Tuesday, February 07, 2017

PENGALAMAN ANEH DI JEPANG


Terjadi pekan lalu. Setelah 7 jam penerbangan dengan Garuda dari Jakarta...

Di pintu keluar Bandara Haneda pada pukul 7.45, saya melihat laki-laki ini, di antara para penjemput yang membentangkan kertas bertuliskan nama-nama jemputan mereka. Laki-laki ini, sekitar 25 tahun, membawa kertas bertuliskan “Mr. Hidayat”. Dari nama yang tersemat di dada kiri jasnya, saya tahu namanya Matsuoka. Matsuoka-san. Maka saya menghampirnya dan terjadilah dialog ini dalam bahasa Inggris:

“Apakah kamu menunggu Pak Hidayat dari Indonesia?”

“Ya, pak. Apakah anda Pak Hidayat?”


“Betul. Saya jurnalis dari Indonesia, peserta program MOFA.” (MOFA adalah Ministry of Foreign Affair). Ayo, kita cari bus limusin.”


“Ok, pak. Tapi sebelum itu, apakah anda ingin ke toilet atau menukar uang?”


“Menukar uang.”


“Silakan.”


Setelah menukar uang rupiah ke Yen yang tak seberapa, saya kembali kepadanya yang menunggu dengan senyum. “Ok, sekarang kita mencari limusin bus,” kata saya mengulang. Di jadwal sebelum berangkat, panitia menyebutkan bahwa penjemput saya di Haneda adalah perempuan yang akan mengarahkan saya naik bus bandara ke hotel.


“Tidak, pak. Hamamatsu terlalu jauh jika naik bus. Anda harus naik Shinkansen.”


“Oh, ada perubahan?” Dia tak menjawab. Saya berpikir panitia mengirim perubahan jadwal melalui email semalam, ketika saya terlelap di pesawat, dan kini saya tak bisa membukanya karena tak ada koneksi Internet. Jadi saya ikuti dia ke konter tiket Shinkansen.


Dia membeli dua tiket. Satu untuk tiket Japan Railway ke stasiun Shinagawa dan satu tiket seharga 7.700 Yen ke stasiun Hamamatsu dari Shinagawa. Dia menjelaskan dengan peta kapan saya harus turun dan mencari peron Shinkansen ke Hamamatsu. Saya pernah dengar Hamamatsu. Sebuah kota kecil yang jadi bagian Provinsi Shizuoka.


Saya berpikir panitia mengubah jadwal yang drastis begini tanpa memberitahu sejak awal. Setelah dari Tokyo, jadwal saya memang ke Pulau Ishigaki di Selatan. Mungkin, pikir saya, agenda berubah agar lebih dekat ke Ishigaki dan Okinawa.


Untuk meyakinkan, saya membuka penjelasan panitia MOFA di depan penjemput ini. Saya tunjukkan jadwal saya hari itu. Juga paspor agar ia bisa melihat nama saya. Di atas peta yang detail menuju sebuah hotel di Hamamatsu, dia menuliskan nama seseorang yang “Sudah menunggu kamu di sana.” Perjalanan kira-kira 2 jam karena Hamamatsu sekitar 300 kilometer dari Tokyo.


Pembicaraan lain adalah soal ia yang pernah ke Jakarta. Saya katakan padanya, bilang sama temanmu di Jakarta bahwa saya adalah wartawan yang bekerja di majalah Tempo. Lalu dia mengambil gambar kami di lift secara swafoto. Dia berjanji mengirim foto itu ke email. Kami berpisah di peron stasiun Haneda. Dia melambai dengan senyumnya yang gembira. Sebuah tugas sudah ia tunaikan.


Kereta ke Shinagawa tak terlalu padat. Saya memilih berdiri saja. Naik kereta begini kira-kira delapan tahun lalu, sewaktu menengok istri yang sekolah di Kyoto. Dan gerbong-gerbong ini kelak jika sudah tak terpakai akan dikirim ke Jakarta untuk saya naiki tiap pagi dari Bogor ke kantor. Jepang selalu dekat dalam sejarah maupun keseharian orang Indonesia.

Saya turun di Shinagawa. Agak bingung juga melihat begitu banyak orang dan kereta. Saya lihat ada tulisan HamamatsuCho di plang. Saya turun ke peron menggembol dua tas dan koper besar. Lift hanya untuk penumpang yang akan naik.


Hanya dua stasiun, Hamamatsucho sudah diumumkan. Saya mulai curiga karena anak muda penjemput itu mengatakan ke Hamamatsu perlu dua jam. Di pintu keluar saya bertanya kepada petugas apakah itu stasiun Hamamatsu. Petugas itu menjawab “bukan”. Dia menjelaskan dalam bahasa Inggris yang saya pahami lamat-lamat bahwa Hamamatsu harus naik Shinkanen dari Shinagawa. Jadi? Anda harus balik ke Shinagawa dan cari Shinkansen di sana. Baiklah. Saya telah salah naik kereta. Hadeuh, mungkin karena masih ngantuk....


Saya kembali ke Shinagawa. Di deretan banyak peta huruf Kanji dan latin, saya membaca bahwa peron ke Hamamatsu adalah nomor 24. Seorang petugas mengkonfirmasi dugaan saya tak keliru. Maka di peron 24 itu saya menunggu kereta cepat ke Osaka. Kereta peluru yang berjalan 150 kilometer per jam.


Kereta tiba setengah jam kemudian. Saya pikir daleman Shinkansen tak lebih bagus dari Agro Anggrek ke Yogyakarta. Kursinya agak kumuh dan tak ada televisi juga selimut. Di Agro Anggrek, selain kinclong, daleman kereta seperti di pesawat. Juga wangi dan selimutnya lembut.

Jepang melubangi banyak gunung agar Shinkansen bisa melaju dan meringkas jarak. Jika naik kereta biasa, ke Osaka bisa 8-9 jam. Dengan Shinkansen, jarak dilipat menjadi tinggal 2 jam saja. Jika diubah ke dalam rupiah, 7.700 yen itu sekitar Rp 1,1 juta. Jadi naik Shinkansen sama dengan naik pesawat dengan waktu tempuh yang tak berbeda.

Tokyo-Shizuoka melewati Gunung Fuji. Seperti yang tampil di kalender-kalender dan gambar-gambar identitas Jepang, gunung itu menjulang dengan pucuk yang putih. Pada Februari, Jepang seharusnya bersalju. Tapi di Tokyo suhu hanya 5 derajat Celcius. Jadi hanya angin yang menusuk, bukan busa es yang turun memenuhi tanah yang tandus. Salju hanya turun di puncak Fuji.




Tiba juga di Hamamatsu. Dari stasiun ke hotel harus keluar dan berjalan sekitar 200 meter, sesuai petunjuk peta yang diberikan penjemput itu. Hotel ini agak tua dan menyatu dengan stasiun. Saya berjalan ke penerima tamu dan memberitahu bahwa saya adalah tamu mereka dari Indonesia. Alih-alih menyilakan, penerima tamu malah terlihat bingung. Celaka, mereka tak bisa bahasa Inggris. Setelah mengecek di daftar tamu, nama saya tak ada.

Maka saya minta ia menelepon nomor yang diberikan penjemput itu. Pak Nakamura. Tiga kali di telepon tak berjawab. Saya mulai kesal. Bagaimana bisa tak ada orang yang menerima setelah perjalanan jauh ini? Tak ada satu pun orang yang menghampiri saya ketika berbicara dengan resepsionis atau ketika putus asa duduk di lobi yang sepi. Sendirian dengan wajah kumal dan tas besar.


Beruntunglah ini zaman Internet. Jaringan maya itu menyelamatkan orang kebingungan dari udik ini. Hotel tua itu menyediakan layanan Internet gratis dan tanpa kata kunci. Begitu masuk jaringan, mungkin sekitar 200 pesan masuk. Grup kantor bersahut-sahutan. Pikiran saya hanya tertuju pada nomor-nomor di kertas, nomor-nomor panitia dan pejabat MOFA. Cilaka. Orang Jepang tak memakai aplikasi Whatsapp karena SMS sudah gratis. Maka di layanan aplikasi itu nomor-nomor panitia tak muncul.


Saya berikirim email ke seorang pejabat di MOFA. Saya ceritakan bahwa saya sudah di hotel di Hamamatsu tapi tak ada orang yang bisa dihubungi. Nomor-nomor tak bisa dikontak melalui Whatsapp. Tapi terima kasih kepada Whatsapp yang telah memperbarui kontak telepon di aplikasi ini. Sehingga telepon saya ke pejabat di Kedutaan Jepang di Jakarta bersambung.


Nakano-san membuka percakapan dengan haru-biru. Dia mengatakan kurang lebih, semua orang di Tokyo menunggu saya tapi tak menemukan saya di Haneda. “Loh, penjemput menyuruh saya ke sini,” kata saya. Nakano menjelaskan sesuatu yang tak ingin saya dengar. Intinya, ia mengatakan saya telah salah jalan! Tak ada perubahan jadwal dan tak ada perjalanan dengan Shinkansen. Tempat pertemuan program ini bukan di Hamamatsu. “Itu jauh sekali dari Tokyo,” kata Nakano-san.


Email jawaban dari Sugaya-san, pejabat di MOFA itu, masuk. Sejak kalimat pertama dalam bahasa Inggris, ia sudah bersyukur kepada Tuhan bahwa akhirnya saya mengontaknya dan selamat di Hamamatsu. Wah, jadi betul saya tersesat. Sugaya meminta saya kembali ke Tokyo dengan Shinkansen. Tiket bisa dibeli dengan kartu kredit atau tunai.


Antara percaya dan setengah percaya, saya mulai mengumpulkan kesadaran dan menerima keadaan bahwa saya telah salah jalan. Lima menit setelah mengingat-ingat perjalanan dari Jakarta hingga di Hamamatsu, saya telepon Nakano bahwa saya akan kembali ke Tokyo dengan Shinkansen. Saya akan kembali ke stasiun dengan risiko tak bisa dikontak lagi karena tak ada Wi-Fi. “So, titip pesan ke Sugaya-san, tunggu saya di pintu keluar.”


Dari Jakarta, Nakano memberitahu jadwal Shinkansen dari Hamamatsu sekitar setengah jam lagi. Shinkansen itu akan menunju terminal besar di Tokyo dari Osaka, setelah melewati Shinagawa. Maka ia menyarankan saya turun di Shinagawa saja. Tapi setelah menutup telepon dan keluar dari hotel itu, saya berpikir lagi, bahwa saya tak tahu di pintu keluar mana Sugaya-san menunggu saya di Shinagawa. Di Hamamatsu saja pintu keluar ada empat. Tapi, okelah, mudah-mudahan di Shinagawa ada Wi-Fi...


Dalam perjalanan kembali ke Tokyo, Shinkansen penuh karena hari sudah sore. Orang kerja kembali pulang. Gunung Fuji kembali terlewati, biru menjulang bertudung salju putih. Gunung yang indah. Orang Jepang bangga betul memilikinya. Di kakinya terhampar hutan dan perdesaan. Ada yang kecil dan luas. Juga pabrik-pabrik dan jembatan layang menghubungkan antar bukit.

Tiba di Shinagawa, stasiun penuh sekali. Orang berjalan dalam gerak gegas, berlari kecil atau setengah terengah mengejar kereta yang berangkat tanpa kompromi. Mereka berkelimun ke sana kemari, dengan suara mirip lebah bercampur decit rem kereta dan pengumuman suara perempuan Jepang yang lembut. Anehnya, dari semua ketergesaan itu, tak satupun dari mereka yang tabrakan. Semua orang fokus pada tujuan masing-masing tanpa hirau orang di sekeliling, tapi tak ada dua pun berbenturan.


Setelah bertukar pesan beberapa kali melalui email, akhirnya saya bertemu Sugaya-san. Perempuan ini setengah menubruk begitu melihat saya. Tak henti-henti ia bersyukur menemukan saya dalam keadaan selamat. Dia bercerita bahwa ia cemas sekali menunggu di Tokyo sementara jadwal saya tiba di hotel pukul 8.45 waktu Jepang. Ia gembira ketika menerima email saya dari Hamamatsu.


Jika ditotal, perjalanan saya ke hotel dari Haneda yang harusnya 45 menit tertempuh 12 jam karena memutar lewat Shizuoka. Sugaya-san tergelak mendengar lelucon ini. Ia heran mengapa saya masih bisa tertawa dalam situasi yang begini sulit. Saya bilang, saya heran ia heran. “Ini pengalaman aneh, tapi jadi anugerah karena saya bisa lihat Gunung Fuji.” Ia setuju. Di taksi itu saya ceritakan kesesatan ini dengan detail sejak mula, mengulang penjelasan di email.


“Sungguh pengalaman yang aneh,” katanya. “Oh ya, penjemput kamu itu ketemu dengan ‘Hidayat lain’ yang seharusnya dijemput oleh laki-laki penjemput yang memberimu tiket Shinkansen itu....”


“Waduh, lalu bagaimana nasib dia?”


“Yaaa, dia beli tiket Shinkansen sendiri ke Hamamatsu.”


“O Tuhan, semoga ia selamat sampai tujuan....”