Friday, January 11, 2008

SURAT PEMBACA



Jika media massa adalah cermin hidup kita, kata sebuah pepatah Iran, kolom surat pembaca adalah cermin media massa itu sendiri. Setelah iklan kematian, masa depan sebuah koran atau majalah bisa dilihat dari surat yang ditampilkannya.

Konon, menurut sahibul survei, halaman ini paling banyak dan pertama dibaca orang. Di majalah saya, tentu saja setelah Catatan Pinggir. Bukan karena tempatnya paling depan setelah daftar isi berita apa saja yang ditulis pada pekan ini, tapi karena kebiasaan. Kolom surat menjadi semacam interlude sebelum memasuki berita-berita di halaman dalam. Lembar surat juga menjadi semacam hiburan. Orang ingin tahu apa yang menjadi masalah orang lain--sebuah asumsi dasar jurnalisme.

Peminatnya juga banyak. Setiap hari saya menerima puluhan surat. Isinya rupa-rupa: komentar atas peristiwa, protes, kekecewaan, kritik. Tentu saja di luar hak jawab. Dari semua itu yang paling banyak adalah komentar. Ada yang bagus, lebih sering yang muter-muter, bahkan cuma merangkum berita di media belaka. Opini si penulis sendiri tidak ada. Ada yang pendek, ada yang panjang ampun-ampunan.

Ada yang rutin, ada yang sekali-sekali. Yang rutin ini perlu dipuji. Setiap hari, dia menulis surat. Setiap berita dia komentari, setiap peristiwa dia hubung-hubungkan dengan peristiwa lain. Saya punya banyak alamat surat yang sama, tapi dengan nama berbeda-beda. Isinya juga tak jauh-jauh. Kalau bukan soal Munir, soal perbatasan negara, Aceh, atau isu-isu yang menyangkut militer. Mungkin dia intel yang tugasnya membuat opini publik. Di zaman Orde Baru, penggiringan opini semacam ini disebut "Operasi Sandi Yudha".

Para intel tahu betul, sebelum hasil survei keluar, surat pembaca menjadi media ampuh menggiring opini publik dalam suatu kasus. Kini pola itu masih ada. Pola baru justru sedang berkembang: mencari uang lewat halaman ini. Saya sering menerima surat seseorang yang mengatasnamakan lembaga swadaya, tapi isinya menyerang salah satu perusahaan. Mungkin si penulisnya diminta oleh perusahaan yang menjadi seteru perusahaan yang ditulisnya itu.

Ada juga yang mengatasnamakan LSM tapi opini yang dibuatnya tidak nyambung dengan soal yang seharusnya dia urus. LSM pengemis, misalnya, berbusa-busa menyoal teknologi panser. Mungkin duit juga ujungnya. Atau LSM yang sedang mencari nama. Isi suratnya melulu puja-puji kepada pejabat tertentu. Jika semua media menyerang pejabat A karena korupsi, LSM ini tampil dengan sederet puja-puji atas jasa-jasa si pejabat itu.

Tapi, ada juga yang mengharukan. Misalnya, seorang pensiunan dari Lembang, Bandung, menulis surat--dengan mesin tik yang tintanya sudah pias dan rebek--memohon bantuan dana membangun perpustakaan. Ia sudah 20 tahun berkeliling ke kampung-kampung membagikan buku dan majalah tanpa memungut biaya. Kini ia sudah tua, tak sanggup lagi mendorong sepedanya berkeliling. Ia pun membangun satu ruangan di rumahnya untuk rumah buku-buku itu. Uang pensiunnya tak cukup jika harus dibagi dengan ongkos kuliah anaknya.

Kolom surat pembaca memang cermin media massa dan pembacanya.