Thursday, June 26, 2003

MENYANYIKAN PUISI

Saya pernah punya kasetnya, dan hingga kini masih terkenang. Saya setuju Garin Nugroho, jika stres saya dengarkan kaset itu. Lagu-lagunya mengalun, hingga saya bisa tidur dengan cepat. Itu kaset--yang kini entah di mana--berisi lagu-lagu Ari Malibu, Nana, dan Reda. Ketiganya menyanyikan beberapa puisi penyair kita: ada Emha Ainun Nadjib, Toto Sudarto Bachtiar, Agus Sarjono, Sapardi Djoko Damono, dll. Di sampul kasetnya yang berwarna hitam, Sapardi menuliskan kata pengantar untuk lagu yang disebut musikalisasi puisi itu.

Malam kemarin saya tak hanya mendengarkan lagu-lagu mereka kembali. Saya melihat ketiganya menyanyikan di panggung, di Warung Apresiasi, Bulungan. Ari yang memetik gitar, sesekali menyanyi, mengikuti tinggi rendah suara Reda dan Nana. Malam itu meraka tampil dalam Musikaliasi Puisi Sapardi Djoko Damono.

Di sana Sapardi juga membacakan puisinya, berselang-seling dengan pekerja teater Ags Arya Dipayana. Kemudian ada Garin Nugroho yang didaulat membaca puisi Aku Ingin, yang terkenal itu, karena ia memasukan puisi ini dalam filmnyaCinta Dalam Sepotong Roti. Sapardi dan Ags. membacakan puisi yang ada di buku Hujan Bulan Juni. Pertama kali ia membaca Sepasang Sepatu Tua, puisi yang paling saya suka.

Saya suka puisi itu karena bercerita tentang "sepasang sepatu tua yang tergolek di dapur, yang jatuh cinta pada sepasang kaki". Sapardi menghadirkan dialog antar sepatu kiri dan kanan. Ia selalu begitu. Ketika menulis cerpen Rumah, ia juga menghadirkan percakapan antar rumah tentang penghuninya satu dengan lain di sebuah komplek. Tapi saya tidak suka bagian akhir puisi itu. Sapardi tak masuk menekuni apa yang diinginkan sepasang sepatu itu, ia justru menyerahkannya.

Sapardi mengawalinya dengan sedikit pidato. "Saya tidak tahu apakah saya selebritis atau korban," katanya yang disambut gerr penonton yang memadat tempat sempit itu. Sapardi mungkin mengejek dirinya sendiri, mungkin juga orang lain. Kini, kita tahu, selebritis dan korban tak bisa dibedakan, mungkin juga dua hal yang sama hakikatnya.

Biasanya saya tak terlalu berharap pada puisi, selain dibaca sendiri dalam hati. Biasanya puisi yang digubah dalam bentuk lain, misalnya dibaca di panggung, seringkali kehilangan daya pukaunya, meski itu dibacakan oleh penyairnya sendiri. Tapi, lagu-lagu Ari masih menyimpan suasana puisi-puisi itu.

Tapi, mungkin karena puisi yang dinyanyikan berasal dari puisi yang ditulis Sapardi: sederhana, hingga ke pilihan kata-katanya; sesederhana keinginannya mencintai seseorang. Atau ketiga bekas mahasiswa Sapardi di UI itu tahu bahwa memberikan musik pada puisi Sapardi tak usah neko-neko. Saya kutipkan puisi Aku Ingin di sini:


AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada



Dipanggung itu, Ari hanya memetik gitar dan mengepaskan tinggi rendah nada dengan cord yang ada di gitar saja. Ia tak berpretensi musiknya ingin terdengar hebat. Justru karena itu bunyi gitarnya jadi melodius, mengalun pas membawa suasana setiap kata puisi Sapardi. Yang sederhana memang selalu menyimpan daya pukaunya sendiri. Musik live-nya sama bagusnya dengan lagu yang direkam di kaset.

Di antara lagu-lagu itu saya suka Sore Matahariku Masih Ada, lagu pembuka pertunjukan malam itu. Ada refrain dan suara lengking Nana dan suara Reda yang meladeni dengan nada satu oktaf lebih rendah. Saya lupa apakah lagu ini ada di kaset itu. Aduh, seandainya kaset itu tidak hilang. Tapi, kabarnya mereka akan menyimpannya dalam cakram compact disk.


PS : Saya bisa nonton acara itu berkat kebaikan ibu ini. Sayang kami tidak sempat ketemu bermuka-muka, padahal sebelumnya sudah kontak-kontak lewat e-mail. Kami, ternyata, sama saling menebak yang manakah wajah masing-masing kami.

Saturday, June 21, 2003

SEKOLAH




Ivan Illich mungkin keliru ketika ia menyerukan Deschooling Society pada 1974. Mungkin juga ia akan menangis hari-hari ini. Everett Reimer bisa jadi salah ketika mengajak orang untuk meninggalkan sekolah karena lembaga itu "sudah mati".

Illich keliru karena kini orang mau berbuat apa saja untuk bisa sekolah. Lihat saja hari-hari ini. Di Universitas Indonesia orang tak keberatan mengeluarkan ratusan juta rupiah agar bisa belajar jadi dokter. Di ITB, lebih fantastis lagi, 10 orang tua calon mahasiswa rela mengeluarkan Rp 1 miliar melalui jalur khusus.

Mencengangkan juga memang, di hari-hari ini, masih ada orang yang menaruh kepercayaan pada arti penting sekolah sehingga mau mengeluarkan uang sebesar itu. Ini juga menunjukan bahwa di negara yang defisitnya masih di atas 1 persen ini, yang utangnya menggunung ini, masih saja ada segelintir orang yang punya investasi (di Pondok Indah ada pengusaha yang perhisaannya di rumah lalu dibobol maling senilai Rp 8 miliar! Berapa jumlah depositonya?).

Biaya sekolah memang mahal. Ini juga konsekuensi dari mulai dicopotnya subsidi untuk pendidikan. Ada yang menggembirakan dari kebijakan semacam ini. Pemerintah kini tak terlalu turut campur menentukan hitam-putih sebuah universitas. Kini, universitas sendiri yang berjibaku mengelola dirinya sendiri: dari keuangan hingga kinerja dosen-dosennya dan pelayanan akademis lainnya.

Dulu, pemerintah menyediakan dana Rp 18 juta setiap tahun untuk setiap mahasiswa. Kini hanya disediakan Rp 5 juta saja per mahasiswa per tahun. Kebutuhan selebihnya harus diusahakan sendiri oleh universitas. Tidak semuanya, memang, universitas yang sudah berstatus Badan Hukum Milik Negara. Sampai kini baru ada empat yaitu ITB, IPB, UI, dan UGM. Negara akan berfokus pada penyediaan dana pendidikan sembilan tahun.

Situasi ini memaksa universitas untuk meningkatkan mutu agar terus diminati, agar tak ditinggalkan. Yang terjadi kemudian adalah persaingan pasar yang ditentukan oleh seberapa besar mutu yang ditawarkan. Semangat nasionalisme kemudian tumbuh. Orang akan percaya pada universitas dalam negeri untuk mencapai prestise dan status sosial.

Kita sudah bosan hanya duduk termangu menyaksikan miliaran investasi mengalir ke luar negeri hanya karena orang berduit tak percaya pada mutu pendidikan lokal. Orang berduit beramai-ramai menggelontorkan uangnya ke luar negeri untuk mendapat ijazah dari universitas mentereng. Kini, kita tahu ada segelintir orang kaya yang masih menaruh kepercayaan pada sekolah dalam negeri.

Pada akhirnya, pendidikan semacam ini juga akan semakin mengglobal menghilangkan batas-batas wilayah dan negara. Pendidikan di sini akan sama derajatnya dengan pendidikan di Amerika, Malaysia, atau Eropa--kalau berhasil meningkatkan dan mensejajarkan mutu itu. Investasi akan tetap berputar di dalam negeri yang akan menjadi modal terus bergairahnya ekonomi. Pendidikan bagus, ekonomi tumbuh adalah dua hal yang dicita-citakan dan dikejar pelbagai negara.

Di Harvard, konon, hanya ada dua jenis mahasiswa yang sekolah di sana. Kalau tidak pintar, ya, pasti orang kaya. Singapura, negeri tertib yang menyadari betul pentingnya pendidikan, merayu orang-orang pintar di setiap negara untuk mau menjadi warga negara permanen. Pemerintah akan menjamin hidup orang-orang ini untuk mewujudkan negara super power.

Tapi, hal yang lebih mengkhawatirkan adalah terlalu banyak korban dari sistem pendidikan semacam ini. Karena harus berduit, pendidikan tak akan berpihak pada kaum miskin--seperti selalu dikecam dan diramal Ivan Illich dan kawan-kawannya itu. Sekolah hanya akan menyediakan lahan bagi praktek korupsi saja. Universitas hanya akan menerima mahasiswa yang berduit saja. Karena banyak juga orang yang tak merasakan bangku sekolah bisa mengubah jalan hidup banyak orang.

Tapi, pemerintah berjanji akan membentuk lembaga audit yang transparan (seringkali kita dengar kalimat ini). Pemeringkatan mungkin bisa menjadi saringan yang agak efektif. Siswa yang punya peringkat pertama saat tes masuk, bisa membayar lebih murah dibanding siswa yang punya peringkat ke seribu.

Sistem yang baru ini memang masih perlu ditunggu efektifitasnya, agar pendidikan masih bisa untuk semua, juga agar sekolah tak mati sebagai sumber pendidikan (dengan "P").

Wednesday, June 18, 2003

TELPON DARI ISTRI




Saya ditelpon istri malam tadi. Dia mengabarkan kalau sudah mendapat kepastian gaji akan turun minggu-minggu ini. Dia diterima di Balai Konservasi milik Departemen Kehutanan. Baru Mei lalu ia resmi bekerja setelah menunggu turun surat keputusan sejak Desember tahun lalu. Selama dua bulan bekerja itu, ia mengandalkan sisa tabuangan dari kerja terdahulu: sebuah lembaga anti korupsi.

Saya bilang, alhamdulillah. Tapi tidak sampai di situ. Dalam proses yang berbelit mengurus memperoleh gaji itu, ia mengeluhkan kalau harus memberikan terima kasih bagi bendahara kantor karena "telah dibantu mengurus keperluan administrasi". Sebelumnya ia tidak ngeh kalau kata terima kasih itu berupa uang. Setelah diberi tahu seorang teman--yang juga baru diterima bekerja di sana--ia baru tahu kalau harus segera menyiapkan sejumlah uang.

Si teman itu, kata istri saya di ujung telepon, nasibnya lebih parah lagi. Dia sudah bekerja sejak Desember itu dan baru pulang pra-jabatan di Bogor. Seorang petugas yang "mengurus administrasi" meminta uang terima kasih sebesar satu bulan gaji. Keduanya sepakat, gaji rapel si teman istri saya itu, akan dipotong sebesar itu. Tapi, telepon si teman kemudian berdering. Si petugas menawar lebih tinggi: "Bagaimana kalau satu setengah bulan gaji." Si teman tak punya pilihan kecuali menyanggupi, karena jika tak disepakati, gaji rapel tak akan turun sepeser pun. Artinya enam bulan bekerja itu tak ada konpensasi sama sekali.

Istri saya geram mendengar cerita si teman itu. Tapi, dia juga tak berdaya, dan masih pusing memikirkan kelakuan teman-teman kantornya yang baru. Ia menawarkan agar kasus itu dilaporkan saja ke lembaga anti korupsi bekas tempatnya bekerja dulu. "Bagaimana pun itu kan korupsi," ia hampir menjerit. Si teman menolak, karena "tak mau berurusan lebih panjang."

Setadinya istri saya sudah menyiapkan akan membuat saja kue sebagai rasa terima kasih itu. "Bagi saya membuat kue jauh lebih iklas dibanding ngasih duit," katanya. Tapi, itu jenis ucapan yang kelewat naif di sebuah kantor birokrasi. Untuk mengurus administrasi itu, sedikitnya ada lima orang yang harus diberi uang terima kasih. "Gak tahu deh, saya kuat gak kerja di sini," katanya.

Sebetulnya resiko seperti itu sudah terpikirkan sejak masih menimang-timang akan ikut mendaftar tes menjadi pegawai negeri September tahun lalu. Waktu itu, ia optimis, tak akan ikut-ikutan kelakuan-kelakuan seperti itu. Bukankah yang menyogok dan disogok timbangan kesalahannya sama? Kini, ia tak bisa mengelak lepas dari kondisi seperti itu.

Saya sendiri tidak terlalu kaget mendapat kabar seperti itu. Seorang teman yang dulu bekerja di tempat saya kini bekerja, dan kini juga jadi birokrat, bercerita hal yang sama. Bahkan itu lebih gila lagi. Ada sekitar 4.000-an pekerja baru yang akan mendapat rapel. Tapi, untuk mendapat rapel itu, setiap orang harus menyetor Rp 1,5 juta ke petugas sebagai uang terima kasih. Dia tidak tahu berapa orang yang menikmati uang tanpa keringat itu.

Inilah potret sebuah negeri ketika korupsi begitu kasat mata: dilakukan oleh siapa saja, orang yang mengaku rajin salat, mengerti hukum-hukum Tuhan, atau orang yang tak pernah memikirkan bahwa syukur adalah momen hidup yang inti (bukankah para pengemplang uang negara triliunan rupiah itu punya nama harum di setiap daftar pembangunan masjid?).

Setiap tahun APBN disusun untuk menggerakan ekonomi negeri ini. Entah berapa angka pasti kebocoran dari setiap anggaran yang direncanakan itu. Tak ada yang tak bisa dikorupsi dari apa pun di negeri ini. Negara adalah sebuah proyek untuk mengatur seberapa besar bagian yang saya dapat!

Pajak digenjot untuk menutup defisit akibat utang yang menggunung. Tapi, berapa pula duit itu yang tak masuk kas negara untuk digunakan semestinya. Katanya, setiap utang luar negeri 30 persennya raib ditilap birokrat. Tapi, saya cenderung yakin angka 30 persen itulah yang sebenarnya digunakan untuk membiayai dan menggerakan ekonomi. Justru selebihnya itulah yang ditilap.

Di ujung telepon istri saya masih mengaku pusing, betapa malunya besok ia masuk kantor saat memberikan amplop uang terima kasih. Malu kepada diri sendiri.

Tuesday, June 03, 2003

ROKOK

"Saya tidak tahu kenapa merokok"

Sutiyoso jelas bukan Michael Bloomberg, meski keduanya banyak kesamaan. Keduanya pemimpin kota metropolitan dua negara: yang satu Jakarta, yang satu New York. Keduanya juga tentara: yang pertama pensiunan jenderal bintang tiga, yang kedua tentara berpangkat terakhir kolonel. Keduanya punya keinginan yang sama: membatasi orang merokok di tempat umum.

Sutiyoso memang meniru Bloomberg. Bahkan ia lebih ekstrim karena melarang merokok di kantor. "Kalau kota lain di dunia bisa, kenapa Jakarta tidak," itu alasan yang diutarakannya saat mengumumkan akan memberlakukan larangan itu tahun ini. Pokoknya, perokok harus diisolir. Ini sejenis niat baik yang tak didukung peranti-peranti yang baik.

Membatasi orang merokok jelas harus menerapkan disiplin yang superketat. Siapa yang akan mengawasi orang melanggar atau patuh? Mungkin plang rokok mengepul yang dicoret garis merah. Tak mungkin satpam atau pamdal. Dua jenis pekerjaan ini justru berteman dengan rokok untuk menemani berjaga saat begadang.

Di New York seruan Bloomberg cukup berhasil. Itu karena orang sadar bahwa itu peraturan yang sudah disepakati senat sebagai perwujudan rakyat di parlemen. Orang akan mengingatkan orang lain--siapa pun it--untuk menyingkir jika tertangkap basah merokok di tempat umum.

Tak peduli artis. Britney Spears saja diusir pemilik kafe saat baru menyalakan pemantik api, suatu malam. Tapi, itu bukan tanpa pelanggaran. Jennifer Aniston bergandeng tangan dengan Brad Pitt di Fifth Avenue dengan mulut menggepit kretek.

Memaksakan peraturan yang sudah pasti akan dilanggar, bukan sebuah pendidikan politik yang baik. Orang akan cenderung berpikir, birokrasi hanya membuang waktu dan tenaga dan biaya. Niatnya baik, tapi pendukungnya tidak baik.

Sutiyoso jelas bukan Bloomberg yang bertangan dingin, hingga kumpul-kumpul di jalan dan taman pun dilarang. Tapi, rokok memang pembunuh paling ampuh yang dilegalkan. Bagi perokok, ada baiknya mendengar nasihat John Osbourne.

Dalam satu episode The Osbourne di MTV, ayah empat anak yang rocker gaek itu pernah menasihati anak laki-lakinya, tentu saja dengan gaya seorang teman. "Aku merokok selama 45 tahun," katanya, "badanku rusak." Ia kini memang total berhenti menghisap kretek. Kita menyaksikan di TV itu badan Ousbourne yang ringkih dan kaku. Memang, bukan karena rokok semata yang membuat tubuhnya takluk itu. Alkohol dan pola hidup yang sembarangan, adalah pemicu utama lainnya.

Di Indonesia, 48 persen laki-laki dan tujuh persen perempuan merokok. Di dunia, 10 ribu orang mati setiap hari karena tembakau. Yang unik di Belanda. Tahun depan negeri tulip itu akan mengesahkan ganja dijual di kios-kios pinggir jalan. Rokok? Barang ini haram untuk dihisap. Belanda menyakini ada banyak orang yang tak peduli merokok karena kerusakannya terjadi lebih panjang, dibanding ganja yang terlalu mempercepat kematian.

Lagi-lagi, jumlah perokok berbanding lurus dengan intensitas kampanye anti rokok. Anehnya, ini hanya terjadi di kota-kota. Rokok memang selalu blunder. Sama blundernya dengan jawaban yang diberikan para perokok jika ditanya kenapa merokok.