Friday, March 25, 2011

ORANG TUA


SAYA bersyukur ayah saya tak gusar ketika akan pensiun, empat tahun lalu. Dia seorang guru. Dia tak gusar ketika akan mengajukan pensiun dini, meski ada satu adik saya yang masih sekolah. Tapi dia mantap pensiun lebih awal karena ingin konsentrasi mengurus sawah.

Bertahun-tahun dia mengumpulkan uang untuk sedikit-demi-sedikit meluaskan tanah garapan dari hanya beberapa meter persegi warisan orang tuanya. Dia memang selalu bilang bahwa pekerjan utamanya adalah petani, mengajar adalah hobi yang kebetulan mendapat gaji. Sebab, dari bersawah itu dia bisa menyekolahkan anak-anaknya, membangun rumah, membuat hari-harinya sibuk selepas mengajar.

Dan, sepertinya, ia menikmati hari tuanya. Dia bersyukur karena teman-temannya sakit-sakitan setelah pensiun karena bingung harus mengerjakan apa setelah tak ada rutinitas. Dia selalu bilang tak menyesal pensiun dini meski tak kebagian kenaikan tunjangan pensiun yang fantastis.

Setahun setelah ia pensiun, pemerintah menaikkan gaji guru dan pensiunan hampir 200 persen akibat kebijakan 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Sebab, selepas pensiun, dia jadi bisa pergi ke mana-mana. Anak-anaknya tak ada yang tinggal satu kota. Bersama istrinya, yaitu ibu saya, dia jadi sering jalan-jalan, meski kalau sedang jalan-jalan, pikirannya selalu tertambat pada sawah. Di rumah mungkin bosan. Tinggal hanya berdua, kangen anak, kangen cucu, tapi ketika sudah keluar rumah, kangen sawah jadi inginnya pulang lagi.

Saya bersyukur dengan cerita ini, karena saya selalu ingat kisah Yoichi Kaminaga. Dia pensiunan karyawan pabrik bata di Kitakyushu, Jepang. Saya ketemu dia akhir November dua tahun lalu. Ceritanya soal kebangkitan industri Jepang dan usaha memulihkan kawasan industri jadi layak huni saya tulis untuk majalah Tempo edisi awal tahun lalu. Yoichi-san adalah saksi dan pelaku kebangkitan industri Jepang yang berpusat di Pulau Yushu setelah kekalahan Perang Pasifik. Ekonomi Jepang yang defisit akibat peperangan, mulai membangun dengan mengerahkan kemampuan teknologi untuk memproduksi dan mengekspor barang-barang industri. Hasilnya, ekonomi maju tapi lingkungan jadi kotor.

Asap hitam, merah, biru, coklat keluar dari cerobong pabrik. Air tak layak minum, anak-anak sering tak sekolah karena sakit. Dimotori ibu-ibu yang dibantu para profesor lingkungan di universitas, Kitakyushu memulihkan diri pada 1960. Mereka berdemo ke pabrik-pabrik, yang di dalamnya para suami bekerja untuk hidup keluarga mereka, agar perusahaan menyisihkan keuntungan untuk mengelola lingkungan.

Pemerintah daerah menyokongnya dengan membuat pelbagai aturan yang memaksa industri mau tak mau memperhatikan kondisi di sekelilingnya. Bersama industri, kas pemerintah berbagi beban memproduksi teknologi ramah lingkungan. Ketika saya ke sana, Teluk Dokai kembali dihuni ikan yang puluhan tahun sebelumnya bahkan tak bisa dihidupi bakteri E.coli. PBB mencanangkan kota ini sebagai model kota industri yang berhasil mengelola lingkungan sehat.

Di usia 70, Yoichi kini jadi relawan untuk mengkampanyekan hidup sehat dan bersih di Kitakyushu. Bersama puluhan pensiunan ia mengajari anak-anak membuat mainan dari bahan-bahan daur ulang. Karena itu masa tuanya tak kesepian, meski dua anaknya sudah punya hidup sendiri di Tokyo dan Osaka. Dan orang seperti Yoichi banyak sekali di Jepang.

Di Fukuoka saya ketemu seorang tua yang menghidupkan radio dan internet komunitas lalu berkampanye agar warga di sana mencintai lingkungan. Dia jual perusahaan teknologi informasi yang dirintisnya dan fokus mengelola radio yang berpusat di satu flat sempit di pusat kota.

Di Kyoto atau Tokyo para penjaga parkiran sepeda atau pengatur lalu-lintas mobil proyek adalah orang-orang tua yang bekerja penuh gairah. Mereka tak kehilangan kegembiraan hari tua. Pak Kimi Yamaguchi, penjaga parkiran sepeda di Universitas Ritsumeikan, baru pulang plesiran bersama istrinya dari Brasil. Katanya, ia sudah mengelilingi dua pertiga negara di dunia. Waktu ketemu saya tahun 2008 umurnya 68 dan ia sangat ingin mengunjungi Bali dan sedang mengumpulkan uang untuk ongkos.

Orang-orang tua di sana bergembira karena mereka dinomorsatukan oleh pemerintah, oleh lingkungan. Kendaraan umum memprioritaskan mereka dan banyak sekali pekerjaan paruh waktu untuk orang-orang tua. Mereka tak takut jalan-jalan sendiri karena petunjuk mencapai tujuan ada di mana-mana. Dan mudah.

Semoga orang-orang baik yang saya kenal secara singkat itu tak ikut terimbas kondisi ekonomi Jepang yang katanya sekarang sedang deflasi. Mudah-mudahan mereka tetap bergembira, meski Jepang dilanda bencana. Sebab, saya selalu ingat kisah mereka ketika tiba-tiba saja membayangkan seperti apa hari tua saya kelak atau melihat para orang tua yang mengemis dan jadi gelandangan di jalanan Jakarta atau Bogor, seperti ketika saya menulis artikel ini.