Thursday, August 28, 2003

SUATU SORE DI PLANET MARS




Ketika itu hari sudah agak gelap, meski sejauh mata memandang masih juga terlihat gundukan dan hamparan es di sana-sini. Beberapa orang terlihat keluar dari gundukan es dan berkerumun di suatu tempat yang agak lapang. Mereka terlihat berbincang. Kadang-kadang terdengar suara tawa yang lepas. Seorang ketua kampung mengabarkan, mereka akan melihat sebuah benda yang gelap, tapi ada kehidupan di sana. "Mahluknya aneh-aneh, so, jangan lewatkan untuk melihat mereka, karena kita bisa melihat mereka dengan jelas setiap 60 ribu tahun sekali," kata ketua kampung memberi pengumuman.

Ketika redup tak lagi beranjak, seseorang berteriak. "Saya melihat," tangannya menunjuk ke atas. Di sebelah barat sebuah benda gelap bulat semakin mendekat. "Mereka melihat kita," seseorang yang lain menimpali.

"Benda apakah itu?"
"Itu bumi, goblok!"
"Hmmm...kok penghuninya aneh-aneh?"
"Namanya juga manusia, ya, aneh dong. Bukan manusia kalau tidak aneh."
"Benar juga. Namanya manusia, toh?"
"Ah, kau kuper kali."
"Kelakuannya norak."
"Kok norak?"
"Lihat saja, mereka berdesak-desakan melihat kita. Sementara kita tenang-tenang saja."
"Namanya juga mahluk aneh."

Sesaat hening. Beberapa yang lain terlihat tak acuh. Menyalakan rokok lalu menyingkir dari kerumunan. Sepasang yang lain menyelinap di balik reruntuhan es yang sedikit mencair. Mereka berpacaran.

"Kenapa kita tidak mampir saja ke sana"
"Buat apa? Membikin masalah saja kalau ketemu mereka. Kita pasti dianggap aneh."
"Mereka memang aneh, tapi tubuhnya berbulu. Ada rambut dan bulu di bibir. Kalau dicium mungkin geli juga ya."
Terdengar tawa yang lepas dari kerumunan.
"Dasar otak mesum."
"Ih, ngiri aja, lebih baik mesum daripada minder."
"Jaka Sembung bawa botol, gak nyambung tolol."

Ketua kampung masuk kerumunan.

"Kalian tahu kenapa mereka aneh?"
Kerumunan hening.
"Karena mereka diberi otak. Mereka juga punya hati. Beruntung mereka diberi hati, karena otak mereka sudah kotor semua. Sebab itu mereka piktor. You know piktor? Itu artinya pikiran kotor. Suka mendengki, pendendam, culas, bahkan saling bunuh di antara mereka sendiri. Perbuatan sangat bodoh sekali."
Sekali lagi kerumunan hening, tak ada yang berani bicara. Tapi, mereka terlihat tetap tak acuh.

"Lihat saja kelakukan mereka. Saling sikut hanya untuk melihat kita, tempat kita. Saya lihat kemarin sore seseorang menggondol teleskop hanya agar leluasa mengintip kita. Egois sekali. Tak mau antri barang sebentar. Mereka juga serakah. Beberapa yang lain kerjanya hanya mengintip kita dan menghitung ongkos kalau tinggal di sini. Bumi saja tak cukup untuk mereka."

"Ih, jijay deh..."
"Apanya yang jijay?"
"Itu lihat, ada yang kencing sembarangan, pake ditempelin ke tembok segala..."

Wednesday, August 27, 2003

HARYANTO DAN KITA




Namanya Haryanto. Umurnya 12 tahun dan kini duduk di kelas 6 SD Kelurahan Muara Sanding, Garut. Tak ada yang istimewa dari curriculum vitae bocah ini. Tapi, ia mengejutkan kita dengan nekad menjeratkan kabel telepon ke lehernya di belakang rumah pada suatu siang. Haryanto gantung diri "karena malu belum membayar uang ekstrakurikuler sekolah".

Namanya Haryanto. Dan cuma itu, tapi dia mengejutkan kita.

Sudah beberapa hari itu, ia merajuk meminta uang kepada ibunya. Apa boleh buat. Dengan penghasilan Bapak yang cuma Rp 7 ribu sehari, si ibu tak bisa memenuhi keinginan anaknya untuk membayar uang ekstra membikin sulaman burung sebesar 2.500 perak. Lagipula, hari itu, Bapak sedang tak enak badan dan tak bisa berangkat ke pasar menjadi kuli panggul.

Si ibu pun hanya memberi uang 500 perak hasil mengutang ke tetangga untuk Haryanto dan adiknya saat pamitan hendak berangkat ke sekolah. Siangnya, Haryanto kembali merengek. "Kantun Ato anu can mayar (Tinggal Ato yang belum bayar)," begitu rengeknya. Si ibu terharu, tapi ia tak berdaya. Haryanto pun menangis sejadi-jadinya lalu berlari ke belakang rumah, dan si ibu mendapati anak sulungnya itu menggantung di pohon jambu.

Beruntung Haryanto belum meninggal saat si ibu menjerit dan menurunkan tubuh anaknya itu. Tapi, Haryanto terancam lumpuh, karena ada kerusakan di jaringan otaknya, juga terancam cacat mental.

"Kantun Ato anu can mayar," kalimatnya menunjukan rasa bersalah seorang anak, seorang murid. Kita tahu bagaimana perasaan Ato hari itu. Kita tahu, karena kita tahu bagaimana hubungan murid-guru di sekolah-sekolah kita. Guru-guru kita memerintahkan mengerjakan tugas sekolah tanpa terbantahkan. Dalam memberi tugas membuat sulaman burung itu, guru memerintah dengan memaksa. Tak ada murid yang berani menolaknya.

Guru, bagi sebagian kita yang belajar di sekolah-sekolah di kampung, adalah seseorang yang patut digugu dan ditiru. Ia hanya mengajar, tanpa mendidik bagaimana jadi manusia. Si guru mungkin hanya memberi tugas, sembari pusing bagaimana menutup tagihan kredit barang kelontong yang diutang istrinya.

Cerita Bapakanya Haryanto adalah cerita tentang bagaimana Indonesia. Penghasilan 7 ribu perak sehari adalah penghasilan kaum tani jaman Belanda dulu. Cerita seabad lampau yang masih terjadi hari-hari ini. Indonesia pun terpuruk di urutan 112 dalam indeks pembangunan manusia, dua tingkat di bawah Vietnam.

Kisah gantung diri Haryanto, dan sekolahnya, adalah cerita pendidikan di Indonesia. Haryanto mungkin anak yang cengeng sehingga hanya bisa meminta tanpa bisa melakukan sesuatu untuk keinginannya. Tapi apa yang bisa lakukan anak sekecil itu yang harusnya menikmati main bola di lumpur? Kondisi itu juga dibentuk oleh sekolah tempatnya belajar yang tak bisa merangsang murid-muridnya menyampaikan pendapat atas apa yang tak masuk akal dan sesuai kemampuannya.

"Sekolah adalah penjara," begitu tulis penyair India yang masyhur, Rabindranath Tagore, "setiap kali jam pelajaran mulai saya selalu ingin cepat dewasa dan buru-buru meninggalkan sekolah." Sama halnya dengan sekolah-sekolah kita yang merasa bertugas merumuskan hidup setiap anak.

Haryanto mengejutkan kita dengan gantung diri karena duit 2.500 perak. Sebuah nominal yang tak cukup membayar sebungkus rokok.

Saturday, August 23, 2003

DUA MALAM DI LOSARI




Dari empat hari keliling Makassar pekan lalu, dua malam saya nongkrong di Pantai Losari dan jalan-jalan sepanjang tubir pantainya. Kata seorang teman--saya bersama rombongan lain dari Jakarta--Pantai Losari waktu malam kayak di Miami. Waduh, saya belum pernah ke Miami. Tapi mungkin begini persamaannya. Ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, trotoar sepanjang 5 kilometer itu jadi ramai sekali dengan lalu lalang orang. Atau mereka sekedar nongkrong di tembok pembatasnya. Di belakang mereka, di pantai yang gelap, lampu-lampu berkelap-kelip dari tiang-tiang perahu yang diparkir di sepanjang pantai. Perahu-perahu itu mencolok di tempat gelap karena hanya ada satu warna: putih pucat kafan.

Ke sebelah selatan, "meja makan terpanjang di dunia" terang benderang. Di sana anak-anak muda membuat janji ketemu atau sekedar kongkow. Ada pelbagai jenis makanan di sini. Tapi, sayangnya, lebih banyak makanan Jawa. Pecel dan bakso hampir tertulis di setiap warung-warung tenda itu. Yang khas, apakah khas (?), mungkin hanya pisang epe. Ini pisang bakar yang diberi bumbu selundreng dicampur gula merah. Tentu saja, rasanya sangat manis. Tapi, kata teman kami yang asli sana, "belum serasa ke Losari jika belum makan pisang epe".

Di Losari pengamennya juga bagus-bagus, terutama yang anak-anak. Kebetulan si teman kami itu seorang aktivis LSM yang banyak membantu membiayai dan mempertajam kemampuan anak-anak ini memainkan alat musik. Ada satu kelompok pengamen yang kami suka. Sehingga pada malam kedua, kami khusus mencari mereka untuk didengarkan lagu-lagunya.

Anak-anak ini rata-rata putus sekolah. Mereka kemudian hanya mengamen dari awal hingga akhir malam. Katanya penghasilannya lumayan juga. O ya, salah satu alumnus pengamen Losari adalah Rudi Makassar. Kalau Anda sempat nonton tivi pas 17 Agustusan di Istana Negara, Rudi tampil di sana membawakan beberapa lagu Iwan Fals. Rudi tubuhnya kecil, sehingga sangat jomplang dengan besar gitar di pangkuannya. Kini Rudi sudah jadi "artis". Sewaktu kami ke Losari, Rudi sedang show ke daerah di Makassar. Yang tinggal hanya kakaknya, anggota grup pengamen yang kami tanggap itu.

Nongkrong di Losari sebetulnya acara terakhir setelah keliling kota Makassar waktu malam dengan mobil sewaan. Oleh teman kami yang orang Makassar itu, kami ditunjukan pelbagai tempat penting di kota ini. Ia fasih betul mengenalkan tempat-tempat itu, hingga makanan khasnya. Sewaktu makan malam kami dibawa ke restoran Pallu Kalloa. Ini jenis sayur ikan yang rasanya amat gurih. Pakai lalab rumput laut yang makannya dicelupkan ke air ikan itu. Apalagi jika menyesap isi kepala ikan Kerapu itu. Mak nyus rasanya.

Orang Makassar itu selalu terbalik melafalkan "n" dengan "ng". Jika ada kata berakhiran "n" maka mereka mengucapkannya "ng", dan sebaliknya. Tapi, anehnya, banyak orang Makassar yang punya nama berakhir "din". Keterbolak-balikan pengucapan itu terbawa oleh para pengamen saat bernyanyi. "Ada Mbah Dukung, sedan ngobating pasiennya....kakakak..." Orang-orang pun tertawa mendengarnya.

Saharuddin, teman kami itu, pandai betul mengejek cara pengucapan orang Bugis yang lucu itu. Maka ia bercerita tentang sepasang kekasih. Si lelaki orang Makassar yang ditolak cintanya oleh perempuan asal Jawa. Si laki-laki pun merajuk.

"Sayan, apa kekuran aku ini, Sayan? Kenapa kau menolak cintaku? Apa yang kuran. Bapakku oran pentin. Rumahku rel estet, mobil kijan, motor RX Kin, punya kapal terban. Kawinlah sama aku, Sayan, kau akan bahagia."

Si gadis dengan tersipu lalu menjawab. "Kekuranganmu cuma satu, Sayang. Kurang "g"." Kami terbahak mendengar cerita itu (tapi, maap, kalau jadi garing ketika dituliskan lagi di sini, heheh). Dia juga mengejek namanya sendiri. Katanya, kalau kenalan sama orang dia mengenalkan, "Saharudding, jangan pake "g", ya." Losari memang asyik untuk nongkrong.

Friday, August 22, 2003

ORANG MISKIN



Suatu kali himpunan jurusan kami berniat buka puasa bareng pengemis dan pengamen yang bertebaran sepanjang Jalan Pajajaran Bogor. [Pengemis dan pengamen jadi "lalat pengganggu" pengguna jalan sejak krisis 1997]. Salah satu tujuan mulia acara itu adalah lebih mendekatkan dan bisa merasakan bagaimana penderitaan orang-orang itu. Bukankah Tuhan memerintahkan berlapar-lapar agar kita bisa berbagi nikmat? Maka buka puasa pun digelar di suatu sore yang cerah dan terasa selalu lain dibanding sore selain Ramadan.

Kami terkejut bukan karena jumlah pengemis hampir dua kali lipat dari jumlah yang diundang. Tapi bagaimana pakaian dan tingkah orang-orang yang digolongkan miskin itu. Seorang ibu yang menggendong anaknya tiba di kampus kami dengan gelang hampir setengah lengan. Ibu yang lain memakai kalung yang menjuntai. Anak-anak mereka yang kulitnya hitam karena daki dan polusi memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu yang dipakai anak TK ibu kos saya.

Orang miskin memang aneh.

Sewaktu salat Jumat di masjid DPR, saya menitipkan sepatu pada anak-anak remaja yang sibuk menawarkan jasanya menjaga sepatu dan sandal. Saya minta sekalian disemir saja. Usai salat, sengaja menunggu agak kosong, saya hampiri mereka dan memberi uang Rp 1.000 untuk jasanya. Sembari memasang sepatu, saya tanya berapa penghasilan mereka sehari. Kata anak umur 7 tahun, hasil menyemir dan jasa penitipan itu dia bawa pulang Rp 50 ribu.

Mereka bekerja tak lebih dua jam. Ya, sepanjang salat Jumat itu. Penghasilan itu lebih besar lagi seandainya tak ada teman lain mereka yang menjual jasa yang sama. Hari-hari biasa mereka mengantongi Rp 30 ribu. Mereka bekerja usai sekolah. Kalau ditotal, penghasilan mereka sebulan mungkin Rp 700 ribu. Itu sudah dipotong hari libur, dan dipotong hari biasa yang penghasilannya tak sebanyak hari Jumat. Penghasilan yang melebihi gaji pegawai negeri baru golongan IIIA. Pegawai negeri golongan ini tak lain lulusan perguruan tinggi bergelar sarjana.

Lalu kenapa mereka digolongkan orang miskin, sementara sarjana yang IIIA itu tidak? Si anak yang menyemir sepatu itu mengaku bapaknya sudah meninggal. Ibunya berdagang di pasar. Rumah mereka di pinggiran rel dekat stasiun Palmerah. Kakaknya tak sekolah lagi, karena tak punya biaya. Miskinkah mereka?

Orang miskin mungkin diciptakan menjadi komunitas yang aneh.

Sewaktu skripsi saya menghitung penghasilan petani damar di Krui, Lampung Barat. Saya pilih responden secara acak dari guru SD, petani, hingga mereka yang bekerja buruh--golongan ini tak punya lahan pertanian dan bekerja pada mereka yang punya lahan. Saya kebingungan menganalisis data yang saya peroleh karena, ternyata, hampir satu desa itu tergolong orang miskin jika menyandarkan pada parameter kemiskinan yang dibikin PBB, UNDP, atau Sajogjo.

Memang ada banyak parameter kenapa seseorang disebut miskin. Akses terhadap informasi atau penghasilan kepala keluarga sehari, misalnya. Tapi orang di desa itu masih bisa lebaran dengan baju baru. Setiap malam lenguh tawa masih terdengar dari sebuah rumah tanpa listrik ketika bulan purnama. Aneh, memang, kenapa ada orang miskin.

Tuesday, August 19, 2003

DIRGAHAYU

SLOGAN selalu saja salah kaprah. Maka, peringatan ulang tahun Proklamasi kemerdekaan yang  ke-58 saja masih juga salah tulis, atau paling tidak bertentangan, dan kisruh satu sama lain. Di jalan-jalan utama Jakarta, hanya spanduk dirgahayu yang dipasang kantor Prudential di Jalan M.H Thamrin yang benar penulisannya. Selebihnya salah kaprah.
Kesalahan itu tidak saja monopoli Jakarta. Di Makassar juga begitu. Keliling empat hari di sana, saya menemukan hampir semua spanduk dari kantor gubernur hingga gang kampung tertulis "Dirgahayu RI ke-58". Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58. Atau mungkin, karena sudah 58 tahun dan 58 kali, saat membuatnya sudah tak berpikir lagi. Pokoknya, ulang tahun kemerdekaan harus dirayakan semeriah mungkin: dengan panjat pinang dan balap karung.


"Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58."

Saya tidak tahu di negara lain, yang struktur bahasannya ajeg, karena itu bahasanya juga berpeluang lebih hidup. Di sini, orang tak peduli slogan tertulis benar atau salah, meskipun slogan memang tak mementingkan benar, karena yang pokok adalah menggugah. Padahal yang menggugah akan diingat dan salah pun menganak cucu.
Sama halnya dengan spanduk polisi yang dipasang di setiap jalan: Damai Itu Nyata Indah. Rupanya dalam struktur kalimat yang aneh ini terselip pesan sponsor. Spanduk-spanduk itu konon disponsori Factory Outlet Nyata. Lepas dari itu, apa yang bisa kita tangkap dari isi spanduk itu? Damai, ya, damai. Kalimat itu sama dengan pernyataan, "Langit itu luas." Siapa yang tak tahu, bukan?

Gerimis di Jakarta merobek spanduk-spanduk di dekat Monas. Orang-orang berteduh di bawahnya. Salah satunya di bawah spanduk lain bertuliskan "Disiplin Lalu Lintas Cermin Disiplin Bangsa" hingga memenuhi jalan yang mengakibatkan macet. Siapa yang peduli bangsa, coba? Karena tak jauh dari situ adalah baliho lain bertuliskan "Basmi jerawat Anda dengan...." Iklan ini menyapa lebih personal, menyentuh persoalan sehari-hari yang bisa dihadapi siapa saja, kapan saja.

Sewaktu SMA, saat ulang tahun emas republik ini, guru kesenian kami memberi tugas menggambar sekolah dengan tema kemerdekaan. Dan guru saya kemudian menilai gambar paling bagus adalah gambar yang penulisan dirgahayunya keliru.

Apa yang teringat ketika ulang tahun kemerdekaan dirayakan? Sebuah semangat? Rasa nasionalisme? Mungkin sesuatu yang sulit dirumuskan. Di bundaran Hotel Indonesia orang-orang berteriak bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Mungkin benar karena setelah 58 tahun merdeka, kita pun masih keliru dan bingung menuliskan dirgahayu republik ini.

Monday, August 11, 2003

DI SELAT SUNDA




Jarak terminal Rajabasa-Bakauheuni serasa jauh sekali. Saya sudah tidur untuk membunuh waktu, tapi ketika terbangun karena jerit-tangis anak-anak, perjalanan masih belum juga sampai Kalianda. Padahal, rasanya, saya sudah tidur agak lama. Saya rasakan, jalan bus itu memang pelan sekali. Si supir tak henti-hentinya menguap. Mungkin ia baru bangun dan mandi, kalau dilihat dari rambutnya yang masih basah dengan bekas-bekas sisiran yang masih rapi. Pagi itu jam menunjuk pukul 9.30 WIB.

Seharusnya, jarak Bakauheuni-Rajabasa itu hanya makan waktu 1 jam. Sepanjang jalan lintas Sumatera yang lurus dan berlubang-lubang itu tak banyak penumpang yang menyetop bus. Tapi, karena bus berjalan pelan, baru pukul 12.30 bus AC itu masuk pelabuhan Bakauheuni.

Saya turun dan langsung menuju loket kapal cepat. Tiketnya Rp 25.000. Mahal juga, kalau dibanding kapal gede biasa yang cuma 2.000 perak kelas ekonomi. Di atas kapal bisa nego lagi dengan uang seribu kalau mau naik ke kelas bisnis yang ada bangkunya. Tapi, kalau dihitung perbandingan kecepatan, agak sepadan juga. Kapal cepat melintas Selat Sunda itu hanya 1 jam. Kapal ferry yang berisi mobil dan bus dua lantai dan penumpang di lantai 3 dan 4 makan waktu 2 jam. Belum ngetem, menunggu penuh dulu.

Saya memilih tempat duduk di dekat lorong jalan. Pilihan ini agar mudah saja kalau tiba-tiba kebelet pipis dan berjalan ke toiliet di belakang ferry Srikandi itu yang di pintunya betuliskan "Toilet, Man". Lagipula dari sana gampang juga melihat layar televisi yang menyiarkan Patroli. Ini juga termasuk pilihan. Karena di bagian depan yang hanya disekat oleh jalan masuk itu, dua layar tv menayangkan karaoke dangdut Uut Permatasari dengan goyang ngecornya. Saya belum baca koran, mungkin ada berita bagus di Liputan 6 siang atau Seputar Indonesia. Operator memutar gelombangnya ke SCTV, usai siaran Patroli.

Orang-orang mulai berdatangan dan mengisi bangku-bangku di perahu motor yang berisi 100 kursi itu. Kapalpun jadi riuh karena banyak sekali ibu-ibu menggendong anak. Mereka berteriak-teriak menyuruh anak yang paling besar diam, menyuruh duduk saja tanpa harus meloncat-loncat di atas kursi melihat laut. Sementara anak di gendongan juga tak henti meraung-raung karena perubahan suhu dari panas ke dingin. Bapak-bapak sibuk mengatur tas dan oleh-oleh.

Bangku di sebelah saya masih tersisa dua. Bangku di kapal itu tersusun empat-empat tiap baris. Di ujung baris saya dekat jendela, seorang anak muda yang rambutnya dikuncir sibuk mengirim sms. Dia juga tetangga bangku saya di bus Rajabasa itu. Tapi, kami tak saling menyapa karena juga tidak saling sapa sejak di bus.

Belum separo ngetem, datang seorang bapak dengan rambut yang tipis-beruban. Di tangan kanan dan kirinya dua tas bergelantungan. Dia behenti di depan saya sehingga menghalangi pandangan saya ke layar televisi yang sedang menyiarkan berita gelar doa di reruntuhan hotel JW Marriott.

"Permisi," katanya. Saya mendongak, menggeser duduk lebih merapat ke kursi, dan mengangkat tas di pangkuan. Tak lupa saya mengangguk.
"Silahkan."
Dia masih berdiri dan memandang saya. Saya lebih merapatkan kedua paha dan melipatkan betis di kolong kursi. "Silahkan, Pak." Saya mengulang perkenanan itu.

Dia menyeruduk membanting dua tas di tangan kanannya ke kursi di sebelah saya, sementara tas di tangan kiri menghantam kepala saya. Saya melotot, kaget campur marah. Dia berdiri di samping kiri-depan saya.
"Eh, kamu jangan macam-macam, ya.."
Saya tertegun, belum mengerti buat apa dia sebegitu marah.
"Kalau saya bilang permisi, kamu geser duduknya," dia melotot, napasnya terengah.
Saya menyungging, mencoba tenang.
"Lho, saya kan sudah bilang 'silahkan'".
"Iya, kalau ada yang bilang permisi, kamu geser duduknya. Kamu belum tahu saya?"
Saya memalingkan muka ke arah televisi lagi. Saya tak berniat meladeni orang yang tiba-tiba jadi gila. Dari ujung mata, saya lihat semua orang di dek itu melihat ke arah kami. Si bapak tua itu masih juga mengomel sambil membereskan tasnya.
"Jangan coba jadi berandal...kamu kira saya takut..."

Sambil mendengarkan celoteh itu, saya mencoba mencari penyebab kenapa dia marah. Tapi saya tak berhasil. Di mana-mana, yang pertama boleh memilih tempat duduk. Di tiket ferry itu tak tercantum nomor duduk. Jika ada penumpang belakangan, dipersilakan mengisi bangku yang kosong di sebelahnya. Asal tak saling terganggu, oke-oke saja. Di bus-bus di Jakarta juga begitu. Yang jaraknya dekat, memilih duduk di dekat pintu agar gampang turun. Tapi, si bapak ini kok begitu marahnya. Mungkin ia tipe orang yang tertutup dan menyangka semua hal yang tak sesuai keinginannya adalah bahaya, karena itu harus dilawan.

Setadinya saya ingin melihat bagaimana ia dikerubuti calo-calo Merak di terminal yang suka maksa dan tak segan memarahi penumpang jika tak menurut diajak ke busnya. Kalau menimpa si bapak tua ini asyik juga melihatnya, mungkin akan terjadi pertumpahan darah atau paling tidak bertengkar. Lumayan, buat tontonan lucu. Tapi, hari keburu siang, saya memutuskan berjalan cepat ke terminal dan menghindari calo dengan cepat masuk ke dalam bus jurusan Kampung Rambutan.

Tuesday, August 05, 2003

BOOM!




Hotel JW Marriott meledak di siang bolong. Ketika banyak orang sudah siap untuk bersantap. Orang tak menyangka ketika sebuah Kijang parkir di depan lobi lalu meledak menyisakan lubang 2 x 2 meter. Api bergulung-gulung menewaskan pengemudi dan siapa saja yang tak sempat menghindar. Getarannya terdengar hingga radius satu kilometer. 30 lantai hotel megah di kawasan Mega Kuningan itu hancur berat. Lebih dari 10 orang meninggal. Ratusan lainnya luka-luka. Kita menyaksikan angka-angka tragedi itu di televisi dan radio, juga situs berita.

Ada apa ini? Kita, yang masih punya akal sehat, tak henti-hentinya bertanya. Mengapa selalu saja ada orang yang tak rela negeri ini tentram dan menata kehidupannya kembali. Dulu, ketika setiap orang terperangah karena demontrasi bisa menumbangkan seorang diktator yang hampir tak mungkin terbantahkan, orang Jakarta was-was jika ada demonstrasi susulan. Kantor-kantor libur dan orang tak berani keluar rumah. Tapi, ketika demonstrasi menjadi biasa, orang juga jadi paralisis. Kita bahkan menyumpah-sumpah para pendemo karena bikin macet. Selebaran yang dibagikan di sepanjang Sudirman-Thamrin tak lagi menarik minat orang.

Suatu ketika lagi, ketika ledakan-ledakan hampir mengisi hari-hari, kita juga terkena paralisis yang kedua. Di Ancol, Taman Mini, Dunia Fantasi, selalu saja sibuk dan anak-anak bermain di sana dengan riang. Padahal, ancaman bom bisa saja mengejutkan dan menewaskan mereka. Siapa peduli? Toh, umur sudah ada yang menentukan. Kita bersikap apatis sembari berharap keadaan bisa pulih yang dijanjikan jika apa yang disebut reformasi berjalan.

Tapi apa yang didapat. Korupsi makin merajalela di hampir setiap bentuk hidup orang dan wilayah publik. Kejahatan makin marak. Utang hampir tak terbayar. Berbondong-bondong pemodal hengkang. Indonesia pun pernah diramal akan bangkrut. Tapi, tidak. Perlahan, meski tak pasti, ekonomi mulai pulih. Meski dengan bantuan utang, pemodal mau menanamkan duitnya di sini hingga orang bisa lagi bekerja. Tapi, tiba-tiba boom lagi di sana, lalu boom lagi di sini. Orang pun ketar-ketir.

Kita sedang memasuki apa yang disebut hamil tua. Suatu masa-masa rawan di mana ibu hamil harus cuti dan tak boleh kerja berat. Inilah masanya ketika kelelahan orang menanti perubahan itu mencapai titik temu dengan euforia politik di ambang Pemilu 2004. Kita tak bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya perhelatan politik itu tak menghasilkan sebuah kekuatan politik-ekonomi yang, paling tidak, menumbuhkan harapan orang kembali.

Kita, sekali lagi yang alhamdulillah masih diberi akal sehat, mudah-mudahan tidak terlalu cepat tidak percaya kepada para pengelola negara ini. Marriott, bagaimanapun, adalah hotel paling ketat penjagaannya di Jakarta. Di sana hubungan bilateral dan multilateral kerap diteken. Bahkan, di sana Amerika merayakan ulang tahunnya. Reformasi memang butuh sikap sabar. Dan semoga saja para pengelola itu tahu dan mengerti bahwa kita pun punya batas-batas kesabaran.

Tuhan mungkin sedang jengkel dengan kita. Hingga ia mengutus orang-orang meledakan bom-bom itu. Tapi, bagi siapa saja yang mengatasnamakan Tuhan untuk membunuh atau mengatasnamakan sakit hati dengan memberangus nyawa, percayalah dia sedang menggali kuburnya sendiri.

Foto : Indoradio.net

Monday, August 04, 2003

PALESTINE ATAWA JURNALISME KOMIK




Seno Gumira Ajidarma

Majalah internasional Time edisi 12 Maret 2001, melaporkan pembantaian mengerikan yang berlangsung di Sampit. Peristiwa itu menjadi cover story. Namun perhatian saya terbelokkan oleh penemuan lain, sebuah laporan empat halaman dari Hebron, kota di Tepi Barat Jalur Gaza yang delapan puluh persen wilayahnya (H1) dikontrol oleh Otoritas Palestina, sedangkan sisanya (H2) diduduki militer Israel. Laporan empat halaman itu berwujud komik dengan tata warna, namun tanpa kesan lucu (comic) sama sekali. Laporan berwujud komik itu sama serius dan meyakinkannya seperti setiap laporan jurnalistik yang lain, dan komikus atau pekomiknya disebut sebagai wartawan komik (comic journalist). Komik di sini sudah tidak berarti lucu lagi, melainkan nama untuk suatu bahasa, yakni bahasa komik. Jadi sarana penuturan dalam jurnalisme bukan hanya tulisan, foto, atau siaran langsung audio dan visual, tetapi juga komik : panil-panil bermuatan gambar, teks, dan komentar, yang disusun sebagai suatu tuturan.

Tidak ada yang saya ketahui mengenai Joe Sacco, wartawan komik itu, sampai beberapa bulan kemudian saya temukan sejumlah komik dalam bahasa Inggris bertajuk Palestine dengan embel-embel di bawahnya: mature readers (pembaca dewasa). Biasanya predikat macam itu terdapat dalam komik bersubyek seksualitas, seperti tanda PG atau parental guidance (didampingi orangtua) bagi sebuah film, karena komik terbiasa diandaikan hanya merupakan bacaan anak-anak, tapi yang dimaksud dewasa di sini rupanya sama sekali lain. Komik ini, seperti yang saya temukan di majalah Time, adalah sebuah seri laporan jurnalistik dari wilayah pendudukan militer Israel di Palestina. Angka tahun menunjukkan 1993, artinya pengetahuan saya sudah terlambat lebih dari tujuh tahun, dan semoga ini tidak mewakili pengetahuan para wartawan Indonesia. Komik itu disebut secara resmi sebagai magazine, dari kalimat lengkap No part of this magazine may be reproduced without written permission from Fantagraphics Books or Joe Sacco, dan kredit nama Joe Sacco sampul depan ditulis kecil sekali. Boleh dibilang tidak proporsional kecilnya, seperti ingin menegaskan bahwa tidak ada kepengarangan (authorship) dalam laporan jurnalistik berbentuk komik itu. Dalam jurnalisme komiknya, sebagai wartawan Joe Sacco berkonsentrasi kepada penindasan militer Israel di wilayah H2 atas penduduk Palestina, yang telah menghuni tempat itu selama 700 tahun, sampai Israel menguasainya pada 1967.

Mereka mendatangkan para pemukim Yahudi sebagai bagian gerakan Zionisme pasca Perang Dunia II, yang merasa berhak menempatinya sebagai Tanah yang Dijanjikan, dan berlangsunglah konflik tak berkesudahan yang salah satu dampaknya adalah hancurnya Menara Kembar New York pada 11 September 2001. Dilaporkan dalam jurnalisme komik itu, kehidupan sehari-hari yang tidak terdapat di tempat manapun di dunia. Betapa warga Palestina hidup terus menerus dalam penindasan yang mirip Nazi gaya baru, karena militer Israel bersikap diskriminatif, kejam, dan barangkali justru ketakutannya menimbulkan kecurigaan berlebihan. Diceritakan misalnya bagaimana seorang perempuan Paletina bisa ditangkap, disekap, dan disiksa, karena dicurigai sebagai anggota pergerakan, tanpa alasan yang mendasar. Lantas begitu saja dilepaskan karena tidak pernah bersedia membuka mulut. Joe Sacco keluar masuk rumah-rumah warga Palestina di H2, mondar-mandir antara H1 dan H2, untuk melakukan wawancara, dan menuturkan kembali apa yang didengar dan dilihatnya dalam bentuk komik.

Jurnalisme dalam komik, bagaimanakah hal itu dilangsungkan? Kalau kita membaca berbagai edisi Palestine, beberapa hal menjadi jelas. Kita melihat gambar-gambar dalam panil dengan teks dan komentar. Teks adalah ucapan sumber berita, dan komentar adalah penjelasan sang wartawan, atau juga sumber berita. Karena ini komik, maka ucapan sumber berita tidak tampil dalam kutipan, melainkan gelembung komik atau balon kata-kata. Menarikkah komik yang hanya berisi gambar dan kata-kata sumber berita? Setidaknya dua faktor menonjol dari Palestine, pertama, bahwa Joe Sacco mempunyai cara bertutur yang meyakinkan sebagai suatu bentuk laporan jurnalistik; kedua, bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat yang menggerakkan intifada itu memang sangat dramatik. Namun kata "menarik" untuk komik Joe Sacco tidak bisa diucapkan tanpa menanggung perasaan bersalah, karena tokoh-tokohnya adalah penduduk sipil yang menanggung derita faktual, bukan fiktif. Lebih baik dikatakan bahwa Palestine adalah laporan jurnalistik dalam bahasa komik yang mencekam.

Tentu harus dijelaskan, bagaimanakah komik yang dimaksudkan sebagai reportase itu bisa diterima sebagai penggambaran fakta. Kata-kata atau penulisannya masih bisa dipadankan dengan jurnalisme yang manapun, dari koran, radio, dan TV, tetapi apakah gambar coretan tangannya bisa mengambil alih tugas akurasi yang biasa dipikul jepretan kamera foto maupun sinefotografi? Ternyata bahwa Joe Sacco seolah-olah mampu memungut realitas secara langsung, tanpa perantaraan teknologi yang dingin, yang membuat coretan gambarnya mendenyutka kembali kehidupan di H2 yang penuh teror, karena kontrol sepenuhnya kepada setiap titik dan garis yang menjadi coretan gambar. Dalam ekspresi wajah misalnya, Joe Sacco membantu pemandangnya untuk merasakan emosi terpendam di balik kepasrahan, dalam penderitaan sekian lama, tanpa tanda-tanda akan pernah selesai. Berbagai tipe wajah ini, mulai dari aktivis, kaum ibu, maupun orang-orang di jalan, digarap dengan mempertimbangkan dampak penindasan bertahun-tahun yang terbaca dari ekspresinya.

Cara Joe Sacco menggambarkan lingkungan H2, karena ia mencoret langsung, memungkinkannya mengangkat titik-titik perhatian yang kamera tidak akan mampu melakukannya. Lubang-lubang peluru pada tembok di dalam rumah misalnya, sebagai bukti tindakan brutal militer Israel, tergambar lebih dramatis ketimbang misalnya sebuah foto yang akan memperlihatkannya sebagai dokumen otentik. Apabila dalam jurnalisme tulis terdapat teknik parafrase, ketika wartawan mengalimatkan sendiri ucapan sumber berita, karena tidak mungkin seluruh ucapan dikutip langsung, maka pernahkah dibayangkan bagaimana Joe Sacco harus memparafrase kisah sumber beritanya dalam bentuk komik?

Sebetulnya Palestine banyak menggambarkan isi kepala sumber beritanya,selain apa yang dilihat, apalagi dialami, oleh Joe Sacco. Boleh dibilang Palestine merupakan kombinasi pengalaman dari dua ekstasis waktu, yakni pengalaman masa lalu sumber berita, yang ditangkap dari wawancara; dan pengalaman masa kini Joe Sacco sendiri.

Sehingga pertanyaan berikut menjadi masuk akal: bagaimanakah distorsi bisa dihindarkan, dan apakah suatu gambar bisa obyektif? Tetapi Joe Sacco bersikap sebagai seorang antirealis, yang tidak mengandaikan bahwa realitas yang sebenarnya mungkin ditangkap, melainkan berusaha mengungkap juga posisi dan pandangannya atas peristiwa yang digambarkan, sehingga pembaca atau pemandang bisa menafsir dan mengambil kesimpulan, untuk memahami realitas itu dengan caranya masing-masing. Itulah sebabnya, jika dalam jurnalisme komik untuk Time pembaca akan menjumpai sudut pandang orang pertama dalam tulisannya saja; maka dalam Palestine pembaca bahkan akan melihat si aku, Joe Sacco sendiri, dalam gambar. Dengan cara itulah pembaca berpeluang mempertimbangkan posisi Joe Sacco sebagai narator, sehingga realitas yang mereka terima selalu merupakan realitas dalam kesepakatan tertentu.

Dalam hal parafrase, meskipun riwayat sumber berita tidak dilihatnya sendiri, tapi harus digambarkannya kembali, tampak bahwa Joe Sacco melakukan riset yang teliti. Artinya, setiap tempat kejadian perkara bisa diperiksanya ulang, sehingga penuturannya bisa dipertanggungjawabkan. Bila perlu, ia perlihatkan juga bagaimana sumber berita menunjukkan berbagai bukti kepada dirinya, sebelum atau setelah ia menceritakan ulang kisah para saksi mata itu. Jelaslah bahwa Palestine akhirnya menjadi dokumen penindasan warga sipil oleh militer Israel, yang jam malam dan berbagai penculikannya telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di wilayah itu. versus sipil, karena warga Palestina di situ memang penduduk Israel. Joe Sacco menampilkan konflik itu sebagai masalah orang kecil, bukan politik. Profil berbagai organisasi seperti Al-Fatah yang moderat atau juga Front Pembebasan Rakyat Palestina yang radikal dalam Palestine tampak marjinal, sesuatu yang tidak pernah muncul secara resmi. Rupanya organisasi semacam itu berada di bawah tanah. Joe Sacco juga berkisah tentang cara-cara mereka merekrut anggota yang penuh kerahasiaan. Namun adalah penduduk sipil yang menggerakkan intifada, suatu hal yang tidak pernah mampu dilakukan organisasi perlawanan manapun.

Melalui Palestine, dunia berbahasa Inggris mendapatkan sudut pandang yang sama sekali baru, karena Joe Sacco tidak berpretensi menghadirkan jurnalisme dalam konstruksinya yang baku: eksklusif, apalagi aktual, sekaligus "menjual", yang merupakan keharusan dalam bisnis jurnalistik. Seperti diketahui, dalam bisnis jurnalistik, perusahaan pers lebih mentingkan tiras penjualan, dan kepentingan inilah yang langsung-tak-langsung menentukan kebijakan peliputan. Tetapi Joe Sacco keluar masuk rumah penduduk sipil, tidak mencari nama-nama besar, melainkan mendengarkan cerita di balik dinding, dan terungkaplah sejarah penindasan yang mengalir di bawah permukaan. Tidak peduli peristiwa itu sudah berlangsung beberapa bulan, bahkan bertahun-tahun yang lalu.

Dunia internasional mungkin menyaksikan highlight intifada dan berbagai demo dalam pemakaman korban, lengkap dengan komentar para petinggi dari koran dan televisi, tetapi hanya komik Joe Sacco melaporkan teror malam hari, penculikan orang terluka di rumah sakit, dan riwayat para korban yang selamat. Joe Sacco melukiskan rumah warga Palestina dari dalam, apa yang mereka makan dan minum, ada barang apa saja di dalam rumah, serta bagaimana mereka hidup selalu dalam keadaan tertindas, dengan cara bertutur yang berada di luar konstruksi jurnalisme untuk bisnis.

Jurnalisme Joe Sacco adalah jurnalisme personal, karena jurnalisme komik tidak dianggap lazim, tapi justru karena itu jurnalismenya menangkap hal-hal yang luput dari perhatian para konglomerat dalam bisnis jurnalistik. Siapapun yang memperhatikan bagaimana Joe Sacco menggambarkan dirinya sendiri dalam komik itu akan percaya, bahwa pengetahuan memang hanya bisa didapatkan dengan pendekatan yang rendah hati. Palestine dari tahun 1993 sampai 1995 pun, yang terbit tiga bulan sekali, mampu eksis sebagai saksi kekejaman militer Israel sampai hari ini.

Dengan demikian, melalui Palestine ia melakukan gebrakan dalam bidang jurnalistik maupun komik. Akar komik Joe Sacco sebetulnya diinspirasikan oleh komik underground di Amerika Serikat yang menolak diperiksa Comics Code Authority yang didirikan tahun 1955. Kalaupun diperiksakan, maka kemungkinan juga akan mengalami kesulitan, mengingat kebijakan pemerintah AS yang sangat dipengaruhi oleh kubu Yahudi. Meskipun membanggakan dirinya sebagai benteng demokrasi, negeri itu tidak sama sekali bersih dari black listing: suka memprasangkai orang lain. Komik Joe Sacco ini menjadi representasi kultur underground bagi jurnalisme dunia Barat, karena empatinya yang gamblang kepada warga sipil Palestina. Tetapi apakah Joe Sacco berpihak kepada warga Palestina, dengan suatu prasangka terhadap militer Israel? Tidak juga. Dalam laporan Time, ia mewawancarai dua belah pihak dengan sangat seimbang; dan dalam salah satu edisi Palestine diperlihatkannya bagaimana seorang serdadu Israel, seorang Yahudi Amerika yang bertugas di Ansar III (kamp tahanan yang menjadi "sekolah" para anggota pergerakan) ternyata membangun hubungan akrab dengan para tahanan.

Bahwa komik Joe Sacco adalah suatu karya jurnalistik, menunjukkan perbedaan dengan komik biasa pada hilangnya uatu penanda. Pembaca tidak akan menemukan monolog interior, atau solilokui, yang biasa terwujudkan sebagai balon renungan (bukan balon kata-kata), karena Joe Sacco yang berani menggambarkan kilas-balik sumber-sumbernya, tampaknya tidak mengandaikan dirinya bisa membaca pikiran di dalam kepala sumber beritanya itu.

Barangkali Joe Sacco bukan wartawan komik yang pertama, karena Illustrated London News membangun reputasinya berdasarkan kesaksian para ilustrator yang mendampingi tulisan atas peristiwa-peristiwa dalam negeri maupun perang di luar negeri pada 1842. Namun menurut saya itu hanya karena fotografi belum mampu dimanfaatkan secara efisien dalam jurnalistik. Toh disebutkan oleh Roger Sabin (Comics, Comix & Graphic Novels, 1996), bahwa Joe Sacco engembalikan
gaya verite dari zaman pra-kamera seperti yang ditampilkan ilustrasi saksi mata majalah berita bergambar zaman Victoria. Bagi saya, Joe Sacco tidak mengulang para pendahulunya, dengan pensilnya ia mengisi ruang tak terliput oleh media jurnalistik yang canggih sekalipun dalam abad sibernetik ini, sebagai suatu alternatif baru. Sebetulnya, tidak satu bahasa pun akan mampu menggantikan bahasa lain, maupun media satu menggantikan media lain, karena secara timbal balik setiap bahasa dari setiap media membangun unikumnya sendiri, meski sama-sama diabdikan kepada satu hal: komunikasi antarmanusia.

Demikianlah catatan ini, sekadar perkenalan untuk mengundang studi mendalam kepada bahasa dan media komik, yang hampir selalu dilecehkan kemungkinannya untuk menjadi bagian dari diskursus intelektual.


Diambil dari sebuah milis yang mengutip [aikon!]edisi Februari 2002

Sunday, August 03, 2003

PENDEKAR




ANTV menayangkan film Pertarungan Iblis Merah malam kemarin. Bintangnya siapa lagi kalau bukan Barry Prima. Tahun 1980-an, Barry Prima selalu bertarung melawan Advent Bangun. Kalau salah satunya jadi jagoan, pasti yang lainnya jadi penjahat. Seingat saya, hanya sekali Barry Prima berperan sebagai penjahat (maksudnya antagonis). Di film ini pun Prima kembali menjadi jagoan sebagai tokoh Markoni, pendekar dari Lembah Arun. Pertama kali saya nonton film ini waktu kelas 2 SD di layar tancap, saat sepupu dikhitan.

Markoni adalah mantan pendekar yang memilih hidup seperti orang biasa yang tinggal di Lembah Arun (tidak jelas ini Arun yang mana). Tokoh kita ini tinggal dengan seorang istri yang tengah hamil 7 bulan. Suatu kali datang seorang tamu tak diundang. Mula-mula tokoh kita ini meyangka yang datang adalah penjahat. Tapi setelah bersitatap, Markoni akhirnya tahu kalau yang datang adalah Minto, kakak seperguruannya dulu. Pertemuan itu pun berubah jadi obrolan kangen-kangenan.

Rupanya Minto datang dengan maksud. Sehari setelah kunjungannya, datang serombongan orang tak dikenal. Kali ini dengan niat jahat. Mereka mengobrak-abrik seisi rumah, lalu memerkosa istri Markoni. Tokoh kita sendiri sedang mengayun kampak membelah kayu di hutan. Rombongan yang dipimpin Donggala itu datang untuk mencari Kitab Pusaka Gembulawi. Istri Markoni akhirnya meninggal dalam pelukan suaminya. Cerita pun mulai dari sini: dendam yang tak berkesudahan.

Markoni berkelana mencari penjahat-penjahat itu, yang gobloknya, meninggalkan jejak: lambang peguruan Bukit Warakas. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Mawi si Pendekar Payung. Mula-mula Markoni menyangka Mawi adalah pelaku yang membunuh istrinya. Keduanya pun bertarung. Tapi, dalam pasrah karena kalah, Mawi menyerahkan emben yang digenggamnya, yang ternyata beda dengan lambang perguruan Donggala. Markoni pun minta maaf dan keduanya berteman.

Mereka mencari Donggala dkk. ke seluruh pelosok. Mawi ternyata juga bernasib sama: istrinya dibunuh dan anaknya diculik oleh orang bernama Raden Arya Geni. Belakangan diketahui kalau Arya Geni tak lain si Minto itu sendiri. Dan dialah yang menyuruh Donggala dkk membunuh keluarga Markoni. Satu per satu musuh-musuh Markoni berhasil dibunuh, hingga Arya Geni sendiri yang mati ditujah patahan tongkat di lubang pantat. Sebagai adik perguruan, Markoni tahu pemilik ilmu Gembulawi hanya bisa mati jika ditusuk duburnya.

Pujian untuk film ini hanyalah teknik beladiri pemain-pemainnya. Di sana memukul dan menendang terasa wajar. Adegan terbang pun hanya sesekali. Hingga akhir film ini yang tersisa hanyalah penuntasan dendam, juga kepandaian ilmu berkelahi. Membunuh di sana adalah hal yang wajar, halal, juga benar.

Berbeda sekali dengan film Tujuh Samurai (1954) yang digarap apik Akira Kurosawa. Di akhir cerita yang tertinggal tidak lagi adegan laga tujuh samurai menghabisi penjahat yang berbulan-bulan merampok petani di desa. Tapi sebuah sejarah sosial Jepang ketika kasta samurai mulai memudar dan mulai munculnya kelas baru petani yang semula dipandang remeh. Kasta samurai pada zaman itu sudah meredup. Mereka mempertahankan hidup dengan tersaruk, rudin, dan berkelana. Para petani yang tak bisa berkelahi menyewa para samurai ini untuk membasmi perompak. Kasta petani itu ternyata tahu bagaimana menabung dan tatacara bayar-membayar.

Perompak habis, dan para petani kembali ke sawah dengan senyum. "Ini kemenangan para petani," seru samurai paling tua saat pemakaman empat samurai yang terbunuh di bukit. Dan Jepang pun memasuki zaman baru dengan munculnya "borjuis" dari kalangan petani. Jual beli sebagai dasar-dasar ekonomi mulai digalakan hingga tumbuh kota-kota. Bukankah di kalangan Marxis sendiri borjuis adalah mereka yang mengendalikan lahan pertanian? Jika kemudian arti borjuis meluruh menjadi sebutan untuk kaum kaya di kota-kota, itu disebabkan kapitalisme sedang marak untuk menghalau rumus-rumus Das Kapital.

Tujuh Samurai pernah diadaptasi menjadi Maginificient Seven (1960) oleh Hollywood. Para koboi dengan dua pistol di pinggang, tak lupa juga kuda dan rompi lusuh, beraksi di lahan-lahan pertanian Meksiko. Tapi Magnificient tak beda dengan Pertarungan Iblis Merah. Di sana yang ada hanya dar-der-dor dan tubuh-tubuh yang rubuh.