Wednesday, April 27, 2005

AKU INGIN





aku ingin aku ingin
aku ingin aku
aku ingin
aku mendengar lagu
aku ingin

: buat budeh, tengkyu sanget.

Saturday, April 16, 2005

GUGATAN KEPADA SANTO AGUSTINUS

Lampung Post


Judul Buku : Vita Brevis (Hidup Begitu Singkat)
Penulis : Jostein Gaarder
Penerjemah : VAM Kaihatu
Penerbit : Jalasutra, YogyakartaEdisi : 2005
Tebal: xxvii + 154 halaman
DI sebuah sore, Floria dan Aurel berjalan di sebuah jembatan melintasi sungai Arno, Florence, Italia. Tiba-tiba Aurel mendekap pundak Floria dan berbisik, "Hidup begitu singkat, Floria". Seakan ingin membuat sebuah peristiwa tak terlupakan, Aurel memegang erat pinggang Floria dan minta izin mencium rambutnya. Floria bersaksi, "Aku merasakan nafasmu mengalir di leherku...."

Kisah yang terjadi pada abad ke-4 itu diceritakan Floria Aemilia dalam sebuah surat sepanjang 80 halaman. Kisah ini dikenangnya sebagai peristiwa paling mengesankan sebelum berpisah dengan Aurelius Agustinus—laki-laki yang telah 14 tahun hidup dengannya dan memberi seorang anak laki-laki. Aurel tak lain Santo Agustinus, bapak gereja Katolik, pemikir besar Eropa yang menulis sebuah biografi mengesankan yang terbit pada tahun 400: Confessioness (Pengakuan-Pengakuan).

Surat ini menarik sekaligus mengguncang, bagaimana seorang padri, orang suci, pernah terlibat kisah cinta. Floria sengaja menulis surat ini untuk menanggapi Pengakuan. Ada banyak hal yang ingin diluruskan, disanggah, dipatahkan Floria dari pengakuan-pengakuan Agutinus semasa mereka menjalin cinta.

Agustinus menulis Pengakuan ketika ia sudah diangkat menjadi uskup agung, ketika sudah berpisah dengan Floria, mengabdikan hidup sepenuhnya untuk Tuhan. Dalam 13 bukunya itu, Agustinus memang mengakui "ada seorang perempuan yang dengannya aku bisa berbagi ranjang" ketika muda. Floria menjadi perempuan tak bernama dalam pengakuannya (kepada Tuhan) itu. Bahkan dalam ensiklopedia, ibu Adeodatus itu hanya disebut “seorang perempuan muda”.

Keduanya bertemu saat sekolah retorika di Carthage pada usia 16. Cinta membuat mereka hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Aurel kemudian pergi ke Roma dan "menemukan Tuhan dari Nazareth" di sana. Sementara Floria "diasingkan" ke Afrika Utara atas prakarsa St. Monica, ibu Aurel, yang tak merestui hubungan mereka. (Surat ini juga menunjukan sisi lain Monica yang dalam sejarah diceritakan terus menerus mendoakan anaknya agar segera menempuh jalan Tuhan). Setelah itu keduanya tak pernah bertemu, hingga surat ini ditemukan Jostein Gaarder—penulis novel filsafat asal Norwegia—di sebuah toko buku tua di Argentina pada 1995, lalu menerjemahkannya secara utuh.

Gaarder—dua novelnya telah diindonesiakan: Misteri Soliter dan Dunia Sophie—meyakini surat itu merupakan salinan dari manuskrip asli yang lebih tua. Sebab, seperti diakui Floria, surat itu ditulisnya setelah membaca Pengakuan yang dipinjamnya dari seorang padri. Sayangnya, tak ada bukti lain yang menguatkan keaslian manuskrip itu. Upaya Gaarder mengonfirmasi ke perpusatakaan Vatikan tak beroleh hasil. Agaknya perlu penelitian lebih dalam lagi untuk menguatkan keaslian manuskrip bersejarah ini—agar memupus kesangsian Codex Floriae ini hanya karya fiksi yang didasarkan pada Pengakuan belaka.

Tapi Gaarder lebih tertarik meneliti apakah Codex itu sampai ke tangan Agustinus atau tidak, dibanding menyoal keaslian manuskrip itu. Gaarder yakin jika Agustinus menerima surat itu, karena telah terbit sebuah bukunya yang menyoal manfaat perkawinan. Agustinus menilai seburuk-buruknya laki-laki adalah mereka yang meninggalkan pasangan hidupnya.

***

DALAM surat bertarikh abad ke-16 itu, Floria tak hanya membeberkan fakta hubungan cintanya dengan Agustinus. “Sainganku bukan perempuan yang bisa dilihat dengan mata telanjang,” tulisnya (hal 21), “sainganku sebuah prinsip filsafat.”

Karena itu Floria banyak mempertanyakan konsep Tuhan yang ditafsirkan Agutinus dalam Pengakuan, yang telah mengubah hidupnya, hingga meninggalkan Floria dan memisahkannya dari Adeodatus sampai anak itu meninggal. Dengan begitu surat ini telah melepaskan dirinya dari tuduhan sekadar merusak reputasi Agustinus yang sudah besar masa itu.

Menurut Floria, Tuhan Agustinus adalah tuhan yang tak punya rasa humor (hal 78) sehingga melarang hal-hal manusiawi, seperti makan dan minum ditakuti karena memberi rasa nyaman. Bahkan cinta (terhadap perempuan) dirumuskan Agustinus sebagai "hal-hal menjijikan dalam diri kita". Dalam Pengakuan, Agustinus amat menyesali dosa-dosa masa mudanya hingga berpikir Tuhan tak akan mengampuninya.

Floria menyangkal Tuhan yang seperti itu. Baginya Tuhan adalah Ia yang penuh cinta. Sementara Agustinus merumuskan untuk mencapai jalan Tuhan perlu perngorbanan total seperti dicontohkan Yesus. Floria menyebut Agustinus sebagai "seseorang yang terus menerus menuliskan nafsu seksual ketika yang kau pikirkan sebenarnya kenikmatan-kenikmatan cinta" (hal 43). "Kenapa kau tak mengebiri dirimu sendiri saja, Aurel!" Floria menganggap hubungan mereka tak salah karena dilandasi cinta dan diketahui orang banyak.

Dalam surat itu kita merasakan kalimat-kalimat Floria yang tajam, taktis sekaligus evokatif—sesuatu yang masih terasa dalam terjemahan ini. Sebagai bekas siswa retorika, Floria juga menunjukan kemampuan literernya dalam surat ini. Dengan ringan ia mengutip kisah-kisah sastra Yunani-Romawi dan aforisme para filsuf dalam mengomentari pernyataan-pernyataan Agustinus. Referensi itu dilengkap-jelaskan Gaarder lewat catatan kaki.

Tak pelak lagi surat ini merupakan sebuah pengakuan balik dari seorang yang pernah mengisi hidup Santo Agustinus sekaligus gugatan terhadap Pengakuan yang terkenal itu. Surat ini juga akan mengubah keterangan apa siapa Agustinus, Monica, Adeodatus dalam ensiklopedia.

Friday, April 15, 2005

JAKARTA KAFE



Jakarta, dalam cerita-cerita ini, adalah ceruk yang tenang tapi gersang, berisik tapi sunyi, gemerlap tapi muram. Jakarta seperti musik jazz: serba ada dan menawarkan segala macam kemungkinan. Paradoks-paradoks itu bisa hadir sendiri-sendiri, tumpang tindih, atau rombongan sekaligus sehingga sulit menyebut apa warna Jakarta sesungguhnya. Sebutlah sesuatu, itulah Jakarta.

Tatyana--ini debut bukunya--menghadirkan Jakarta tak hanya sekadar lanskap. Jakarta hadir lewat perbincangan, keluh kesah, monolog atau lamunan. Karena itu buku ini tak bisa dijadikan panduan untuk jalan-jalan di Sudirman atau menyusuri macetnya jalan-jalan alternatif. Jakarta hanya "terlihat dari depan pintu kafe".

Ada banyak soal yang pasti mendekam di ini kota: salah urus, terlalu besar, dan seterusnya. Tapi percayalah, masuk Jakarta lewat pintu ini akan menjadikan cerita berhenti sebatas sketsa. Bukan kisah yang bisa menghadirkan tokoh yang punya seribu-satu soal namun tak kunjung bisa mereka pahami. Ini seperti menabalkan adagium "kota sebuah lanskap yang asing" dari Raymond Williams.

Asing bahkan dengan diri sendiri. Orang-orang bisa disebut dengan nama apa saja atau bahkan tak bernama. Tapi mereka adalah kita, ada di sekitar kita: perempuan yang sendiri, cinta tak sampai yang membingungkan, jengkel karena macet, cemburu pada istri teman, jatuh cinta pada bapak beranak tiga yang punya istri setia, main mata dengan tetangga.

Kejadian bisa pula terjadi di luar Jakarta, atau manapun. Kerisauan Joshua Karabish atau kesumpekan Ny Elberhart, dalam Orang-orang Blooomington, juga bisa menimpa kita meski mereka tinggal di jauh benua. Geografis tak membuat persoalan dasar manusia jadi berbeda.

Dan kisah yang berkesan, ternyata, tak perlu datang dari gagasan besar, imajinasi aneh-aneh. Kisah-kisah datang lewat email, sandek, sebuah janji, taman yang kotor, metromini yang sumpek. Sepele. Tapi perajin yang baik akan memulas bonggol tak berguna menjadi patung yang dahsyat. Tergantung bagaimana keunikan dibentuk dengan jalinan yang bernas. Jakarta Kafe telah melakukannya.

Monday, April 11, 2005

COTHO



Tak bisa ngulet rasanya seperti Minggu pagi tak ada koran. Berasa ada yang kurang. Hidup jadi tak lengkap. Padahal ngulet adalah sejenis warming up yang paling sederhana, mudah, menyenangkan. Tulang dan otot dan sendi jadi nyaman karena diregangkan begitu. Dan ngulet adalah aktivitas pertama memulai hari, bahkan hidup pertama. Bayi-bayi ngulet lewat jeritannya. Jadi, hari dan hidup tak bisa mulai tanpa ngulet. Juga, ngulet itu sehat. Seorang teman menyebut perasaan Minggu pagi tak ada koran itu dengan Cotho.