Thursday, January 22, 2004

DALAM BUS (NO WAY)



Ada banyak cerita dalam bus kota di Jakarta. Salah satunya cerita soal pengamen, di bus 44 jurusan Ciledug-Senen.

Dia seorang yang gemuk dengan rambut lurus berminyak. Pipinya tembem menghasilkan lipatan simetris di samping bibirnya yang memanjang ke dekat hidung yang bulat. Rautnya lucu. Dia naik dari halte Benhil menenteng gitar kopong yang sudah luruh catnya. Karena gemuk, ia kesulitan menerobos jubelan penumpang di lorong kursi. Bus 44 tak pernah kosong antara jam 7-10 pagi atau 3-5 sore. Tapi, dengan sopan ia minta permisi kendati orang yang dilewatinya bermuka masam karena mepet ke kursi dan mendesak penumpang lain yang duduk. Ia berhasil sampai ke tengah.

Dia mulai beruluk salam yang sudah biasa dipakai para pengamen sebelum memulai bernyanyi, dengan terima kasih pada sopir dan kenek, juga "mudah-mudahan kehadiran saya tidak mengganggu." Orang-orang cuek. Yang lain pura-pura tidur atau tidur betulan. Dua remaja cewek di samping saya tetap ngobrol dengan cekikik.

Salamnya agak panjang. Mungkin sekitar 3 menit dan bolak-balik mengakhiri kalimat yang itu-itu juga dengan iringan bunyi senar yang rada sember. "Ini lagu ciptaan saya," katanya, "mudah-mudahan di antara penumpang ini ada seorang produser yang mau mengorbitkan saya." Orang-orang cuek. Bapak-bapak di sebelah saya mengulum senyum. Siapa sudi produser naik bus yang pengap.

Lagu ciptaannya itu memang tak familiar di kuping. Sebuah lagu tentang cinta yang ditolak. Nadanya setengah dangdut, setengah pop. Suaranya agak melengking saat masuk di kunci C. Tapi dia cuek. Setengah lagu rada sukses dia nyanyikan dan tibalah waktu reffrain. Aduh, mak, suara itu tiba-tiba jadi melengking mengimbangi reff di kunci D. Nafasnya tercekat. Ia tak kuat mencapai nada tertinggi itu. Bunyi gitarnya berhenti. "Wah, suara saya mogok," katanya, "maaf...maaf...biasanya tidak begini kalau saya menyanyi. Mungkin lagunya tidak cocok. Saya ganti saja dengan yang lain. Ini masih lagu saya juga. Pak produser, coba dengar lagu saya yang ini."

Bapak yang tersenyum tadi melirik saya. Remaja yang mengobrol jadi diam. Orang-orang mulai memperhatikan pengamen lucu ini.

Intro sudah digeber, bolak-balik dari C ke G. Lewat dua ketukan, ia belum bernyanyi juga. Tiga ketukan. Empat. Wah, ini orang niat nyanyi, gak, sih. Ketukan kelima matanya masih merem. Ketukan keenam saya lihat ia siap-siap mengambil suara. Ketuk ke tujuh suaranya melengking. Wah, terlalu tinggi untuk kord G. Suaranya terus meninggi saat masuk syair lagu berikutnya. Huuuuh, gitar ke mana, nyanyi ke mana. "Waduh, maaf sekali lagi, saya lupa kunci gitarnya," katanya. Yeah. Bapak di sebelah saya tertawa.

"Kalau begitu tidak usah nyanyi lagu saya saja, mari kita nyanyi Garuda Pancasila saja," katanya, "bapak-ibu ikut nyanyi, ya, siapa tahu suara saya tidak sampai lagi." Dengan cuek ia mulai menggembreng gitarnya. Brang-breng-brang-breng dengan ketukan agak cepat. Beberapa penumpang turun dan mendesak si pengamen itu. "Ayo, silahkan, silahkan, yang mau turun. Tosari...Tosari...ada yang Tosari?" Yeee, bukannya nyanyi malah jadi kenek. Tapi bunyi gitarnya tak berhenti.

Sampai di HI Garuda Pancasila belum dinyanyikan juga. Ia berhenti menggembreng gitar. "Bapak-ibu ini tidak ada yang tahu lagu Pancasila, ya?" katanya. "Jadi saya gak jadi nyanyi, saya juga tidak hapal." Asem. Orang-orang menggerutu. Tapi ada juga yang tersenyum. Lucu juga memang. Bapak tadi merogoh koceknya, mengeluarkan receh dua ratus perak. Rupanya si pengamen itu menghentikan atraksinya, tanpa satupun lagu ia nyanyikan. "Ngomong dari tadi haus juga, berilah saya dengan iklas seribu atau dua ribu buat beli air." Kurang ajar. Dia maju ke depan, menyodorkan plastik bekas bungkus permen. Ada yang memberi sambil cuek, ada juga yang melambaikan tangan.

Ia mendesak penumpang yang menghalangi jalannya. Mengangguk dan berterima kasih bagi yang mencemplungkan receh ke dalam plastiknya. "Semoga amal bapak-ibu dlipatgandakan dan jadi berkah buat saya," ia terus nyerocos. Ibu-ibu di kursi depan agak riuh. Ia tiba di depan saya yang sudah siap-siap mau menyemplungkan receh juga. Alamak, risleting celananya jebol. Duh, tak pakai celana dalam pula. Dia tetap cuek.

Wednesday, January 14, 2004

JANGGUT


JANGGUT bisa mendorong seseorang mengucapkan salam yang tak terduga. Suatu sore saya dan istri akan mengunjungi seorang paman di Sukarame, sebuah daerah di pinggiran Bandar Lampung. Rumah paman itu berada di sebuah perumahan untuk pegawai negeri yang letaknya agak jauh dari jalan besar, butuh naik becak atau ojek yang mangkal di pintu masuk pemukiman itu. Waktu itu, kami tidak lewat pintu depan tapi lewat samping yang tak ada ojek atau becak. Kami pun jalan kaki.

Bandar Lampung baru saja diguyur hujan. Kami sempat kehujanan sebelum naik bus kota. Untuk menghindar becek saya menggulung celana hingga setengah betis. Saya pakai baju bergambar kartun yang bertulis "Hangin' On", juga topi biru "Jack Wolfskin". Tak ada yang istimewa sampai seperempat perjalanan kaki itu selain obrol-obrolan suami-istri tentang rumah-rumah atau jalan becek.

Di jalanan itu tak banyak orang yang melintas. Ini perumahan yang belum lama dibuka. Ilalang masih merimbun di kiri-kanan jalan. Sesekali sepeda mesin lewat. Angin aroma tanah basah menghembus ketika di tikungan seseorang mengucap, "Assalamuallaikum" dengan senyum. Meski agak kaget karena tak menyangka ada orang lewat, saya jawab juga, "Walaikumsallam" juga dengan senyum. Orang itu mengangguk sambil terus berlalu.

Ia seorang muda yang pantalonnya digulung di atas mata kaki dengan sepatu gunung yang agak ringsek. Kemejanya dikancing hingga pergelangan. Rambutnya ikal dengan wajah berhias jerawat. Janggutnya tumbuh jarang memanjang sekira setengah jari telunjuk. Kami terus jalan dengan ritme yang tak berubah. Agak jauh saya menoleh istri saya yang wajahnya meledek karena saya heran. Istri saya tidak tahu apakah pemuda itu mengenalnya sebagai keponakan Pak Anu.

Tapi saya segera menemukan jawab. Salam itu dipicu oleh celana saya yang digulung. Juga janggut yang melebat. Plus saya menggandeng seorang perempuan berjilbab. "Kombinasi yang sempurna," kata saya. Istri saya hanya tertawa. Tapi kenapa dia tidak membaca tulisan di kaus saya? Istri saya buru-buru menyadarkan agar jangan suudzon pada orang. Apalagi, katanya, itu ucapan salam. Saya hanya nyengir.

Janggut memang kerap membuat saya dikategorikan sebagai seorang fundamentalis. Seorang teman kantor yang dulu sama-sama tes wawancara juga pernah menuding saya anggota N-11, sebutan untuk Negara Islam Indonesia yang belakangan marak lagi. Sewaktu kuliah, beberapa teman juga ikut organisasi yang memakai baiat untuk penerimaan anggota baru itu. Saya pikir itu pertanyaan bercanda, yang ternyata serius. Saya jawab saja, "Saya pengikut KW-9," sambil ngakak. Belakangan, si teman itu kecele.

Saya tidak tahu apakah ini pengaruh dari perintah sebuah hadis yang menyuruh orang Islam memanjangkan janggut agar beda dengan orang Mazusi yang doyan mencukur misainya. Saya tidak tahu apakah jika saya mencukur jenggot ini orang Sukarame itu akan memberi salam atau si teman itu tidak menuding saya ikut NII. Bagi saya, janggut itu suatu hal yang baik ada atau tanpa hadis itu. Apakah berpahala? Saya tidak mau mengkalkulasikan pahala karena itu bukan urusan saya. Kasihan sekali orang yang dari sononya tak punya rambut di dagunya.

Janggut sendiri bukan monopoli sejarah Islam. Yesus, ketika disalib juga berjanggut. James Hetfield, vokalis Metallica itu juga bercambang. Di Rusia para padrinya juga memanjangkan janggut, meski mereka diburu oleh Tsar yang tak ingin simbol-simbol agama itu menular dalam keseharian. Tapi, Usamah Bin Ladin berjanggut lebat. Eeh, Bush juga tuh.

Monday, January 05, 2004

EPISTOHOLIC

Bambang Haryanto menulis sebuah surat pembaca di majalah Tempo edisi terbaru dan menamakan dirinya  seorang epistoholic. Istilah ini dipopulerkan majalah Time, pada 1992, untuk menyebut Antony Parakal sebagai seorang yang keranjingan menulis surat pembaca di media massa. Menurut Time, saat menurunkan profil Parakal (kini 72), selama kurun 41 tahun sejak 1953, laki-laki asal India itu telah menulis 4.400 surat pembaca di pelbagai media. Itu berarti setiap tiga hari ia menulis sebuah surat pembaca.

Bambang, dalam surat pembacanya, mengajak semua epistoholic untuk bergabung dengan Jaringan Epistoholic Indonesia. Ia berencana mendirikan jaringan itu untuk menampung seluruh penggila surat pembaca di Indonesia. "Aktivitas menulis adalah upaya pembelajaran sepanjang hayat," tulisnya. Ia orang yang percaya menulis bisa menyehatkan jasmani dan rohani.


Bambang, di Indonesia mungkin jadi yang pertama penganjur campanye epistoholic. Tapi, ikhtiar ini sudah jauh-jauh hari dikampanyekan para epistoholic di dunia. Selain Parakal, di India ada Leo Robello yang bahkan telah menerbitkan sebuah buku yang mengupas kegilaan orang menulis surat pembaca. Dalam 328 halaman bukunya, Robello menulis betapa pentingnya para penggila itu bagi koran dan majalah. Sebelumnya ia telah mendirikan Asosiasi Penulis Surat Pembaca Seluruh India pada tahun baru 1980. Parakal ditunjuk sebagai presiden-pendirinya.


Surat pembaca juga telah dijadikan bahan penelitian para sarjana dan master. Pada 1993, seorang mahasiswa master di Bengalore meneliti dan membandingkan surat pembaca di dua media yaitu The Deccan Herald dan The Times of India. Penelitian-penelitian itu kemudian menemukan para pengidap epistoholic memang lebih sehat dari sisi medis. Tapi tidak dijelaskan kenapa para penggila itu datang dari India.

Para penggila itu menulis apa saja untuk mengomentari berita dan apa yang ditemuinya dalam keseharian dalam kolom sepanjang 300-500 kata. Dr Louella Lobo Prabhu dari Mangalore telah menulis surat pembaca sejak usia 10. Ayres Sequeira mulai kerajingan menulis surat pembaca saat ia duduu di bangku kuliah. Majalah Time kebanjiran 1.400 surat setiap minggunya.

Sebuah fenomena memang. Tapi, seorang mantan pemimpin sebuah majalah di Jakarta berkisah surat pembaca di media-media Indonesia kerap kali tidak jujur. Dari pengalamannya mengelola media ia kerap menerima surat dari seseorang yang tak jelas identitasnya. Penulis surat itu memakai beragam nama untuk mengomentari suatu berita. Kelakuan seperti, katanya, lazim dilakukan tentara dalam operasi sandi yuhda untuk mempengaruhi opini masyarakat. Katanya, saat ini beberapa orang calon presiden memakai cara-cara seperti itu. Huh!

Tapi, para pengelola media juga kerap berlaku curang. Ia mengaku mengenal orang yang kerap bertugas sebagai "tim surat pembaca" untuk menulis surat pembaca di medianya sendiri dengan berbekal segepok KTP palsu dan alamat fiktif. Itu baru satu modus. Masih ada beberapa modus lainnya yang tujuannya tak lain menggiring opini masyarakat dari suatu kasus.

Mudah-mudahan Bambang Haryanto tidak dengan tujuan itu berencana membentuk club penulis surat pembaca. Jika ada yang berminat, katanya, silahkan kirim surat untuk memperoleh informasi awalnya ke alamat e-mailnya di epsia@plasa.com.

PASAR BLOG




Ini semacam simulasi pasar blog. BlogShares dibuat oleh Seyed Razavi, seorang arsitek peranti lunak kelahiran Iran yang bermukim di Manchester, Inggris, pada awal 2003. Razavi berfantasi bagaimana jika blog dibuat semacam komoditas yang dihargai dengan dolar di mana para blogger mendapat fee dari blog yang dibikinnya. Upah itu datang dari peselancar yang mengunjungi blog. Setiap "kedatangan" dan "keluaran" akan dihargai dengan sejumlah uang. Maka semakin banyak suatu blog dikunjungi dan semakin banyak peselancar atau bloggernya sendiri mengeklik link di blognya semakin banyak pula jumlah uang yang dikumpulkannya. Di sana juga akan terlacak siapa saja pembeli paling banyak blog kita itu.

Barangkali, jika sudah tidak lagi sekedar fantasi Razavi, ini semacam Blogonomics yang dulu diramalkan Farid Gaban. Untuk sementara, ini posisi pasar blog saya. Klik.