan tentang investigasi. Yang kedua, sumber ceritanya para penyidik yang memberi informasi tentang sebuah kasus yang sedang mereka tangani. Wartawan menceritakan bagaimana aparat hukum memproses sebuah kasus hingga ketemu terdakwanya dan bagaimana kasus itu terjadi. Ia tak menggali sendiri cerita dari sumber-sumber pertama, memilah, dan menunjuk siapa yang salah.

Liputan tentang skandal Watergate oleh dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, pada 1972 adalah reportase investigasi murni pada awalnya, sebelum para penyidik menelusuri kasus korupsi yang menjungkalkan Richard Nixon dari kursi Presiden Amerika Serikat. Dimulai dari liputan kasus pencurian dokumen di kantor Partai Demokrat di Gedung Watergate, penelusuran “Woodstein” sampai pada aliran dana untuk kampanye Nixon.

Karena sifatnya yang investigatif, liputan jenis ini seringkali membutuhkan teknik khusus. Misalnya, menyamar. Dalam liputan aborsi di Jakarta Februari lalu, tim Tempo harus menyamar untuk membuktikan rumah-rumah bersalin dijadikan tempat praktek aborsi. Cara ini ditempuh karena mendatangi klinik dengan mengaku wartawan tak menghasilkan cerita apapun.

Dalam dunia jurnalistik—di Indonesia maupun dunia—menyamar masih menjadi perdebatan dari sisi etika. Sebab prinsip utama kerja wartawan adalah akuntabilitas. Ia tak boleh berbohong kepada narasumbernya. Para wartawan harus menjelaskan posisinya sehingga orang yang diajak berbicara tahu omongannya akan dikutip dan muncul di media. Menyamar hanya jalan terakhir yang ditempuh karena tak ada pilihan lain.

Informasi off the record dan sumber anonim juga harus diperlakukan secara ketat. Informasi off the record harus dilihat dari motif orang yang menyampaikannya. Apakah kebenaran materi atau hanya sekadar fitnah belaka. Sumber anonim punya beberapa syarat: apakah si sumber orang yang menyaksikan sebuah peristiwa, saksi kunci, atau terancam keselamatannya jika identitasnya dibuka.

Woodstein mendapat petunjuk penelusaran kasus Watergate dari seorang yang diberi nama sandi Deep Throat—judul sebuah film semi porno yang sedang populer saat itu. Identitasnya baru terkuak pada 2005 ketika ia muncul di depan publik dan dikenalkan sebagai Mark Felt, Direktur FBI zaman Nixon. Petunjuknya yang sangat terkenal kepada Bernstein adalah: follow the money... Felt meninggal pada 2007.

Kemunculan Felt atas inisiatifnya sendiri menjawab kepenasaran publik. Tapi wartawan harus membuka identitas sumber anonimnya jika kelak terbukti si sumber menyampaikan sebuah cerita bohong dengan tujuan memfitnah. Karena itu sebelum wartawan setuju memuat ceritanya, ia harus memverifikasi cerita itu ke sumber lain dan mengonfirmasikan posisinya dalam kasus yang sedang ditulis.

Sebab tanggung jawab wartawan kepada publik karena ia menulis hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Publik berhak dan harus tahu bagaimana metode kerja wartawan sampai menghasilkan informasi yang mereka tulis. Dalam dunia demokratis, liputan jurnalistik bisa menjadi referensi bagi orang banyak untuk menentukan tindakannya.

Pada liputan aborsi kami menyiasatinya dengan jalan konfirmasi. Kami mengirim orang yang berbeda setelah wartawan yang menyamar menjadi pasien mendapat bukti beberapa rumah bersalin tempat praktek dokter terhormat dan terkenal di Jakarta melakukan aborsi. Kami beritahu bahwa orang yang datang itu wartawan. Kami memberi ruang para dokter dan bidan itu menyanggah cerita yang diperolehnya. Sebulan setelah liputan itu terbit, polisi menggerebek klinik aborsi yang kami tulis.

Meski dituntut bersikap skeptis, wartawan harus tetap mengedepankan sikap adil. Wartawan tak dibenarkan memvonis sikap narasumber sampai benar-benar ketemu fakta yang dapat ia pertahankan. Wartawan senior Goenawan Mohamad kerap mengingatkan bahwa “kebenaran ada di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka.”

Pada akhirnya, wartawan mesti mengingat aforisme Minke, seorang wartawan Medan Prijaji, dalam novel Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Anantar Toer seperti dikutip pada awal tulisan ini.

* Materi Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut Nasional di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro, Lampung, 14 Agustus 2009
** Wartawan majalah Tempo

Bahan bacaan:

1. Winarno, Bondan. 1997. Bre-X : Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Penerbit Inspirasi Indonesia, Jakarta
2. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel, 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta
3. Gaines, William C., 2007. Liputan Investigasi untuk Media Cetak dan Siaran. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta
4. Mohamad, Goenawan. 1997. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo, Jakarta
5. Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Hasta Mitra
6. Kurnia, Septiawan Santana. 2003. Jurnalisme Investigasi. Yayasan Obor Indonesia

Wednesday, August 12, 2009

TETANGGA



INILAH yang selalu saya rindukan tiap pulang kampung: ketemu dan ngobrol dengan orang-orangnya. Saya mudik karena adik saya menikah dan ada hajatan kecil. Tetangga dan saudara berkumpul, menyiapkan makanan, penganan, untuk tamu dan handai taulan.

Dulu sewaktu disunat, saya paling suka menyelinap ke dapur yang dijubeli ibu-ibu yang sedang masak: nongkrong di depan hawu dan mendengarkan mereka ngobrol, sampai panitia penyambutan mencari-cari karena anak sunat harus dipajang di dekat panggung hiburan agar para undangan mudah menaruh amplop di peci atau melihat luka penis sudah mengering atau belum.

Saya nostalgia dengan masuk ke dapur. Kali ini membawa kamera. Setelah jeprat-jepret saya nongkrong di dekat sumur yang agak gelap. Bapak-bapak sedang istirahat setelah mencuci piring, sambil merokok. Dua orang berdagang es di Jakarta, dua lagi bertani. Kami mengobrol ke sana kemari. Dua lagi sambil bolak-balik mengangkut piring dan gelas kotor dari ruang prasmanan.

Seseorang--dia bapak dua anak yang baru menikahkah anak perempuannya--berbicara tentang perbedaan anak dan tetangga. Katanya, waktu berkumpul anak dan orang tua sangat singkat. Ia sendiri memiliki anaknya cuma selama 20 tahun, sebelum mendapat mantu yang memboyong putrinya ke rumahnya sendiri atau ke Jakarta untuk sebuah kerja. Tanggung jawab pun berpindah ketika ijab kabul pernikahan.

Tapi dengan tetangga, katanya, tak ada limit waktu kapan berpisah. Justru dengan para tetanggalah hidup lebih sering bersinggungan. Para tetangga kadangkala jauh lebih tahu apa masalah kita ketimbang anak-anak, yang jauh dari rumah. Mereka yang akan menolong pertama kali ketika kita ketiban musibah. Sedangkan anak-anak harus ditelpon dulu jika kangen ingin ketemu.

Anak-anak pasti akan meninggalkan rumah, tapi tetangga tak akan jauh-jauh dari rumah. Sebab, para orang tua mendidik anak-anaknya mandiri, yang berarti harus bisa hidup sendiri jika tiba waktunya. Pada tetangga kita membangun hubungan justru agak kelak tak hidup sendiri.

Saya manggut-manggut. Ia berbicara tentang sesuatu yang saya alami, tapi tak saya pikirkan. Ia merumuskan sebuah hal umum yang akan dialami oleh siapa saja, tapi sering luput dari renungan siapa saja. Ia berbicara tentang kecenderungan yang terjadi dari zaman-ke-zaman, apalagi ketika urbanisasi tak lagi bisa dicegah karena kota tetap menjanjikan sebuah harapan dan dusun tetap saja sebagai kampung halaman.

Bagi saya dan adik saya, rumah ini hanya sebuah kenangan. Karena besok saya tak memilikinya lagi, tak meniduri kasurnya lagi, tak mencium bau sorenya lagi. Kami akan kembali ke Jakarta, ke sebuah rumah lain yang bukan tempat asal dan masa depan kami. Rumah dan kampung ini hanya sebuah masa lalu dengan kenangan-kenangannya yang terus membetot ingatan, tapi tak mudah disinggahi. Kami harus pergi lagi setelah dua tiga hari tinggal, seperti ritual keluarga zaman industri.

Bapak-bapak inilah yang akan terus berkomunikasi dengan bapak-ibu saya, secara nyata di sawah, pekarangan, di jalan, dalam rapat-rapat desa, atau saat bertamu. Saya mungkin juga begitu, 15 atau 20 tahun lagi.

Friday, August 07, 2009

HATTRICK



SESEORANG menelepon dengan nada rusuh. Saya tak bisa mendengarnya dengan jelas apa yang sesungguhnya dia bilang. Apalagi dalam brisik kereta Cirebon Express dan gusah remang bangun tidur. Rupanya itu panitia Apresiasi Jurnalis Jakarta. Dia--sepertinya perempuan--sedang memastikan apakah saya yang nominator bisa hadir atau tidak dalam acara. Dia menelepon jam 11.23, sementara acara jam 12.00.

Kepastian itu tiba sejam kemudian. Seorang kawan menelepon. Saya hapal suaranya, meski tak melihat nama di layar ponsel. Dia--kali ini laki-laki--menelepon sedetik setelaha juri mengumumkan pemenangnya. Jadi dia omong pelan sekali dan kedengaran brisik di belakangnya. Katanya, tulisan "Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala" menang dalam penghargaan itu untuk kategori media massa cetak. Setelah itu sandek bertubi-tubi. Rupanya benar, tulisan itu menang.

Ini liputan tentang Lambang Babar Purnomo, seorang arkeolog yang dibunuh karena ketekunannya mengungkap pencurian, pemalsuan, dan kepemilikan ilegal benda purbakala. Temuan dan ucapannya di koran selalu tajam dan tak khas seorang Jawa yang ewuh pakewuh. Ia dibunuh pada sebuah subuh, 8 Februari 2008. Polisi sampai kini masih menyimpulkan ia jatuh dari sepeda motor Honda 800 di jalan Ring Road.

Padahal, bukti-buktinya banyak yang mengarah bapak empat anak itu dibunuh. Laporan forensik juga jelas menyebutkan ia mati akibat kekerasan tumpul. Seorang saksi juga melihat ada orang lain pada menit ketika Lambang meregang nyawa. Buku teks anatomi menyebutkan jika ruas leher nomor 2 dan 4 patah, Lambang akan mati seketika. Ternyata tidak. Ia masih sempat minta tolong. Artinya, ia masih bisa bicara sebelum lehernya patah. Artinya, jika pun ia jatuh dari sepeda dan masuk ke selokan, ia belum mati. Ia tak mati karena sial jatuh ke parit. Seorang reserse mendukung kesimpulan ini. Dan ia memetakan bagaimana jaringan "Thomas Crown" sudah lama mengincar Lambang.

Kematian Lambang membuat banyak kasus purbakala mandeg. Kasus pencurian arca memang sempat mendudukkan pengusaha Hashim Djojohadikusumo di persidangan. Ia bebas. Hanya dua yang masuk penjara, para pencuri di tahap awal.

Penghargaan ini untuk Pak Lambang, seorang yang suka humor, ringan hati, selalu berbaik sangka pada orang, dikenang dan dicintai anak dan istrinya, dan selalu teguh memegang pendirian. Saya bangga telah menuliskan sejumput riwayat keteguhan hidupnya.
Beritanya di sini dan di sono.