Monday, December 26, 2005

18 BULAN









Malam ini, 29 Desember 2005, untuk pertama kalinya Mikail menjawab pertanyaan dengan tepat melalui telepon. Biasanya, ia membanting gagang telepon atau telepon genggam ibunya tiap kali diajak ngobrol. Berikut ini percakapannya :

- Ayah : Hallo, Mika...
+ Mika : Ayah..
- Ayah : Mika sudah makan?
+ Mika : Dah.
- Ayah : Makan apa?
+ Mika : Abon (ia hanya bisa mengucapkan kata ini untuk segala jenis lauk makan nasi)
- Ayah : Makan sama siapa?
+ Mika : Ibu
- Ayah : Tadi siang main apa?
+ Mika : Embem (dia belu bisa bilang mobil)....tertawa... Embem.... (Suara ibu di belakang : Mika lagi ngobrol apa?)
- Ayah : Mainnya sama siapa?
+ Mika : Agung, Ki (Mas Uki)
- Ayah : Mika sudah ngantuk?
+ Mika : Gak (ketawa lagi, lalu memberikan telepon ke Ibu, tapi katanya merebut kembali gagang telepon). Ayah.. tu. (Suara Ibu : Iya, tukang kue putu lewat).
+ Ayah : Mika mau kue putu?
- Mika : Ga.
+ Ayah : Iya. Kan Mika udah maem.
- Mika : Ya.
- Ayah : Mika bobo ya. Udah malam ini, nak...
+ Mika : Gak. E-e
- Ibu : Mikanya mau e-e dulu nih. Udah dulu ya...
[Buru-buru. Telepon ditutup.]

Sunday, December 18, 2005

FILSUF



Socrates, teman saya, punya petitih yang baru saja ia resapi betul dan dipertimbangkan bolak-balik. "Untuk umur saya," katanya, "saya harus lebih banyak mengerti orang lain, bukan sebaliknya." Dia memang agak telat kawin.

Saya manggut-manggut. Itu rumusan yang persis saya dapatkan juga setelah tahu rasanya kawin dan beranak-pinak. Lalu kami tertawa setelah saling diam. "Telat atau tidak telat kawin ternyata bisa bikin orang jadi filsuf." Persis Socrates. Tentu saja Socrates betulan yang dari Yunani dan bapak filsafat itu.

Frase "mengerti orang lain" ternyata dasar dan awal dari sejarah filsafat. Setidaknya ini menurut Jostein Gaarder. Siapa yang tak kenal dia?

Empat novelnya sudah diindonesiakan. Dan Dunia Sophie--novel keduanya--meledak diterjemahkan ke 42 bahasa di dunia. Novel-novel penulis Norwegia itu memang berkeinginan memperkenalkan dan merangsang minat orang pada filsafat. Menurut Gaarder, kecenderungan orang malas menjawab pertanyaan "apakah dunia ini sebuah misteri?" karena kita terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi, dengan kerja, dengan hidup sehari-hari. Karena itu menelaah kemisteriusan dunia saja sudah malas. Atau menjawab sekadar pertanyaan, "Siapakah aku?" "Dari manakah aku berasal?"

Baiklah. Kita kembali ke frase "mengerti orang lain". Menurut Gaarder, para filsuf di awal-awal perkembangannya lebih banyak laki-laki. Itu karena para lelaki lebih merasa penting untuk dipahami. Sedangkan perempuan lebih merasa penting jika bisa memahami. Karena itu para lelaki lebih berani unjuk gigi, tampil ke muka cari perhatian, dan lahirlah ilmu-ilmu filsafat. Lihatlah Socrates, kata Gaarder. Dia berkeliling menyapa orang-orang Yunani hanya untuk mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal sepele di sekitar sampai ia dinyatakan orang berbahaya dan mengancam "demokrasi"--sesuatu yang ia kenalkan ke khalayak--hingga tiba saatnya ia dipaksa minum racun cemara.

Karena itu frase "mengerti orang lain" jadi lebih terkesan feminim. Maka para pengerti atau para pencari jawaban pertanyaan-pertanyaan filosofis itu dikenal dengan nama kaum "sophies". Dan Gaarder memilih nama Sophie, gadis 16 tahun, sebagai tokoh utama dalam novel Dunia Sophie itu.

Saya tidak tahu bagaimana perkembangannya kini. Tapi dalam dunia sekitar kita, kita pernah mendengar penyair Sapardi Djoko Damono pernah berkata bahwa "dunia sastra Indonesia terletak di tangan perempuan" karena begitu banyak penulis-penulis muda yang muncul dari jenis kelamin ini. Dan, sepertinya, mereka "menjanjikan". Di beberapa milis yang saya ikuti, mereka yang aktif berkomentar dengan bahan bacaan yang luas dan argumentasi yang mantap memang lebih banyak perempuan. Mungkin perlu ada survei, setidaknya dari kategori umur belasan, lebih banyak mana remaja laki-laki atau perempuan yang lebih suka membaca.

Untuk kasus Socrates, teman saya, mungkin bisa jadi terbalik. Karena itulah kami tertawa. Telat kawin memang bisa bikin orang jadi suka merenung-renung.

Wednesday, December 14, 2005

LAGU DI ANGKOT



Saya masih tercengang-cengang oleh angkutan kota, terutama di Bandarlampung, meskipun sudah sedikit bisa berdamai. Berdamai dengan kebrisikan pengeras suara yang menyemburkan lagu-lagu house music. Bukan mulai suka, tapi mulai bisa tak peduli. Saya bisa cuek sambil menutup kuping.

Bunyi pengeras ternyata tak cuma dipasang untuk hiburan, tapi juga sebagai daya tarik bagi penumpang. Pantas saja, setiap angkot berlomba memperbesar pengeras suara yang sudah menghabiskan jatah duduk dua penumpang. Jika ada orang naik, para sopir akan mengeraskan bunyi lagu, tak peduli jantung penumpang di belakangnya berdegup karena getaran bunyi itu. Bagi pengidap lemah jantung, hati-hati memilih angkot di Bandarlampung.

Kini saya juga tak lagi bertanya-tanya kenapa para penumpang mau saja telinganya dijejali suara-suara aneh itu. Mereka ternyata juga doyan. Atau, seperti saya, tak peduli! Mungkin mereka juga pernah meminta suara diturunkan tapi dihardik sopir yang marah. Saya pernah.

Jam 13, terik memanggang. Saya naik angkot sambil menggendong Mikail yang tidur. Angkot ini saya pilih karena tak mengeluarkan bunyi lagu. Eeh, begitu kami masuk, si sopir langsung membunyikan tape kasetnya. Astaga, Mikail yang belum genap delapan bulan menjerit karena kaget. Istri saya minta suara dikecilkan, tapi kondektur itu bersungut-sungut. "Bung, apa Bung tak lihat saya bawa bayi?" Si kondektur cuek. Katanya, tanpa bunyi lagu ia bakal tak dapat penumpang. Saya mengalah. Kami turun mencari angkot yang lain.

Tapi jenis musik angkot kini mulai bergeser. Lagu-lagu untuk triping sudah agak jarang diputar. Ini zaman Peterpan dan Radja. Hampir semua angkot tak ada yang tak memutar lagu-lagu dua kelompok band ini. Kalau bukan Jujur pasti lagu-lagu album Taman Langit. Sepertinya, penumpang juga suka dengan lagu-lagu ini. Kaki-kaki, sepatu-sepatu, ikut bergoyang mengiringi ketukan setiap lagu. Ada juga yang lirih bernyanyi dengan gumam, meskipun suara lagu terdengar sember karena kalau bukan kaset bajakan, pengeras suara sudah pecah.

Para pengusaha rekaman harus berterima kasih kepada para sopir angkot. Setadinya saya pikir lagu Jujur atau Cinderela adalah sebuah lagu lama yang ngetop di daerah. Setahun kemudian, saya tahu itu lagu Radja yang sudah mengeluarkan empat album. Kini, oleh tabloid Bintang Indonesia mereka dinobatkan sebagai kelompok musik paling unggul tahun ini. Atau lagu Tak Bisakah yang sudah populer jauh sebelum iklan film Alexandria dipajang.

Para sopir bisa jadi tim pemasar yang efektif dan efesien. Lagu tak beda dengan merek: disukai bisa dengan dijejalkan setiap hari ke kuping orang. Sebuah lagu akan menyambar memori orang yang mendengar. Dan memori manusia jauh lebih besar dibanding MP3 dengan kapasitas berapapun. Kita akan tahu sebuah lagu setelah mendengar meskipun tak hapal atau samar-samar. Angkot juga bisnis yang tahan krisis. Para sopir menggerutu sejak harga bensin naik 2,5 kali lipat. Tapi mereka terus narik karena "rezeki bisa berserakan di setiap tikungan jalan".

Monday, December 12, 2005

IBU

Seputar Indonesia
Bagja Hidayat

Aku dan ibu duduk berhadapan di ruang tengah. Aku bertanya bagaimana hajatan di rumah kemenakan Pak Lurah di kota itu. Bapak dan Ibu telat pulang sehari dari janji yang cuma sehari di Bandung. Bapak sedang keluar rumah entah kemana sementara adik-adik sedang main ke rumah temannya. Ibu, seperti biasa, selalu menjadi pencerita yang menyenangkan tentang pengalaman-pengalamannya.

"Ibu dan bapak sempat jalan-jalan?" tanyaku. Aku mengupas kulit mangga pelan-pelan.

"Itulah kenapa kami sampai harus menginap," kata Ibu. Tangannya meraih majalah di kolong meja lalu membuka halamannya satu-satu.

"Ke mana saja? Bandung, kata orang, tempat yang bagus untuk jalan-jalan."

"Begitulah. Sampai ibu harus menanggung malu." Mata ibu tertuju pada majalah di pangkuannya.

"Menanggung malu?”

"Ibu jadi tontonan banyak orang karena nongkrong di rumah bordil."

"Bordil? Untuk apa ke tempat seperti itu?" aku jadi tak habis pikir.

"Untuk apalagi kalau bukan melacur.”

"Apa?" Aku berhenti mengupas mangga. “Siapa yang melacur?”

"Bapakmu.” Suara Ibu tetap datar.

"Apa?"

Aku terperanjat dari tempat dudukku. Mangga terjatuh ke ubin. Aku menatap ibu lekat-lekat. Ibu terdiam melihat reaksiku yang tiba-tiba itu. Diam ibu adalah diam seperti patung. Tak ada reaksi kendati suaraku meninggi.

"Maksud ibu apa?"

"Bapakmu pergi ke pelacur."

"Ibu tidak sedang memakai bahasa kiasan, kan?"

"Ya, tidak. Bapakmu pergi ke rumah bordil, ibu dan Bu Lurah menunggu di luar."

"Ibu biasa saja?"

"Ah, masak kamu tidak mengerti, sih."

"Bu. Bapak melacur, dan ibu diam saja, biasa saja?"

"Apa yang ibu bisa lakukan?"

"Apa yang ibu bisa lakukan? Astagfirullah. Ibu tidak apa-apa?"

"Ya, tidak. Sudah jadi kebiasaan bapakmu."

"Astagfirullah!"

"Ibu menurut saja."

"Gusti. Bu, ini serius! Kenapa ibu membiarkannya? Ibu memilih menanggung malu?"

Air mukanya berubah. Kini matanya sembab. Tapi tak sampai menangis. Ibu hanya diam. Air mata itu seolah enggan keluar dari kelopak matanya yang mulai keriput. Ibu sudah seperti terbiasa bagaimana menahan air mata agar tak sampai menetes. Air mukanya sekejap saja murung. Setelah itu kembali seperti sedia kala. Seolah-olah beberapa waktu sebelumnya tak ada kejadian atau obrolan yang mengejutkan dan menyedihkan.

Bapak pergi melacur! Ini sebuah tamparan keras bagiku. Selama ini, aku pikir, bapak dan ibu akur-akur saja. Mereka terlihat rukun dan harmonis. Tak pernah kudengar bapak marah karena ibu berbuat salah atau sebaliknya. Ibu tak pernah mengomel. Bapak selalu mendengar apa kata ibu. Tapi, ternyata, hidup mereka penuh sandiwara. Penuh kebohongan di depan anak-anaknya. Aku tahu ibu sedang menangis dalam senyumnya. Aku tahu hatinya remuk. Aku tahu hidupnya hancur.

"Astagfirullah, Bu." Aku memeluknya. Aku menangis di pundaknya. Aku sesenggukan dalam pelukannya. Ibu tak bereaksi. Ia diam membatu. Tangannya masih memegang majalah yang terbuka. Tubuh cekungnya juga tak memberikan reaksi apapun ketika kupeluk. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Mengutuk ke-diam-an ibu. Menujah ketakberdayaan ibu. Aku ingin menjerit dan marah pada ibu. Tapi yang keluar hanya bunyi sesenggukan dari dalam tenggorokanku. Aku tercekat. Betapa selama ini kami, semua anaknya, dibohongi dengan keharmonisan hubungan mereka.

Aku lepaskan pelukan setelah bisa sedikit menguasai diri. Ibu masih mematung di tempat duduknya. Tatapannya kosong. Raut mukanya tak berubah. Matanya tertuju ke arahku tapi tidak menatapku.

"Kenapa, Bu?" aku mencoba bertanya di sela sisa-sisa isak. Agak lama aku menunggu jawaban ibu. Matanya berkedip. Ia menarik napas pendek. Kini tatapannya benar terarah padaku. Ibu menatapku penuh iba.

"Ibumu frigid," ia menjawab datar. Tak ada tambahan ekspresi setelah menyelesaikan ucapannya. "Tak bisa lagi melayani ayahmu." Aku kembali menghela napas. Aku tak menyangka jawaban itu yang akan kuterima dari serentetan kemarahan, kekecewaan, dan pertanyaanku atas peristiwa itu.

"Sejak kapan?"

"Sejak adikmu lahir."

"Selama itu, Bu? Astagfirullah." Aku kembali terisak. Hatiku makin remuk. Pikiranku langsung tertuju pada bapak yang bolak-balik melacur selama 15 tahun. Dan mereka berhasil menyimpan rahasia itu hingga terbongkar kini.

"Ibu sudah terbiasa dengan kelakuan ayahmu," katanya, "ini juga kesalahan ibu, ibu menerimanya sebagai takdir. Bapakmu masih muda, kamu pasti tahu."

Obrolan terputus. Suara langkah bapak terdengar di halaman. Ibu berlari ke kamar. Aku menyeka sembab. Kesedihan itu hilang berganti amarah yang siap melonjak. Aku tak lagi bisa menahan amarah. Aku ingin menumpahkannya saat itu juga. Bapak masuk tanpa mengetuk. Air mukanya cerah, secerah yang biasa kulihat. Ia menghisap rokok yang hampir habis lalu mematikannya pada asbak.

"Bapak dari mana?" aku langsung menyergah. Aku sudah tak ingat apakah kata-kataku benar tersusun keluar dari mulutku.

"Dari rumah Pak Lurah. Ibumu mana?"

Dunia di sekelilingku jadi merah dan gelap. Tanganku bergetar memegang pisau dapur.

[2004-2005]